Anda di halaman 1dari 4

Nama : Cindy Aprilia Zamzam

Nim : 2290160046

Mk : Sosiologi perkotaan

KUALITAS RUANG PUBLIK DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Seiring pembangunan yang dilaksanakan di perkotaan, ruang terbuka hijau (RTH)


publik cenderung mengalami perubahan sebagai akibat dari berbagai permasalahan yang
ada. Permasalahan tersebut antara lain tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama
akibat arus urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat.
Menurut Hesty (2005) jumlah penduduk perkotaan yang tinggi dan terus meningkat dari
waktu ke waktu tersebut mempunyai implikasi pada bertambah tingginya tekanan
terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu
mendapat perhatian, terutama yang terkait dengan penyediaan ruang-ruang terbuka publik
(open spaces) di perkotaan. Sejumlah area di perkotaan mengalami perubahan
penggunaan lahan yang diakibatkan adanya proses pembangunan yang terjadi hal ini
karena pembangunan yang dilaksanakan di perkotaan mempunyai kecenderungan untuk
meminimalkan ruang terbuka hijau (RTH).

Carr (1995) dalam buku Publik Space, menjelaskan pemahaman tentang ruang
publik yang mempunyai penekanan pada aspek pemenuhan segala kebutuhan yang
menyangkut kenyamanan (comfort) dan kepuasan pengguna yang mempunyai berbagai
macam kepentingan dan latar belakang, baik sosial, ekonomi dan budaya. Seiring dengan
semakin berkembangnya rona fisik kota dan dinamika 15 serta wacana masyarakat yang
pada gilirannya akan merubah berbagai macam sendi kehidupan manusia (human
dimension), peranan ruang publik sebagai ruang komunal (ruang sosial, ekonomi, ruang
berapresiasi budaya dan manifestasi kesejarahan), semakin dituntut untuk selalu mampu
merespons dan tanggap terhadap perkembangan dan perubahan sesuai dengan
konteksnya. Selain pemenuhan kebutuhan (needs) manusia, ruang publik juga harus dapat
melindungi hak pengguna (rights) dan yang terakhir adalah kualitas publik harus
mempunyai makna (meaning) yang terbentuk karena aspek kesejarahan dan budaya.
Sebagian besar tipe RTH publik di Kota Bandar Lampung saat ini merupakan
taman kota/lapangan, hutan kota, sabuk hijau, jalur hijau jalan, embung, dimana
seharusnya keberadaan RTH tersebut mampu mengakomodir aktivitas masyarakat sehari-
hari, antara lain untuk berjalan kaki, rekreasi, olah raga, makan, minum,
perdagangan/komersil, upacara, beribadah maupun tempat bermain. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Simon (1984), fungsi ruang publik adalah sebagai fungsi biologis, fungsi
estetik (membentuk perspektif dan efek 6 visual bagi lingkungan), fungsi rekreatif, fungsi
ekologis (sebagai barrier lingkungan), fungsi social (sebagai tempat untuk kontak sosial
masyarakat). Akan tetapi, RTH publik kota Bandar Lampung belum bisa dikatakan
berkualitas karena selain keterbatasan sarana dan prasarana yang ada di RTH publik
tersebut, tidak adanya pemeliharaan juga menjadi kendala untuk kota Bandar Lampung
serta komitmen dari pemerintah daerah dalam menyediakan RTH publik yang berkualitas
untuk masyarakatnya.

Di bawah tahun 1986 kota Bandar Lapung ini memiliki banyak rawa dan persawahan.
Tetapi sekarang, daerah tangkapan air dan cekungan banjir itu lenyap. Berganti menjadi
kampus, ruko, bengkel, dan perumahan. Fakta terbaru, rawa di samping kanan Kampus
Darmajaya, Labuhanratu, diuruk dan dibangun sekolah yang diikhtiarkan berstandar
internasional.

Alih fungsi rawa dan cekungan banjir jelas kerugian besar bagi daerah ini. Rawa
bukan sekadar cekungan tanah yang digenangi air. Ia berfungsi sebagai daerah resapan
dan penampung air. Rawa hilang, dengan demikian, hilang pula resapan air sehingga
kawasan bekas rawa biasanya menjadi rawan banjir. Kecuali itu, cadangan air tanah
menipis seiring dengan hilangnya rawa-rawa tadi. Kelurahan Way Dadi, Sukarame,
sebelum kawasan yang dulunya rawa dan persawahan itu menjelma menjadi kampus dan
permukiman, tidak pernah ada cerita banjir. Tetapi sekarang, musibah air berlebih itu
telah selalu merepotkan warga di sana. Dari sana gampang dianalisis, bahwa ternyata
selama ini penataan kota belum menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan
ekologi. Sepanjang ada keuntungan materi, silakan membangun, kerusakan lingkungan
bolehlah dipikirkan nanti bagaimana mengatasinya. Cara berpikir seperti ini, secara jujur
dikatakan, masih menggejala di birokrasi kita.
Pembangunan kota melulu lahir akibat tekanan dan kompromi dengan investor.
Kita bisa lihat bagaimana pengusaha dengan seenaknya memangkas bukit-bukit. Lalu,
dengan tidak kalah gegabahnya, pantai-pantai diuruk. Ancaman tanah longsor kemudian
mengintai warga yang bermukim di bawah lereng-lereng yang digerus. Kota dihuni
begitu banyak manusia, mahluk yang menjadi tujuan mengapa lingkungan hidup harus
diseimbangkan. Karena itu, perubahan orientasi secara radikal terhadap perencanaan
kota, sesulit apapun, mestinya segera dilakukan. Program pembangunan lingkungan
hidup sudah saatnya menjadi prioritas pemerintah.

Mengurangi laju kerusakan lingkungan, tentu saja, tidak cukup dengan aksi tanam
pohon seperti selama ini digelar. Lebih dari itu, butuh komitmen yang kuat dari
pemerintah. Bahwa pembangunan fisik harus senantiasa menganut tiga pilar: ada manfaat
ekonomi, diterima secara sosial, dan ramah lingkungan. Bentuk paling konkret dari
memperhatikan keseimbangan alam itu adalah bahwa segala aktivitas pembangunan tidak
boleh dilakukan dengan mengubah bentang alam. Memangkas bukit, menguruk laut,
menimbun rawa, juga menyodet sungai, jelas mengubah bentang alam. Dengan demikian,
harus dihentikan. Kita tidak ingin, ketika semuanya sudah telanjur, mulailah sibuk
melakukan berbagai pembenahan yang selain berbiaya mahal juga kadang sudah
terlambat.

Melihat kepada pengertian ekologi kota , yaitu Ekologi kota menerapkan konsep
dan prinsip ekologi, dalam mengkaji interaksi makluk hidup dengan lingkungannya
secara obyektif dan netral, ketergantungan, keanekaragaman, harmoni, keseimbangan,
keterbatasan, kompleksitas, dan keberlanjutan. Kota sebagai ekosistem dilihat sebagai
satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh, terdapat interaksi makluk hidup (manusia,
flora, fauna, dan microorganism) dengan benda tidak hidup (lahan, gedung, infrastruktur,
jaringan jalan, air bersih, sanitasi, udara bersih, dan lainnya), membentuk suatu system,
adanya pertukaran energi, materi, dan informasi, dari luar sistem berlangsung teratur dan
efisien. Diterapkannya konsep dasar dan prinsip ekologi tersebut, diharapkan kehidupan
kota berlangsung kontinu, cukup sumber daya alam, terbangun kota yang sehat, dinamis,
nyaman, aman, estetis, harmoni, kondusif, dan berkelanjutan.
Kota Bandar Lampung jelas sangat bertolak belakang dengan perngertian ekologi
kota yang sudah dijelaskan diatas. Dengan banyaknya alih fungsi lahan seperti
penggerusan bukit untuk penambangan, pembangunan gedung-gedung pusat perbelanjaan
dan lain sebagainya mengakibatkan hilangnya keseimbangan pertumbuhan kota dengan
alam sekitar. Dan dapat berdampak pada adanya bencana Alam seperti banjir dan
longsor.

Anda mungkin juga menyukai