Anda di halaman 1dari 4

Film ini menyindir banyak aspek yaitu ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan,

kriminalitas, generasi muda, dan agama. Isu pengangguran, kekerasan, dan semangat materialisme
juga. Film ini menceritakan bagaimana Muluk (Reza Rahadian) dan kawan-kawannya bisa
mengubah para pencopet cilik untuk tidak lagi mencopet dan beralih usaha yang halal tetapi yang
tidak kalah serunya adalah detail-detail minor seperti celetukan para bocah pencopet atau atmosfir
sekitar.

Tengok bagaimana para calon besan (H Makbul/Deddy Miszwar dan H. Sarbini/Jaja


Miharja) begitu prihatin dengan Muluk yang sudah 2 tahun menganggur. Tekanan-tekanan sosial
seperti kewajiban bekerja dan menikah adalah hal lumrah di negeri ini. Pun dengan jutaan
pengangguran dari berbagai level pendidikan. Karena itu, lantas muncul komentar satir:
“Pendidikan itu penting. Karena berpendidikan, maka kita tahu bahwa pendidikan itu tidak
penting!”.

Aroma kemiskinan, pengangguran, dan akhirnya mencari jalan pintas atau apatis juga
hadir. Misalnya, Syamsul (Asrul Dahlan) yang hobi bermain gaple di pos ronda. Atau Pipit (Tika
Bravani) yang senang mengikuti kuis di televisi dan undian berhadiah. Atau, sang ibu (Rina
Hasyim) yang tidak punya pekerjaan selain mengisi TTS dan game watch.
Persoalan agama dan umatnya tentu kental di sini. Ada kelompok haji, seperti Makbul dan Sarbini,
dipimpin Haji Rahmat (Slamet Rahardjo Djarot). Tindakan revolusioner, mengumpulkan 10% dari
hasil copet untuk diputar dan ditabung, menimbulkan kontroversi, khususnya bagi para haji.
Mereka tentu saja menolak uang haram. Konflik pun kian meruncing.

Terakhir mari kita renungkan adegan ini: kala pencopet dengan sukses mengadakan
upacara bendera. Begitu lagu kebangsaan Indonesia Raya berhenti, “Hiduplah Indonesia
Raya”…tiba-tiba yang paling kecil menyeletuk:”Amin!”, sembari menggerakkan tangannya
mengusap wajah, layaknya berdoa. Ini menandakan bahwa kondisi negara kita masih belum
sempurna seperti yang ada dalam lirik lagu Indonesia Raya.

Di tengah megahnya gemerlap kehidupan ibukota ternyata masih ada sesuatu yang
terlupakan seperti kehidupan sosial masyarakat kita yang terjadi dalam film tersebut.
Sebaiknya film ini wajib ditonton pejabat dikalangan pemerintahan. Film ini juga sebagai kritik
sosial terhadap kinerja dan perilaku pejabat di negeri sampai-sampai tidak peduli dalam
memperhatikan kondisi yang ada di negeri ini. Inikah potret sesungguhnya yang ada di negeri ini.
Tetapi saya sempat merasa bangga dan termotivasi akan sikap dan perilaku ‘muluk’ seperti yang
ada dalam film tersebut yang berjuang keras memberikan pendidikan dan tata cara mancari uang
lagi tanpa harus mencopet, yaitu dengan cara menjadi pedagang asongan.

Menurut saya film ini sangat bermutu dibandingkan dengan film indonesia lainnya yang
lebih mengarah kearah yang negatif seperti ; pergaulan bebas, film percintaan yang lebih
mengutamakan kesan pornografinya, atau film-film horor yang tidak memberikan kesan mendidik.
Jarang sekali film yang memberikan kritikan keras terhadap pemerintahan dan menggambarkan
kondisi negeri ini.

Tetapi yang terkeras adalah pernyataan Syamsul di akhir cerita, yang berteriak-teriak
membandingkan koruptor dengan pencopet amatir. Dan setelah itu, Jupri menghampirinya untuk
memberinya kaos bergambar dirinya. Reaksi Syamsul sangat keras, dia berkata “kentut!”. Lewat
adegan itu, seolah kita diajak berpikir, orang ini ingin jadi wakil rakyat untuk kepentingan
pribadinya. Mengapa mereka tidak berupaya keras untuk mengentaskan banyak persoalan di
negeri ini?”

Terakhir mari kita renungkan adegan ini: kala pencopet dengan sukses mengadakan
upacara bendera. Begitu lagu kebangsaan Indonesia Raya berhenti, “Hiduplah Indonesia
Raya”…tiba-tiba yang paling kecil menyeletuk:”Amin!”, sembari menggerakkan tangannya
mengusap wajah, layaknya berdoa. Ini menandakan bahwa kondisi negara kita masih belum
sempurna seperti yang ada dalam lirik lagu Indonesia Raya.

Sindiran yang paling kuat menurut saya adalah yang pertama bahwa "Bedanya antara
pencopet dan koruptor adalah koruptor berpendidikan, hafal Pancasila dan UUD, rajin
beribadah,sedangkan pencopet tidak". Pencopet kalo ketahuan digebukin babak belur, kalau
koruptor ketangkap malah menikmati fasilitas mewah di tahanan.

Yang kedua masalah pendidikan di negeri ini yang diawal film diperdebatkan oleh tokoh
yang diperankan oleh Deddy Mizwar dan H.Sarbini (Jaja Miharja). Mereka berdebat antara
pentingnya pendidikan saat ini, Deddy Mizwar yang menjadi ayah muluk berpendapat bahwa
pendidikan itu penting, sedangkan H. Sarbini bilang itu ga penting. Buktinya Muluk lulus kuliah
malah nganggur, sedangkan keponakan-keponakan H Sarbini yang ga pada kuliah udah pada
punya toko dan mau naik haji. Statement H. Sarbini yang kuat adalah Pendidikan di negeri ini
penting asalkan ada koneksi.

Sindiran yang ketiga adalah ketika beberapa dari anak-anak yang beralih profesi dari
pencopet ke asongan, ternyata mereka tetap dikerjar-kejar oleh orang lain dalam hal ini adalah Pol
PP. Disini menegaskan statement bahwa "kerja yang haram aja susah, apalagi yang halal, sudah
hasilnya kecil, dikejar-kejarnya sama".

Di akhir film, muncul pernyataan keras yang menjadi jiwa film ini: “Fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara”, bunyi pasal 34 UUD 1945.

Jika saya menjadi seorang Menteri Pereknomian, saya akan melakukan Kebijakan
Pemerataan Ekonomi (KPE). Untuk itu pemerintah akan memfokuskan pada 4 (empat)
program Quick Wins dalam KPE yang memiliki dampak paling besar untuk mengurangi
ketimpangan di masyakarat. Kebijakan ini menitikberatkan pada Reforma Agraria termasuk
legalisasi lahan transmigrasi; pendidikan dan pelatihan vokasi; perumahan untuk masyarakat
miskin perkotaan; serta ritel modern dan pasar tradisional.
KPE memiliki 3 (tiga) pilar utama, meliputi Lahan, Kesempatan, dan Kapasitas Sumber
Daya Manusia (SDM). Hal ini dimaksudkan agar kebijakan pemerintah dapat diharmonisasikan
menjadi satu desain kebijakan yang koheren dan efektif dalam mengurangi ketimpangan yang
berbasis pemerataan ekonomi.
Dari ketiga pilar utama tersebut, terdapat 10 bidang yang dinilai menjadi sumber ketimpangan di
masyarakat.
1. Pilar I: berdasarkan lahan akan mencakup reforma agraria dan perhutanan sosial;
pertanian dalam kaitannya dengan isu petani tanpa lahan; perkebunan terkait dengan
rendahnya produktivitas dan nilai tambah komoditas; perumahan yang terjangkau bagi
masyarakat miskin perkotaan; dan nelayan serta petani budidaya rumput laut.
2. Pilar II: berdasarkan kesempatan akan menyasar permasalahan sistem pajak; manufaktur
dan informasi teknologi; perkembangan pasar ritel dan pasar tradisional; serta
pembiayaan dengan dana pemerintah.
3. Pilar III:pilar ketiga yakni peningkatan kapasitas sumber daya manusia, ditargetkan untuk
menyelesaikan isu vokasional, kewirausahaan dan pasar tenaga kerja.
Bentuk lainnya juga segera memberikan intensif bagi usaha mikro dan kecil misal
pencabutan pajak final 1% yang sampai saat ini sudah dijanjikan dan belum direalisasikan. PP
No. 39/2013 tentang pajak final mestinya segera dicabut.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Secara


subtantif mengisyaratkan prospektif pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih
kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis, termasuk berbagai peluang pengelolaan dan
pengembangan bidang pembangunan daerah tertinggal. Pemberlakuan undang-undang tersebut
menuntut adanya perubahan pengelolaan dan pengembangan pembangunan dari yang bersifat
sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik. Salah satunya penanganan kesenjangan
wilayah telah diintrodusir istilah daerah tertinggal, terpencil, terluar, terdepan guna mendapatkan
afirmasi khusus dari berbagai stakeholder pembangunan daerah.

Anda mungkin juga menyukai