Anda di halaman 1dari 3

NAMA : MIA LAMBE

KELAS :X5
TUGAS : MULOK

Mas Kawin Sentani

Pembayaran emas kawin seringkali diplesetkan dengan membayar dan memberli perempuan
seharga motor tempel atau dalam sebuah lagi dinyanyikan motor johnson diganti dengan satu
buah buldozer. Lepas dari pro dan kontra sebenarnya emas kawin mengandung nilai-nilai adat
yang tidak bisa dikesampingkan dalam membangun sebuah masyarakat menuju peradaban
yang lebih baik.

Meski jaman sudah berubah dan jaman terus berkembang tetapi mempertahankan nilai-nilai
budaya bagi generasi muda di Tanah Papua menjadi sebuah keharusan yang selalu ditanamkan
sejak dini.
“ Bagi saya emas kawin bukan soal besar dan jumlah nilai tapi bagaimana mempertahankan
tradisi dan nilai-nilai adat yang selama ini dianut,”papar Mama Merry Manggara
Hindom, mengawali pembicaraan soal pembayaran emas kawin antar dua keret Boekorsjom
dari Kampung Samber, Kabupaten Biak Numfor dan keret Rumakewi dari Kampung Krudu
Kabupaten Yapen.
Namun demikian Max Boekorsjom wali dari Keluarga Perempuan yang menerima pembayaran
emas kawin dari keret Rumakewi di Kota Jayapura belum lama ini mengatakan ajang ini jelas
akan menjadi ruang pertemuan antar sesama saudara dalam menopang dan mendukung
kelancaran ritual adat ini.” Kita jarang bertemu dan saat ini bisa menjadi ajang untuk saling
belajar tentang bagaimana meneruskan tradisi emas kawin ini,” papar Boekorsjom.

Hal yang unik dalam prosesi pembayaran emas kawin antar keret Boekorsjom dan keret
Rumakewi telah menyepakati dalam mengantar emas kawin tidak diperkenankan membawa
bendera nasional Merah Putih yang selama ini seringkali dipraktekan dalam prosesi
pembayaran emas kawin.
Memang kebiasaan mengantarkan prosesi emas kawin dengan membawa bendera Merah Putih
atau juga simbol bendera yang lain tidak diketahui sejak kapan berlaku. Namun yang jelas
dalam budaya Papua tradisi membawa bendera memang belum ada dan baru berkembang sejak
masuknya Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Repbulik Indonesia (NKRI).
Akhirnya kedua belah pihak memutuskan bahwa yang akan menjadi simbol prosesi terdepan
adalah lambang Burung Kuning sebagai simbol kekayaan alam di Tanah Papua. Burung
Cenderawasih yang dipasang di tiang utama harus diserahkan kepada pihak perempuan sebagai
tanda pintu rumah keluarga menerima. Tentunya saudara perempuan dari pengantin yang akan
menerima simbol Burung Kuning dan menyerahkan kepada pihak laki-laki piring (Ben Bepon)
dan uang sebagai tanda awal prosesi pembayaran emas kawin.
Bentuk emas kawin yang akan dibayar pertama untuk mama dari anak perempuan yang selama
ini melahirkan dan membesarkannya. Atau bisa dikenal dengan istilah” uang susu.”
Selanjutnya emas kawin bagi keluarga besar atau keret yang memiliki hubungan kekerabatan
dengan keluarga penerima emas kawin.
Begitulah prosesi yang dijalani oleh dua belas pihak baik keret Boekorsjom dari pihak
perempuan mau pun keret Rumakewi dari pihak laki-laki. Namun yang jelas apa yang
sebenarnya menjadi simbol dan arti emas kawin bagi orang Papua khususnya dalam
Kebudayaan Biak Numfor terutama Kampung Samber di Kabupaten Biak Numfor.
Harta-harta emas kawin sejak dulu meliputi piring kuno China(ben bepon),gelang perak,
gelang kulit siput atau kerang(samfar). Emas kawin atau bride price adalah benda-benda
berharga yang diberikan kepada orang tua mempelai perempuan oleh mempelai pria atau
kerabatnya. Atau pengertian lain menyebutkan bride price artinya benda-benda berharga yang
diberikan oleh pihak mempelai pria kepada orang tua mempelai perempuan beserta kerabat-
kerabatnya. Tujuan dari pelaksanaan pembayaran emas kawin ini adalah untuk mengikat
masing-masing keluarga untuk saling menghargai dan menolong dalam segala hal.
Faktor-faktor yang memberikan perbedaan dalam emas kawin adalah besaran dan jumlah
nilainya yang ditentukan masing-masing pihak. Adapun besarnya jumlah emas kawin biasanya
ditentukan oleh status perempuan, latar belakang keluarga, keperawanan, maupun kecantikan
dan saat sekarang ini faktor pendidikan juga ikut menentukan besaran jumlah emas kawin.
Sejak jaman Belanda di Biak Numfor, pemerintah telah menetapkan besaran nilai emas kawin
sesuai dengan kesanggupan dan nilai kewajaran. Misalnya saja mempelai perempuan berasal
dari keluarga pendiri kampung atau manseren mnu dan masih berstatus perawan, maka jumlah
yang wajib diberikan kepada kaum pengantin pria dan kerabatnya sebesar 100 barang papus
dan sejumlah uang tunai.
Sebaliknya jika jika tidak perawan lagi atau janda dan bukan keluarga terpandang dikenakan
nilai sebesar 50 barang papus dan sejumlah uang tunai.
Perbincangan soal emas kawin sebenarnya sudah menjadi perdebatan para pakar antropolog,
Levi Struss yang dikutip dalam buku Prof Dr Jan Van Baal yang menyatakan praktek emas
kawin menyebabkan seorang perempuan merupakan obyek atau benda yang ditranfer atau
ditransaksi antara para lelaki. Penyamaan seorang perempuan dengan benda yang dijadikan
obyek transaksi antar kaum pria oleh pakar antorpolog Levi Strauss ini secara tidaklangsung
menempatkan kaum perempuan pada kedudukan yang lebih rendah dari kaum pria.
Namun demikian bagi Jan Van Baal, pakar antropolog yang juga mantan Gubernur Nederlands
Nieuw Guinea (Provinsi Papua dan Papua Barat) sebenarnya perlakuan terhadap kaum
perempuan sebagai benda transaksi kaum pria bukan semata-mata karena kehendak kaum pria
sendiri tetapi lebih dari itu kesediaan dari kaum perempuan untuk menjadikan dirinya obyek
transaksi. Jadi bagi Jaan Van Baal prinsip-prinsip tersebut mempunyai arti yang sangat penting
bagi kehidupan suatu masyarakat.
Melalui kerelaan seorang perempuan untuk diperlakukan sebagai benda yang dipertukarkan
merupakan tindakan yang bisa memungkinkan saudara laki-lakinya memperoleh sejumlah
harta yang dibutuhkan untuk membayar emas kawinnya sendiri. Hal ini semakin memperat
hubungan kekerabatan dengan saudara-saudara laki-laki dan orang tua perempuan bisa
mendapat bantuan dari suami (pihak keluarga suami) selama perkawinan itu berlangsung.
Jadi emas kawin bisa menurut antropolog Nelte Hubertina Mansoben-Mampioper dalam
Skripsinya berjudul Kedudukan dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Biak Numfor, Studi
Kasus Kampung Samber Distrik Yendidori Kabupaten Biak Numfor menyebutkan antara lain,
1. Emas Kawin merupakan alat pengabsahan terhadap suatu perkawinan.
2. Merupakan media yang disatu pihak menuntut sang isteri untuk tetap setia melayani suami
dan memelihara anak-anaknya yang lahir dari perkawinan tersebut. Dilain pihak menuntut
suami untuk memperlakukan isterinya dengan baik agar emas kawin yang telah dibayar oleh
pihaknya tidak hilang jika terjadi penyelewengan yang mengakibatkan perceraian.
3. Emas Kawin merupakan alat pengikat antara dua kelompok kekerabatan, yaitu antara
kelompok kekerabatan pihak perempuan dengan kelompok kekerabatan pihak pria. Biasanya
ikatan kekerabatan tersebut diperkuat melalui upacara-upacara yang melibatkan kedua
kelompok. Misalnya upacara turun tanah (Sababu), upacara pengguntingan rambut (kapaknik);
dan upacara inisiasi, workbor yang dilakukan bagi anak-anak terutama laki-laki sulung dari
suatu perkawinan. Sedangkan bagi anak-anak perempuan dilakukan juga kapaknik dan upacara
inisiasi, insos.

4. Emas kawin, menimbulkan hubungan timbal balik atau resiprokal antara kelompok-
kelompok kekerabatan yang berbeda. Biasanya saat mengumpulkan benda emas kawin, semua
penduduk warga kampung terlibat. Tidak terbatas pada kelompok klen atau marga tertentu saja.
Tradisi Biak Numfor menuntut semua warga di kampung merasa berkewajiban untuk saling
membantu sesama warga guna mendukung prosesi ini. Hal ini jelas akan menimbulkan rasa
kebersamaan sesama warga kampung termasuk keret atau klen di kampung.

5. Pembagian emas kawin di kampung terutama keret perempuan juga menimbulkan rasa
solidaritas antar klen untuk saling membantu dalam pembayaran emas kawin berilutnya bagi
warga di kampung.
Terlepas dari definisi atau pun perdebatan para pakar antropolog soal pembayaran emas
kawin di mana peran perempuan dianggap sebagai obyek. Namun yang jelas kehadiran setiap
klen dan kaum kerabat dalam peristiwa pembayaran emas kawin bisa menumbuhkan rasa
solidaritas dan meningkatkan perasaan solidaritas antar keret di dalam masyarakat khususnya
di Tanah Papua.

Hal unik lain dari masyarakat asli Sentani yaitu adanya alat pembayaran sendiri berupa manik-
manik, kapak batu (tomako), dan gelang batu (ebha). Ada tiga macam manik-manik, yaitu
haye, hawa, dan nokhong. Tomako juga terdiri atas tiga jenis, yakni pendek (yun seki), sedang
(relae) dan panjang (ebha bhuru). Alat-alat pembayaran ini masih berlaku dalam pembayaran
mas kawin saat pernikahan.

Anda mungkin juga menyukai