Mahasiswa MIPA
ISBN . . .
untuk Ayahanda H. Abdullah Hasan (alm) dan Ibunda Hj.
St.Habibah
iv
Kata Pengantar
Mikrajuddin Abdullah
Daftar Isi
1 Pendahuluan 1
2 Statistik Maxwell-Boltzmann 5
2.1 Konfigurasi Penyusunan Sistem Klasik . . . . . . . . . . . . . 5
2.2 Konfigurasi dengan Probabilitas Maksimum . . . . . . . . . . 14
2.3 Harga Rata-Rata . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
2.4 Nilai Peluang Konfigurasi Maksimum . . . . . . . . . . . . . . 19
3 Ruang Fasa 23
3.1 Definisi Ruang Fasa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
3.2 Elemen volume Ruang Fasa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
3.3 Energi Kinetik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
3.4 N Sistem dalam Ruang Fasa . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
3.5 Menghitung Jumlah Keadaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
3.6 Menentukan ns . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
3.7 Elemen Ruang Fasa dalam Momentum/Laju . . . . . . . . . 32
4 Parameter-Parameter Statistik 35
4.1 Menentukan Parameter β . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 35
4.2 Bagaimana Kebergantungan β pada Suhu? . . . . . . . . . . 39
4.3 Menentukan β dari Energi Rata-Rata . . . . . . . . . . . . . 42
4.4 Menentukan Parameter α . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 44
4.5 Makna Parameter α . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47
viii DAFTAR ISI
5 Statistik Bose-Einstein 51
5.1 Sifat Dasar Boson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
5.2 Konfigurasi Boson . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 53
5.3 Konfigurasi Maksimum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 56
5.4 Parameter α untuk Photon dan Phonon . . . . . . . . . . . . 59
6 Statistik Fermi-Dirac 63
6.1 Konfigurasi Fermion . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64
6.2 Konfigurasi Peluang Maksimum . . . . . . . . . . . . . . . . . 67
Pendahuluan
Persoalan yang sering muncul pada kuliah fisika statistik di perguruan ting-
gi adalah ketidaktersediaan buku referensi bahasa Indonesia yang memadai.
Buku terbitan luar negeri yang biasa digunakan sebagai referensi umumnya
tidak membahas topik secara detail. Hal ini sering menyulitkan mahasiswa
memahami mata kuliah tersebut. Bertahun-tahun kuliah ini diajarkan oleh
dosen pada mahasiswa-mahasiswa fisika, persoalan yang sama selalu muncul.
Bahkan mata kuliah tersebut menjadi salah satu ”bottle neck” yang mem-
perlambat kelulusan mahasiswa.
Cara pemahaman fisika statistik berbeda dengan mata kuliah fisika lain
seperti gelombang, termodinamika, dan mekanika. Dalam fisika statistik kita
akan berangkat dari persoalan abstrak yang sebenarnya merupakan bahan
kajian orang matematika seperti permutasi dan kombinasi. Fisika statis-
tik dapat dipandang sebagai persoalan statistik matematik yang diberikan
syarat batas fisis, sehingga persoalan matematika murni menjadi memiliki
interpretasi fisis. Diperlukan abstraksi yang cukup tinggi untuk memahami
persoalan tersebut, dan tidak semua mahasiswa bisa melakukannya.
Sebenarnya ketika kita berhadapan dengan kumpulan partikel-partikel
gas, partikel atomik atau sub atomik lainnya, kita tidak bisa menghindari
dari statistik. Sebab, jumlah partikel yang kita kaji sangat besar, yaitu
ordenya lebih dari 1020 partikel. Tiap partikel memiliki enam variabel un-
tuk mendeskripsikan dengan lengkap keadaan geraknya, yaitu tiga koordinat
ruang dan tiga komponen momentum. Sangat tidak mungkin menjelaskan
dinamika partikel tersebut satu per satu dengan jumlah partikel yang luar
biasa banyak, meskipun menggunakan semua komputer yang ada di dunia
2 Pendahuluan
saat ini. Pendekatan yang diberikan oleh fisika statistik adalah melihat sifat
rata-rata dari partikel-paerikel tersebut tanpa kita harus melihat partikel
secara individual.
Karena berangkat dari persoalan statistik matematis, mahasiswa sering
mengalami kesulitan memulai memahami fisika statistik. Buku-buku yang
tersedia sekarang kurang memberikan penjelasan yang mendetail sehingga
tidak memberikan bantuan yang cukup berarti kepada para mahasiswa un-
tuk memahami konsep-konsep tersebut. Dari tahun ke tahun mahasiswa
tetap mengalami kesulitan memahami mata kuliah ini, karena cara analisis
yang berbeda dengan mata kuliah fisika lainnya. Tujuan penulisan buku
ini adalah memberikan penjelasan yang lebih rinci kepada mahasiswa ten-
tang penurunan persamaan-persamaan fisika statistik beserta beberapa ap-
likasinya. Rumus-rumus diturunkan secara lengkap dengan penjelasan yang
rinci pula dengan harapan mahasiswa dapat memahami lebih jelas. Sampai
saat ini kita kesulitan menemukan referensi yang memberikan penjelasan
yang lebih rinci tentang penurunan persamaan-persamaan tersebut. Maha-
siswa terpaksa harus melakukan usaha yang luar biasa untuk memahami
konsep-konsep tersebut dan tidak jarang banyak yang apatis.
Karena materi buku ini hanya diperuntukkan bagi kuliah satu semester,
maka hanya dasar-dasar statistik yang dapat menjadi modal awal bagi ma-
hasiswa untuk mempelajari fisika statistik lanjut yang diberikan. Topik uta-
ma yang dibahas meliputi penurunan fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann,
Bose-Einstein, dan Fermi-Dirac. Contoh aplikasi sederhana ketiga macam
statsitik tersebut juga diberikan. Konsep ruang fasa dan kerapatan keadaan
dalam ruang fasa klasik serta ruang fasa kuantum juga diberikan, karena ked-
uanya digunakan untuk menghitung besaran-besaran termodinamika. Agar
mahasiswa memiliki pemahaman awal tentang ensembel, maka salah satu
jenis ensembel dibahas di sini, yaitu ensembel kanonik.
Pada langkah penurunan distribusi Maxwell-Boltzmann, Bose-Einstein,
dan Fermi-Dirac, modal statistik yang dibutuhkan hanya permutasi. Oleh
karena itu topik yang membahas panjang lebar tentang permutasi dan kom-
binasi seperti yang dijumpai di kulaih-kuliah statistik yang bersifat matem-
atis tidak diberikan di sini. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi be-
ban mahasiswa sehingga mereka bisa lebih terfokus kepada aplikasi fisis dari
statistik tersebut.
Sebelum masuk ke penurunan berbagai fungsi distribusi mari kita defin-
isikan beberapa istilah yang digunakan dalam buku ini. Pertama kita mende-
3
finsikan sistem. Terminologi sistem yang digunakan pada buku ini mengacu
kepada partikel-partikel. Contohnya, jika kita membahas tentang gas maka
sistem adalah atom atau molekul gas. Untuk gas monoatomik, sistem adalah
atom gas dan untuk gas diatomik maka atau yang mengandung atom lebih
banyak maka sistem adalah molekul gas. Jika kita membahas tentang elek-
tron dalam logam maka sistem adalah elektron-elektron tersebut. Jika kita
bahas tentang radiasi benda hitam maka sistem adalah foton. Jika kita
bahas getaran kisi maka sistem adalah fonon.
Istilah kedua yang akan kita gunakan adalah assembli. Assembli adalah
kumpulan sistem-sistem dalam suatu volum tertentu. Jumlah sistem dalam
assembli sangat banyak. Ordenya sekitar sama dengan orde bilangan Avo-
gadro. Jumlah sistem yang sangat besar ini memungkinkan prediksi statistik
untuk sifat assembli menjadi sangat akurat. Ingat, statistik makin teliti jika
sampel yang dilibatkan makin banyak.
4 Pendahuluan
Bab 2
Statistik Maxwell-Boltzmann
Isi Bab ini. Bab ini berisi perumusan statistik Maxwell-Boltzmann untuk
assembli yang mengandung sistem (partikel) klasik. Contoh partikel klasik
adalah atom atau molekul-molekul gas. Umumnya partikel dengan massa
jauh lebih besar dari massa elektron dapat dianggap sebagai partikel klasik.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami bagaimana
proses membangun statistik Maxwell-Boltzmann dengan menggunakan prin-
sip statistik murni yang digabungkan dengan beberapa hukum kekekalan
dalam fisika, seperti kekekalan energi dan jumlah partikel.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami penu-
runan fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann mahasiswa perlu memahami metode
permutasi untuk benda-benda yang dapat dibedakan, sifat yang ditunjukkan
oleh sebuah besaran yang nilainya kekal (konstan), serta bagaimana mencari
nilai maksimum dari sebuah fungsi (metode penurunan).
Kita akan berangkat dari asumsi bahwa energi yang dimiliki sistem-sistem
dalam dianggap terdiri atas tingkat-tingkat energi. Tingkat-tingkat energi
tersebut berada dalam rentangan dari nol sampai tak berhingga. Gambar
2.1 adalah ilustrasi tingkat-tingkat energi yang dimiliki assembli. Untuk
sistem klasik, seperti atom gas, perbedaan energi dua tingkat berdekatan
mendekati nol, atau εi+1 − εi → 0. Perbedaan energi yang mendekati nol
memiliki makna bahwa tingkat energi sistem klasik bersifat kontinu. Sistem
6 Statistik Maxwell-Boltzmann
menempati salah satu dari tingkat energi di atas. Dalam sistem klasik tidak
ada batasan jumlah sistem yang dapat menempati satu keadaan energi. Satu
keadaan energi dapat saja kosong, atau ditempati oleh satu sistem, oleh dua
sistem, dan seterusnya. Bahkan semua sistem berada pada satu keadaan
energi pun tidak dilarang.
Agar sifat fisis dari assembli dapat ditentukan maka kita harus menge-
tahui bagaimana penyusunan sistem pada tingkat-tingkat energi yang ada
serta probabilitas kemunculan masing-masing cara penyusunan tersebut.
Pemahaman ini perlu karena nilai terukur dari besaran yang dimiliki as-
sembli sama dengan perata-rataan besaran tersebut terhadap semua ke-
mungkinan penyusunan sistem pada tingkat-tingkat energi yang ada.
Cara menghitung berbagai kemungkinan penyusunan sistem serta proba-
bilitas kemunculannya menjadi mudah bila tingkat-tingkat energi yang dimi-
liki assembli dibagi atas beberapa kelompok, seperti diilustrasikan pada Gbr
2.2. Di sini kita membagi atas M kelompok. Tiap kelompok memiliki
jangkauan energi yang cukup kecil sebagai berikut.
..
.
..
.
..
.
..
.
..
.
..
.
..
.
..
.
Deskripsi tentang jumlah sistem, jumlah keadaan dan energi pada kelompok-
kelompok yang telah diuraikan di atas dapat diringkas dalam Table 2.1.
Tabel 2.1: Deskripsi jumlah sistem, jumlah keadaan, dan energi yang dimiliki tiap
kelompok energi.
Kelompok ke- Jumlah keadaan Energi Jumlah sistem
1 g1 E1 n1
2 g2 E2 n2
.. .. .. ..
. . . .
s gs Es ns
.. .. .. ..
. . . .
M gM EM nM
M
X
N= ns (2.1)
s=1
Energi total assembli memenuhi
M
X
U= ns Es (2.2)
s=1
..
.
..
.
..
.
..
.
Gambar 2.3: Cara membawa sistem dari luar masuk ke dalam assembli.
i) Ambil satu sistem dari daftar N buah sistem yang berada di luar
assembli (Gbr. 2.3). Kita bebas memilih satu sistem ini dari N buah
sistem yang ada tersebut. Jadi jumlah cara pemilihan sistem yang
pertama kali dibawa masuk ke dalam assembli adalah N cara.
ii) Setelah sistem pertama dimasukkan ke dalam assembli maka tersisa
N − 1 sistem dalam daftar di luar. Ketika membawa masuk sistem
kedua ke dalam assembli kita dapat memilih salah satu dari N − 1
buah sistem dalam daftar. Jumlah cara pemilihan sistem ini adalah
N − 1 cara.
iii) Begitu seterusnya.
12 Statistik Maxwell-Boltzmann
N × (N − 1) × (N − 2) × ... × 2 × 1 = N !
Sejumlah g1n1 cara di atas secara implisit mengandung makna bahwa uru-
tan pemilihan partikel yang berbeda menghasilkan penyusunan yang berbe-
da pula. Padahal tidak demikian. Urutan pemilihan yang berbeda dari
sejumlah n1 partikel yang ada tidak berpengaruh pada penyusunan asal-
kan jumlah partikel pada tiap bangku tetap jumlahnya. Urutan pemilihan
sejumlah n1 partikel menghasilkan n1 ! macam cara penyusunan. Dengan
demikian, jumlah riil cara penyusunan n1 partikel pada g1 buah keadaan
seharusnya adalah
g1n1
n1 !
Penjelasan yang sama juga berlaku bagi buah partikel yang disusun pada
keadaan. Jumlah cara penyusunan partikel tersebut adalah
g2n2
n2 !
Secara umum jumlah cara menempatkan ns partikel di dalam kelompok
energi yang mengandung keadaan adalah
gsns
ns !
Akhirnya jumlah cara mendistribusikan secara bersama-sama n1 sistem
pada kelompok dengan g1 keadaan, n2 sistem pada kelompok dengan g2
keadaan, .. , ns sistem pada gs keadaan adalah
M
g1n1 g n2 g n3 g nM Y gsns
× 2 × 3 × ··· × M =
n1 ! n2 ! n3 ! nM ! ns !
s=1
M
X
δN = δns = 0 (2.4)
s=1
M
X
δU = Es δns = 0 (2.5)
s=1
M
Y gsns
ln W ({ns }) = ln N ! + ln
n !
s=1 s
n1 nM
g1 g2n2 gM
= ln N ! + ln × × ... ×
n1 ! n2 ! nM !
n1 n2 nM
g1 g2 g
= ln N ! + ln + ln + ... + ln M
n1 ! n2 ! nM !
XM
g ns
(2.6)
= ln N ! + ln s
ns !
s=1
XM
= ln N ! + {ln gsns − ln ns !}
s=1
M
X
= ln N ! + {ns ln gs − ln ns !}
s=1
2.2 Konfigurasi dengan Probabilitas Maksimum 15
Karena kita harus menerapkan syarat batas kekekalan energi dan jumlah
partikel, maka solusi untuk ns dicari dengan menggabungkan persamaan
(2.4), (2.5), dan (2.8). Penggabungan tersebut dilakukan dengan menerap-
kan pengali Langrange sebagai berikut
Substitusi persamaan (2.4), (2.5), dan (2.8) ke dalam persamaan (2.9) diper-
oleh
M M M
X gs X X
ln δns + α δns + β Es δns = 0
ns
s=1 s=1 s=1
16 Statistik Maxwell-Boltzmann
Karena kondisi ini berlaku untuk nilai ns berapapun maka persamaan (2.10)
dijamin nol asal tiap suku dalam tanda sumasi berharga nol, atau
gs
ln + α + βEs = 0
ns
gs
ln = −α − βEs
ns
gs
= exp (−α − βEs )
ns
Perhitungan nilai hXi di atas sangat sulit. Namun apabila kita dapat
menunjukkan bahwa salah satu konfigurasi yang mungkin, yaitu konfigurasi
18 Statistik Maxwell-Boltzmann
dengan probabilitas maksimum, memiliki nilai yang jauh lebih besar daripa-
da probabilitas konfigurasi-konfigurasi lainnya, maka perhitungan menjadi
sangat sederhana. Misalkan P (konfig − t) = Pmaks dan terpenuhi syarat-
syarat berikut ini:
P (konfig − 1) << Pmaks
P (konfig − 2) << Pmaks
..
.
P (konfig − R) << Pmaks
maka
X(konfig − 1)P (konfig − 1) + X(konfig − 2)P (konfig − 2) + ...
+X(konfig − R)P (konfig − R) ∼ = X(konfig − maks)Pmaks
dan
M
X d ln W
ln W = ln Wmaks + δns
dns ns,maks
s=1
M
(2.14)
1 X ∂ 2 ln W
+ δns δnq + ...
2 s,q ∂ns ∂nq ns,maks nq,maks
∂ 2 ln W d2 ln W
= δs,q (2.15)
∂ns ∂nq dn2s
dengan δs,q adalah delta Kronecker yang memenuhi δs,q = 1 jika s = q dan
δs,q = 0 jika s 6= q. Dengan demikian kita dapatkan bentuk aproksimasi
untuk ln W sebagai berikut
M
X d ln W
ln W = ln Wmaks + δns
dns ns,maks
s=1
M
d2 ln W
1X
+ δs,q δns δnq + ...
2 s,q dn2s ns,maks nq,maks
(2.16)
M
X d ln W
= ln Wmaks + δns
dns ns,maks
s=1
M 2
1 X d ln W
+ δn2s + ...
2 s dn2s ns,maks
20 Statistik Maxwell-Boltzmann
M
X d ln W
δns = 0 (2.17)
dns ns,maks
s=1
M
1 X d2 ln W
ln W = ln Wmaks + δn2s + ... (2.18)
2 s dn2s ns,maks
M
d ln W X
= (ln gs − ln ns )
dns
s=1
M
d2 ln W
X d ln gs d ln ns
= −
dns dnq dnq dnq
s=1
M
X 1 dns
= 0−
ns dnq
s=1
M
X 1
= 0 − δs,q
ns
s=1
1
=−
nq
atau
d2 ln W d2 ln W 1
= 2
=− (2.19)
dns dns dns ns
Dengan demikian persamaaan (2.18) dapat ditulis menjadi
M
1X 1 2
ln W − ln Wmaks = − δns + ...
2 s ns
(2.20)
M
1 X δns 2
W
ln =− ns + ...
Wmaks 2 s ns
2.4 Nilai Peluang Konfigurasi Maksimum 21
sehingga diperoleh
M
W 1X 2
ln =− ξ ns + ...
Wmaks 2 s
M
W 1 X 1
ln = − ξ2 ns = − ξ 2 N
Wmaks 2 s
2
22 Statistik Maxwell-Boltzmann
atau
W ∼
= exp −ξ 2 N/2
(2.21)
Wmaks
Persamaan (2.21) dapat diilustrasikan pada Gbr. 2.6.
Sebagai ilustrasi, misalkan rasio deviasi jumlah sistem pada tiap-tiap
kelompok energi terhadap jumlah pada konfigurasi maksimum adalah ξ =
10−10 . Dengan rasio ini maka |ns − gs exp[α + βEs ]| ≈ 10−10 untuk semua s
dari 1 sampai M . Ini adalah rasio penyimpangan yang sangat kecil. Jumlah
sistem dalam suatu assembli seorde dengan bilangan Avogadro, atau N ≈
1023 . Dengan nilai ini maka
W ∼
= exp −10−20 × 1023 /2 = exp(−500) ≈ 0
Wmaks
Soal Latihan
1. Dari persamaan distribusi Maxwell-Boltzmann, ns = gs exp[α + βEs ]
Ruang Fasa
Isi Bab ini. Bab ini berisi diskusi tentang ruang fasa, yaitu ruang yang
mengandung koordinat posisi dan momentum. Keadaan gerak sebuah ben-
da sebenarnya lebih lengkap dinyatakan dalam koordinar ruang fasa karena
koordinat tersebut sekaligus memberikan informasi tentang posisi dan mo-
mentum partikel sekaligus.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami apa itu
ruang fasa, bagaimana mencari volume ruang fasa, dan menentukan kerap-
atan keadaan dalam ruang fasa. Mahasiswa juga mahir dalam melakukan
transformasi kerapatan keadaan dari variable momentum ke variable energi.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Tidak ada pengetahuan
pendahuluan yang lebih khusus untuk memahami isi bab ini.
Sebelum masuk lebih jauh untuk mencari besaran-besaran fisis suatu assem-
bli, mari kita diskusikan satu jenis ruang yang dinamakan ruang fasa. Ruang
fasa adalah ruang yang dibentuk oleh ruang spasial dan ruang momentum
atau ruang spasial dan ruang kecepatan. Kita perlu memahami ruang fasa
karena sebenarnya keadaan sistem statistik yang telah dan akan kita bahas
adalah keadaan sistem tersebut dalam ruang fasa.
Misalkan kita memiliki sebuah partikel. Posisi partikel dapat diterang-
kan dengan lengkap oleh tiga koordinat ruang, yaitu x, y dan z. Tetapi posisi
saja tidak lengkap mendeskripsikan dinamika partikel. Kita juga memerlu-
24 Ruang Fasa
Jika ruang fasa dibangun oleh ruang spasial tiga dimensi dan ruang momen-
tum tiga dimensi maka:
Elemen volume ruang fasa menjadi: dΓ = dVs dVp = dxdydzdpx dpy dpz
Jika ruang fasa dibangun oleh ruang spasial dua dimensi dan ruang mo-
mentum dua dimensi maka:
Antara x sampai x + dx
Antara y sampai y + dy
Antara z sampai z + dz
..
.
dan seterusnya
Jika sistem pertama berada pada elemen volume yang dibatasi oleh koor-
dinat-koordinat berikut ini
maka volume elemen ruang fasa yang menjadi lokasi sistem tersebut adalah
Dengan cara yang sama maka akan kita peroleh elemen volume ruang fasa
yang ditempati sistem kedua adalah
dan seterusnya. Dari hasil ini maka kita dapatkan elemen total ruang fasa
yang ditempati oleh buah sistem adalah
dΓ = dx1 dy1 dz1 dp1x dp1y dp1z dx2 dy2 dz2 dp2x dp2y dp2z
· · · dxN dyN dzN dpN x dpN y dpN z
N
Y
= dxi dyi dzi dpix dpiy dpiz (3.3)
i=1
YN
= dΓi
i=1
28 Ruang Fasa
E = E1 + E2 + ... + EN
N
X
= Ei
i=1 (3.4)
N
X 1
p2ix + p2iy + p2iz
=
2m
i=1
X 2 + Y 2 + Z 2 = R2 (3.6)
√
Gambar 3.2: Bola pada ruang momentum. Jari-jari bola adalah 2mE.
Jika kita bagi energi assembli atas kelompok-kelompok energi maka tiap
kelompok akan diwakili oleh kulit bola dengan ketebalan √ tertentu. Mari kita
ambil
√ elemen volume pada kulit bola dengan jari-jari 2mE dan ketebalan
d( 2mE) (Gbr. 3.3). Luas kulit bola tersebut adalah
√ 2
Sp = 4π 2mE = 8πmE (3.7)
√ √ √
d 2mE = 2m d E
√ 1
= 2m × E −1/2 dE (3.8)
√ 2
2m −1/2
= E dE
2
30 Ruang Fasa
Gambar 3.3: Elemen volume dalam ruang momentum berupa kulit bola.
Volume ruang fasa yang ditempati oleh sistem yang berada pada kulit
bola momentum serta dalam elemen volume spasial dVs = dxdydz adalah
Volume ruang fasa yang ditempati oleh sistem pada semua ruang spasial,
tetapi tetap berada dalam kulit bola momentum diperoleh dengan mengin-
3.6 Menentukan ns 31
3.6 Menentukan ns
Setelah mengetahui bentuk gs dalam fungsi kontinu yaitu yang tertuang
dalam persamaan (3.13), selanjutnya kita akan menentukan ns dalam ben-
tuk kontinu juga. Dalam bentuk diskrit, hubungan antara ns dan gs adalah
ns = gs exp [α + Es ]. Pada hubungan ini, n s menyatakan jumlah sistem.
Sekarang kita mendefisikan karapat sistem, yaitu jumlah sistem per satu-
an energi. Untuk kerapatan sistem kita gunakan symbol n(E). Dengan
demikian, jumlah sistem dalam kulit bola yang dibatasi oleh energi E dan
E + dE adalah n(E)dE. Dengan mengganti ns dengan n(E)dE dan gs den-
gan persamaan (3.13) kita dapatkan hubungan antara jumlah sistem dan
kerapatan keadaan dalam bentuk kontinu sebagai berikut
Soal Latihan
1. Jelaskan apa yang dimaksud ruang fasa dan mengapa ruang fasa pen-
ting dalam fisika statistik.
3.7 Elemen Ruang Fasa dalam Momentum/Laju 33
3. Berapa energi kinetik suatu sistem yang memiliki koordinat ruang fasa
antara (x, y, z, px , py , pz ) sampai (x + dx, y + dy, z + dz, px + dpx , py +
dpy , pz + dpz ).
Parameter-Parameter
Statistik
Isi Bab ini. Bab ini berisi penentuan parameter α dan β yang terdapat
dalam fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann. Parameter-parameter terse-
but telah diperkenalkan untuk mengakomodasi hukum kekekalan energi dan
jumlah partikel yang dimiliki assembli.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami bagaimana
menentukan parameter α dan β dalam fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann
dan alasan-alasan yang digunakan dalam proses penentuan parameter-para-
meter tersebut.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Pemahaman tentang isi
Bab 2 dan Bab 3 sangat penting untuk mengikuti penjelasan dalam bab ini.
Juga pemahaman tentang konsep entropi yang dipelajari di termodinami-
ka serta dasar prinsip ekipartisi energi yang dipelajari pada gas ideal juga
sangat membantu dalam memahami isi bab ini.
Gambar 4.1: Dua buah assembli terisolasi digabung setelah membuka masing-
masing satu sisinya. Pada batas dua assembli diijinkan pertukaran energi tetapi
tidak diijinkan pertukaran partikel.
Setelah dikontakkan dua assembli menjadi sebuah assembli baru yang tetap
terisolasi dari lingkungan. Misalkan pada permukaan kontak dua assem-
bli dipasang dinding sedemikian rupa sehingga tidak ada pertukaran sistem
antara dua assembli namun pertukaran energi diperbolehkan. Akibatnya,
sebelum dan sesudah dua assembli disatukan, jumlah partikel di assembli
kiri maupun assembli kanan tidak berubah. Tetapi energi yang dimiliki
masing-masing assembli awal bisa berubah (lihat Gbr. 4.1).
Karena assembli gabungan terisolasi dari lingkungan maka pertukaran
energi antar dua assembli awal tidak mengubah energi total assembli gabun-
gan. Dengan persyaratan di atas kita dapatkan beberapa konstrain berikut
ini X
N1 = n1s = konstan (4.1)
s
X
N2 = n2s = konstan (4.2)
s
X X
U = U1 + U2 = n1s E1s + n2s E2s = konstan (4.3)
s s
Apabila kita nyatakan dalam bentuk diferensial, persamaan (4.1) sampai
(4.3) berbentuk X
δN1 = δn1s = 0 (4.4)
s
X
δN2 = δn2s = 0 (4.5)
s
X X
δU = E1s δn1s + E2s δn2s = 0 (4.6)
s s
ln W = ln W1 + ln W2 (4.9)
δ ln W = δ ln W1 + δ ln W2
X ∂ ln W1 X ∂ ln W2 (4.11)
= δn1s + δn2s
s
∂n1s s
∂n2s
β = β(T ) (4.15)
dU = dQ − pdV (4.16)
Gambar 4.3: Pada kotak kecil, jarak antar tingkat energi lebar sedangkan pada
kotak besar jarak antar tingkat energi sempit.
δU = δQ (4.20)
sudah dibahas bahwa δQ bisa diubah menjadi diferensial sejati jika dibagi
dengan suhu. Jadi, walaupun δQ bukan diferensial sejati tetapi δQ/T meru-
pakan diferensial sejati. Di termodinamika dibahas bahwa δQ/T merupakan
sebuah besaran termodinamika yang bernama entropi. Dengan demikian,
agar ruas kanan persamaan (4.22) menjadi diferensial sejati maka haruslah
β ∝ 1/T . Dan karena kita menunjukkan bahwa β berharga negatif, maka
bentuk umum β sebagai fungsi suhu manjadi
1
β=− (4.23)
kT
dengan k sebuah konstanta. Nanti akan kita buktikan bahwa k tidak lain
daripada konstanta Boltzmann.
3
Ē = kT (4.24)
2
R∞
En(E)dE
0
E=
R∞
n(E)dE
0
R∞
E × 2πV B(2m)3/2 eα+βE E 1/2 dE
0
=
R∞
2πV B(2m)3/2 eα+βE E 1/2 dE
0
(4.25)
R∞
2πV B(2m)3/2 eα eβE E 3/2 dE
0
=
R∞
2πV B(2m)3/2 eα βE E 1/2 dE
0
R∞
eβE E 3/2 dE
0
=
R∞
βE E 1/2 dE
0
Mari kita selesaikan integral pada pada persamaan (4.25) dengan meli-
hat pembilang terlebih dahulu. Untuk menyelesaikan integral tersebut kita
misalkan
eβE dE = dx (4.26a)
3/2
E =y (4.26b)
1 βE
x= e
β
3
dy = E 1/2 dE
2
R R
Selanjutnya kita gunakan aturan rantai untuk integral ydx = xy − xdy.
Dengan aturan ini maka kita dapat menulis bagian pembilang persamaan
44 Parameter-Parameter Statistik
(4.25) sebagai
Z∞ ∞ Z∞
βE 3/2 1 βE 3/2 1 βE 3 1/2
e E dE = e E − e E dE
β 0 β 2
0 0
(4.27)
Z∞
1 β×∞ 3/2 1 β×0 3/2 3
= e ∞ − e 0 − E 1/2 eβE dE
β β 2β
0
Karena β negatif maka eβ×∞ → 0 dan menuju nol lebih cepat daripada
membesarnya ∞3/2 sehingga perkalian eβ×∞ ∞3/2 → 0. Dengan sifat ini
maka suku pertama di sisi kanan persamaan (4.27) yaitu yang berada di
dalam kurung siku nilainya nol dan integral pembilang di persamaan (4.25)
menjadi
Z∞ Z∞
βE 3/2 3
e E dE = − E 1/2 eβE dE (4.28)
2β
0 0
Karena energi rata-rata ini harus sama dengan 3kT /2 maka −3/2β = 3kT /2
sehingga diperoleh ungkapan untuk β
1
β=−
kT
yang persis sama dengan persamaan (4.23). Hasil ini pun membuktikan
bahwa konstanta k benar-benar merupakan konstanta Boltzmann karena
berasal dari ungkapan energi rata-rata sistem.
Z∞
N =e α
2πV B(2m)3/2 eβE E 1/2 dE
0
(4.30)
Z∞
= 2πV B(2m)3/2 eα eβE E 1/2 dE
0
y
E=− (4.31a)
β
1
dE = − dy (4.31b)
β
dan
1 3/2
3
= − Γ
β 2
di mana Γ(x) adalah fungsi gamma. Dapat dibuktikan secara analitik (walaupun
√
agak panjang) dan juga sudah ditabelkan bahwa Γ (3/2) = π/2 sehingga
Z∞ √
1 3/2 π
βE 1/2
e E dE = − (4.32)
β 2
0
pati satu sistem adalah N/V . Jika dianggap satu sistem menempati ruang
berbentuk kubus dengan panjang sisi l maka volume kubus adalah l3 dan
memenuhi l3 = V /N . Jika sistem menempati pusat kubus, maka jarak rata-
rata antar sistem sama dengan panjang sisi kubus, yaitu l.
Energi rata-rata sistem dalam ruang tiga dimensi adalah 3kT /2. Energi
ini berasal dari energi kinetik sistem tersebut. Jadi
Energi kinetik rata-rata = p̄2 /2m = 3kT /2
atau √
p̄ = 3mkT (4.36)
Panjang gelombang de Broglie rata-rata yang dimiliki sistem adalah
h
λ̄ =
p̄
(4.37)
h
=√
3mkT
Dengan demikian, parameter α memenuhi
N/V
eα = 3/2
Bh3 (2π/3)3/2 (3mkT
h3
)
1/`3
= (4.38)
Bh3 (2π/3)3/2 λ̄13
3
1 λ̄
= 3/2
Bh3 (2π/3) `
Soal Latihan
1. Buktikan
√ bahwa panjang gelombang termal de Broglie memenuhi λ =
h/ 3mkT .
4.5 Makna Parameter α 49
Statistik Bose-Einstein
Isi Bab ini. Bab ini berisi perumusan statistik Bose-Einstein untuk assem-
bli boson, yaitu partikel kuantum dengan spin merupakan kelipatan bulat
dari ~ = h/2π. Contoh partikel boson adalah foton, fonon, dan atom helium.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami bagaimana
proses membangun statistik Bose-Einstein dengan menggunakan prinsip statis-
tik murni yang digabungkan dengan prinsip kekekalan dalam fisika seperti
kekekalan energi dan jumlah partikel.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami penu-
runan fungsi distribusi Bose-Einsten mahasiswa perlu memahami prinsip
permutasi untuk benda-benda yang tidak dapat dibedakan, sifat yang ditun-
jukkan oleh sebuah besaran yang nilainya kekal (konstan), serta bagaimana
mencari nilai maksimum dari sebuah fungsi. Pemahaman tentang penu-
runan distribusi Maxwell-Boltzmann juga merupakan modal berharga untuk
memahami penurunan distribusi Bose-Einstein secara lebih mudah.
Penyusunan partikel yang kita bahas pada bab sebelumya berlaku untuk par-
tikel dapat dibedakan. Partikel semacam ini dikenal dengan partikel klasik.
Contoh partikel klasik adalah atom dan molekul gas. Dapat dibedakan di
sini bukan berarti kita dapat melihat dengan mata telanjang bahwa jika
ada dua partikel maka kita dapat membedakan mana partikel A dan mana
partikel B. Dengan mata telanjang atau bahkan dengan mikroskop pun ki-
52 Statistik Bose-Einstein
..
.
..
.
Kita akan menentukan berapa cara penyusunan yang dapat dilakukan jika:
..
.
..
.
Gambar 5.1: Penyusunan orang dan kursi analog dengan penyusunan boson dalam
tingkat-tingkat energi. Untuk merepresentasikan sistem boson, bagian paling bawah
harus selalu kursi.
5.2 Konfigurasi Boson 55
(g1 + n1 − 1)!
(5.1)
n1 !g1 !
Terakhir hingga kelompok energi ke-M , jumlah cara penyusunan yang berbe-
da untuk nM sistem dalam gM keadaan adalah
(gM + nM − 1)!
(5.3)
nM !gM !
gM keadaan adalah
M
(g1 + n1 − 1)! (g2 + n2 − 1)! (gM + nM − 1)! Y (gs + ns − 1)!
× ×...× =
n1 !g1 ! n2 !g2 ! nM !gM ! ns !gs !
s=1
(5.4)
Kita harus juga memperhitungkan jumlah cara membawa N sistem dari
luar untuk didistribusikan ke dalam tingkat-tingkat energi di atas. Jumlah
cara pengambilan N sistem adalah N ! cara. Karena sistem tidak dapat
dibedakan maka jumlah tersebut harus dibagi dengan N !, sehingga jumlah
total cara membawa N sistem ke dalam tingkat-tingkat energi di dalam
assembli adalah N !/N ! = 1. Akhirnya, kita dapatkan jumlah penyusunan
sistem-sistem dalam assembli boson adalah
M
Y (gs + ns − 1)!
W = (5.5)
ns !gs !
s=1
M
P
Jumlah total sistem serta energi total assembli memenuhi N = ns
s=1
M
P
dan U = ns Es . Untuk assembli yang terisolasi sehingga tidak ada per-
s=1
tukaran sistem maupun energi antara assembli dan lingkungan. Jumlah sis-
tem maupun energi assembli konstanta. Pembatasan ini dapat dinyatakan
dalam bentuk diferensial berikut ini
M
X
δN = δns = 0 (5.8)
s=1
M
X
δU = Es δns = 0 (5.9)
s=1
Mari kita hitung suku per suku yang terkandung dalam persamaan (5.11).
i)
δ(gs + ns − 1) ln(gs + ns − 1)
∂
= (gs + ns − 1) ln(gs + ns − 1) δns
∂ns
= ln(gs + ns − 1) + (gs + ns − 1)×
1
δns
(gs + ns − 1)
= [ln(gs + ns − 1) + 1] δns
58 Statistik Bose-Einstein
ii)
∂
δ(gs + ns − 1) = (gs + ns − 1) δns = δns
∂ns
iii)
∂
δgs ln gs = gs ln gs δns = 0
∂ns
iv)
∂
δns ln ns = ns ln ns δns
∂ns
1
= ln ns + ns × δns
ns
= [ln ns + 1] δns
atau
M
X gs + ns
ln + α + βEs δns = 0 (5.14)
ns
s=1
Kesamaan di atas harus berlaku untuk semua variasi δns . Ini dijamin jika
bagian di dalam kurung selalu nol, yaitu
gs + ns
ln + α + βEs = 0
ns
atau
gs + ns
= exp (−α − βEs )
ns
gs + ns = ns exp (−α − βEs )
gs = ns [exp (−α − βEs ) − 1]
Gambar 5.2: Foton dapat diserap oleh atom-atom pada dinding dan sebaliknya
atom-atom pada dinding dapat memproduksi foton. Dengan demikian jumlah foton
(sistem) dalam assembli tidak tetap.
Soal Latihan
1. Tentukan semua konfigurasi penyusunan yang mungkin untuk tiga bo-
son pada tiga tingkat energi E1 , E2 , dan E3 , serta energi yang berkai-
tan dengan masing-masing konfigurasi tersebut.
5.4 Parameter α untuk Photon dan Phonon 61
2. Berapa batas jumlah sistem boson yang dapat menempati suatu keadaan?
Statistik Fermi-Dirac
Isi Bab ini. Bab ini berisi perumusan statistik Fermi-Dirac untuk assembli
fermion, yaitu partikel kuantum dengan spin merupakan kelipatan ganjil dari
~. Partikel ini memiliki satu sifat khas, yaitu memenuhi prinsip eksklusi
Pauli. Bersadarkan prinsip ini maka tidak ada fermion yang boleh memi-
liki sekumpulan bilangan kuantum yang sama. Satu keadaan energi hanya
boleh ditempati maksimum oleh dua fermion dengan syarat arah spin harus
berlawanan. Contoh partikel fermion adalah elektron, proton, dan positron.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami bagaimana
proses membangun statistik Fermi-Dirac dengan menggunakan prinsip statis-
tik murni yang digabungkan dengan prinsip kekekalan dalam fisika seperti
kekekalan energi dan jumlah partikel.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami penu-
runan fungsi distribusi Fermi-Dirac mahasiswa perlu memahami prinsip per-
mutasi untuk benda-benda yang tidak dapat dibedakan, sifat yang ditun-
jukkan oleh sebuah besaran yang nilainya kekal (konstan), serta bagaimana
mencari nilai maksimum dari sebuah fungsi. Pemahaman tentang penu-
runan distribusi Maxwell-Boltzmann serta Bose-Einstein juga merupakan
modal berharga untuk memahami penurunan distribusi Fermi-Dirac secara
lebih mudah.
64 Statistik Fermi-Dirac
..
.
..
.
..
.
..
.
Karena satu keadaan maksimum menampung satu sistem maka harus ter-
penuhi n1 ≤ g1 , n2 ≤ g2 , . . . , ns ≤ gs , . . . , nM ≤ gM
Selanjutnya kita akan menentukan berapa cara menyusun n1 sistem pa-
da g1 keadaan, g2 sistem pada g2 keadaan, . . . , nm sistem pada gm keadaan.
Tinjau kelompok-1. Di sini ada g1 keadaan dan menampung n1 sistem. Kem-
bali kita menganalogikan keadaan sebagai kursi dan sistem sebagai orang
yang duduk pada kursi-kursi tersebut, seperti diilustrasikan pada Gbr. 6.1.
Untuk menentukan jumlah cara menempatkan orang pada kursi-kursi
tersebut, kita tempelkan orang pada kursi-kursi tesebut. Pada satu kursi
hanya boleh ditempeli satu orang. Penempelan ini menjamin bahwa tidak
boleh lebih dari satu orang berada pada satu kursi. Akibatnya kita dapatkan
Kemudian kita melakukan permutasi semua kursi yang ada baik yang
kosong maupun yang ditempeli orang. Karena orang sudah menempel pa-
da kursi maka permutasi tidak memungkinkan munculnya satu kursi yang
menampung lebih dari satu orang. Jumlah kursi yang dipermutasi adalah
g1 kursi sehingga menghasilkan jumlah permutasi sebanyak g1 ! cara. Tetapi,
karena (g1 − n1 ) buah kursi kosong tidak terbedakan dan n1 buah kursi yang
ditempeli orang juga tidak dapat dibedakan maka jumah permutasi g1 buah
kursi harus dibagi dengan permutasi (g1 −n1 ) buah kursi kosong dan n1 buah
kursi yang ditempeli orang untuk mendapatkan penyusunan yang berbeda.
Jadi, jumlah penyusunan yang berbeda hanyalah
g1 !
(6.1)
(g1 − n1 )!n1 !
Dengan cara yang sama kita dapatkan jumlah cara penyusunan n2 sistem
pada g2 keadaan adalah
g2 !
(6.2)
(g2 − n2 )!n2 !
Begitu seterusnya. Akhirnya, jumlah total cara penyusunan secara bersama-
sama n1 sistem pada g1 keadaan, n2 sistem pada g2 keadaan, . . . , nm sistem
66 Statistik Fermi-Dirac
Gambar 6.1: Contoh penyusunan fermion analog dengan penyusunan kursi. Seba-
gian kursi ditempeli orang (keadaan yang diisi fermion) dan sebagian kursi kosong
(keadaan yang tidak ditempati fermion).
M
Y gs !
W =
(gs − ns )!ns !
s=1
M
X gs !
ln W = ln (6.4)
(gs − ns )!ns !
s=1
Jumlah total sistem dalam assembli dan energi total assembli masing-masing
PM M
P
adalah N = ns dan U = Es ns . Untuk sistem terisolasi di mana tidak
s=1 s=1
terjadi pertukaran partikel maupun energi antara assembli dan lingkungan
maka jumlah partikel selalu konstan dan energi total juga konstan. Dengan
demikian bentuk diferensial dari N dan U adalah
M
X
δN = δns = 0 (6.5)
s=1
M
X
δU = Es δns = 0 (6.6)
s=1
Mari kita hitung satu per satu suku dalam persamaan (6.8)
i)
∂
δ [gs ln gs ] = [gs ln gs ] δns = 0
∂ns
ii)
∂
δ [(gs − ns ) ln(gs − ns )] = [(gs − ns ) ln(gs − ns )] δns
∂ns
1
= − ln(gs − ns ) + (gs − ns ) × ×
(gs − ns )
(−1) δns
= − [ln(gs − ns ) + 1] δns
iii)
∂ 1
δ [ns ln ns ] = [ns ln ns ] δns = ln ns + ns × × 1 δns = [ln ns + 1] δns
∂ns ns
6.2 Konfigurasi Peluang Maksimum 69
Dari hasil di atas maka bentuk δ ln W dapat ditulis dalam bentuk lebih
sederhana sebagai berikut
M
X
δ ln W = 0 + [ln(gs − ns ) + 1] δns − [ln ns + 1] δns
s=1
XM
= [ln(gs − ns ) − ln ns ] δns (6.9)
s=1
M
X gs − ns
= ln δns
ns
s=1
Agar persamaan (6.10) selalu nol untuk variasi δns yang sembarang maka
harus terpenuhi
gs − ns
ln + α + βEs = 0
ns
gs − ns
= exp (−α − βEs )
ns
yang memberikan ungkapan untuk ns sebagai
gs
ns = (6.11)
exp (−α − βEs ) + 1
Berlaku juga pada fungsi distribusi fermion bahwa parameter β memenuhi
β = −1/kT . Dengan parameter ini maka kita dapat menulis persamaan
(6.11) secara lebih eksplisit sebagai
gs
ns = (6.12)
exp (−α + Es /kT ) + 1
Soal Latihan
1. Tentukan semua konfigurasi penyusunan yang mungkin untuk tiga
fermion pada empat tingkat energi E1 , E2 , E3 , dan E4 , serta ener-
gi yang berkaitan dengan masing-masing konfigurasi tersebut.
Isi Bab ini. Bab ini berisi diskusi tentang kerapatan keadaan sistem kuan-
tum, yang meliputi boson dan fermion. Salah satu perbedaan dengan sistem
klasik adalah terpenuhinya prinsip ketidakpastian Heisenberg pada sis-
tem kauntum. Namun akan tampak bahwa, tidak ada perbedaan signifikan
antara kerapatan keadaan sistem klasik dan sistem kuantum. Perbedaan
hanya terletak pada keberadaan elemen ruang fasa minimal yang diijinkan
bagi sistem kuantum.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami bagaimana
menurunkan kerapatan keadaan sistem kuantum dan bagaimana mendap-
atkan kerapatan keadaan tersebut dari kerapatan keadaan sistem klasik.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami bab ini
lebih baik, mahasiswa diharapkan memahami terlebih dahulu isi Bab 3.
termodinamika assembli tersebut. Dan yang paling sering kita jumpai adalah
ketika kita berpindah dari penjumlahan yang bersifat diskrit ke integral yang
bersifat kontinu.
Karena merupakan partikel kuantum maka pada boson maupun fermion
kita harus menerapkan prinsip-prinsip mekanika kuantum. Salah satu prin-
sip dasar mekanika kuantum adalah prinsip ketidak pastian Heisenberg yang
dapat ditulis sebagai
∆p ∆x ≥ h (7.1)
Misalkan kita memiliki assembli yang hanya boleh bergerak bebas dalam satu
arah. Posisi partikel dalam assembli tersebut dinyatakan dengan ko-ordinat
x. Dengan demikian, momentum partikel hanya memiliki satu komponen
saja, yaitu px . Elemen kecil ruang fasa yang dimiliki sebuah partikel dalam
assembli tersebut adalah dΓ = dxdpx . Volume ruang fasa untuk semua posisi
yang mungkin diperoleh dengan melakukan integral dΓ pada semua ruang
spasial,
Z
∆Γp = dxdpx = Ldpx (7.2)
Dalam satu dimensi, ukuran minimum ruang fasa yang diijinkan oleh
prinsip ketidakpastian Heisenberg adalah ∆Γmin = ∆x∆px ∼= h. Oleh kare-
na itu, jumlah keadaan yang terdapat dalam elemen ruang fase ∆Γp adalah
∆Γp L
dN = = dpx (7.3)
∆Γmin h
7.3 Koordinat Spasial Dua Dimensi 73
dN
g(px )dpx =
L (7.4)
1
= dpx
h
1 h
g(λ)dλ = dλ
h λ2 (7.7)
1
= 2 dλ
λ
dΓ = dxdydpx dpy . Volume ruang fasa untuk semua posisi yang mungkin
diperoleh dengan mengintegralkan dΓ pada semua variable spasial, yaitu
Z Z
∆Γp = dxdy dpx dpy = Lx Ly dpx dpy (7.8)
Dalam ruang dua dimensi, ukuran minimum ruang fasa yang diijinkan
oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg adalah ∆Γmin = ∆x∆px ∆y∆py ∼ =
2
h × h = h . Dengan demikian, jumlah keadaan yang terdapat dalam elemen
ruang fasa ∆Γp adalah
∆Γp Lx Ly
dN = = dpx dpy (7.9)
∆Γmin h2
Degan mengganti dpx dpy pada persamaan (7.9) dengan dSp pada per-
samaan (7.11) diperoleh
Lx Ly
dN = 2πpdp (7.12)
h2
Kerapatan keadaan per satuan ”volume dua dimensi (luas)”adalah
dN
g(p)dp =
Lx Ly
(7.13)
1
= 2 2πpdp
h
7.3 Koordinat Spasial Dua Dimensi 75
Gambar 7.1: Elemen ruang momentum berupa cincin dengan jari-jari p dan kete-
balan dp.
Dalam ruang tiga dimensi, ukuran minimum ruang fasa yang diijinkan oleh
prinsip ketidakpastian Heisenberg adalah ∆Γmin = ∆x∆px ∆y∆py ∆z∆pz ∼ =
h × h × h = h3 . Akibatnya, jumlah keadaan yang terdapat dalam elemen
ruang fase ∆Γp adalah
∆Γp Lx Ly Lz
dN = = dpx dpy dpz (7.18)
∆Γmin h3
Elemen ruang momentum tersebut akan berupa sebuah kulit bola dengan
jari-jari p dan ketebalan p + dp seperti diilustrasikan pada Gbr. 7.2. Luas
7.4 Koordinat Spasial Tiga Dimensi 77
Gambar 7.2: Elemen ruang momentum berupa kulit bola dengan jari-jari p dan
ketebalan dp.
kulit bola tersebut adalah Sp = 4πp2 dan ketebalannya adalah dp. Volume
kulit bola menjadi
dVp = Sp dp = 4πp2 dp (7.20)
Dengan mengganti dpx dpy dpz pada persamaan (7.18) dengan dVp pada per-
samaan (7.20) diperoleh ungkapan lain untuk jumlah keadaan
Lx Ly Lz
dN = 4πp2 dp (7.21)
h3
dN
g(p)dp =
Lx Ly Lz
(7.22)
1
= 3 4πp2 dp
h
78 Rapat Keadaan Sistem Kuantum
1 √ √ 2
r
m −1/2
g(E)dE = 3 4π 2m E E dE
h 2 (7.24)
1 √ 3/2 1/2
= 3 4π 2m E dE
h
Juga di sini kita akan menyatakan kerapatan keadaan dalam variable pan-
jang gelombang dengan menggunakan persamaan de Broglie p = h/λ. Dari
persamaan ini kita dapatkan dp = −hdλ/λ2 . Substitusi p dan dp ke dalam
persamaan (7.22) dan hilangkan tanda negatif maka
2
1 h hdλ
g(λ)dλ = 2 4π
h λ λ2 (7.25)
4π
= 4 dλ
λ
Bergantung pada masalah yang kita hadapi, kita bisa memilih fungsi ker-
apatan keadaan yang mana saja. Pilihan kita bergantung pada kemudahan
dalam mencari solusi.
Soal Latihan
1. Buktikan bahwa volum terkecil ruang fasa enam dimensi yang dapat
menampung suatu keadaan adalah h3 .
3. Buktikan bahwa jumlah foton dalam ruang dengan volum V pada suhu
T adalah
Z∞
1 dλ
N = 8πV (7.27)
λ4 exp[−α + hc/λkT ] − 1
0
80 Rapat Keadaan Sistem Kuantum
Bab 8
Isi Bab ini. Bab ini berisi diskusi tentang beberapa aplikasi distribusi
Maxwell-Boltzmann untuk menentukan beberapa besaran yang dimiliki gas.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami beber-
apa besaran-besaran gas yang diturunkan dari fungsi distribusi Maxwell-
Boltzmann.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami lebih
baik tentang bab ini, mahasiswa diharapkan memahami terlebih dahulu Bab
2, Bab 3, dan Bab 4.
Pertama kita akan tentukan laju gas yang memiliki peluang maksimum.
Fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann memprediksi bahwa pada suhu ter-
tentu laju partikel gas tidak seragam. Laju partikel gas bervariasi dari nol
sampai tak berhingga. Tetapi ada laju yang memiliki peluang kemuncu-
lan paling besar. Laju tersebut berkaitan dengan lokasi puncak distribusi
Maxwell-Boltzmann bila dinyatakan dalam variabel laju.
Gambar 8.1 adalah kurva kerapatan partikel gas sebagai fungsi laju pada
berbagai suhu. Apa informasi yang tercermin dari kurva tersebut. Tampak
bahwa makin rendah suhu maka kurva makin tinggi, makin sempit, dan pun-
caknya bergeser ke arah laju kecil. Luas daerah di bawah kurva (integral
dari n(v)) menyatakan jumlah sistem dalam assembli. Karena jumlah sistem
dalam assembli konstan maka luas daerah di bawah kurva pun harus kon-
82 Beberapa Besaran Gas
stan, berapa pun suhu assembli. Ini mengharuskan bahwa kurva yang lebih
tinggi harus lebih sempit. Puncak kurva bergeser ke kiri ketika suhu ren-
dah bermakna bahwa makin rendah suhu maka makin banyak sistem yang
memiliki laju lebih kecil.
Gambar 8.1: Kerapatan partikel gas sebagai fungsi laju pada berbagai suhu.
dn(v)
=0 (8.1)
dv
4πN m3/2
dn(v) −mv 2 /2kT 2 d −mv 2 /2kT
= 2ve +v e
dv (2πkT )3/2 dv
4πN m3/2
−mv 2 /2kT 2 2mv −mv 2 /2kT
= 2ve +v − e (8.3)
(2πkT )3/2 2kT
4πN m3/2 −mv2 /2kT mv 3
= e 2v −
(2πkT )3/2 kT
3
mvm
2vm − =0
kT
r
2kT
vm = (8.4)
m
Makin tinggi suhu maka makin banyak sistem yang memiliki laju be-
sar sehingga kurva distribusi bergerak ke arah laju yang besar (ke kanan).
Sebaliknya, makin besar massa sistem maka makin sulit sistem tersebut un-
tuk bergerak. Dengan demikian, pada suhu yang sama puncak distribusi
bergeser ke laju rendah (ke kiri) jika massa sistem makin besar.
84 Beberapa Besaran Gas
Z∞ r
2kT 1 2kT −1/2
xe−x × x dx
m 2 m
0
Z∞
1 2kT 3/2
= x1/2 e−x dx
2 m
0
1 2kT 2
2 m
v= √
π 2kT 3/2
4 m
r
2 2kT (8.6)
=√
π m
r
8kT
=
πm
Laju root mean square atau disingkat rms adalah laju yang diperoleh dari
perata-rataan v 2 . Laju rms akan menentukan energi kinetik rata-rata atom
86 Beberapa Besaran Gas
Dengan melakukan substitusi serupa dengan yang kita lakukan pada sub
bab 8.2 dalam mencari laju rata-rata, integral pada pembilang dapat diganti
dengan
Z∞ 2 r
2kT 1 2kT −1/2
x2 e−x × x dx
m 2 m
0
Z∞
1 2kT 5/2
= x3/2 e−x dx
2 m
0
4 m
8.4 Distribusi Partikel dalam Besaran Lain 87
Laju rms menentukan energi kinetik rara-rata molekul. Hal ini dapat
kita perlihatkan sebagai berikut. Energi kinetik molekul yang memiliki laju
v memenuhi K = mv 2 /2. Energi kinetik rata-rata adalah
1 1 2kT 3
K = mv 2 = m × = kT (8.10)
2 2 m 2
Antara x sampai x + dx
Antara y sampai y + dy
Antara z sampai z + dz
volume elemen ruang fasa tersebut adalah dΓ = dxdydzdpx dpy dpz . Dan
karena px = mvx , py = mvy , dan pz = mvz maka kita dapat menulis
Jika B adalah kerapatan keadaan maka kita dapat mengganti gs dalam ben-
tuk kontinu sebagai berikut
n(vx , vy , vz )dvx dvy dvz = Bm3 V dvx dvy dvz × eα+βE (8.14)
1 1
E = mv 2 = m vx2 + vy2 + vz2
2 2
1
β=−
kT
N
eα =
BV (2πmkT )3/2
8.4 Distribusi Partikel dalam Besaran Lain 89
+∞ 2
e−mvy /2kT dvy . Kita transformasi
R
Kita tinjau integral berikut ini
vy =−∞
variabel sebagai berikut
mvy2
= η2
2kT
2kT 1/2
vy = η
m
2kT 1/2
dvy = dη
m
90 Beberapa Besaran Gas
Dengan transformasi tersebut maka integral yang ingin kita cari dapat di-
tulis
+∞ 1/2 +∞
1/2 Z 1/2
√
Z
−η 2 2kT 2kT −η 2 2kT
e dη = e dη = × π
m m m
η=−∞ η=−∞
1/2
2πkT
=
m
Dengan cara persis sama kita akan dapatkan
+∞
Z 1/2
−mvz2 /2kT 2πkT
e dvz =
m
vy =−∞
Akhirnya
m 3/2 2πkT 1/2 2πkT 1/2 2
n(vx )dvx = N e−mvx /2kT dvx
2πkT m m (8.17)
m 1/2 2
=N e−mvx /2kT dvx
2πkT
Persamaan (8.16) menyatakan kerapatan partikel yang memiliki komponen
kecepatan arah sumbu x antara vx sampai vx + dvx .
Dengan cara yang persis sama kita pun akan mendapatkan persamaan
berikut ini m 1/2 2
n(vy )dvy = N e−mvy /2kT dvy (8.18)
2πkT
m 1/2 2
n(vz )dvz = N e−mvz /2kT dvz (8.19)
2πkT
Soal
1. Laju rata-rata sistem gas tidak nol dan nilainya bergantung pada suhu
dan massa sistem. Namun kecepatan rata-rata selalu nol, berapa pun
suhu gas. Buktikan.
Aplikasi Statistik
Maxwell-Boltzmann
Isi Bab ini. Bab ini berisi contoh aplikasi statistik Maxwell-Boltzmann
pada sejumlah assembli sederhana yang mengandung partikel klasik dan be-
berapa perbandingan ramalan menggunakan statistik ini dengan data penga-
matan.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami bebera-
pa aplikasi statistik Maxwell-Boltzmann pada sejumlah assembli klasik dan
perbandingan hasil ramalan tersebut dengan data pengamatan.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami aplikasi
statistik Maxwell-Boltzmann mahasiswa perlu memahami prinsip dasar sta-
tistik Maxwell-Boltzmann, kerapatan keadaan klasik dan beberapa teknik
integral.
tromagnetik. Salah satu pesan dari efek ini adalah jika sumber gelombang
mendekati pengamat maka panjang gelombang yang diukur oleh pengamat
lebih kecil daripada apabila sumber diam terhadap pengamat. Sebaliknya,
jika sumber gelombang menjauhi pengamat maka panjang gelombang yang
diukur pengamat lebih besar daripada apabila sumber diam terhadap penga-
mat. Peristiwa ini dapat dilustrasikan pada Gbr. 9.1.
Gambar 9.1: Jika sumber mendekati pengamat maka panjang gelombang yang
diukur pengamat lebih pendek daripada yang dikeluarkan sumber. Sebaliknya, jika
sumber menjauhi pengamat maka panjang gelombang yang diukur pengamat lebih
panjang daripada yang dikeluarkan sumber.
Mari kita perhatikan sebuah atom yang memiliki dua tingkat energi (Gbr.
9.2). Atom tersebut memancarkan spektrum gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang tertentu, sebut saja λ0 , akibat transisi elektron
antar tingkat energi atom tersebut. Jika atom dalam keadaan diam maka
panjang gelombang yang kita ukur adalah λ0 , persis sama dengan panjang
gelombang yang dipancarkan atom. Tetapi jika atom mendekati pengamat
dengan laju vx maka panjang gelombang yang diukur pengamat adalah λ =
λo (1 − vx /c). Dan sebaliknya, jika atom menjauhi pengamat dengan laju vx
maka panjang gelombang yang diukur pengamat adalah λ = λo (1 + vx /c).
Sebagai ilustrasi, lihat Gbr. 9.3.
Jika ada sejumlah atom yang diam maka gelombang yang diukur penga-
mat merupakan jumlah gelombang yang dipancarkan oleh semua atom. Pan-
jang gelombang yang diterima dari semua atom sama, yaitu λ0 . Yang dide-
teksi oleh pengamat hanyalah gelombang dengan panjang λ0 tetapi memiliki
intensitas tinggi. Akan tetapi jika atom yang memancarkan gelombang berg-
erak secara acak maka komponen kecepatan ke arah pengamat, yaitu vx juga
acak. Akibatnya panjang gelombang yang diukur pengamat yang berasal
dari satu atom berbeda dengan yang diukur dari atom lainnya. Pengamat
akan mengukur gelombang yang memiliki panjang yang bervariasi dalam
jangkauan tertentu. Ini berakibat pada pelebaran garis spektrum yang dia-
mati.
Selanjutnya kita akan menentukan distribusi intensitas spektrum pa-
da berbagai panjang gelombang. Kecepatan atom gas pemancar spektrum
memenuhi fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann karena merupakan partikel
96 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
klasik. Jumlah atom gas yang memiliki komponen kecepatan antara vx sam-
pai vx + dvx adalah
mvx2
h m i1/2
n(vx )dvx = exp − dvx (9.2)
2πkT 2kT
mvx2
h m i1/2
I(λ)dλ ∝ exp − dvx (9.3)
2πkT 2kT
9.2 Atom Magnetik dalam Medan Magnet 97
" #
h m i1/2 c mc2 λo − λ 2
∝ − exp − dλ
2πkT λo 2kT λo
Gambar 9.4: Plot intensitas sebagai fungsi panjang gelombang ketika terjadi pele-
baran spektrum akibat efek Doppler.
Gambar 9.5: Pelebaran spektrum emisi yang diakibatkan gerak termal par-tikel-
partikel gas pemancar.
9.2 Atom Magnetik dalam Medan Magnet 99
i) Tidak ada interaksi antar atom. Interaksi hanya terjadi antara atom
dengan medan magnet luar yang diberikan. Ini adalah penyederhanaan
yang cukup drastis karena sebenarnya antara momen magnetik ada
interaksi.
ii) Momen magnetik atom hanya bisa mengambil salah satu dari dua arah
orientasi, yaitu searah medan magnet atau berlawanan arah medan
magnet. Ilustrasi dari asumsi tersebut tampak pada Gbr. 9.6.
Gambar 9.6: Dalam medan magnet, momen magnetik atom hanya dapat mengam-
bil salah satu dari dua arah orientasi: searah atau berlawanan arah medan magnet.
P↑ = K n(U↑ ) (9.9a)
P↓ = K n(U↓ ) (9.9b)
n(U↑ )
P↑ = (9.11a)
n(U↑ ) + n(U↓ )
n(U↓ )
P↓ = (9.11b)
n(U↑ ) + n(U↓ )
=µ h i h i
exp µBkT + exp − µB
kT
µB µB
exp[ kT ]−exp[− kT ] (9.14)
2
=µ
exp[ µB
kT ]
+exp[− µB
kT ]
2
h i
sinh µB kT
=µ h i
µB
cosh kT
µB
= µ tanh
kT
Gambar 9.7 adalah plot µ sebagai fungsi suhu. Tampak bahwa jika
T → 0 maka µ → µ. Artinya bahwa pada suhu tersebut momen mag-
netik rata-rata mengambil arah yang sama. Ini terjadi karena pada suhu
yang mendekati nol, getaran termal atom-atom menjadi sangat kecil. In-
teraksi dengan medan magnet luar dapat memaksa atom-atom mengambil
arah orientasi yang sama.
Sebaliknya, pada suhu T → ∞ maka µ → 0 . Ini akibat getaran atom-
atom yang sangat intensif sehingga medan magnet luar yang diberikan tidak
sanggup mengarahkan momen-momen magnet. Energi termal elektron jauh
melampaui energi interkasi dengan medan magnet. Arah momen magnet
atom-atom menjadi acak. Akibatnya, jumlah momen magnet yang searah
medan menjadi sama dengan yang berlawanan arah medan. Juga tampak
bahwa untuk suhu yang sama, µ makin besar jika medan makin besar. Ini
disebabkan penggunan medan yang besar akan memberikan paksaan yang
lebih besar kepada atom-atom untuk menyearahkan momen magnetiknya.
Gambar 9.8 adalah penyearahan momen magnetik pada suhu T = 0 dan
T → ∞.
102 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
Fenomena yang mirip dengan atom magnetik dijumpai pula pada assembli
momen dipol listrik. Misalkan kita memiliki sejumlah atom atau molekul
sejenis yang masing-masing memiliki momen dipol p~. Di dalam assembli
tersebut kita berikan medan listrik E. Kita ingin mencari berapa momen
dipol rata-rata yang dimiliki atom/molekul. Untuk kemudahan kita juga
mengasumsikan beberapa sifat berikut ini:
i) Tidak ada interaksi antara sesama dipol. Interaksi hanya terjadi antra
dipol dengan medan listrik luar.
ii) Tiap dipol hanya boleh mengambil salah satu dari dua arah orinetasi,
yaitu searah medan listrik dan berlawanan arah dengan arah medan
listrik.
U = −~ ~
p•E
(9.15)
= −pE cos θ
9.3 Dipol Listrik 103
Gambar 9.8: Arah orientasi momen magnetik sistem pada suhu T = 0 dan T → ∞.
dengan θ adalah sudut antara momen dipol dengan medan listrik. Jika dipol
searah medan maka energi interaksinya adalah
U↑ = −pE (9.16a)
U↓ = pE (9.16b)
Tampak bahwa bentuk ungkapan energi ini sama persis dengan yang
kita jumpai pada atom magnetik yang telah kita bahas di sub Bab 9.1.
Dengan demikian, pencarian momen dipol total persis sama dengan saat kita
mencari momen magnetik total, hanya dengan mengganti variable-variabel
yang ekivalen sebagai berikut
p↔µ
E↔B
ii) Untuk momen yang tegak lurus medan, energi interaksinya adalah
U→ = −µB cos(π/2) = 0
e−U→ /kT 1
P→ = = µB/kT
e−U↑ /kT −U
+e → /kT −U
+e ↓ /kT e + 1 + e−µB/kT
(9.18b)
Gambar 9.9: Momen magnetik rata-rata sebagai fungsi suhu untuk assembli mo-
men magnetik yang memiliki tiga kemungkinan arah orientasi.
µ = +µ × P↑ + 0 × P→ − µ × P↓
eµB/kT e−µB/kT
=µ − µ
eµB/kT + 1 + e−µB/kT eµB/kT + 1 + e−µB/kT
eµB/kT − e−µB/kT
= µ µB/kT
e + 1 + e−µB/kT
eµB/kT −e−µB/kT (9.19)
2
=µ
1 eµB/kT +e−µB/kT
2 + 2
µB
sinh kT
=µ
1 µB
2 + cosh kT
Gambar 9.9 adalah kurva momen magnetik rata-rata sebagai fungsi suhu
berdasarkan persamaan (9.19).
106 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
Gambar 9.10: Menentukan rapat keadaan yang dibatasi oleh sudut antara θ sam-
pai θ + dθ.
sedangkan irisan sendiri hanya mencakup sudut sebesar dθ. Dengan menggu-
nakan perbandingan sudut maka kita dapat menghitung tebal irisan sebagai
berikut
dθ
ds = × 2πR = Rdθ (9.21)
2π
Akhirnya kita dapatkan luas irisan adalah
dS = Kds
= (2πR sin θ)Rdθ (9.22)
= 2πR2 sin θdθ
atau
P (θ)dθ = Ce−U (θ)/kT g(θ)dθ (9.24)
dengan C adalah faktor penormalisasi. Karena probabilitas mendapatkan
atom pada semua orientasi adalah 1 maka
Zπ
P (θ)dθ = 1
0
atau
Zπ
Ce−U (θ)/kT g(θ)dθ = 1
0
yang akhirnya memberikan ungkapan untuk faktor penormalisasi
1
C= (9.25)
Rπ
e−U (θ)/kT g(θ)dθ
0
108 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
dengan α = µB/kT .
9.5 Momen Magnetik Orientasi Sembarang 109
Gambar 9.11: Momen magnetik rata-rata sebagai fungsi suhu untuk assembli
momen magnetik yang memiliki sembarang arah orientasi.
Gambar 9.11 adalah plot momen magnetik rata-rata seperti yang diungkap-
kan oleh persamaan (9.31).
1
C= ∞ (9.34)
e−En /kT
P
n=0
e−En /kT
Pn = N
(9.35)
e−En /kT
P
n=0
9.6 Vibrasi Kisi dalam Kristal 111
Untuk mencari bentuk penjumlahan di atas mari kita ganti −1/kT dengan
β. Penggantian tersebut menyebabkan kita dapat menulis persamaan (9.36)
sebagai
N
En eβEn
P
n=0
ε= N (9.37)
P βE
e n
n=0
1 dZ
E=
Z dβ
(9.40)
d
= ln Z
dβ
but.
∞
X
Z= eβEn
n=0
X∞
= eβ(n+1/2)~ω (9.41)
n=0
∞
X
β~ω/2
=e enβ~ω
n=0
Kalian ingat jumlah suatu deret geometri berikut ini bukan? Jika |x| < 1
maka berlaku
∞
X 1
1 + x + x2 + x3 + · · · = xn = (9.42)
1−x
n=0
Dengan membandingkan persamaan (9.41) dan persamaan (9.42) kita identi-
fikasi bahwa x pada persamaan (9.42) ekivalen dengan eβ~ω pada persamaan
(9.41). Dengan demikian kita dapat menulis
β~ω/2 1
Z=e (9.43)
1 − eβ~ω
Selanjutnya kita dapat memperoleh persamaan-persamaan berikut ini,
β~ω
ln Z = − ln 1 − eβ~ω
2
d ~ω 1
β~ω
ln Z = − × −~ωe
dβ 2 (1 − eβ~ω )
~ω ~ωeβ~ω
= +
2 1 − eβ~ω
Dengan demikian, energi rata-rata osilator menjadi
d
E= ln Z
dβ
~ω ~ωeβ~ω
= +
2 1 − eβ~ω (9.44)
~ω ~ω
= + −β~ω
2 e −1
~ω ~ω
= + ~ω/kT
2 e −1
Tampak dari persamaan (9.44), jika T → 0 maka e~ω/kT → ∞. Dengan sifat
ini maka E → ~ω/2. Energi E = ~ω/2 disebut energi titik nol.
9.7 Hopping 113
9.7 Hopping
Sekarang kita akan tinjau konduktivitas suatu material ionik. Ion-ion dalam
material semacam ini menempati posisi yang tetap. Ion-ion tersebut tidak
dapat bergerak bebas seperti pada atom zat cair atau gas. Tetapi, keti-
ka material tersebut ditempatkan di antara dua elektroda dan diberi beda
potensial maka ada arus yang mengalir dalam material. Bagaimana menje-
laskan fenomena ini? Mari kita bahas.
Karena ion-ion berada pada lokasi yang tetap dan sulit bergerak maka
kita dapat menganggap bahwa masing-masing ion terkurung dalam lembah
potensial seperti diilustrasikan pada Gbr. 9.12 ini. Tinggi bukit potensial
Gambar 9.12: Ion-ion dalam material ionik dapat dianggap terkurung dalam lem-
bah potensial.
mencerminkan energi ikat yang dimiliki ion-ion. Makin tinggi bukit poten-
sial maka makin kuat ion-ion terikat pada tempatnya. Namun, meskipun
ion terikat pada posisi tempat masing-masing, ion-ion masih memiliki pelu-
ang untuk berpindah ke lokasi lain dengan cara meloncati bukit potensial.
Peristiwa ini disebut hopping.
Untuk menjelaskan fenomena hopping, mari kita lihat dua ion bertetang-
ga seperti yang diilustrasikan pada Gbr 9.13. Tinggi bukit potensial adalah
Uo . Ion dapat meloncati bukit potensial jika memiliki energi qUo , dengan q
muatan efektif ion. Berdasarkan statistik Maxwell-Boltzmann, peluang ion
memiliki energi qUo adalah
dengan C adalah faktor penormalisasi. Ion kiri dan kanan melihat bukit
114 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
potensial yang sama tingginya. Peluang ion kiri meloncat ke kanan adalah
Karena ke dua peluang tersebut sama maka secara total tidak ada loncatan
ion netto ke kiri maupun ke kanan. Akibatnya, tidak ada arus dalam bahan.
Sekarang pada material kita beri medan listrik E ke arah kanan. Pem-
berian medan ini menyebabkan potensial pada tiap titik dalam material
mengalami perubahan. Titik yang berada pada posisi x mengalami peruba-
han potensial sebesar −E x. Akibatnya adanya medan tersebut, tinggi bukit
potensial yang diamati dua ion menjadi berbeda seperti diilustrasikan pada
Gbr. 9.14. Jika dimisalkan jarak dua ion berdekatan adalah d maka kita
dapatkan hasil berikut ini:
V1 = V1 (x) = −E x (9.47)
9.7 Hopping 115
V2 = V2 (x) = −E (x + d) = −E x − E d (9.48)
Jika dianggap bukit potensial sangat tinggi sehingga |qUo | >> |qEd/2| maka
kita dapat mengaproksimasi qUo + qEd/2 ∼ = qUo . Dengan aproksimasi ini
maka persamaan (9.54) menjadi
∆P ∼= Ce−qUo kT eqEd/kT − 1 (9.55)
Jika medan yang diterapkan tidak terlalu besar, yaitu jika terpenuhi qEd <<
kT maka aproksimasi eqEd/kT ≈ 1 + qEd/kT dapat kita lakukan. Dengan
aproksimasi tersebut maka persamaan (9.56) dapat disederhanakan menjadi
qEd
J(T, E) ≈ Jo e−qUo /kT (9.57)
kT
Kita ingat pelajaran tentang arus listrik bahwa ada hubungan antara kera-
patan arus dan medan, yaitu
J = σE (9.58)
dengan σ disebut konduktivitas listrik. Dengan membandingkan persamaan
(9.57) dan (9.58) kita dapatkan ungkapan konduktivitas listrik pada medan
rendah untuk material ionik sebagai
qd
σ ≈ Jo e−qUo /kT
kT (9.59)
σo −Ea /kT
= e
T
9.8 Persamaan Difusi Einstein 117
Gambar 9.15 adalah bentuk kurva ln σ sebagai fungsi 1/T . Bentuk kurva
semacam ini sering dijumpai dalam eksperimen. Kemiringan kurva adalah
−Ea /k sekaligus menentukan energi aktivasi.
Gambar 9.15: Bentuk kurva konduktivitas dalam skala logaritma terhadap 1/T .
Mari kita lihat sebuah assembli yang mengandung sejumlah ion. Kita
anggap tidak ada interaksi antar ion. Interaksi hanya terjadi antara ion dan
medan listrik yang diterapkan. Misalkan muatan semua ion sama, yaitu q.
Misalkan pula arah medan litrik sejajar sumbu x. Difusi yang akan kita
bahas hanya difusi dalam arah sejajar sumbu x. Kita menganggap kuat
medan listrik sama pada tiap titik dalam bahan. Gaya yang dialami ion
yang berada pada posisi x adalah F = qE sehingga energi potensial yang
dimiliki ion yang berada pada posisi x adalah
dengan µ adalah mobilitas listrik. Untuk kasus satu dimensi maka kita
bisa sederhanakan menjadi v = µE. Kerapatan arus pada posisi x yang
diakibatkan oleh medan listrik adalah
J~d = −D∇n
~ (9.65)
Gambar 9.16: (a) Tanpa medan listrik ion-ion tersebar merata dalam material
dan tidak muncul gradien konsentrasi. (b) Ketika medan litrik diterapkan maka
ion-ion bergerak ke satu sisi material sehingga mulai muncul gradien konsentrasi.
(c) Dengan munculnya gradien konsentrasi maka mulai timbul difusi ion dalam arah
berlawanan.
Jika bahan tidak dihubungkan dengan rangkaian luar maka tidak ada
arus total yang mengalir dalam bahan. Arus yang ditimbulkan oleh medan
listrik sama besar dengan arus yang ditimbulkan oleh difusi (Gbr. 9.16),
atau
Je + Jd = 0
120 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
qE
µEn(x) − D n(x) = 0
kT
Yang memberikan mobilitas ion sebagai
qD
µ= (9.68)
kT
Persamaan (9.68) dikenal dengan persamaan difusi Einstein.
dZ X
= EeβE (9.71)
dβ
dZ/dβ d
E= = ln Z (9.72)
Z dβ
X Z∞
exp βAξ 2 = exp βAξ 2 (g1 dξ)
(9.74)
0
Z∞ Z∞ Z∞
exp βAξ 2 dξ exp βBη 2 dη exp βCψ 2 dψ...
Z = (g1 g2 g3 ...)
0 0 0
(9.75)
R∞
exp βAξ 2 dξ. Untuk ke-
Mari kita selesaikan integral pertama, yaitu
0
mudahan kita misalkan βAξ 2 = −x2 . Ingat, suku kanan berharga negatif
karena β negatif. Dengan permisalan tersebut maka
1
ξ=√ x
−βA
122 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
1
dξ = √ dx
−βA
Dengan demikian
Z∞ Z∞
2 1
exp −x2 √
exp βAξ dξ = dx
−βA
0 0
Z∞ √
1 1 π
exp −x2 dx = √
=√
−βA −βA 2
0
r
1 π
=√ (9.76a)
−β 4A
Z∞ r
1 π
exp βBη 2 dη = √
(9.76b)
−β 4B
0
Z∞ r
1 π
exp βCψ 2 dψ = √
(9.76c)
−β 4C
0
∆L = Lo α(T − To ) (9.80)
Z∞ Z∞
x exp β cx2 − gx3 − f x4 dx
x exp [βU (x)] dx =
−∞ −∞
Z∞
x exp βcx2 exp −β gx3 + f x4 dx
=
−∞
Dengan demikian
Z∞ Z∞
x exp [βU (x)] dx ∼ x exp βcx2 × 1 − β gx3 + f x4 dx
=
−∞ −∞
Z∞ Z∞
2
x 4 exp βcx2 dx
= x exp βcx dx − βg
−∞ −∞
Z∞
x5 exp βcx2 dx
− βf
−∞
(9.83)
Pada integral di dalam persamaan (9.83), suku pertama dan ketiga meru-
pakan fungsi ganjil sehingga nilai integralnya nol. Yang tidak nol hanya suku
kedua. Jadi
Z∞ Z∞
∼ x4 exp βcx2 dx
x exp [βU (x)] dx = −βg (9.84)
−∞ −∞
Z∞ Z∞ 2
y 1
x exp [βU (x)] dx ∼
= −βg − e−y √ y −1/2 dy
βc 2 −βc
−∞ −∞
Z∞ Z∞
βg
x exp [βU (x)] dx ∼
=− y 3/2 e−y dy
(−βc)5/2 (9.85)
−∞ −∞
βg 5
=− 5/2
Γ
(−βc) 2
√
βg 3 π
=−
(−βc)5/2 4
Karena di sini hanya ada suku eksponen di dalam integral dan tidak ada
suku pengali lain, seperti suku x pada integral pembilang, maka kita dapat
langsung melakukan aproksimasi dengan membuang suku pangkat tiga dan
pangkat empat pada eksponensial. Dengan demikian kita dapatkan
Z∞ Z∞ √
π
exp [βU (x)] dx ∼ exp βcx2 dx = √
= (9.86)
−βc
−∞ −∞
Akhirnya dari persamaan (9.85) dan (9.86) kita dapatkan simpangan rata-
rata atom adalah
√
βg/(−βc)5/2 (3 π)/4 3g 3g
hxi = − √ = 2 = 2 kT (9.87)
π/z−βc 4c (−β) 4c
Pada suhu To ,
3g
Lo = N a + 2 kTo (9.88)
4c
Pada suhu T ,
3g
L=N a + 2 kT (9.89)
4c
3g
Umumnya akan selalu berlaku bahwa a >> 4c 2 kTo . Dengan demikian
persamaan (9.88) dapat diaproksimasi menjadi Lo u N a atau N u Lo /a.
Pertambahan panjang benda yang dinyatakan dalam persamaan (9.90) se-
lanjutnya dapat ditulis
Lo 3g
∆L = k(T − To ) = Lo α(T − To ) (9.91)
a 4c2
dengan
3gk
α= (9.92)
4ac2
Gambar 9.19: Variasi intensitas puncak difraksi (h00) aluminium ketika suhu
diubah-ubah.
~ j + ~uj (t)
~rj (t) = R (9.93)
di mana penjumlahan dilakukan pada semua atom dalam satu kisi, fj adalah
~ adalah vektor
parameter yang bergantung pada jenis atom dalam kisi, dan G
dalam kisi resiprok. Intensitas difraksi akan memenuhi
I ∝ |SG |2 (9.95)
Umumnya, ~uj (t) sangat kecil sehingga kita dapat melakukan penguraian
berikut ini
D h iE 1 2
exp −iG ~ • ~uj (t) ≈ 1 − iG ~ • ~uj (t) − (G ~ • ~uj (t))
2
E 1D (9.98)
2
D E
=1−i G ~ • ~uj (t) − ~ • ~uj (t))
(G
2
D E
Tetapi G ~ • ~uj (t) = 0 karena merupakan rata-rata simpangan termal di
sekitar titik setimbang. Untuk suku kuadratik kita lakukan penyelesaian
sebagai berikut
~ • ~uj (t))2 = (Gu cos θ)2 = G2 u2 cos2 θ
D E D E
(G (9.99)
secara geometri.
Sekarang kita mencari cos2 θ . Perhatikan Gbr. 9.7. Kita mendapatkan
bahwa
Zπ
2 luas cincin
cos θ = cos2 θ
luas bola
0
Zπ Zπ
(2πR sin θ)(Rdθ)
2 1
= cos θ 2
= cos2 θ sin θdθ
4πR 2
0 0
1 3 π
1 1
= − cos θ =
2 3 0 3
130 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
2
2
2 2 + z2 =
Untuk mencari u kita lakukan hal berikut
2
2
2 2 c
2 c
2 c
2 ini. u = x + y
x + y + z = c 2 x +2 y +2 z dengan c konstanta pegas
dan tiap suku dalam kurung kurawal adalah energi potensial dalam tiap
arah vibrasi. Berdasarkan prinsip ekipartisi
energi, tiap derajat kebebasan
memiliki energi rata-rata kT /2. Jadi u2 = (2/c) hkT /2 + kT /2 + kT /2i =
3kT /c. Akhirnya kita dapatkan aproksimasi berikut ini
D 2
~ • ~uj (t))
E 3kT 1 kG2
(G = G2 = T
c 3 c
dan
2
~ • ~uj (t) ≈ 1 − kG T
D h iE
exp −iG (9.100)
2c
kG 2
Karena umumnya nilai suku
h 2c iT << 1 maka kita dapat melakukan
2 2
aproksimasi 1 − kG kG
2c T ≈ exp − 2c T . Jadi
kG2
D h iE
~
exp −iG • ~uj (t) ≈ exp − T (9.101)
2c
atau
kG2
I = Io exp − T (9.103)
c
kita dapat memperkenalkan dua tingkat energi. Tingkat energi pertama dim-
iliki atom yang menempati posisi ”benar” dan tingkat energi kedua dimiliki
oleh atom yang menempati posisi ”salah”.
Seperti ditunjukkan pada Gbr. 9.20, jarak antar dua tingkat energi
dalam padatan amorf kita anggap ∆. Untuk mudahnya kita ambil referensi
energi nol tepat di tengah dua tingkat energi tersebut. Dengan demikian,
energi yang ada dalam padatan amorf menjadi E1 = −∆/2 dan E2 = +∆/2.
Dengan menggunakan persamaan (9.38) kita dapatkan
X β∆
Z= eβEi = e−β∆/2 + eβ∆/2 = 2 coth (9.104)
2
i
1 ∂Z ∆ β∆
U= = tanh (9.105)
Z ∂β 2 2
dU
CV =
dT
1 dU
= (9.106)
kT 2 dβ
β∆ 2
β∆
=k sech2
2 2
Untuk material amorf, ∆ tidak konstan tetapi memiliki nilai yang acak.
Jika kita asumsikan bahwa ∆ tersebar secara homogen dari nilai ∆ = 0
ke ∆ = ∆o , seperti pada Gbr. 9.21. Maka kita dapatkan nilai rata-rata
132 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
Integral (9.108) tidak dapat dilakukan secara langsung. Sekarang kita li-
hat dua kasus ekstrim. Tinjau kasus di mana suhu cukup besar, yaitu
−β∆o /2 << 1. Pada kondisi ini kita mengintegralkan y pada rentang nilai
y = 0 sampai nilai y yang mendekati nol. Dalam rentang integral tersebut,
nilai sech y tidak jauh berbeda dari sech 0, yaitu sama dengan 1. Jadi kita
dapat melakukan aproksimasi berikut ini untuk suhu tinggi
−β∆
Z o /2
β∆o 3
2k 2 2k 1
hCV i ≈ − y dy = − × −
β∆o β∆o 3 2 (9.109)
0
∆2o
=
12kT 2
9.12 Kapasitas Panas Padatan Amorf 133
Gambar 9.22: Kapasitas panas glas soda silica dan silica vitreous (keduanya
amorf) sebagai fungsi suhu pada daerah suhu rendah.
Sebaliknya pada suhu yang cukup rendah, yaitu −β∆o /2 >> 1 maka
batas atas integral (9.108) dapat dianggap tak berhingga sehingga
Z∞
2k
hCV i ≈ − y 2 sech2 (y) dy (9.110)
β∆o
0
Z1 Z∞
2k 2 2 2k
hCV i ≈ − y sech (y) dy − y 2 sech2 (y) dy
β∆o β∆o
0 1
Z1 Z∞
2k 2k
≈− y 2 × 1dy − y 2 × 0dy
β∆o β∆o
0 1
Z1 (9.111)
2k 2
=− y dy
β∆o
0
2k
=−
3β∆o
2k 2
= T
3∆o
Gambar 9.22 adalah plot kapasitas panas silica amorf sebagai fungsi suhu
pada suhu yang sangat rendah. Tampak bahwa suhu berubah hampir linier
pada suhu di bawah 1 K, sesuai dengan yang diramalkan persamaan (9.111).
Plot kapasitas panas yang diberikan oleh fungsi Debye untuk silica kristal
juga ditampilkan sebagai pembanding.
V∗ V∗
σ ∝ exp − = σo exp − (9.113)
∆V ∆V
Jika dianggap bahwa elemen volume polimer memuai menurut persamaan
yang berlaku untuk material ukuran besar maka kita dapat menulis
∆V = Vo γ(T − To ) (9.114)
136 Aplikasi Statistik Maxwell-Boltzmann
dengan B = V ∗ /Vo γ.
Sifat konduktivitas VTF umumnya terjadi jika polimer berada dalam fase
amorf. Jika polimer berada dalam fasa kristal maka konduktivitas biasanya
memenuhi persamaan Arrhenius. Misalkan pada suhu T fraksi volume fase
kristal dalam polimer adalah φc (T ) dan fraksi volume fase amorf adalah
φa (T ) = 1 − φc (T ). Konduktivitas efektif dalam polimer elektrolit berasal
dari kontribusi dua mekanisme di atas dan dapat ditulis
Ea B
σ(T ) = φc (T )σo exp − + φa (T )σo exp − (9.116)
kT (T − To )
jika suhu berada di atas suhu leleh polimer, Tm . Disini Erf(x) adalah fungsi
Error yang memenuhi
Zx
2
Erf (x) = √ exp[−t2 /2] dt (9.119)
π
0
Cmv adalah kapasitas panas pada titik leleh dan R adalah konstanta gas.
9.13 Konduktivitas Vogel-Tamman-Fulcher 137
Soal Latihan
Aplikasi Statistik
Bose-Einstein
Isi Bab ini. Bab ini berisi contoh aplikasi statistik Bose-Einstein pada
sejumlah assembli sederhana yang mengandung boson dan beberapa per-
bandingan ramalan menggunakan statistik ini dengan data pengamatan.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami be-
berapa aplikasi statistik Bose-Einstein pada sejumlah assembli boson dan
perbandingan hasil ramalan tersebut dengan data pengamatan.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami aplikasi
statistik Bose-Einstein mahasiswa perlu memahami prinsip dasar statistik
Bose-Einstein, kerapatan keadaan kuantum dan beberapa teknik integral.
baik. Benda hitam dapat dianalogikan sebagai kotak yang berisi gas foton.
Jumlah foton dalam kotak tidak selalu konstan. Ada kalanya foton diserap
oleh atom-atom yang berada di dinding kotak dan sebaliknya atom-atom
di dinding kotak dapat memancarkan foton ke dalam ruang kotak. Karena
jumlah foton yang tidak konstan ini maka faktor Bose-Einstein untuk gas
foton adalah 1/(eE/kT − 1), yang diperoleh dengan menggunakan α = 0.
Foton adalah kuantum gelombang elektromagnetik. Eksistensi foton
direpresentasikan oleh keberadan gelombang berdiri dalam kotak. Kerap-
atan kedaan gelombang berdiri dalam kotak tiga dimensi telah kita turunk-
an dalam Bab 7, yang terungkap dalam persamaan (7.25) yaitu 4πdλ/λ4 .
Karena gelombang elektromagneik memiliki dua kemungkinan arah osilasi
(polarisasi) yang saling bebas, maka kerapatan kedaan foton dalam kotak
merupakan dua kali kerapatan gelombang stasioner, yaitu
8π
g(λ)dλ = dλ (10.1)
λ4
Dengan demikian, jumlah foton dengan panjang gelombang antara λ sampai
λ + dλ adalah
g(λ)dλ
n(λ)dλ = E/kT (10.2)
e −1
Karena energi satu foton adalah E = hc/λ maka energi foton yang memiliki
panjang gelombang antara λ sampai λ + dλ adalah
hc
E(λ)dλ = n(λ)dλ
λ (10.3)
8πhc dλ
= 5 hc/λkT
λ e −1
Gambar 10.1 adalah plot E(λ) sebagai fungsi λ pada berbagai suhu. Tampak
bahwa E(λ) mula-mula naik, kemudian turun setelah mencapai nilai maksi-
mum pada panjang gelombang λm . Berapakah λm ? Kita dapat menentukan
λm dengan mendiferensial E(λ) terhadap λ dan menyamakan λ dengan λm ,
atau
dE(λ)
=0 (10.4)
dλ λm
Berdasarkan persamaan (10.3) maka
10.1 Radiasi Benda Hitam 141
8πhc 1
E(λ) = (10.5)
λ5 ehc/λkT − 1
5
kT 1
E(λ) = 8πhc (10.6)
hc x5 e1/x − 1
142 Aplikasi Statistik Bose-Einstein
dE(λ) dE(λ) dx
=
dλ dx dλ
kT dE(λ)
= (10.7)
hc dx !
5
kT kT d 1
= 8πhc
hc hc dx x5 e1/x −1
λm kT
= 0, 194197
hc
atau
hc
λm T = 0, 194197 (10.10)
k
Dengan menggunakan nilai konstanta k = 1, 38 × 10−23 J/K, h = 6, 625 ×
10−34 J s, dan c = 3 × 108 m/s maka kita peroleh
λm T = 2, 8 × 10−3 mK (10.11)
Persamaan Stefan-Boltzmann
nol, intensitas yang dipancarkan menuju nol. Juga ketika panjang gelombang
menuju tak berhingga, intensitas yang dipancarkan juga menuju tak berhing-
ga. Intensitas gelombang yang dipancarkan mencapai maksimum pada saat
λ = λm . Sekarang kita akan menghitung energi total yang dipancarkan
oleh benda hitam. Energi total tersebut diperoleh dengan mengintegralkan
persamaan (10.3) dari panjang gelombang nol sampai tak berhingga, yaitu
Z∞
E= E(λ)dλ
0
(10.12)
Z∞
1 dλ
= 8πhc 5 hc/λkT
λ e −1
0
Z0 5
kT (−hc/kT y 2 )dy
E = 8πhc y5
hc ey − 1
∞
5 Z0
kT hc y 3 dy
= 8πhc − y (10.13)
hc kT e −1
∞
4 Z∞ 3
kT y dy
= 8πhc
hc ey − 1
0
4 Z∞
y 3 dy
k
σ = 2πhc2 (10.15)
hc ey − 1
0
Z∞
y 3 dy
= 6, 49394
ey − 1
0
σ = 5, 65 × 10−8 W/m2 K4
Salah satu gejala penting sebagai hasil peristiwa Big Bang adalah keber-
adaan radiasi yang bersifat isotropik (sama ke segala arah) di alam semesta
dalam panjang gelombang mikro. Gejala ini selanjutnya dikenal dengan cos-
mic microwave background (CMB). Radiasi ini benar-benar isotropik.
Penyimpangan dari sifat isotropic hanya sekitar seper seribu. Dua astronom
muda, Arno Penzias and Robert Wilson yang pertama kali mengidentifikasi
gejala ini tahun 1965 dengan menggunakan antene horn yang dikalibrasi
dengan sangat teliti. Dengan anggapan bahwa alam semesta berupa benda
hitam sempurna dan setelah dilakukan pengukuran yang teliti intensitas ra-
diasi gelombang mikro ini pada berbagai panjang gelombang yang mungkin,
selanjutnya hasil pengukuran di-fit dengan persamaan radiasi benda hitam
(Gbr. 10.4) disimpulkan bahwa suhu rata-rata alam semesta sekarang adalah
2, 725◦ K.
Ada sedikit variasi suhu pada arah yang berbeda seperti ditunjukkan
dalam Gbr 10.5. Bagian berwarna merah sedikit lebih panas dan bagian
berwarna biru sedikit lebih dingin dengan penyimpangan sekitar 0,0002 de-
rajat.
10.1 Radiasi Benda Hitam 147
Gambar 10.4: Fitting data CMB dengan persamaan radiasi benda hitam
(http://ircamera.as.arizona.edu/).
148 Aplikasi Statistik Bose-Einstein
Jika fonon memiliki sejumlah polarisasi dan polarisasi ke-p memiliki ωp (κ)
frekuensi, maka energi total fonon setelah memperhitungkan polarisasi terse-
but adalah
XX ~ωp (κ)
U= (10.17)
p κ
exp [~ω p (κ)/kT ] − 1
Dari definisi energi dalam dalam persamaan (10.20) maka kita dapat
menentukan kapasitas panas yang didefinisikan sebagai berikut
dU
Cv =
dT Z
d X ~ω
= gp (ω) dω
dT p exp [~ω/kT ] − 1 (10.21)
XZ
d 1
= gp (ω) ~ωdω
p
dT exp [~ω/kT ] − 1
d d dy ~ω d
= =− 2
dT dy dT kT dy
d 1 d 1 ~ω d 1
= =− 2
dT exp [~ω/kT ] − 1 dT ey − 1 kT dy ey − 1
−ey ey
~ω ~ω
=− 2 =
kT (ey − 1)2 kT 2 (ey − 1)2
~ω exp [~ω/kT ]
=
kT 2 (exp [~ω/kT ] − 1)2
150 Aplikasi Statistik Bose-Einstein
XZ
~ω exp [~ω/kT ]
Cv = gp (ω) ~ωdω
p
kT (exp [~ω/kT ] − 1)2
2
(10.22)
~2 X
Z
exp [~ω/kT ] 2
= gp (ω) 2 ω dω
kT 2 p (exp [~ω/kT ] − 1)
Model Einstein
di mana δ(ω − ωo ) merupakan fungsi delta Dirac. Gambar 10.6 adalah kurva
~2
Z
exp [~ω/kT ]
Cv = g(ω) ω 2 dω
kT 2 (exp [~ω/kT ] − 1)2
~2
Z
exp [~ω/kT ]
= N δ(ω − ωo ) ω 2 dω (10.24)
kT 2
(exp [~ω/kT ] − 1)2
N ~2 exp [~ωo /kT ]
= ω2
kT (exp [~ωo /kT ] − 1)2 o
2
Untuk kristal 3 dimensi, terdapat tiga arah polarisasi fonon yang mungkin
(arah sumbu x, y, dan z). Dengan menganggap bahwa ke tiga polarisasi
tersebut memberikan sumbangan energi yang sama besar maka kapasitas
panas total menjadi tiga kali dari yang tampak dalam persamaan (10.24),
yaitu menjadi
~ωo
exp [~ωo /kT ] ≈ 1 +
kT
152 Aplikasi Statistik Bose-Einstein
Gambar 10.7: Kapasitas panas intan yang diperoleh dari pengamatan (simbol)
dan prediksi menggunakan model kapasitas panas Einstein (kurva).
Model Debye
Salah satu masalah yang muncul dalam model Einstein adalah asumsi bah-
wa semua fonon bervibrasi dengan frekuensi yang sama. Tidak ada justi-
fikasi untuk asumsi ini. Asumsi ini digunakan semata-mata karena kemuda-
han mendapatkan solusi. Oleh karena ini hasil yang lebih tepat diharapkan
muncul jika dianggap frekuensi fonon tidak seragam. Ausmsi ini digunakan
oleh Debye untuk membangun teori kapasitas panas yang lebih teliti. Na-
mun, sebelum masuk ke teori Debye kita akan terlebih dahulu membahas
kerapatan keadaan untuk kisi dalam usaha mencari ekspresi yang tepat un-
tuk g(ω).
Frekuensi getaran kisi dalam kristal secara umum tidak konstan, tetapi
bergantung pada bilangan gelombang. Persamaan yang menyatakan keber-
gantungan frekuensi dengan bilangan gelombang dinamakan persamaan dis-
persi, ω = ω(κ). Dari persamaan dispersi terebut dapat diturunkan per-
saman kerapatan keadaan (dibahas di kuliah zat padat) sebagai berikut
V κ2
g(ω) = (10.28)
2π 2 dω/dκ
ω = vg κ (10.29)
154 Aplikasi Statistik Bose-Einstein
ii) Ada sebuah frekuensi maksimum, ωm , yang boleh dimiliki fonon dalam
kristal sehingga tidak ada fonon yang memiliki frekuensi di atas ωm .
Gambar 10.8 adalah kurva kerapatan keadaan fonon model Debye seperti
yang diberikan persamaan (10.30).
Zωm
g(ω)dω = N
0
Zωm
V
ω 2 dω = N
2πvg3
0
Zωm
V
ω 2 dω = N
2πvg3
0
V ωm 3
=N
2πvg3 3
3
6πvg3 N
ωm = (10.31)
V
kB ΘD = ~ωm (10.32)
1/3
6π 2 N
~vg
ΘD = (10.33)
kB V
3 ΘZD /T
x4 ex
T
Cv = 9N k dx (10.36)
ΘD (ex − 1)2
0
Gambar 10.9 adalah plot persamaan (10.36) sebagai fungsi suhu. Ben-
tuk kurva mirip dengan kurva Einstein, namun jika dikaji lebih teliti, ter-
dapat perbedaan yang cukup menonjol pada daerah suhu mendekati nol.
Persamaan Debye dapat menjelaskan dengan seksama kapasitas panas pada
suhu mendekati nol sedangkan peramaan Einstein memberikan prediksi yang
sedikit menyimpang.
Gambar 10.9: Kurva kapasitas panas Debye yang diberikan persamaan (10.36).
Bagian integral tidak bergantung lagi pada T dan hasil integral adalah se-
buah bilangan. Jika kalian menggunakan program Mathematica, akan diper-
oleh hasil integral pada persamaan (10.37) adalah
Z∞
x4 e x π2
dx = (10.38)
(ex − 1)2 15
0
9π 2 N k T 3
Cv ≈
15 ΘD (10.39)
3
= AT
dengan
9π 2 N k
A≈ (10.40)
15Θ3D
3 ΘZD /T
x4
T
Cv ≈ 9N k dx
ΘD (x)2
0
3 ΘZD /T 3 (10.41)
1 ΘD 3
T 2 T
= 9N k x dx = 9N k
ΘD ΘD 3 T
0
= 3N k
Gambar 10.10: Kapasitas panas argon padat diukur pada suhu jauh di bawah
suhu Debye. Garis adalah hasil perhitungan menggunakan teori Debye (Kittel, hlm
125).
Karena nilai N sangat besar (dalam orde 1023 ) maka ketika T → 0 penyebut
1 1
pada exp(−µ/kT )−1 harus menuju nol. Sebab, jika tidak maka exp(−µ/kT )−1
tidak akan menghasilkan nilai N yang sangat besar. Nilai exp(−µ/kT ) − 1
akan menuju nol hanya jika exp(−µ/kT ) menuju satu. Fungsi eksponensial
exp(x) mendekati 1 jika x → 0. Jadi kita simpulkan bahwa pada T → 0
akan berlaku µ/kT → 0. Dan jika µ/kT → 0 maka kita dapat melakukan
aproksimasi
µ
exp(−µ/kT ) ≈ 1 − (10.45)
kT
Jadi kita dapatkan aproksimasi berikut ini
1 1 kT
N ≈ lim ≈ =−
T →0 exp(−µ/kT ) − 1 (1 − µ/kT ) − 1 µ
atau
kT
µ≈− (10.46)
N
Hubungan pada persamaan (10.46) menyatakan bahwa pada suhu T → 0
maka µ berharga negatif dan merupakan fungsi linier dari suhu. Sebagai
ilustrasi, pada T = 1 K dan N = 1022 maka µ ≈ −1, 4×10−38 erg. Ini adalah
nilai yang sangat kecil. Bahkan nilai ini jauh lebih kecil daripada jarak antar
dua tingkat energi terdekat dalam assembli atom helium di dalam kubus
dengan sisi 1 cm. Kebergantungan µ pada suhu itulah yang menyebabkan
peristiwa kondensasi Bose-Einstein.
Agar lebih memahami fenomena kondensasi Bose-Einstein, mari kita per-
hatikan sistem-sistem yang berada dalam kubus dengan sisi L. Tingkat-
tingkat energi yang dimiliki assembli memenuhi
~2 π 2 2
nx + n2y + n2z
E(nx ny nz ) = (10.47)
2M L
10.3 Kondensasi Bose-Einstein 163
Dengan demikian, fraksi sistem pada tingkat energi eksitasi pertama adalah
n(E1 ) 5 × 1010
≈ = 5 × 10−12
N 1022
tampak bahwa fraksi sistem pada tingkat energi eksitasi pertama amat kecil.
Ini berarti bahwa sebagian besar sistem berada pada tingkat energi terendah.
3/2 Z∞
E 1/2
V 2M
ne (T ) ≈ 2 dE (10.51)
4π ~2 exp(E/kT ) − 1
0
Z∞ Z∞
E 1/2 x1/2
dE = (kT )3/2 dx = 1, 306π 2 (kT )3/2
exp(E/kT ) − 1 exp(x) − 1
0 0
2M 3/2
V
ne (T ) ≈ × 1, 306π 2 (kT )3/2
4π 2 ~2 (10.52)
= 2, 612nQ V
M kT 3/2
dengan nQ = 2π~2
dinamakan konsentrasi kuantum.
Kita definisikan suhu kondensasi Bose-Einstein, TE , sebagai suhu ketika
jumlah sistem pada keadaan terkesitasi persis sama dengan jumlah total
sistem. Jadi, pada T = TE , terpenuhi ne (TE ) = N . Dengan menggunakan
persamaan (10.52) kita dapatkan bahwa pada suhu kondensasi Bose-Einstein
terpenuhi
2M 3/2
V
N= 2 × 1, 306π 2 (kTE )3/2
4π ~2
yang memberikan
2/3
2π~2
N
TE = (10.53)
Mk 2, 612V
Pada sembarang suhu yang mendekati nol derajat, fraksi jumlah sistem
pada keadaan tereksitasi adalah
3/2
ne (T ) T
= (10.54)
N TE
166 Aplikasi Statistik Bose-Einstein
Gambar 10.12: Fraksi superfluida (sistem yang menempati keadaan dasar) dan
fluida normal (sistem yang menempati keadaan eksitasi) dalam assembli boson se-
bagai fungsi suhu ketika suhu berada di bawah suhu kondensasi Bose-Einstein.
Berarti pula bahwa fraksi jumlah sistem pada keadaan paling rendah adalah
3/2
no (T ) ne (T ) T
=1− =1− (10.55)
N N TE
Soal Latihan
1. Jika zat padat berada dalam keseimbangan termal maka energi setiap
modus normal
berfluktuasi. Kuadrat dari standar deviasi S diberikan
oleh S = E 2 − hEi2 di mana
n~ωe−n~ω/kT
P
hEi = P −n~ω/kT
e
10.3 Kondensasi Bose-Einstein 167
dan
n2 ~2 ω 2 e−n~ω/kT
P
2
E = P −n~ω/kT
e
Indeks penjumlahan bergerak dari n = 0 hingga n = ∞. Perlihatkan
bahwa
~2 ω 2 e~ω/kT
a) S = 2
(e~ω/kT −1)
S2
b) Kalasitas kalor pada volume tetap adalah Cv = kT 2
S
c) hEi → e~ω/kT jika T sangat kecil
S
d) hEi → 1 jika T sangat besar
s
dωs ωs
b) dV = − 3V
U
c) p = 3V
5. Tinjau suatu zat padat yang memiliki suhu Debye 100 K dan kerap-
atan atom 1022 atom/cm3 . Hitung suhu di mana kapasitas panas yang
dikontribusi oleh foton sama dengan kapasitas panas yang dikontribusi
oleh fonon pada suhu 1 K.
sudut antara berkas dating dengan arah normal bidang yang luas-
nya satu satuan, dan u adalah kerapatan energi per satuan jangkauan
frekuensi. Perlihatkan pula bahwa jumlah besaran tersebut untuk se-
mua sudut dating adalah cu/4.
Bab 11
Aplikasi Distribusi
Fermi-Dirac
Isi Bab ini. Bab ini berisi contoh aplikasi statistik Fermi-Dirac pada sejum-
lah assembli sederhana yang mengandung fermion dan beberapa perbandin-
gan ramalan menggunakan statistik ini dengan data pengamatan.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami be-
berapa aplikasi statistik Fermi-Dirac pada sejumlah assembli fermion dan
perbandingan hasil ramalan tersebut dengan data pengamatan.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami ap-
likasi statistik Fermi-Dirac mahasiswa perlu memahami prinsip dasar statis-
tik Fermi-Dirac, kerapatan keadaan kuantum dan beberapa teknik integral.
1
f (E) =
e−α−βE +1
f (E) = 1
(11.1)
exp[(E − EF )/kT ] + 1
Pada penulisan persamaan (11.1) kita telah mengganti β = −1/kT dan telah
mendefinsikan EF = αkT . Parameter EF dikenal dengan energi Fermi.
Dari bentuk f (E) kita identifikasi bahwa pada E = EF maka f (E) = 1/2,
berapa pun suhu assembli. Dengan demikian kita dapat mendefinisikan bah-
wa energi Fermi sama dengan energi ketika fungsi distribusi memiliki nilai
tepat setengah.
Hal yang menarik muncul ketika assembli 0 K. Dalam suhu tersebut:
1
f (E > EF , T = 0) = =0 (11.2)
e∞ +1
1
f (E < EF , T = 0) = =1 (11.3)
e−∞ +1
Z∞
N =V n(E)dE
0
(11.4)
Z∞
=V g(E)f (E)dE
0
Jumlah fermion tersebut dapat dihitung dengan mudah pada suhu 0 K kare-
na fungsi distribusi Fermi-Dirac memiliki bentuk yang sederhana. Jika per-
172 Aplikasi Distribusi Fermi-Dirac
ZEF
1 √ 3/2 1/2
N =V 2× 4π 2m E dE
h3
0
√ ZEF (11.7)
V
= 3 8π 2m3/2 E 1/2 dE
h
0
V √ 2 3/2
= 3 8π 2m3/2 × EF
h 3
Kita dapat menyederhanakan persamaan (11.7) lebih lanjut menjadi
3/2
3N 2m
= EF
8πV h2
Dan akhirnya diperoleh ungkapan untuk energi Fermi pada suhu 0 K sebagai
berikut
h2 3N 2/3
EF = (11.8)
2m 8πV
11.3 Distribusi Fermi Dirac pada Suhu T > 0 K 173
Tabel 11.1: Suhu fermi sejumlah logam (C. Kittel hlm 150).
Valensi Logam Energi Fermi (eV) Suhu Fermi (104 K)
1 Li 4,72 5,48
Na 3,23 3,75
K 2,12 2,46
Rb 1,85 2,15
Cs 1,58 1,83
Cu 7,00 8,12
Ag 5,48 6,36
Au 5,51 6,39
2 Be 14,14 16,41
Mg 7,13 8,27
Ca 4,68 5,43
Se 3,95 4,58
Ba 3,65 4,24
Zn 9,39 10,90
Cd 7,46 8,66
3 Al 11,63 13,49
Ga 10,35 12,01
In 8,60 9,98
4 Pb 9,37 10,87
Sn 10,03 64
EF
TF =
k
(11.9)
h2 3N 2/3
=
2mk 8πV
di bawah energi fermi mulai berkurang. Tetapi belum ada fermion yang
memeiliki energi jauh di atas energi fermi dan belum ada elektron yang
memiliki energi jauh di bawah energi fermi meninggalkan tempat semula.
Akibatnya terjadi distorsi fungsi Fermi-Dirac hanya di sekitar energi Fermi
saja. Distorsi tersebut hanya berada pada daerah yang ordenya sekitar kT
di sekitar energi Fermi. Gambar 11.2 adalah bentuk fungsi distribusi Fermi-
Dirac pada berbagai suhu.
Gambar 11.2: Bentuk fungsi distribusi Fermi-Dirac pada berbagai suhu. Pada
perhitungan digunakan TF = 50.000 K.
dΨ = φ(E)dE (11.12)
R∞ R0
kita dapatkan Ψ(∞) = φ(E)dE, dan Ψ(0) = φ(E)dE = 0. Dengan
0 0
demikian persamaan (11.14) menjadi
Z∞ Z∞
df
I = 0 × φ(E)dE − 1 × 0 − Ψ dE
dE
0 0
(11.15)
Z∞
df
=− Ψ dE
dE
0
1 d2 Ψ
dΨ
Ψ(E) = Ψ(EF ) + (E − EF ) + (E − EF )2 (11.16)
dE EF 2 dE 2 EF
ZEF
Ψ(EF ) = φ(E)dE (11.17)
0
dΨ dΨ
= φ(E) sehingga = φ(EF ) (11.18)
dE dE EF
d2 Ψ d2 Ψ
dφ dφ
= sehingga = (11.19)
dE 2 dE dE 2 EF dE EF
ZEF
1 dφ
Ψ(E) = φ(E)dE + φ(EF ) (E − EF ) + (E − EF )2 (11.20)
2 dE EF
0
11.4 Integral Fungsi Fermi-Dirac 177
ZEF Z∞
1 dφ df
I= φ(E)dE − (E − EF )2 dE (11.22)
2 dE EF dE
0 0
df exp [E − EF ] /kT 1
= 2 (11.23)
dE (exp [E − EF ] /kT + 1) kT
df ex 1
=− 2
dE (e + 1) kT
x
(E − EF )2 = (kT )2 x2
dE = kT dx
ditulis sebagai
ZEF Z∞
−ex
1 dφ 1
I= φ(E)dE − (kT )2 x2 2 kT kT dx
2 dE EF x
(e + 1)
0 −EF /kT
(11.24)
ZEF Z∞
ex
1 dφ
= φ(E)dE + (kT )2 x2 dx
2 dE EF
(ex + 1)2
0 −EF /kT
ZEF Z∞
ex
1 dφ 2 2
I≈ φ(E)dE + (kT ) x dx (11.25)
2 dE EF (ex + 1)2
0 −∞
ZEF 2
1 dφ 2π
I≈ φ(E)dE + (kT )
2 dE EF 3
0
(11.26)
ZEF 2
dφ 2π
= φ(E)dE + (kT )
dE EF 6
0
Persamaan (11.26) adalah bentuk umum yang akan kita gunakan untuk men-
cari integral yang melibatkan fungsi Fermi-Dirac.
Dengan demikian
√ √
8π 2m3/2 2 5/2 12π 2m3/2 1/2 2π
2
pembilang = × E + E (kT ) (11.28)
h3 5 F h3 F
6
Karena umumnya kT << EF maka suku kedua jauh lebih kecil daripada
suku pertama sehingga kita dapat mengaproksimasi
√
8π 2m3/2 2 5/2
pembilang ≈ × EF (11.29)
h3 5
Selanjutnya kita lihat penyebut pada persamaan (11.27). Tampak di sini
bahwa √
8π 2m3/2 1/2
φ(E) = E
h3
√ √
dφ 8π 2m3/2 1 −1/2 4π 2m3/2 −1/2
= × E = E
dE h3 2 h3
ZEF √ ZEF √
8π 2m3/2 1/2 8π 2m3/2 2 3/2
φ(E)dE = E dE = × EF
h3 h3 3
0 0
Sekali lagi, karena umumnya kT << EF maka suku kedua jauh lebih
kecil daripada suku pertama sehingga kita dapat mengaproksimasi
√
8π 2m3/2 2 3/2
penyebut ≈ × EF (11.31)
h3 3
Dengan demikian energi rata-rata menjadi
pembilang
E=
penyebut
√
8π 2m3/2 5/2
3 × 52 EF
= √h (11.32)
8π 2m3/2 3/2
h3
× 32 EF
3
= EF
5
Namun, jika kita mengambil sampai orde dua, maka energi rata-rata diper-
oleh dari persamaan (11.28) dan (11.30) yaitu
√ √
8π 2m3/2 5/2 12π 2m3/2 1/2 2
3 × 25 EF + 3 EF (kT )2 π6
E= √h √h
8π 2m3/2 3/2 3/2 −1/2 2
h3
× 23 EF + 4π h2m
3 EF (kT )2 π6
2 (11.33)
15 2 kT
3 1 + 24 π EF
= EF 2
5 3 2 kT
1 + 24 π EF
Gambar 11.4 adalah energi rata-rata elektron sebagai fungsi suhu. Tam-
pak bahwa energi rata-rata makin bertambah dengan bertambahnya suhu.
Ini diakibatkan makin banyaknya elektron yang menempati tingkat energi
di atas energi fermi.
U = NE
2
15 2 kT
3 1 + 24 π EF (11.34)
= N EF
2
5
3 2 kT
1+ 24 π EF
182 Aplikasi Distribusi Fermi-Dirac
Gambar 11.4: Energi rata-rata elektron sebagai fungsi suhu. Pada perhitungan
digunakan suhu fermi 50.000 K.
Jika suhu sangat kecil dibandingkan dengan suhu Fermi maka kT << EF
sehingga persamaan (11.34) dapat diaproksimasi sebagai berikut
" #" #−1
15 2 kT 2 3 2 kT 2
3
U = N EF 1 + π 1+ π
5 24 EF 24 EF
" #" # (11.35)
15 2 kT 2 3 2 kT 2
3
≈ N EF 1 + π 1− π
5 24 EF 24 EF
Jika kita memiliki logam maka kita memiliki sekaligus assembli fonon
(getaran atom) serta assembli fermion (elektron bebas). Akibatnya, kapa-
sitas panas logam mendapat kontribusi dari dua macam assembli tersebut.
Dengan demikian, pada suhu di bawah suhu Debye dan di bawah suhu Fermi
maka kapasitas panas logam memenuhi persaman umum
C = γT + AT 3 (11.38)
Pada suhu yang cukup tinggi elektron dapat keluar dari permukaan logam.
Pada suhu tersebut sebgaian elektron memiliki energi yang sangat besar yang
sanggup melewati potensial penghalang di dinding logam. Filamen di dalam
tabung sinar katoda dipanaskan agar elektron keluar dari logam filamen.
Elektron yang keluar kemudian ditarik dengan medan liatrik yang cukup be-
sar sehingga menumbuk material luminisens pada layar untuk menghasilkan
spot bercahaya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kebergantungan
arus elektron yang keluar meninggalkan permukaan logam terhadap suhu?
Ini yang akan kita kaji sekarang.
Kita mulai dengan asumsi bahwa logam merupakan sumur potensial den-
gan ketinggian dinding Eo . Sebagai ilustrasi, lihat Gbr. 11.6. Elektron men-
empati tingkat-tingkat energi dalam sumur potensial tersebut. Pada suhu
T = 0, energi maksimum yang dimiliki elektron adalah EF (0). Elektron yang
Gambar 11.6: Elektron dalam logam dapat dipandang terperangkap dalam sumur
potensial dengan ketinggian dinding E0 .
Jumlah elektron per satuan volume yang memiliki komponen kecepatan arah
186 Aplikasi Distribusi Fermi-Dirac
Untuk elektron, satu tingkat energi dapat ditempati oleh dua elektron den-
gan arah spin berlawanan. Sehingga kita kerapatan elektron dapat ditulis
2dΓ
n(vx , vy , vz )dvx dvy dvz = f (E)
h3
2m3
= f (E)dvx dvy dvz (11.41)
h3
2m3 dvx dvy dvz
= 3 (E−E )kT
h e F +1
Karena kita tertarik pada elektron yang meninggalkan permukaan logam
maka fokus perhatian kita adalah pada elektron yang memiliki energi cukup
jauh di atas energi Fermi. Dengan pembatasan ini maka kita dapat men-
gaproksimasi (E − EF ) >> kT sehingga
1 1
≈ = eEF kT e−E/kT
e(E−EF )kT +1 e(E−EF )kT
dan persamaan (11.41) menjadi
2m3 EF /kT −E/kT
n(vx , vy , vz )dvx dvy dvz ≈ e e dvx dvy dvz (11.42)
h3
Substitusi persamaan (11.42) ke dalam persamaan (11.40) kita peroleh
∞ ∞
2m 3 Z Z
nx (vx )dvx ≈ 3 eEF /kT e−E/kT dvy dvz dvx
h
−∞ −∞
∞ ∞
2m 3 Z Z
2 2 2
= 3 eEF /kT e−m(vx +vy +vz )/2kT dvy dvz dvx
h
−∞ −∞
∞ (11.43)
2m 3 Z
2
= 3 eEF /kT e−mvy /2kT dvy
h
−∞
∞
Z 2
2
e−mvz /2kT dvz e−mvx /2kT dvx
−∞
11.7 Emisi Termionik 187
2m3
r r
π π 2
nx (vx )dvx = 3 eEF /kT e−mvx /2kT dvx
h (m/2kT ) (m/2kT )
4πm2 kT EF /kT −mvx2 /2kT
= e e dvx
h3
(11.44)
vx nx (vx )dvx
asalkan terpenuhi 21 mvx2 > Eo . Jika q adalah muatan elektron maka rapat
arus yang dihasilkan adalah
Z∞
J= qvx nx (vx )dvx
mvx2 =Eo
(11.45)
Z∞
4πm2 kT EF /kT −mvx2 /2kT
=q e vx e dvx
h3
mvx2 /2=Eo
kT
vx dvx = dy (11.46)
m
Selanjutnya kita tentukan syarat batas untuk y. Syarat batas bawah mvx2 /2 =
Eo ekivalen dengan y = Eo /kT . Syarat batas vx = ∞ ekivalen dengan
188 Aplikasi Distribusi Fermi-Dirac
Gambar 11.7: Rapat arus termionik sebagai fungsi suhu. Pada perhitungan digu-
nakan φ = 2, 5eV .
Massa ≈ 1030 kg ≈ MM
katai putih dapat dipandang sebagai kumpulan inti helium dan elektron-
elektron yang berberak bebas.
Berdasarkan data kerapatan bintang tersebut kita dapat memperkirakan
jumlah atom helium per satuan volume. Massa atom helium adalah 4 ×
(1, 67 × 10−27 kg) ≈ 6 × 10−27 kg. Jumlah atom helium per satuan volume
adalah
ρ 1
NHe = −27 = × 1037 atom/m3
6 × 10 6
Satu atom helium menyumbang dua elektron. Dengan demikian, kerapatan
elektron adalah
1
n = 2NHe = × 1037 elektron/m3
3
Kerapatan ini melahirkan energi fermi sebesar
√ 3/2 √ 3/2
2π~ 3 π 2π~ 3n π
EF = = ≈ 20Mev
m 4v m 4
b) Hukum gravitasi
11.8 Teori Bintang Katai Putih 191
c) Dinamika relativistik
4 M̄ 5/3
Po ≈ K 5 (11.48)
5 R̄
dengan
me c2 me c 3
K= (11.50)
12π 2 ~
9π M
M̄ = (11.51)
8 mp
R
R̄ = (11.52)
~/me c
Plot Po sebagai fungsi R untuk kondisi nonrelativistk dan relatvisitik tampak
pada Gbr 11.9.
Gambar 11.9: Kebergantungan tekanan pada jari-jari bintang untuk kasus rela-
tivistik dan nonrelativistik.
192 Aplikasi Distribusi Fermi-Dirac
Kondisi Keseimbangan
Misalkan tidak ada interaksi gravitasi. Kerapatan materi bintang akan ho-
mogen dan materi bintang akan tersebar dalam ruang yang tak berhingga.
Gravitasilah yang memyebabkan kerepatan materi makin besar ketika menu-
ju ke pusat bintang. Gravitasilah yang menyebabkan bintang memiliki batas
terluar, yaitu tidak tersebar dalam ruang tak berhingga. Apabila gravitasi
tidak ada maka agar bintang memiliki batas terluar yang jelas diperlukan
dinding pembatas untuk menahan materi (Gbr. 11.10). Kerja yang diper-
lukan untuk mengkompresi materi bintang ke bentuk yang memiliki massa
dan jari-jari tertentu sehingga memiliki tekanan Po adalah
ZR
W =− F~ • d~r
∞
(11.53)
ZR
=− (Po 4πr2 )dr
∞
Karena antar fermion terjadi tolakan akibat prinsip ekslusi Pauli, maka
gaya oleh dinding harus dapat mengkompensasi gaya tolakan tersebut. Besar
gaya yang dilakukan dinding adalah
ZR
dW d
Fdinding =− = Po (4πr2 )dr
dR dR (11.54)
∞
= 4πPo R2
Dari mana gaya dinding berasal? Tentu dari gaya gravitasi yang bekerja
pada fermion. Sekarang bayangkan interaksi gravitasi tiba-tiba di-ON-kan.
Bagian-bagian bintang akan saling tarik menarik sehingga menghasilkan
penurunan energi. Jumlah penurunan energi tersebut disebut ”gravitational
self energy”. Besarnya energi tersebut dapat diperkirakan sebagai berikut.
Energi potensial gravitasi dua massa M1 dan M2 yang terpisah sejauh R
adalah
M1 M2
Ep = −G (11.55)
R
”Gravitation self energy” diperkirakan memiliki bentuk kebergantungan pa-
da massa dan jarak yang sama. Kita dapat memprediksi ”gravitation self
11.8 Teori Bintang Katai Putih 193
Gambar 11.10: Fermion yang tersebar di seluruh ruang dapat dikumpulkan dalam
bola berjadi-jari R jika terdapat dinding yang mengerjakan gaya ke arah pusat bola.
Dinding tersebut harus melawan gaya tolak antar fermion akibat prinsip eklusi
Pauli.
M2
Eself = −αG (11.56)
R
dengan α adalah sebuah bilangan positif yang nilainya sekitar satu. Energi
ini menghasilkan gaya yang disebut gaya ”gravitional self energy” sebesar
dEself M2
Fself = − = −αG 2 (11.57)
dR R
Gaya inilah yang berperan sebagai gaya dinding yang mengkompensasi gaya
tekan dari dalam akibat prinsip ekslusi Pauli. Dengan demikian maka harus
194 Aplikasi Distribusi Fermi-Dirac
berlaku
|Fdinding | = |Fself |
M2
4πPo R2 = αG
R2
atau
M2
4πPo R2 − αG =0
R2
8mp 2 me c 4 M̄ 2
α
= G (11.58)
4π 9 h R̄4
M̄ 2
= K0 4
R̄
dengan
8mp 2 me c 4
0 α
K = G (11.59)
4π 9 h
Bintang katai putih memiliki kerapatan sangat tinggi sehingga memenuhi
persamaan relativistik. Tekanan gas fermi, Pfermi , pada kondisi ini memenuhi
persamaan (11.50). Samakan Po pada persamaan (11.58) dengan Pfermi pada
persamaan (11.50) maka diperoleh
!
M̄ 2 M̄ 4/3 M̄ 2/3
K0 4 = K −
R̄ R̄4 R̄2
yang akhirnya memberikan ungkapan jari-jari bintang katai putih
q
2/3
R̄ = M̄ 3/2 1 − (M̄ /M̄o ) (11.60)
dengan
3/2 3/2
0 3/2
27π ~c
M̄o = K/K = (11.61)
64α Gm2p
Dengan mengambil α ≈ 1 maka
8mp
Mo ≈ M̄o ≈ 1030 kg ≈ Mm (11.62)
9π
Dari persamaan (16.64) tampak bahwa tidak ada solusi jika M̄ > M̄o .
Hasil ini mengindikasikan bahwa tidak mungkin bintang katai putih memiliki
massa lebih besar daripada massa matahari. Ada batas terbesar massa bin-
tang agar menjadi katai putih. Perhitungan lebih teliti oleh Chandrasekhar
menunjukkan bahwa massa maksimum sebuah bintang agar menjadi katai
putih adalah 1, 4 MM . Nilai ini dikenal dengan limit Chandrasekhar.
11.9 Paramagnetisme Pauli 195
Jika tidak ada medan magnet yang dikenakan ke logam maka jumlah elektron
yang memiliki spin-up sama dengan jumlah elektron yang memiliki spin-
down, atau
ZEF
V
N+ = g(E)dE (11.64)
2
0
ZEF
V
N− = g(E)dE (11.65)
2
0
Untuk kondisi di mana µB << EF maka integral kedua di ruas kanan dapat
diaproksimasi sebagai berikut
ZEF ZEF
V V V V
N+ ≈ g(E)dE+ g(EF )[(EF +µB)−EF ] = g(E)dE+ g(EF )µB
2 2 2 2
0 0
(11.66)
Dengan cara serupa kita dapatkan jumlah elektron yang memiliki spin berla-
wanan dengan medan megnet adalah
EFZ−µB ZEF
V V V
N− = g(E)dE = g(E)dE − g(EF )µB (11.67)
2 2 2
0 0
Selisih jumlah elektron yang mengambil arah spin sejajar dan berlawanan
dengan medan menjadi
∆N = N+ − N− = V g(EF )µB (11.68)
Gambar 11.11: Magnetisasi sejumlah logam sebagai fungsi suhu (C.J. Kittel hal.
437).
Misalkan suatu keadan elektron memiliki peluang tersisi 0,95 pada suhu T .
Turunkan ungkapan untuk E − µ. Hitung nilai tersebut untuk T = 100 K,
300 K, dan 1200 K
Jawab
Probilitas mendapatkan elektron pada energi E adalah
1
f (E) =
exp[(E − µ)/kT ] + 1
198 Aplikasi Distribusi Fermi-Dirac
atau
1
exp[(E − µ)/kT ] = −1
f (E)
atau
1 1
E − µ = kT ln − 1 = kT ln − 1 = −2, 94kT
f (E) 0, 95
Pada suhu 100 K maka
E − µ = −2, 94 × (1, 38 × 10−23 ) × 100 = 4, 0610−21 J
Pada suhu 300 K maka
E − µ = −2, 94 × (1, 38 × 10−23 ) × 300 = 1, 22 × 10−20 J
Pada suhu 100 K maka
E − µ = −2, 94 × (1, 38 × 10−23 ) × 100 = 4, 87 × 10−20 J
Dengan demikian
2/3
h2
3n
EF = Eo + √
16π 2 m∗
Volume satu sel kisi natrium adalah a3 . Satu sel mengandung dua atom
dan masing-masing atom menyumbang satu elektron. Jadi kerapatan
elektron adalah
2 2
n= 3 = 3 = 2, 65 × 10
28
elektron/m3
a −10
(4, 255 × 10 )
. Maka
2/3 2
3 × (2, 65 × 1028 ) (6, 625 × 10−34 )
EF = Eo + √
16π 2 9, 1 × 10−31
= Eo + 5, 2 × 10−19 J
200 Aplikasi Distribusi Fermi-Dirac
Soal Latihan
1. Gambar 11.12 ini adalah hasil pengukuran kapasitas panas logam tem-
baga, perak dan emas pada suhu rendah. Dari data tersebut, perki-
rakan energi Fermi dan suhu Debye masing-masing logam.
Termodinamika Gas
Isi Bab ini. Bab ini berisi diskusi tentang beberapa sifat termidinamika
gas yang diperoleh dari perumusan fisika statistik. Pada fokus pembahasan
adalah gas maka akan ditekankan pada penggunaan distrubusi Maxwell-
Boltzmann. Di sini akan diperkenalkan fungsi partisi yang merupakan jem-
batan penghubung antara statistik dan termodinamika.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami fungsi
partisi dan bagaimana cara mandapatkan fungsi partisi tersebut serta meng-
gunakan fungsi partisi untuk menurunkan besaran-besaran termodinamika
gas.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami lebih
baik tentang bab ini, mahasiswa diharapkan memahami terlebih dahulu Bab
2, Bab 3, dan Bab 4, Bab 8, dan Bab 9. Pemahaman kembali materi kuliah
termodinamika juga sangat membantu.
12.1 Entropi
Pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah apakah benar satu partikel
gas dapat dibedakan dari partikel gas yang lain jika partikel-partikel tersebut
merupakan molekul gas yang sama dari isotop yang sama pula? Pernya-taan
tersebut mungkin meragukan. Oleh karena itu, perhitungan probabilitas di
atas terlalu besar dari yang seharusnya, yaitu apabila dianggap satu par-
tikel tidak dapat dibedakan dari partikel lain. Jumlah cara menukar N
buah partikel jika partikel tersebut dapat dibedakan adalah N !. Dengan
demikian, jika dianggap bahwa partikel-partikel gas dalam assembli tidak
dapat dibedakan maka probabilitas penyusunan partikel-partikel yang di-
ungkapkan dalam persamaan (12.2) harus dibagi N ! menjadi
Y g ns
s
W = (12.3)
s
n s!
Sudah kita bahas pada Bab 2 bahwa konfigurasi penyusunan yang mem-
berikan probabilitas maksimum terpeuhi jika ns = gs eα+βεs . Pada keadaan
ini kita peroleh Wmaks . Secara statistik entropi didefinisikan sebagai
S = k ln Wmaks (12.4)
P
Berdasarkan persamaan (12.3) maka ln W = [ns ln gs − ln ns !]. Kemudian
s
kita melakukan penyederhanaan dengan menggunakan aturan Stirling untuk
12.2 Fungsi Partisi Boltzmann 205
Pejumlahan di atas dilakukan untuk semua pita energi. Pita energi ke-s
mengandung sejumlah gs keadaan. Jika kita lupakan pita-pita energi dan
menggunakan tingkat-tingkat energi secara individual maka fungsi partisi
(12.8) dapat ditulis menjadi
X
Z= e−Ei /kT (12.9)
i
206 Termodinamika Gas
atau
Z
α = − ln (12.10)
N
N d
E= Z
Z dβ
(12.13)
d
=N ln Z
dβ
Selanjutnya bila kita ingan menyatakan dalam variabel suhu dengan meng-
gunakan hubungan β = −1/kT maka diperoleh
d dT d 1 d 1 d d
= = 2
= 2 = kT 2 (12.14)
dβ dβ dT kβ dT k(1/kT ) dT dT
d
E = N kT 2 ln Z (12.15)
dT
F = E − TS (12.16)
208 Termodinamika Gas
Bentuk penjumlahan dalam fungsi partisi seperti yang tampak pada per-
samaan (12.15) dapat dinyatakan dalam bentuk integral dengan terlebih
dahulu melakukan transformasi sebagai berikut
gs → g(E)dE
X Z∞
→
s 0
Dengan transformasi tersebut maka kita mndapatkan bentuk integral untuk
persamaan (12.15) sebagai berikut
Z∞
Z= e−E/kT g(E)dE
0
Z∞
3/2
= BV 2π(2m) e−E/kT E 1/2 dE (12.21)
0
√
3/2 3/2 π
= BV 2π(2m) (kT )
2
= BV (2mπkT )3/2
tiap molekul adalah 3kT /2. Karena terdapat N molekul maka energi total
gas memenuhi persamaan (12.23).
Dengan menggunakan fungsi partisi pada persamaan (12.21) maka en-
tropi pada persamaan (12.11) menjadi
( )
3N kT /2 BV (2mπkT )3/2
S= + kN ln + kN
T N
( ) (12.24)
5 BV (2mπkT )3/2
= kN + kN ln
2 N
Selama ini pembahasan kita difokuskan pada gas yang tidak berstruktur.
Pada gas semacam ini partikel hanya memiliki energi kinetik translasi. Un-
tuk gas yang bestruktur seperti molekul maka energi yang dimiliki gas bukan
hanya kinetik translasi, tetapi juga kinetik lainnya seperti vibrasi dan rotasi.
Sebagai ilustrasi di sini kita akan kita bahas gas yang memiliki tiga macam
energi kinetik, yaitu energi kinetik translasi, rotasi, dan vibrasi. Kita anggap
gas tidak memiliki energi potensial.
Untuk menentukan fungsi partisi total mari kita mulai dengan memisalkan
Energi total gas pada keadaan translasi ke-i, rotasi ke-j dan vibrasi ke-`
adalah
E(i, j, `) = E1i + E2j + E3` (12.28)
Dengan bentuk energi (12.28) maka fungsi partisi total gas menjadi
X E(i, j, `)
Z= exp −
kT
ij`
X (12.29)
= e−E1i /kT e−E2j /kT e−E3` /kT
ij`
= x1 y1 z1 + x1 y1 z2 + x1 y1 z3 + ... + xi yj z` + ...
Pada hasil perkalian kita dapatkan penjumlahan yang tiap sukunya men-
gandung perkalian xi yj z` untuk semua kombinasi nilai i, j, dan `. Pen-
jumlahan suku-suku yang tiap sukunya mengandung perkalian xi yj z` untuk
semua kombinasi nilai i, j, dan ` dapat dijumpai pada penjumlahan lipat
tiga berikut ini.
X
xi xj x` = x1 y1 z1 + x1 y1 z2 + x1 y1 z3 + ... + xi yj z` + ... (12.31)
ij`
Dengan sifat pada persamaan (12.32) maka kita dapat menulis fungsi partisi
(12.29) menjadi menjadi
X X X
Z= e−E1i /kT e−E2j /kT e−E3` /kT = Z1 Z2 Z3 (12.33)
i j `
di mana
X
Z1 = e−E1i /kT (12.34a)
i
X
Z2 = e−E2j /kT (12.34b)
j
X
Z3 = e−E3` /kT (12.34c)
`
= Z1 Z2 Z3 ...Zm
..
.
Ada sejumlah suku pada perkalian deret di atas yang sebenarnya hanya
pertukaran indeks partikel. Tetapi dengan anggapan partikel tidak dapat
dibedakan, pertukaran tersebut sebenarnya tidak menghasilkan konfigurasi
baru. Pada ungkapan semiklasik, suku yang mengandung pertukaran indeks
partikel tidak diperhitungkan. Jika ada N partikel maka ada sebanyak N !
kemungkinan konfigurasi yang sebenarnya hanya menukarkan indeks par-
tikel. Oleh karena itu jumlah suku pada perkalian deret persamaan (12.38)
lebih banyak N ! kali dibandingkan dengan jumlah suku pada persamaan
(12.37). Dengan demikian, penjumlahan pada semua konfigurasi pada per-
samaan (12.37) dapat diganti dengan
Karena partikel tidak dapat dibedakan maka tiap deret pada sisi kanan
menghasilkan Z. Karena ada N buah deret yang dikalikan sedangkan ni-
lai semua deret sama, yaitu Z, maka kita dapatkan
ZN
Zt = (12.40)
N!
1
g(E)dE = dpx dxdpy dydpz dz (12.41)
h3
12.10 Transformasi Penjumlahan ke Integral 215
X
Z= e−Ei /kT
Zi (12.42)
−E/kT dpx dxdpy dydpz dz
= e
h3
Fungsi partisi total pada persamaan (12.40) selanjutnya dapat ditulis men-
jadi
1
Zt = Z1 Z2 ...ZN
N! Z
1 dpx1 dx1 dpy1 dy1 dpz1 dz1
= e−E1 /kT
N! h3
Z
dpx2 dx2 dpy2 dy2 dpz2 dz2
e−E2 /kT ···
h3
Z
dpxN dxN dpyN dyN dpzN dzN
e−EN /kT
h3
Z
1
= e−(E1 +E2 +...+EN )/kT dpx1 dx1 dpy1 dy1 dpz1 dz1 · · ·
N !h3N
dpxN dxN dpyN dyN dpzN dzN
Z
1
= e−E/kT dpx1 dx1 dpy1 dy1 dpz1 dz1 ...dpxN dxN dpyN dyN dpzN dzN
N !h3N
(12.43)
Jadi, tiap satu nilai j terdapat sebanyak (2j + 1) buah nilai mj yang diper-
bolehkan.
Jika atom atau molekul ditempatkan dalam medan magnetik B maka
energi potensial magnetik yang dimilikinya adalah
U = −µ// B (12.46)
dengan µ// adalah komponen momen magnetik yang sejajar dengan medan
magnetik yang memenuhi
µ// = mj gµB (12.47)
12.11 Suseptibilitas Paramagnetik Kuantum 217
+j
X
Zj = e−U/kT
mj =−j
+j
X
= emj gµB B/kT (12.48)
mj =−j
+j
X
= emj x
mj =−j
1 − e(2j+1)x
Zj = e−jx
1 − ex
e(j+1/2)x − e−(j+1/2)x
= (12.49)
ex/2 − e−x/2
sinh(j + 1/2)x
=
sinh(x/2)
Gambar 12.2 adalah contoh plot energi magnetik rata-rata (E/N ) sebagai
fungsi gµB B/kT untuk berbagai harga j.
Magnetisasi dapat diturunkan dari persamaan energi menggunakan hubung-
an E = −M B, atau
M
m=− = gµB jBj (jx) (12.54)
N
Gambar 12.3 adalah data pengukuran magnetisasi per atom untuk se-
jumlah ion (Cr3+ , Fe3+ , dan Gd3+ ) serta prediksi menggungakan fungsi
Brillouin. Tampak bahwa fungsi Brillouin dapat menjelaskan dengan teliti
hasil pengamatan.
Sekarang kita tinjau kasus khusus di mana medan magnet sangak kecil,
atau x = gµB B/kT << 1. Kita akan melakukan pendekatan untuk fungsi
12.11 Suseptibilitas Paramagnetik Kuantum 219
Gambar 12.2: Energi magnetik rata-rata (E/N ) sebagai fungsi gµB B/kT pada
berbagai harga j.
E = −M B (12.57)
N g 2 µ2B B
M= j(j + 1) (12.58)
3kT
Magnetisasi yang didefinsikan sebagai momen dipol per satuan volume adalah
M
m=
V
(N/V )g 2 µ2B B
= j(j + 1) (12.59)
3kT
ng 2 µ2B B
= j(j + 1)
3kT
dengan n = N/V adalah kerapatan partikel. Akhirnya kita dapatkan susep-
tibilitas paramagtik menjadi
m
χ=
B
ng 2 µ2B
= j(j + 1) (12.60)
3kT
nµ2B p2
=
3kT
p
dengan p = g j(j + 1) disebut bilangan magneton Bohr efektif. Tabel 12.1
adalah contoh hasil perhitungan dan pengamatan bilangan magneton Bohr
efektif untuk ion lantanida valensi tiga. Gambar 12.4 adalah perbandingan
222 Termodinamika Gas
Tabel 12.1: Bilangan magneton Bohr efektif untuk ion lantanida valensi tiga.
p = g[j(j + 1)]1/2
Ion Konfigurasi (perhitungan) p (pengamatan)
Ce3+ 4f1 5f2 p6 2,54 2,4
Pr 3+ 2 2
4f 5s p 6 3,58 3,5
Nd3+ 4f3 5s2 p6 3,62 3,5
Pm3+ 4f4 5s2 p6 2,68 -
Sm 3+ 5 2
4f 5s p 6 0,84 1,5
Eu3+ 4f6 5s2 p6 0 3,4
Gd 3+ 7 2
4f 5s p 6 7,94 8,0
Tb3+ 4f8 5s2 p6 9,72 9,5
Dy3+ 4f9 5s2 p6 10,63 10,6
Ho3+ 4f1 05s2 p6 10,60 10,4
Er 3+ 4f1 15s2 p6 9,59 9,5
Tm3+ 4f1 25s2 p6 7,57 7,3
Yb 3+ 1
4f 35s p2 6 4,54 4,5
dengan
Fungsi partisi yang sudah kita bahas selama ini sebenarnya adalah fungsi
partisi translasi. Dengan demikian, tanpa perlu perhitungan ulang kita da-
patkan
V
Ztr = 3 (2πmkT )3/2 (12.62)
h
224 Termodinamika Gas
Sekarang kita tentukan fungsi partisi rotasi. Jika I adalah momen iner-
sia molekul maka dengan memecahkan persmaaan Schrodinger kita peroleh
tingkat-tingkat energi rotasi memenuhi
h2
Ej = j(j + 1) (12.63)
8π 2 I
dengan j adalah bilangan kuantum momentum sudut total yang merupakan
bilangan bulat positif. Untuk tiap nilai j ada sejumlah arah momentum
sudut yang diijinkan. Arah tersebut dinyatakan oleh bilangan kuantum mj .
Nilai mj yang diijinkan adalah
gs → (2j + 1) (12.64)
h2
Es → Ej = j(j + 1) (12.65)
8π 2 I
12.12 Molekul Diatomik 225
Gambar 12.6: Elektron diilustrasikan bergerak pada orbit molekuler dengan energi
disktrit. Beda energi antara tingkat yang berdekatan cukup besar.
dan seterusnya
dan seterusnya
Terakhir, fungsi partisi spin inti hampir tidak bergantung pada suhu.
Suhu operasional biasa sekitar suhu kamar tidak mampu memberikan pen-
garuh yang berarti pada inti atom. Dengan hasil di atas maka fungsi partisi
12.12 Molekul Diatomik 227
1 ∂Z ∂
E = N kT 2 = N kT 2 ln Z
Z
∂T ∂T
3 ∂ X 2 2
= N kT 2 + ln (2j + 1)e−j(j+1)h /8π IkT +
2T ∂T
j
( ) #
∂ e−~ω/2kT ∂ n o ∂
+ ln + ln go + g1 e−E1 /kT + ln Zn
∂T 1 − e−~ω/kT ∂T ∂T
(12.71)
h2
Θr =
8π 2 Ik
~ω
Θv =
k
E1
Θe =
k
228 Termodinamika Gas
3 ∂ X
E∼
= N kT 2 + ln (2j + 1)e−j(j+1)Θr /T +
2T ∂T
j
( ) # (12.73)
∂ e−Θv /2T ∂ n o
+ ln + ln go + g1 e−Θe /T
∂T 1 − e−Θv /T ∂T
3 ∂ X
E ≈ N kT 2 + ln (2j + 1)e−j(j+1)∞ +
2T ∂T
j
−∞ #
∂ e ∂
ln go + g1 e−∞
+ ln −∞
+
∂T 1−e ∂T (12.74)
3
= N kT 2 +0+0+0
2T
3
= N kT
2
dE
Cv =
dT (12.75)
3
= Nk
2
gaproksimasi
3 ∂ X
E ≈ N kT 2 + ln (2j + 1)e−j(j+1)Θr /T +
2T ∂T
j
−∞ #
∂ e ∂
ln go + g1 e−∞
+ ln + (12.76)
∂T 1 − e−∞ ∂T
3 ∂ X
= N kT 2 + ln (2j + 1)e−j(j+1)Θr /T
2T ∂T
j
X Z∞
−j(j+1)Θr /T
(2j + 1)e = (2j + 1)e−j(j+1)Θr /T dj (12.77)
j 0
1 2 1
2 1 1
2
j(j + 1) = j + j = j + j + − = j+ −
4 4 2 4
1
2j + 1 = 2 j +
2
1
dj = d j +
2
Z∞ Z∞
−j(j+1)Θr /T 1 −[(j+1/2)2 −1/4]Θr /T
(2j + 1)e dj = 2 j + e d(j + 1/2)
2
0 0
Z∞
Θr /4T 1 −(j+1/2)2 Θr /T
= 2e j+ e d(j + 1/2)
2
0
(12.78)
Z∞ Z∞
1 −(j+1/2)2 Θr /T 2 Θ /T
2e Θr /4T
j+ e d(j + 1/2) = 2e Θr /4T
xe−x r
dx
2
0 0
Z∞
T −y
= eΘr /4T e dy
Θr
0
Z∞
T
=e Θr /4T
e−y dy
Θr
0
T
= eΘr /4T
Θr
dE
Cv =
dT (12.81)
5
= Nk
2
Sekarang kita tinjau suhu pada jangkauan T >> Θv . Pada jangkauan ini
maka hanya Θe /T → ∞ yang terpenuhi sehingga kita dapat mengaproksi-
12.12 Molekul Diatomik 231
masi
3 ∂ X
E∼
= N kT 2 + ln (2j + 1)e−j(j+1)Θr /T
2T ∂T
j
( ) #
∂ e−Θv /2T ∂ −∞
(12.82)
+ ln + ln go + g1 e
∂T 1 − e−Θv /T ∂T
" ( )#
−Θv /2T
3 ∂ T ∂ e
≈ N kT 2 + ln eΘr /4T + ln
2T ∂T Θr ∂T 1 − e−Θv /T
Karena T >> Θv maka Θv /T → 0 dan Θr /T → 0 sehingga
e−Θr /4T ≈ 1
e−Θv /2T ≈ 1
1 − e−Θv /T ≈ 1 − (1 − Θv /T ) = Θv /T
Dengan demikian, energi assembli pada persamaan (12.82) menjadi
2 3 ∂ T ∂ T
E ≈ N kT + ln + ln
2T ∂T Θr ∂T Θv
3 1 1
= N kT 2 + + (12.83)
2T T T
7
= N kT
2
Kapasitas panas pada jangkauan suhu tersebut adalah
dE
Cv =
dT (12.84)
7
= Nk
2
Dari hasil ini tampak bahwa kapasitas panas gas mengalami perubahan
ketika suhu diubah dari sangat rendah ke sangat tinggi. Suhu sangat rendah
dan sangat tinggi tersebut sangat relatif dan bergantung pada jenis gas. Se-
bagai contoh, untuk gas hidrogen suhu sangat rendah adalah suhu di bawah
85,5 K dan sangat tinggi adalah di atas 6.000 K. Sedangkan untuk gas klor,
suhu sangat rendah hampir tidak ada karena harus jauh di bawah 0,35 K
dan suhu sangat tinggi adalah jauh di atas 815 K.
Gambar 12.7 adalah ilustrasi kurva kapasitas panas pada berbagai suhu.
Terjadi perubahan kapasitas panas secara tangga di sekitar suhu Θγ , Θv ,
dan Θe . Besar perubahan pada tiap step adalah ∆Cv = N k.
232 Termodinamika Gas
Gambar 12.7: Kapasitas panas gas diatomik pada daerah jangkauan suhu yang
sangat lebar.
a. Tidak ada disosiasi. Jumlah molekul AB=3, jumlah atom A=0 dan
jumlah atom B=0
234 Termodinamika Gas
Gambar 12.9: Ciri khas spektrum bintang pada berbagai suhu. Suhu dari bawah
ke atas adalah 3.000 K, 4.000 K, 6.000 K, 7.000 K, 10.000 K, 20.000 K, dan 30.000
K.
2
ZAB ZA ZB
b) 2! 1! 1!
2 2
ZAB ZA ZB
c) 1! 2! 2!
2 2
ZAB ZA ZB
d) 1! 2! 2!
Jika kita kurangi NAB satu dari nilai maksimum tersebut maka nilai NA
dan NB masing-masing akan bertambah satu. Tetapi menggunakan jumlah
236 Termodinamika Gas
partikel yang baru tersebut (hanya berbeda satu) dari nilai maksimum belum
akan menguban nilai suku maksimum tersebut. Jadi kita dapat menulis
NAB NA NB NAB −1 NA +1 NB +1
ZAB ZA ZB ZAB ZA ZB
≡
NAB ! NA ! NB ! (NAB − 1)! (NA + 1)! (NB + 1)!
yang memberikan
ZAB ZA ZB
≡ (12.90)
NAB (NA + 1) (NB + 1)
Karena NA >> 1 dan NB >> 1 maka NA + 1 =∼ NA dan NB + 1 ∼
= NB .
Dengan demikian
ZAB ZA ZB
≡ (12.91)
NAB NA NB
Masukkan persamaan untuk fungsi partisi sehingga diperoleh
3/2 3/2
V 2πMAB kT /h2 ZAB (int) V 2πMA kT /h2 ZA (int)
=
NAB NA
3/2
V 2πMB kT /h2 ZB (int)
×
NB
3/2 3/2
2πMAB kT /h2 2πMA kT /h2
ZAB (int) ZA (int)
=
NAB /V NA /V
3/2
2πMB kT /h2 ZB (int)
×
NB /V
3/2 3/2
2πMAB kT /h2 2πMA kT /h2
ZAB (int) ZA (int)
=
[nAB ] [nA ]
3/2
2πMB kT /h2 ZB (int)
×
[nB ]
atau
Kita menganggap bahwa molekul AB diikat oleh energi ∆E. Kita ju-
ga menganggap bahwa molekul AB tidak memiliki struktur internal ke-
cuali adanya kadaan tunggal dengan energy ikat ∆E. Dengan demikian
ZAB (int) = e−∆E/kT . Kita anggap juga bahwa A dan B tidak memiliki
12.13 Persamaan Saha 237
Lebih lanjut, jika pada suhu yang sangat rendah konsentrasi molekul AB
adalah no dan misalkan x menyatakan derajat disosiasi maka
Sebagai contoh, mari kita lihat rekombinasi elektron dan proton menjadi
atom hidrogen. Ketika alam semesta mengembang dan mendingin setelah
peristiwa Big Bang, suhu dan kerapatan partikel berkurang ke suatu kondisi
entropi yang memungkinkan elekton dan proton berekombinasi membentuk
atom hidrogen netral
p+ + e− → H (12.97)
Peristiwa ini berlangsung sekitar 380.000 yahun setelah Big Bang. Pada
saat ini suhu alam semesta sekitar 3.000 K dan kerapatan baryon sekitar
1, 2 × 102 proton/cm3 .
Berdasarkan persamaan (12.97) kita dapatkan
MA = me
MB = mp
MAB = mp + me ∼
= mp
∆E = Eg = −13, 56 eV
238 Termodinamika Gas
Sekarang kita bandingkan populasi atom yang terionisasi i kali dan i+1 kali.
Lihat persaman berikut ini
−I
i
Ai ←→ Ai+1 + e (12.99)
2πme kT 3/2
[ne ][ni+1 ]
=2 exp[−Ii /kT ] (12.102)
[ni ] h2
Zi Ze Zi+1
≡ (12.103)
Ni Ne Ni+1
Soal Latihan
1. Perlihatkan bahwa ketika bilangan kuantum J → ∞ maka fungsi Bril-
louin BJ (y) mendekati fungsi Langevin L(y) = coth y − 1/y
~2 2
− ∇ ψ(x, y, z) + V ψ(x, y, z) = Eψ(x, y, z)
2m
ZN
XXX π
(...) = (...) n2 dn
nx ny nz
2
0
Statistik Semikonduktor
Isi Bab ini. Bab ini berisi aplikasi sederhana fisika statistik untuk men-
jelaskan distribusi elektron dan hole dalam semikonduktor. Elektron dan
hole adalah fermion yang memenuhi fungsi distribusi Fermi-Dirac. Namun
pada suhu yang relatif tinggi, kita dapat menggunakan statistik Maxwell-
Boltzmann untuk menjelaskan distribusi dua jenis muatan tersebut.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami penggu-
naan statistik untuk menjelaskan distribusi muatan dalam semikonduktor.
Pemahaman distribusi muatan tersebut menjadi penting ketika akan mem-
pelajari mekanisme transport dalam semikonduktor.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Untuk memahami lebih
baik tentang bab ini, mahasiswa diharapkan memahami terlebih dahulu Bab
6, Bab 7, dan Bab 11. Pemahaman sedikit tentang band gap dalam semikon-
duktor juga sangat membantu.
13.1 Pendahuluan
duksi dibatasi oleh nilai-nilai energi yang tidak boleh ditempati elektron.
Daerah terlarang tersebut dinamakan celah energi (band gap). Lebar celah
energi didefinisikan sebagai selisih antara energi terendah dalam pita kon-
duksi dengan energi tertinggi dalam pita valensi. Jadi
Eg = Ec − Ev (13.1)
dengan Eg adalah lebar celah pita energi (energy band gap), Ec adalah energi
terendah dalam pita konduksi dan Ev adalah energi tertinggi dalam pita
valensi (Gbr. 13.1). Untuk kebanyakan semikonduktor, nilai Eg bervariasi
antara 0,1 eV hingga 2,5 eV.
Aliran muatan listrik dalam bahan semikonduktor terjadi jika ada elek-
tron yang meloncar dari pita valensi ke pita konduksi. Dalam pita konduksi
elektron berperilaku mendekati elektron bebas dalam logam sehingga mu-
dah mengalir ketika diberi medan listrik. Dalam pita valensi, elektron tidak
dapat mengalir bebas meskipun diberikan medan listrik yang besar. Pada
suhu mendakti nol kelvin tidak ada elektron yang sanggup meloncat dari
pita valensi ke pita konduksi sehingga semikonduktor bersifat isulator. Jika
suhu dinaikkan maka ada elektron dari pita valensi yang meloncat ke pita
konduksi. Makin tingi suhu maka makin banyak elektron yang meloncat ke
pita konduksi sehingga konduktivitas semikonduksotr makin besar.
Ketika elektron meloncat ke pita konduksi maka pita valensi menjadi
kekurangan elektron. Lokasi yang ditinggalkan elektron seolah berperilaku
sebagai partikel bermuatan positif. Partikel ini dinamakan hole. Dalam ba-
han semikonduktor murni, jumlah elektron yang meloncat ke pita konduksi
persis sama dengan jumlah hole yang terbentuk di pita valensi. Dengan
demikian, jika ne adalah konsentrasi elektron pada pita konduksi dan nh
adalah konsentrasi hole pada pita valensi maka untuk semikonduktor murni
terpenuhi
ne = nh (13.2)
Gambar 13.1: Pita valensi, pita konduksi, dan celah pita energi bahan semikon-
duktor.
ga menjadi atom yang bermuatan positif maka kita katakan atom terse-
but sebagai donor (pemberi elektron). Sebaliknya jika atom dopan pada
semikonduktor menarik elektron dari pita valensi sehingga menjadi atom
yang bermuatan negatif maka kita katakan atom tersebut sebagai akseptor.
Misalkan n+ −
d adalah konsentrasi donor dan na adalah konsentrasi aksep-
tor. Perbedaan konsentrasi donor dan akseptor adalah
−
∆n = n+
d − na (13.3)
Jika jumlah atom donor lebih banyak dari atom akseptor maka kita namakan
semikonduksotr tersebut bertipe negaitf. Sebaliknya jika jumlah akseptor
lebih banyak daripada jumlah atom donor maka kita katakana semikonduk-
tor tersebut bertipe positif.
244 Statistik Semikonduktor
Karena elektron adalah fermion maka distribusi elektron pada pita kon-
duksi memenuhi fungsi distribusi Fermi-Dirac
1
fe (E) = (13.5)
exp [(E − µ)/kT ] + 1
Populasi elektron pada pita konduksi adalah
X
Ne = fe (E) (13.6)
CB
dengan
fh (E) = 1 − fe (E)
1
=1−
exp [(E − µ)/kT ] + 1
exp [(E − µ)/kT ] (13.8)
=
exp [(E − µ)/kT ] + 1
1
=
exp [(µ − E)/kT ] + 1
Pendekatan Klasik
Dengan menggunakan persamaan (13.6), (13.7), (13.9) dan (13.10) kita per-
oleh
X X
Ne ≈ exp [−(E − µ)/kT ] = exp [−(E − Ec + Ec − µ)/kT ]
CB CB
X
= exp [−(E − Ec )/kT ] exp [−(Ec − µ)/kT ]
CB (13.11)
X
= exp [−(Ec − µ)/kT ] exp [−(E − Ec )/kT ]
CB
= Nc exp [−(Ec − µ)/kT ]
dengan X
Nc = exp [−(E − Ec )/kT ] (13.12)
CB
di mana X
Nv = exp [−(Ev − E)/kT ] (13.14)
vB
Tampak pada persamaan (13.15) bahwa Nc tidak lain daripada fungsi partisi
partikel bebas. Pada bab sebelumnya sudah dihitung bahwa fungsi partisi
partikel bebas adalah
mkT 3/2
Z= V (13.16)
2π~2
246 Statistik Semikonduktor
atau
ni = (nc nv )1/2 exp [−Eg /2kT ] (13.24)
Contoh Soal
Dalam model yang sederhana, germanium dianggap memiliki satu pita valen-
si dan satu pita konduksi. Jarak antar tepi dua pita tersebut adalah 0,670
eV. Massa efektif elektron dan hole dalam germanium adalah m∗e = 0, 550me
dan m∗h = 0, 370 me . Hitung:
(b) probabilitas penempatan elektron pada tepi pita konduksi pada suhu
300 K
(c) probabilitas bahwa puncak pita valensi adalah kosong pada suhu 300 K
(d) konsentrasi elektron pada pita konduksi.
Jawab
Kita misalkan Ev = 0 sehingga Ec = 0,670 eV
a) Dengan menggunakan persamaan (13.26) kita dapatkan potensial kimia
pada suhu 300 K adalah
∗
Ev + Ec 3 mh
µ= + kT ln
2 4 m∗e
0 + 0, 670 3 1, 38 × 10−23 × 300
0, 370me
= + × ln
2 4 1, 6 × 10−19 0, 550me
= 0, 3273 eV
Soal Latihan
(a) Cari konsentrasi elektron dan hole dalam silikon instristik pada suhu
kamar. Ambil m∗e = 0, 7me dan m∗h = m∗e .
Pengenalan Ensembel
Isi Bab ini. Bab ini berisi penjelasan tentang ensembel sebagai kumpulan
dari sejumah assembli. Ensembel dapat dipandang sebagai super assembli
yang anggotanya adalah assembli-assembli. Sedangkan assembli sendiri ber-
anggotan sistem-sistem.
Tujuan Bab ini. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami defin-
isi ensembel, mengapa konsep ensembel diperlukan, dan mengenal ciri tiga
macam ensembel: mikrokanonik, kanonik, dan grand kanonik.
Apa yang Perlu Dikuasai Lebih Dahulu. Bab ini tidak terlalu sulit
untuk dipahami, karena hanya berisi pengenalan tentang kosep ensembel.
Jadi tidak ada kemampuan khusus yang diperlukan untuk memahami pen-
jelasan dalam bab ini.
14.1 Pendahuluan
Assembli yang telah kita bahas sejauh ini memiliki kriteria yang sangat ketat,
yaitu energi yang dimiliki assembli maupun jumlah sistem dalam assembli
selalu tetap. Dalam dunia riil mungkin assembli demikian sulit diwujudkan.
Assembli semacam ini dapat didekati oleh satu wadah yang terisolasi rap-
at dari bahan isolator panas yang sangat tebal, tidak ada medan magnet,
medan listrik, atau bahkan medan gravitasi yang dirasakan sistem-sistem
dalam assembli. Jadi, pada prinsipnya, asembli yang telah kita bahas sela-
ma ini merupakan sebuah pendekatan untuk kondisi riil. Pendekatan terse-
but tentu saja mengandung sejumlah bias. Namun untuk dinding assembli
252 Pengenalan Ensembel
yang merupakan bahan isolator yang baik, bias yang dihasilkan tidak terlalu
signifikan.
Apabila kita ingin masuk ke kondisi yang lebih mendekati keadaan nyata,
maka pembatasan yang sangat ketat harus sedikit demi sedikit diperlonggar.
Kalau kita menempatkan sistem-sistem dalam wadah tertutup maka peluang
sistem untuk keluar dari dan masuk ke dalam wadah dapat dihindari. Den-
gan demikian pembatasan jumlah sistem yang konstan bukan merupakan
asumsi yang dibuat-buat. Tetapi untuk energi total yang dimiliki assembli,
pembatasan untuk energi yang konstan mungkin dapat dilanggar. Tidak
ada dinding wadah yang benar-benar sanggup meniadakan pertukaran ener-
gi secara sempurna, apalagi jika wadah yang kita miliki terbuat dari bahan
konduktor panas. Untuk menjelaskan mekanisme yang terjadi dalam as-
sembli yang memiliki dinding yang transparan terhadap energi, para ahli
juga mengembangkan statistik untuk assembli yang memiliki jumlah sistem
konstan tetapi jumlah energi tidak konstan.
Bahkan kasus yang lebih umum lagi adalah untuk assembli terbuka seper-
ti udara yang ada di sekitar kita. Kita bahkan tidak memiliki wadah sama
sekali. Kondisi ini dapat diasumsikan sebagai assembli yang dibatas wadah
yang dapat ditembus oleh sistem maupun oleh energi. Implikasinya adalah
jumlah sistem maupun energi total yang dimiliki asembli tidak tetap.
Sejauh ini kita telah merumuskan panjang lebar tentang assembli yang di-
batasi dinding yang tidak transparan terhadap sistem maupun energi. Per-
tanyaanya adalah bagaimana bentuk perumusan untuk assembli yang di-
batasi dinding yang sifatnya lebih longgar, yaitu dapat ditembus energi na-
mun tidak dapat ditembus sistem?
Perhatikan sebuah assembli di mana jumlah sistem dalam assembli tetap
tetapi energi yang dimilikinya dapat berubah-ubah (Gbr. 14.1). Assem-
bli tersebut memiliki dinding yang transparan terhadap energi tetapi tidak
transparan terhadap sistem. Contoh dinding tersebut adalah logam. Karena
dinding dapat ditembus energi maka pada saat yang berbeda, energi yang
dimiliki assembli mungkin berbeda. Misalkan energi yang dimiliki assembli
pada saat yang berbeda-beda diilustrasikan pada Tabel 14.1.
14.2 Dinding Assembli yang Transparan Terhadap Energi 253
1) Bisa saja terjadi bahwa pada saat yang berbeda, energi yang dimiliki
assembli kembali sama. Contohnya, bisa saja terjadi bahwa pada saat
t1 dan t2 energi yang dimiliki assembli sama, yaitu E1 = E7 .
2) Untuk mudahnya kita urutkan energi yang dapat dimiliki assembli dari
nilai terkecil hingga terbesar sebagai berikut E1 , E2 , E3 , , E∞ .
5) Karena kita tidak dapat mengetahui dengan pasti berapa ∆t1 , ∆t2 ,
dan seterusnya maka diasumsikan bahwa p(Ei )∞exp [−Ei /kT ]. Asum-
si ini diinspirasi oleh fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann bahwa pelu-
ang mendapatkan sistem pada tingkat energi ke-εi sebanding dengan
exp [−εi /kT ].
Ensembel Kanonik
lainnya. Namun jumlah total assembli dalam ensembel dan jumlah total
energi yang dimiliki ensemble adalah konstan.
Ensembel Mikrokanonik
[4] K. Huang, Statistical Mechanics, John Wiley and Sons, New York
(1963)
[5] C. Kittel, Introduction to Solid State Physics, John Wiley and Sons,
New York (1996)
assembli, 5