Anda di halaman 1dari 73

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut teori simpul Achmadi, gangguan kesehatan terhadap seseorang

atau masyarakat disebabkan oleh adanya agen penyakit yang sampai pada

tubuhnya. Agen yang berasal dari sumbernya menyebarkan melalui simpul media

seperti udara, air, tanah, makanan dan manusia itu sendiri. setelah agen sampai

pada tubuh manusia kemudian berinteraksi dan memberikan dampak sakit mulai

dari yang ringan sampai berat. Salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui

udara adalah penyakit TB Paru, dengan mekanisme penularan adanya percikan

dahak yang dikeluarkan dari penderita TB Paru terhirup atau masuk kedalam

saluran pernafasan orang lain (Achmadi, 2005).

Orang yang sudah terkena kuman TB Paru maka kuman tersebut masuk

dalam tubuh akan berkembangbiak, lamanya dari terkumpulnya kuman sampai

timbulnya gejala penyakit dapat berbulan-bulan sampai tahunan. Selanjutnya

orang yang terkena kuman TB paru secara umum akan mengalami gejala terlebih

dahulu yaitu, demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya

dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam

seperti influenza dan bersifat hilang timbul. Penurunan nafsu makan dan berat

badan. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).

Perasaan tidak enak (malaise), lemah (Sudoyo, 2007).

Program pemerintah yang sudah di lakukan berbagai Pengobatan TB paru

adalah melakukan pengobatan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) OAT

harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup

1
2

dan dosis tepat sesuai kategori pengobatan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien

menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan

Obat (PMO). 3) Pengobatan TB paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal

( intensif ) dan lanjutan. Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat

menimbulkan efek samping baik yang bersifat ringan maupun yang berat (Depkes

RI, 2008).

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang paru-paru,

secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis

jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada

orang lain. Pengobatan TB membutuhkan waktu panjang (6 – 9 bulan) untuk

mencapai penyembuhan dan dengan paduan (kombinasi) beberapa macam obat,

sehingga tidak jarang pasien berhenti minum obat sebelum masa pengobatan

selesai yang berakibat pada kegagalan dalam pengobatan TB. WHO menerapkan

strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short course) dalam manajemen

penderita TB untuk menjamin pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO). Dengan strategi DOTS

angka kesembuhan pasien TB menjadi >85%. Obat yang diberikan juga dalam

bentuk kombinasi dosis tetap (fixed dose) karena lebih menguntungkan dan sangat

dianjurkan. Walaupun demikian angka penderita mangkir untuk meneruskan

minum obat tetap cukup tinggi (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan penelitian Syamsuardi di Puskesmas Muaro Paiti (2008),

dengan desain case control ditemukan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap

kejadian TB Paru dimana perempuan berisiko 0,425 kali lebih kecil untuk

terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan laki-laki .


3

Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk (2006) dengan desain case

control ditemukan bahwa seseorang yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi

kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki risiko 29,994 kali

untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam rumah

dengan ventilasi kamar tidur memenuhi syarat kesehatan demikian juga dengan

kelembapan rumah, dimana orang yang tinggal dalam rumah yang lembab

berisiko 9,229 kali untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan orang yang

tinggal dalam rumah yang tidak lembab.

Penderita TB di Indonesia tahun 2012 adalah sebanyak 44.377 jiwa,

dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak

33.222 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 1.181 jiwa

(Kemenkes RI, 2013), sedangkan pada tahun 2013 adalah sebanyak 33.547 jiwa,

dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak

22.381 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 1.119 jiwa

(Kemenkes RI, 2014), selanjutnya pada tahun 2014 adalah sebanyak 33.424 jiwa,

dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak

11.511 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 1.117 jiwa

(Kemenkes RI, 2015).

Penderita TB di Provinsi Aceh tahun 2012 adalah sebanyak 4.672 jiwa,

dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak

3.213 jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 182 jiwa (Profil

Aceh, 2013). Selanjutnya pada tahun 2013 adalah sebanyak 4.381 jiwa, dengan

jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 3.139


4

jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 150 jiwa (Dinkes Aceh,

2014).

Jumlah penderita TB di Kabupaten Aceh Barat tahun 2012 adalah

sebanyak 113 jiwa, degan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap

adalah sebanyak 89 jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 2

jiwa (Profil Aceh, 2013). Selanjutnya pada tahun 2013 adalah sebanyak 67 jiwa,

dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak

49 jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 9 jiwa (Dinkes

Aceh, 2014), sedangkan pada tahun 2014 adalah sebanyak 127 jiwa, dengan

jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 76 jiwa.

sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 32 jiwa (Profil Aceh Barat,

2015).

Puskesmas Meureubo merupakan salah satu puskesmas yang berada dalam

wilayah Kabupaten Aceh Barat yang terletak di desa Meureubo Kecamatan

Meureubo, jumlah penderita TB Paru pada tahun 2013 di Puskesmas Meureubo

adalah sebanyak 11 jiwa dengan jumlah pengobatan lengkap sebanyak 8 jiwa

sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 7 jiwa. Jumlah penderita TB

Paru pada tahun 2014 di Puskesmas Meureubo adalah sebanyak 43 jiwa dengan

jumlah pengobatan lengkap sebanyak 25 jiwa sedangkan jumlah kesembuhan TB

adalah sebanyak 21 jiwa. Jumlah penderita TB Paru pada tahun 2015 di

Puskesmas Meureubo adalah sebanyak 32 jiwa dengan jumlah pengobatan

lengkap sebanyak 11 jiwa sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 9

jiwa. Penderita TB Paru tahun 2015 terdiri dari 7 perempuan dan 26 laki-laki,

yang berumur 20-73 tahun. Jumlah pasien yang sembuh banyak di bandingkan
5

dengan jumlah pasien yang melakukan pengobatan lengkap karena beberapa

pasien tersebut tidak melakukan pengobatan di puskesmas akan tetapi berobat

kampung (Puskesmas Meureubo, 2015).

Berdasarkan studi pendahuluan wawancara dengan 10 orang pasien TB

yang datang berobat ke Puskesmas Meureubo peneliti mengidentifikasi bahwa 3

diantaranya mengalami TB Paru karena keluarga mereka ada yang mengalami TB

Paru yaitu orang tua, sehingga mereka juga mengalami TB Paru. Selanjutnya 7

orang lainnya mengalami TB Paru karena kebiasaan merokok, dan 3 orang

bekerja sebagai pengumpul sampah dan besi-besi tua sehingga mudah untuk

terkena TB Paru.

Berdasarkan permasalahan diatas mengidikasikan bahwa TB Paru dapat

menyerang siapa saja serta dapat di tularkan kepada siapa saja sehingga penulis

tertarik untuk mengkaji secara ilmiah “Perbedaan faktor Host, Agent,

Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah

Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin melihat

bagaimana Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB Paru

dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan

Meureubo Kabupaten Aceh Barat?”.


6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimana Perbedaan faktor Host, Agent,

Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah

Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui Perbedaan faktor Host, antara penderita TB Paru dan tidak

menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan

Meureubo Kabupaten Aceh Barat

b. Mengetahui Perbedaan faktor Agent antara penderita TB Paru dan tidak

menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan

Meureubo Kabupaten Aceh Barat

c. Mengetahui Perbedaan faktor Environtment antara penderita TB Paru dan

tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo

Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

1.4 Hipotesis Penelitian

Ha : Ada Perbedaan faktor Host antara penderita TB Paru dan tidak menderita

TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo

Kabupaten Aceh Barat

Ha : Ada Perbedaan faktor Agent antara penderita TB Paru dan tidak

menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan

Meureubo Kabupaten Aceh Barat


7

Ha : Ada Perbedaan faktor Environtment antara penderita TB Paru dan tidak

menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan

Meureubo Kabupaten Aceh Barat

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi mengenai Perbedaan faktor Host,

Agent, Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru

di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten

Aceh Barat

b. Bagi Universitas UTU Fakultas FKM sebagai bahan masukan dan referensi

tentang Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB

Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo

Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

1.5.2 Manfaat Teoritis

1. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dalam melakukan penelitian

khususnya tentang Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara

penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

2. Bagi Fakultas FKM Universitas Teuku Umar sebagai salah satu bahan

masukan atau informasi guna menambah bahan perpustakaan yang dapat

digunakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

3. Bagi pihak lain diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi

untuk dipelajari dibangku perkuliahan, dan dapat membandingkan antara


8

teori dengan praktek yang sesungguhnya di lapangan khususnya tentang TB

paru
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TB

2.1.1 Pengertian

Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. (Kemenkes RI,

2010).

Menurut Miller bahwa :”Kuman ini berbentuk batang dan bersifat tahan

asam sehingga di kenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Basil–basil

tuberkel di dalam jaringan tampak sebagai mikroorganisme berbentuk batang,

dengan panjang bervariasi antara 1 – 4 mikron dan diameter 0,3– 0,6 mikron.

Bentuknya sering agak melengkung dan kelihatan seperti manik –manik atau

bersegmen. Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam

jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa

tahun” (dalam Fatimah, 2008).

2.1.2 Epidemiologi

Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mempelajari

interaksi antara kuman (agent) Mycobacterium tuberculosis, manusia (host) dan

lingkungan (environment). Disamping itu mencakup distribusi dari penyakit,

perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup

prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular.

9
10

Sejak zaman purba, penyakit TB dikenal sebagai penyebab kematian yang

menakutkan, sampai pada saat Robert Koch menemukan penyebabnya. Penyakit

ini masih termasuk penyakit yang mematikan. Istilah saat itu untuk penyakit yang

mematikan adalah Consumption ( Djojodibroto, 2009).

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan

perkiraan sepertiga populasi terinfeksi dari 2,5 juta orang meninggal setiap tahun.

Mycobacterium tubercolosis menginfeksi 8,7 juta kasus baru pada tahun 2000

dengan angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per tahun. Infeksi

baru dalam jumlah banyak terdapat di Asia Tenggara (3 juta) dan Afrika (2 juta).

Sepertiga pasien dengan tubercolosis di Afrika mengalami koinfeksi dengan HIV

(Human Imunno Defisiensi Virus) . Pada tahun 2005, WHO (World Health

Organisation) memprediksi bahwa akan terdapat 10.2 juta kasus baru dan Afrika

akan memiliki lebih banyak kasus daripada daerah lainnya. Di Inggris jumlah

kasus meningkat, dengan kasus di London mengalami peningkatan sebesar 40%

antara tahun 1999 dan 2000 (Mandal, 2006).

TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan Indonesia

termasuk kedalam kelompok dengan masalah TB terbesar (high burden

countries). Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di

dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria (Pedoman Nasional

Pengendalian Tuberkulosis, 2011).

2.1.2 Penularan TB

Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA positif.

Penularan terjadi pada waktu penderita TB paru batuk atau bersin, penderita

menyebarkan kuman bakteri ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).


11

Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar

selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup

kedalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh lainnya

melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau

penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2010).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman

yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan

dahak, makin menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak

negatif maka penderita tersebut tidak menularkan. Kemungkinan seorang

terinfeksi TB paru di tentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut.

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =

ARTI) di Indonesia di anggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 – 2 %.

Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB.

Dimana Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 % berarti setiap tahun diantara

100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 penderita TB Paru baru setiap tahun,

dimana 50 penderita adalah BTA positif ( Suryo, 2010).

2.1.3 Gejala TB

a. Gejala utama: batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih.

b. Gejala lainnya :

1. batuk bercampur darah

2. sesak napas dan nyeri dada

3. badan lemah

4. nafsu makan berkurang


12

5. berat badan turun

6. rasa kurang enak badan (lemas)

7. demam meriang berkepanjangan

8. berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan kegiatan.

(Kementrian Kesehatan RI, 2010)

2.1.4 Komplikasi

Komplikasi Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,TB

usus. Menurut Kementrian Kesehatan RI, (2010) komplikasi yang sering terjadi

pada penderita TB Paru stadium lanjut:

1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan

nafas.

2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.

3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru.

4) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru.

5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan

sebagainya.

6) Insufisiensi Kardio Pulmoner

2.1.5 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru dan Tipe Penderita

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru

memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu :


13

1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Berdasarkan buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2011

pembagian klasifikasi penyakit TB Paru adalah :

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :

1. Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru.

2. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh

lain selain paru, misalnya selaput otak, selaput jantung, kelenjar lymfe,

tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan

lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

1. Tuberkulosis paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu-Pagi-

Sewaktu) hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB

positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti

Tuberkulosis).

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

b) Foto rontgen dada abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis


14

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien

dengan HIV negatif

d) Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan

2. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Dalam buku Kementrian Kesehatan RI, 2010 Ada beberapa tipe penderita yaitu:

a) Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b) Kambuh

Adalah penderita tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis paru dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali

lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

c) Pindahan (Transfer In)

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain,

kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.

d) Pengobatan setelah lalai (Default / Drop-out )

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2

bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. umumnya penderita

tersebut kembali dengan pemeriksaan dahak BTA positif.

e) Gagal

(1) Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan setelah pengobatan) atau

lebih.
15

(2) Adalah penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA

positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.

f) Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok

ini termasuk pasien dengan kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif selesai pengobatan ulangan.

2.1.6 Kegagalan

Menurut Halim (1999) Kegagalan (Drop Out) adalah terjadinya

kemunduran selama masa penyembuhan (saat penderita masih menerima

pengobatan tuberculosis) terutama kemunduran bakteriologik. Dep kes (1993)

Drop out adalah penderita yang tidak mengambil obat selama 2 bulan berturuturut

atau lebih selama masa pengobatan selesai. Reviono (1999) mengungkapkan

bahwa keadaan drop out pada masa pengobatan terjadi pada dua bulan pertama

pengobatan sampai pengobatan lanjutan, kejadian berhenti berobat yang terjadi

pada fase awal dua bulan pertama pengobatan (Zulkifli, 2010)

Menurut Haryanto (2002) kegagalan dalam pengobatan (Drop Out)

dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan memberikan konstribusi yang besar

bagi rendahnya tingkat pemahaman pada penderita mengenai penyakitnya. Kasus

kegagalan dalam pengobatan (Drop Out) menjadi salah satu keberhasilan program

pemberantasan TB Paru. Penderita yang gagal bisa meninggal dunia namun juga

tidak bisa sembuh dan tetap merupakan sumber penularan bagi masyarakat

sekitar, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesembuhan penderita TB paru

antara lain, umur, sosial ekonomi, keteraturan minum obat dan penyakit kronis
16

yang menyertai pemakaian obat anti tuberkolosis sebelumnya dan adanya resisten

efek samping obat yang di minum.

2.1.7 Pengobatan TB Paru

Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Jenis, sifat dan dosis yang

digunakan untuk TB paru sebagaimana tertera dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis, sifat dan dosis OAT

Dosis (mg/kg) Dosis (mg/kg) 3 x


Jenis OAT Sifat
Harian Seminggu
5 10
Isoniasid ( H ) Bakterisid
(4-6 ) ( 8-12 )
10 10
Rifampicin ( R ) Bakterisid
( 8 -12 ) ( 8- 12 )
25 35
Pyrazinamid ( Z ) Bakterisid
( 20-30 ) ( 30-40 )
15 -
Steptomycin ( S ) Bakterisid
( 12-18 )
15 30
Etambutol ( E ) Bakteriostatik
( 15-20 ) ( 20-35 )
(Depkes, 2008).

Pengobatan TB paru menurut Depkes RI (2013) dilakukan dengan prinsip-

prinsip sebagai berikut : 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai kategori

pengobatan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat ( PMO ). 3)

Pengobatan TB paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal ( intensif ) dan

lanjutan. Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan

efek samping baik yang bersifat ringan maupun yang berat. Tabel 2.2 menjelaskan

efek samping OAT dari yang ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.
17

Tabel 2.2 Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Tidak ada nafsu makan Rifampicin Semua OAT diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 ( piridoxin ) 100
terbakar di kaki mg per hari
Warna kemerahan pada Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
seni ( urine ) penjelasan pada pasien
(Depkes, 2008).

Tabel 4.3 Efek samping berat OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Ikuti petujuk pelaksanaan
kulit dibawah .
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
keseimbangan Etambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua Hentikan semua OAT sampai
lain OAT ikterus menghilang.
Bingung dan muntah – Hampir semua Hentikan semua OAT, segera
muntah (permulaan OAT lakukan tes fungsi hati.
ikterus karena obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan rejatan Rifampisin Hentikan Rifampisin
(syok )
(Depkes, 2008).

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan Gatal dan kemerahan kulit Semua

jenis OAT Ikuti petujuk pelaksanaan dibawah . Tuli Streptomisin Streptomisin

dihentikan Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti

Etambutol Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua OAT

sampai ikterus menghilang. Bingung dan muntah – muntah (permulaan ikterus

karena obat) Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi

hati. Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol Purpura dan rejatan

(syok ) Rifampisin Hentikan Rifampisin (Depkes, 2008).


18

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”

dilakukan dengan menyingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Sementara

dapat diberikan anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat.

Gatal – gatal tersebut pada sebagian pasien akan hilang, namun pada sebagian

pasien malahan terjadi kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini terjadi maka

OAT yang diberikan harus dihentikan, dan ditunggu sampai kemerahan kulit

tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau

karena kelebihan dosis (Depkes, 2008).

2.2 Determinan TB Paru

Determinan TB paru menurut teori Prof. John Gordon dalam Widoyono

(2011) menjelaskan bahwa terjadinya suatu penyakit dipengaruhi oleh tiga hal

yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment).

2.2.1 Host

3. Umur

TB Paru dapat menyerang semua golongan umur. Beberapa penelitian

menunjukkan kecenderungan pada kelompok usia produktif. Hal ini disebabkan

karena pada usia produktif mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga

kemungkinan untuk terpapar kuman TB Paru lebih besar. Bayi dan anak-anak

mempunyai daya tahan tubuh yang lemah sampai berusia 2 tahun, anak dapat

terserang meningitis tuberkulosis, namun jika status gizinya baik, penyebarannya

dapat dicegah. Sebagian besar basil TB yang masuk ke dalam tubuh anak tidak

menimbulkan penyakit tetapi akan tetap tinggal dalam paru sampai anak dewasa.

TB Paru pada orang dewasa dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yang pertama
19

dengan terhirup basil tuberkulosis kemudian berkembang biak dalam paru dan

merusaknya, dan yang kedua timbul akibat aktifnya kembali basil tuberkulosis

yang dorman dalam tubuh ketika masih anak-anak.

Menurut Kusharyadi (2012) dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat

mengenai batasan usia. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah

sebagai berikut :

a. Masa muda (18-29 tahun)

b. Masa Tua (usia ≥ 30 tahun)

4. Jenis Kelamin

Penyakit TB Paru menyerang laki-laki dan perempuan. Menurut data WHO

(2004), kematian wanita akibat TB di dunia lebih banyak dari pada kematian

karena proses kehamilan, persalinan dan nifas. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa laki-laki lebih sering terserang TB Paru dari pada perempuan. Hal ini

disebabkan mobilitas pria yang lebih tinggi dan kebiasaan merokok dan konsumsi

alkohol yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga lebih mudah terserang

TB Paru.

5. Pendidikan

Pendidikan seorang penderita TB paru berpengaruh terhadap cara bertindak

baik tindakan untuk melakukan pencegahan maupun pemilihan alternatif

pengobatan. Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilaksanakan Departemen

Kesehatan (2004) dengan desain case control, ditemukan bahwa pendidikan

merupakan salah satu faktor risiko terjadinya drop out, pendidikan juga

merupakan salah satu faktor risiko terjadinya drop out pada pengobatan TB Paru.
20

6. Status Gizi

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, akan

memengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap berbagai

macam penyakit termasuk TB Paru. Dan faktor ini merupakan salah satu faktor

penting penyebaran TB Paru khususnya di negara miskin.

Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara

berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. IMT dipercayai dapat menjadi

indikator atau mengambarkan kadar adipositas dalam tubuh seseorang. IMT tidak

mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa

IMT berkorelasi dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti

underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn

LM et al., 2009). IMT merupakan altenatif untuk tindakan pengukuran lemak

tubuh karena murah serta metode skrining kategori berat badan yang mudah

dilakukan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:

Menurut rumus metrik:


BB
IMT :
TB2
Keterangan

IMT : Indek Masa Tubuh

BB : Berat Badan

TB : Tinggi Badan (Meter)

Batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:


21

Tabel 2.1 Kategori ambang IMT

IMT Kategori
< 17,0 KEK
>17,0-18,5 Kurus
18,5-25,0 Normal
25,0-27,0 gemuk
> 27,0 Obesitas

7. Merokok

Merokok sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Di dalam rokok terdapat

45 jenis bahan kimia beracun. Merokok dapat mengiritasi paru-paru yang sakit

sehingga mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya. Pada perokok

banyak dijumpai gejala berupa batuk kronis, berdahak dan gangguan pernapasan.

Apabila dilakukan uji fungsi paru-paru maka pada perokok jauh lebih buruk

dibandingkan dengan yang bukan perokok. Penelitian Umar dengan penelitian

prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan

bahwa penderita yang mempunyai kebiasaan merokok 7,7 kali lebih sulit untuk

sembuh dari pada yang tidak merokok pada penderita TB Paru.

Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per

hari, terbagi atas 3 kelompok yaitu :

i. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok

per hari.

ii. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang rokok per

hari.

iii. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20 batang rokok per

hari (Bustan, 2000).


22

2.2.2 Agent

TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis dan untuk menjadi

sakit, dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang mempunyai kemampuan

menggandakan terjadinya infeksi, serta virulensi dari bakteri itu sendiri.

Agent adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi.

Agent dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak,

suasana sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan

penyebab utama/esensial dalam terjadinya penyakit ( Soemirat, 2010).

Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman

Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya patogenitas, infektifitas dan virulensi. Patogenitas adalah kemampuan

suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Patogenitas kuman

tuberkulosis paru tergolong pada tingkat yang rendah. Infektifitas adalah

kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembangbiak di

dalamnya. infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah.

Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang

sama virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi (Roeswendi, 2009).

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau

bahkan banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam

pemeriksaan kesehatan. Menurut Sudoyo (2007) keluhan yang terbanyak adalah

demam, batuk/batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, dan malaise. Berikut

penjelasan dari masing-masing keluhan tersebut :


23

1. Demam

Biasanya subfebril meyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang

panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat sembuh

sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.

2. Batuk/Batuk darah

Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk

membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering

kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan yang lanjut

adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

c. Sesak nafas

Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

d. Nyeri dada

Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga

menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien

menarik/melepaskan napasnya.

2.2.3 Environment

Lingkungan yang buruk, misalnya pemukiman yang padat dan kumuh,

rumah yang lembab dan gelap, kamar tanpa ventilasi serta lingkungan tempat

kerja yang buruk dapat mempermudah penularan TB Paru.

a. Kepadatan Penghuni Rumah, ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya

dengan kejadian tuberkulosis paru. Hal ini dikarenakan kepadatan rumah yang

tinggi akan mengakibatkan kadar CO2 di rumah meningkat. Peningkatan CO2,

sangat mendukung perkembangan bakteri. Hal ini di karenakan Mycobacterium


24

tuberculosis adalah aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi banyak

komponen karbon sederhana. Kepadatan penghuni rumah merupakan

perbandingan luas lantai dalam rumah dengan jumlah anggota keluarga

penghuni rumah tersebut. Kepadatan hunian ruang tidur menurut Permenkes RI

Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 adalah minimal 8 m2 , dan tidak

dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali

anak di bawah umur lima tahun. Suhu kamar yang ideal adalah 20 sampai

dengan 250c

b. Kelembaban Rumah, kelembaban dalam rumah akan mempermudah

berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan

virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara

,selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa

hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang

mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat merupakanmedia yang

baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri tuberkulosis. Kelembaban ruangan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011

tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah menetapkan bahwa

kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40- 60%. Kelembaban yang

terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan

mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab penyakit.

c. Ventilasi Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya

udara juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di

dalam rumah tersebut tetap segar. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan

menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses


25

penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi

akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-

bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis.

d. Pencahayaan Sinar Matahari Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi

ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Fungsi sinar matahari

didalam rumah sangat baik bagi kesehatan dimana sinar matahri yang masuk

kedalam rumah dapat menghilangkan jamur dinding, mengusir nyamuk,

membunuh bakteri dn virus yang ada di udara dan sebagai sumber energi.

e. Lantai rumah Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai

kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses

kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah

cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering

sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.

f. Dinding rumah. Dinding rumah berfungsi sebagai pelindung, baik dari

gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu

dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya.Beberapa bahan

pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan

sebagainya.Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah

pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan

kedap air sehingga mudah dibersihkan.

Berdasarkan penelitian Syamsuardi di Puskesmas Muaro Paiti (2008)

dengan desain case control menemukan bahwa ada pengaruh faktor lingkungan

seperti suhu kamar dengan kejadian TB Paru, ada pengaruh pencahayaan kamar

dengan kejadian TB Paru, dan seseorang yang menghuni rumah dengan


26

pencahayaan dan suhu kamar yang tidak memenuhi syarat kesehatan serta

memiliki kebiasaan merokok mempunyai risiko terjadinya TB Paru sebesar 96%.

Berdasarkan hasil penelitian Ernita Azis, dkk (2008) dalam berita

kedokteran masyarakat menemukan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan

keadaan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan risiko terkena TB

meningkat 1,354 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal di rumah

dengan keadaan ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan.

2.3 Pencegahan TB Paru

Program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara

berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan

pencegahan tersier, sebagai berikut (Depkes RI, 2008):

2.3.1 Pencegahan Primer

Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah

orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan

rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin (BCG)

segera setelah bayi lahir. Walaupun BCG telah diberikan pada anak sejak tahun

1920-an, efektivitasnya dalam pencegahan TB masih merupakan kontroversi

karena kisaran keberhasilan yang diperoleh begitu lebar (antara 0-80%). Namun

ada satu hal yang diterima secara umum, yaitu BCG memberi perlindungan lebih

terhadap penyakit tuberkulosis yang parah seperti tuberkulosis milier atau

meningitis tuberkulosis. Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan

prevalensi tuberkulosis di suatu negara (Depkes RI, 2008)

Di negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, BCG harus diberikan

pada semua anak kecuali anak dengan gejala HIV/AIDS, demikian juga anak
27

dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti yang

menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan

perlindungan, dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan. Sebagian kecil anak (1-

2%) dapat mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti pembentukan

kumpulan nanah (abses) lokal . Selain pemberian imunisasi BCG, pencegahan

primer juga dapat didukung dengan konsumsi gizi yang baik (Depkes RI, 2008):

2.2.2 Pencegahan Sekunder

Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu

dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem

skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak

tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6

bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG

dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Depkes RI, 2008).

Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan

laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis

paru merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran

penting dalam Penanggulangan Tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan

deteksi pasien tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta

menetapkan hasil akhir pengobatan (Depkes RI, 2008):

Diagnosis tuberkulosis paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak

merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur

memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal.

Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan

pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis


28

merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik,

sensitif dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium (Depkes RI, 2008).

Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan

Laboratorium tuberkulosis paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang

terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan

manajemen laboratorium tuberkulosis paru adalah untuk meningkatkan penerapan

manajemen laboratorium tuberkulosis paru yang baik di setiap jenjang

laboratorium dalam upaya melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu

dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Ruang lingkup manajemen laboratorium

tuberkulosis paru meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan

laboratorium tuberkulosis paru, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium,

pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis paru, keamanan dan kebersihan

laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi (Depkes RI, 2008).

2.2.3 Pencegahan Tersier

Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah,

misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa

bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh

menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari

tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya

kavitas atau efusi pleura. Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan

lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara

cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk

membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat
29

karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri

yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil (Depes RI, 2008).

Pengobatan TB umumnya dilakukan dengan rawat jalan (outpatient basis),

namun ada beberapa kondisi yang membutuhkan perawatan di RS. Kondisi-

kondisi tersebut seperti: meningitis dan tuberkulosis milier, anak dengan

gangguan pernapasan dan tuberkulosis tulang belakang. Setelah pengobatan

dimulai, kadang gejala tuberkulosis atau gambaran X-ray dada menjadi lebih

parah. Hal ini umumnya terjadi seiring peningkatan kekebalan tubuh karena

perbaikan gizi, pengobatan tuberkulosis itu sendiri, atau terapi antiviral pada anak

dengan HIV. Efek samping pengobatan TB lebih jarang terjadi pada anak

dibandingkan pada pasien dewasa. Efek samping yang paling penting diperhatikan

adalah keracunan pada hati (hepatotoksisitas) yang dapat disebabkan oleh

isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide. Tidak ada anjuran untuk memeriksa

kadar enzim hati secara rutin karena peningkatan enzim yang ringan. Isoniazid

dapat menyebabkan defisiensi vitamin B6 (pyridoxine) pada kondisi tertentu

sehingga suplemen vitamin B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi,

anak yang terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusu ASI, dan remaja yang hamil

(WHO, 2006).

Menurut Maher et al (2008) dalam Oxford Textbook of Public Health

disebutkan bahwa konsep pengobatan anti-TB kemoterapi sebagai latar belakang

untuk pengembangan dan implementasi dari strategi untuk penanggulangan TB

yang dikenal sebagai DOTS (Directly Observed Treatment, Short-Course).

Penilaian terhadap kemajuan yang telah dilakukan terhadap target internasional

untuk penanggulangan TB tahun 2005, dan kemudian respon internasional yang


30

berkembang untuk tantangan TBC, termasuk pengembangan Strategi Stop TB dan

Global Plan untuk menerapkannya dengan penilaian prospek untuk pengendalian

tuberkulosis di masa depan untuk tahun 2015 (tahun target Millenium

Development Goals) dan kemudian tahun 2050 (tahun target untuk penghapusan

TB sebagai masalah kesehatan publik secara global).

2.4 Kerangka Teoritis

Mengacu pada tinjauan pustaka di atas maka kerangka teori ini

disimpulkan berdasarkan teori kepatuhan menurut Widoyono (2011)yaitu sebagai

berikut:

Host
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Pendidikan
4. Status gizi
5. Merokok

Agent (Riwayat Penyakit) TB Paru

Envirotmen
a. Kepadatan Penghunian Rumah
b. Kelembaban Rumah
c. Ventilasi Jendela dan Lubang
Ventilasi
d. Pencahayaan Sinar Matahari
e. Lantai Rumah
f. Dinding

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian


31

2.4 Kerangka Konsep

Mengacu pada kerangka teori diatas maka kerangka konsep disimpulkan

berdasarkan teori kepatuhan menurut Widoyono (2011) yaitu sebagai berikut

Variabel Independen Variabel Dependen

Host
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Pendidikan
4. Status gizi
5. Merokok

Agent (Riwayat Penyakit) TB Paru

Envirotmen
1. Kepadatan Penghunian Rumah
2. Ventilasi Jendela dan Lubang
Ventilasi
3. Pencahayaan Sinar Matahari
4. Lantai Rumah
5. Dinding

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian survei yang bersifat analitik

dengan pendekatan Case Control dalah suatu penelitian analitik yang menyangkut

bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan

“retrospective”, (Notoatmodjo, 2012), yang bertujuan untuk mengetahui

Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB Paru dan tidak

menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Mereubo Kecamatan Meureubo

Kabupaten Aceh Barat.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo

Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat pada tanggal, 10 Oktober-27

Oktober 2016.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB di wilayah

kerja UPTD Puskesmas Meureubo pada tahun 2015 yaitu sebanyak 64 orang

dimana 32 responden merupakan pasien TB Paru dan 32 lainnya adalah

masyarakat yang bukan pasien TB Paru.

32
33

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Total Sampling.

Menurut Notoatmodjo (2012), prosedur pengambilan sampel penelitian ini adalah

pengambilan sampel secara keseluruhan dikarenakan jumlah populasi yang sedikit

yaitu sebanyak 64 orang.

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Adapun kriteria inklusi dan ekslusi adalah sebagai berikut :

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili

dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel

(Notoatmodjo, 2012) yaitu :

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Responden yang 32 adalah pasien TB Paru

b. Responden yang 32 adalah bukan pasien TB Paru tetapi karakteristik yang

dilihat adalah sama dengan pasien TB Paru

c. Responden yang berdomisili di wilayah kerja puskesmas Meureubo

d. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian

2. Kriteria ekslusi

Kriteria ekslusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat

mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian

(Notoatmodjo, 2012).

Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah;

a. Responden yang 32 adalah bukan pasien TB Paru


34

b. Responden yang 32 adalah bukan pasien TB Paru tetapi karakteristik yang

dilihat adalah tidak sama dengan psien TB Paru

c. Responden yang berdomisili di luar wilayah kerja puskesmas Meureubo

d. Tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian

3.4 Pengolahan Data

Setelah data dikumpulkan penulis melakukan pengolahan data dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing (memeriksa), yaitu data yang telah didapatkan diedit untuk

mengecek ulang atau mengoreksi untuk mengetahui kebenaran.

2. Coding, dimana data yang telah didapat dari hasil penelitian dikumpul

dan diberi kode.

3. Tabulating data, data yang telah dikoreksi kemudian dikelompokkan

dalam bentuk tabel.

4. Transfering data, dimana data yang telah dibersihkan dimasukkan dalam

komputer kemudian data tersebut diolah dengan program komputer.

3.5 Metode Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data yang diperoleh dari peninjauan langsung kelapangan melalui

pengamatan dilapangan dan kuisioner yang telah disusun sebelumnya.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo

Kabupaten Aceh Barat seperti data jumlah desa, jumlah pasien TB Paru,

batasan wilayah dan data lainnya yang diperlukan dalam penelitian ini.
35

3.6 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Variabel Independen
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Umur Usia Wawancara Kuesioner 1. Muda Ordinal
responden 2. Tua
yang dilihat
dari tahun lahir
2 Jenis Jenis kelamin Observasi Cheklis 1. Laki-laki Ordinal
Kelamin responden 2. Perempuan
3 Pendidikan Jenjang Wawancara Kuesioner 1. Rendah Ordinal
Pendidikan 2. Tinggi
responden
yang dilihat
pada ijazah
terakhir
4 Status Gizi Status gizi Berat Badan IMT 1. Baik Ordinal
responden dan Tinggi 2. Tidak
berdasarkan Badan Baik
rekam medis
5 Merokok Kebiasan Wawancara Kuesioner 1. Ada Ordinal
responden 2. Tidak Ada
merokok atau
sugi tembakau
6 Riwayat Penyakit yang Wawancara Kuesioner 1. Ada Ordinal
Penyakit dialami 2. Tidak
responden baik Ada
sekarang
maupun di masa
lalu
7 Kepadatan Jumlah keluarga Observasi Cheklis 1. Padat Ordinal
Hunian yang tinggal 2. Tidak Padat
pada satu kamar
8 Ventilasi Jumlah jendela Observasi Cheklis 1. Ada Ordinal
Jendela di rumah 2. Tidak Ada
dalam setiap
ruangan
9 Pencaha Masuknya Observasi Cheklis 1. Ada Ordinal
yaan cahaya matahari 2. Tidak
Matahari pada setiap Ada
ruagan di rumah
10 Lantai Keadaan Observasi Cheklis 1. Layak Ordinal
Rumah Lantai rumah 2. Tidak
memenuhi Layak
syarat atau
tidak
36

11 Dinding Dinding Observasi Cheklis 1. Layak Ordinal


Rumah Rumah 2. Tidak
Responden Layak
tempati

Variabel Depende
1 Kejadian penyakit yang Rekam Lembar 1.Ada Ordinal
TB Paru menyerang Medis Observasi 2.Tidak
paru-paru Ada

3.7 Aspek Pengukuran Variabel

Aspek pengukuran yang digunakan dalam pengukuran variabel dalam

penelitian ini adalah skala Guddman yaitu memberi skor dari nilai tertinggi ke

nilai terendah berdasarkan jawaban responden (Notoatmodjo, 2012).

1. Faktor Umur

Muda: jika responden berumur ≤ 30 Tahun = 0

Tua: jika responden berumur > 30 Tahun = 1

2. Faktor Jenis Kelamin

Laki-laki: jika responden berjenis kelamin laki-laki = 0

Perempuan: jika responden berjenis kelamin perempuan = 1

3. Faktor Pendidikan

Tinggi: jika responden tamatan SMA-Perguruan Tinggi = 1

Rendah: jika responden tamatan SD-SMP = 0

4. Faktor Status Gizi

Baik : jika IMT menyatakan baik = 1

Tidak Baik: jika IMT menyatakan tidak baik = 0


37

5. Faktor Merokok

Ada : jika responden seorang perokok, baik perokok ringan, sedang

maupun berat = 0

Tidak Ada: jika responden bukan seorang perokok = 1

6. Faktor Riwayat Penyakit

Ada: jika responden mendapat skor nilai > 2

Tidak Ada: jika responden mendapat skor nilai ≤ 2

7. Faktor Kepadatan hunian kamar

Padat: jika jumlah penghuni kamar > 2 orang dewasa 1 bayi

Tidak padat: jika jumlah penghuni kamar ≤ 2 orang dewasa 1 bayi

8. Faktor Ventilasi Jendela

Ada: jika cahaya matahari masuk ke dalam ruangan di rumah = 1

Tidak Ada: jika cahaya matahari masuk ke dalam ruangan di rumah = 0

9. Faktor Pencahayaan Sinar Matahari

Ada: jika cahaya matahari masuk ke dalam ruangan di rumah = 1

Tidak Ada: jika cahaya matahari masuk ke dalam ruangan di rumah = 0

10. Faktor Lantai Rumah

Layak: jika lantai rumah terbuat dari keramik, semen, dan kayu yang

bersih = 1

Tidak Layak: jika lantai rumah tanah = 0

11. Faktor Dinding Rumah

Layak: jika dinding rumah terbuat dari beton, dan kayu = 1

Tidak Layak: jika dinding rumah terbuat dari bambu, terpal, dan

teriplek. = 0
38

12. Faktor Kejadian TB Paru

Ada: jika responden mendapat skor nilai = 0

Tidak Ada: jika responden mendapat skor nilai = 1

3.8 Teknik Analisis Data

3.8.1 Analisis Univariat

Analisis Univariat dilakukan untuk mendapat data tentang distribusi

frekuensi dari masing-masing variabel, kemudian data ini di sajikan dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi.

3.8.2 Analisis uji t

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hipotesis dengan menentukan

hubungan antara variabel independen (variabel bebas) dengan variabel dependen

(variabel terikat) dengan menggunakan uji statistik uji t (Budiarto, 2003).


39

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum

4.1.1. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian

UPTD Puskesmas Meureubo merupakan Puskesmas yang berada di

wilayah Kecamatan Meureubo. Berdiri pada tahun 1992 terletak di sebelah Barat

Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat kurang lebih berjarak 3,5 km tepatnya

berada di Gampong Meureubo. Luas wilayah 112,87 km2 dengan persentase luas

Kecamatan terhadap Kabupaten adalah 3,85% jumlah wilayah kerjanya meliputi

28 Gampong dengan dua kemukiman yaitu kemukiman Meureubo dengan

kemukiman Ranto Panjang dari 28 desa 20 desa kategori desa biasa dan 8 desa

masuk dalam kategori desa sangat terpencil , 2 gampong yaitu Peunaga Baro dan

Pasir Putih merupakan gampong Persiapan untuk defenitif dengan batasannya :

 Sebelah Utara : Kecamatan Pante Ceureumen

 Sebelah Selatan : Samudera Indonesia

 Sebelah Barat : Kecamatan Johan Pahlawan

 Sebelah Timur : Kabupaten Nagan Raya

4.1.2. Keadaan Demografis

Jumlah penduduk yang besar merupakan modal pembangunan, dan juga

merupakan beban dalam pembangunan, karenanya pembangunan diarahkan

kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Puskesmas Meureubo di

harapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu di wilayah kerja

sebanyak 28.711 jiwa terdiri atas 14760 laki-laki dan 13.951 perempuan dengan

jumlah rumah tangga 6.629 rumah tangga dan rata-rata jiwa perumah tangga.

39
40

Adapun berdasarkan tingkat sosial ekonomi penduduk di Puskesmas

Meureubo sebagian besar berada dikelompok menengah kebawah. Mata

pencaharian sebagian besar adalah petani dan nelayan dan penyerapan tenaga

kerja juga bertambah dengan dibuka areal pertambangan batubara di Kecamatan

Meureubo.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Analisis Univariat

Sebelum dilakukannya analisis bivariat untuk melihat hubungan antara

variabel maka terlebih dahulu dibuat analisis univariat dengan tabel distribusi

frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti:

1. Umur Responden

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase berdasarkan umur responden

dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut dibawah ini:

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden di Wilayah


Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten
Aceh Barat Tahun 2016
No Umur Responden Frekuensi %
1 Tua (> 30 tahun) 50 78,1
2 Muda (≤ 30 Tahun) 14 21,9
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.1 di ketahui bahwa responden tertinggi yang berumur tua

(> 30 tahun) tahun adalah sebanyak 50 orang (78,1%), sedangkan responden

terendah yang berumur muda (≤ 30 Tahun) tahun adalah sebanyak 14 orang (21,9

%).
41

2. Jenis Kelamin Responden

Hasil perhitungan frekuensi berdasarkan jenis kelamin responden dapat

dilihat pada tabel 4.2 berikut dibawah ini:

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden di


Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo
Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
No Jenis Kelamin Frekuensi %
1 Laki-laki 39 60,9
2 Perempuan 25 39,1
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.2 dapat di ketahui bahwa responden yang berjenis kelamin

laki-laki sebanyak 39 orang (60,9%), responden yang berjenis kelamin

perempuan sebanyak 25 orang (39,1%).

3. Pendidikan

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel pendidikan dapat

dilihat pada tabel 4.3 berikut dibawah ini:

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden di Wilayah Kerja


Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh
Barat Tahun 2016
No Pendidikan Frekuensi %
1 Tinggi 23 35,9
2 Rendah 41 64,1
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.3 dapat di ketahui bahwa responden yang berpendidikan

tinggi sebanyak 23 orang (35,9%), responden yang berpendidikan rendah adalah

sebanyak 41 orang (64,1%).

4. Status Gizi

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel status gizi dapat

dilihat pada tabel 4.4 berikut dibawah ini:


42

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Status Gizi Responden dengan penyakit TB


Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan
Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
No Status Gizi Frekuensi %
1 Baik 39 60,9
2 Tidak Baik 25 39,1
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.4 dapat di ketahui bahwa responden yang status gizi baik

adalah sebanyak 39 orang (60,9%), yang status gizi tidak baik adalah sebanyak 25

orang (39,1%).

5. Merokok

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel merokok dapat

dilihat pada tabel 4.5 berikut dibawah ini:

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Merokok Responden dengan penyakit TB


Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan
Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
No Merokok Frekuensi %
1 Ada 36 56,3
2 Tidak Ada 28 43,8
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.5 dapat di ketahui bahwa responden yang merokok ada

adalah sebanyak 36 orang (56,3%), yang merokok tidak ada adalah sebanyak 28

orang (43,8%).

6. Riwayat Penyakit

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel riwayat penyakit

dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut dibawah ini:


43

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Penyakit Responden


dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
No Riwayat Penyakit Frekuensi %
1 Ada 27 42,2
2 Tidak Ada 37 57,8
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.6 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki riwayat

penyakit ada adalah sebanyak 27 orang (42,2%) dan responden memiliki riwayat

penyakit tidak ada adalah sebanyak 37 orang (57,8%).

7. Kepadatan Hunian

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel kepadatan hunian

dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut dibawah ini:

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian Responden


dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
No Kepadatan Hunian Frekuensi %
1 Padat 28 43,8
2 Tidak Padat 36 56,3
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.7 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki

kepadatan hunian padat sebanyak 28 orang (43,8%) dan responden memiliki

kepadatan hunian tidak padat sebanyak 36 orang (56,3%)

8. Ventilasi Jendela

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel ventilasi jendela

dan lubang ventilasi dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut dibawah ini:
44

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan ventilasi jendela Responden


dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
No Ventilasi jendela Frekuensi %
1 Ada 31 48,4
2 Tidak Ada 33 51,6
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.8 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki ventilasi

jendela tidak ada sebanyak 33 responden (51,6%) dan responden yang memiliki

ventilasi jendela ada sebanyak 31 responden (48,4%).

9. Pencahayaan Matahari

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel pencahayaan

matahari dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut dibawah ini:

Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Pencahayaan Matahari


Responden dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh
Barat Tahun 2016
No Pencahayaan Matahari Frekuensi %
1 Ada 26 40,6
2 Tidak Ada 38 59,4
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.9 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki

pencahayaan matahari tidak ada ada sebanyak 38 responden (59,4%) dan

responden yang memiliki pencahayaan matahari ada sebanyak 26 responden

(40,6%).

10. Lantai Rumah

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel lantai rumah

dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut dibawah ini:


45

Tabel 4.10.Distribusi Responden Berdasarkan Lantai Rumah Responden


dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
No Lantai Rumah Frekuensi %
1 Layak 43 67,2
2 Tidak Layak 21 32,8
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.10 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki lantai

rumah layak sebanyak 43 responden (67,2%) dan responden yang memiliki lantai

rumah tidak layak sebanyak 21 responden (32,8%).

11. Dinding Rumah

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel dinding rumah

dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut dibawah ini:

Tabel 4.11.Distribusi Responden Berdasarkan Dinding Rumah Responden


dengan penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
No Dinding Rumah Frekuensi %
1 Layak 52 81,3
2 Tidak Layak 12 18,8
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.11 dapat di ketahui bahwa responden yang memiliki dinding

rumah layak sebanyak 52 responden (81,3%) dan responden yang memiliki

dinding rumah tidak layak sebanyak 12 responden (18,8%).

12. TB Paru

Hasil perhitungan frekuensi dan persentase dari variabel TB Paru dapat

dilihat pada tabel 4.12 berikut dibawah ini:


46

Tabel 4.12.Distribusi Frekuensi Berdasarkan penyakit TB Paru di Wilayah


Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten
Aceh Barat Tahun 2016
No TB Paru Frekuensi %
1 Ada 32 50,0
2 Tidak Ada 32 50,0
Total 64 100
Sumber: data primer 2016

Dari tabel 4.12 dapat di ketahui bahwa responden yang ada mengalami

TB Paru sebanyak 32 orang (50,0%) dan responden yang tidak ada mengalami TB

Paru sebanyak 32 orang (50,0%)

4.2.2 Analisis Uji t

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen dan

dependen. Pengujian ini menggunakan uji chi-square. Dimana ada hubungan yang

bermakna secara statistik jika diperoleh nilai pvalue < 0,05.

a. Perbedaan Umur dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.13.Perbedaan Umur Responden Penderita TB Paru dan tidak


Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,63 0,492 0,087 0,002 32
Tidak Ada 0,94 0,246 0,043 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.13, diperoleh hasil rata-rata umur responden yang

menderit TB Paru adalah 0,63 dengan standar deviasi 0,492, sedangkan untuk

responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata umurnya adalah 0,94 dengan

standar deviasi 0,246. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,002, berarti pada

alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata umur antara responden

yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.


47

b. Perbedaan Jenis Kelamin dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.14.Perbedaan Jenis Kelamin Responden Penderita TB Paru dan


tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,22 0,420 0,074 0,004 32
Tidak Ada 0,56 0,504 0,089 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.14, diperoleh hasil rata-rata jenis kelamin responden

yang menderita TB Paru rata-rata umurnya adalah 0,22 dengan standar deviasi

0,420, sedaangkan responden yang tidak menderita TB Paru adalah 0,56 dengan

standar deviasi 0,504. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,004, berarti pada

alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata jenis kelamin antara

responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

c. Perbedaan Pendidikan dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.15.Perbedaan Pendidikan Responden Penderita TB Paru dan tidak


Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,16 0,369 0,065 0,000 32
Tidak Ada 0,56 0,504 0,089 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.15, diperoleh hasil rata-rata pendidikan responden

yang menderita TB Paru rata-rata pendidikan adalah 0,16 dengan standar deviasi

0,369, sedangkan responden yang tidak menderita TB Paru adalah 0,56 dengan

standar deviasi 0,504. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada

alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata pendidikan antara

responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.


48

d. Perbedaan Status Gizi dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.16.Perbedaan Status Gizi Responden Penderita TB Paru dan tidak


Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,38 0,492 0,087 0,000 32
Tidak Ada 0,84 0,369 0,065 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.16, diperoleh hasil rata-rata status gizi responden

yang menderita TB Paru adalah 0,38 dengan standar deviasi 0,492, sedangkan

untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata status gizi adalah 0,84

dengan standar deviasi 0,369. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti

pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata status gizi antara

responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

e. Perbedaan Merokok dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.17.Perbedaan Merokok Responden Penderita TB Paru dan tidak


Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,28 0,457 0,081 0,011 32
Tidak Ada 0,59 0,499 0,088 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.17, diperoleh hasil rata-rata merokok responden

yang menderita TB Paru adalah 0,28 dengan standar deviasi 0,457, sedangkan

untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata merokok adalah 0,59

dengan standar deviasi 0,499. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,011, berarti

pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata merokok antara

responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.


49

f. Perbedaan Kepadatan Hunian dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.18.Perbedaan Kepadatan Hunian Responden Penderita TB Paru dan


tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,28 0,457 0,081 0,000 32
Tidak Ada 0,84 0,369 0,065 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.18, diperoleh hasil rata-rata kepadatan hunian

kamar responden yang menderit TB Paru adalah 0,28 dengan standar deviasi

0,457, sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata

kepadatan hunian kamar adalah 0,84 dengan standar deviasi 0,369. Hasil uji

statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan

yang signifikan rata-rata kepadatan hunian kamar antara responden yang terkena

TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

g. Perbedaan Riwayat Penyakit dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.19.Perbedaan Riwayat Penyakit Responden Penderita TB Paru dan


tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,72 0,336 0,059 0,000 32
Tidak Ada 0,13 0,457 0,081 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.19, diperoleh hasil rata-rata riwayat penyakit

responden yang menderita TB Paru adalah 0,72 dengan standar deviasi 0,336,

sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata riwayat

penyakit adalah 0,13 dengan standar deviasi 0,457. Hasil uji statistik didapatkan

nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-

rata riwayat penyakit antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena

TB Paru.
50

h. Perbedaan Ventilasi Jendela dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.20.Perbedaan Ventilasi Jendela Responden Penderita TB Paru dan


tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,25 0,440 0,078 0,000 32
Tidak Ada 0,72 0,457 0,081 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.20, diperoleh hasil rata-rata ventilasi jendela

responden yang menderit TB Paru adalah 0,25 dengan standar deviasi 0,440,

sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata ventilasi

jendela adalah 0,72 dengan standar deviasi 0,457. Hasil uji statistik didapatkan

nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-

rata ventilasi jendela antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB

Paru.

i. Perbedaan Pencahayaan Sinar Matahari dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.21.Perbedaan Pencahayaan Sinar Matahari Responden Penderita


TB Paru dan tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh
Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,09 0,296 0,052 0,000 32
Tidak Ada 0,72 0,457 0,081 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.21, diperoleh hasil rata-rata pencahayaan sinar

matahari responden yang menderita TB Paru adalah 0,09 dengan standar deviasi

0,296, sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata

pencahayaan sinar matahari adalah 0,72 dengan standar deviasi 0,457. Hasil uji

statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan

yang signifikan rata-rata pencahayan sinar matahari antara responden yang

terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.


51

j. Perbedaan Lantai Rumah dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.22.Perbedaan Lantai Rumah Responden Penderita TB Paru dan


tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,59 0,499 0,088 0,189 32
Tidak Ada 0,75 0,440 0,078 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.22, diperoleh hasil rata-rata lantai rumah responden

yang menderita TB Paru adalah 0,59 dengan standar deviasi 0,499, sedangkan

untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata lantai rumah adalah 0,75

dengan standar deviasi 0,440. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,189, berarti

pada alpha 5% terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata lantai rumah

antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

k. Perbedaan Dinding Rumah dengan Penyakit TB Paru

Tabel 4.14.Perbedaan Dinding Rumah Responden Penderita TB Paru dan


tidak Menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2016
TB Paru Mean SD SE Pvalue N
Ada 0,69 0,471 0,083 0,010 32
Tidak Ada 0,94 0,246 0,043 32
Sumber : data primer 2016

Berdasarkan Tabel 4.13, diperoleh hasil rata-rata dinding rumah

responden yang menderit TB Paru adalah 0,69 dengan standar deviasi 0,471,

sedangkan untuk responden yang tidak menderita TB Paru rata-rata dinding

rumah adalah 0,94 dengan standar deviasi 0,246. Hasil uji statistik didapatkan

nilai p=0,010, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-

rata dinding rumah antara responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB

Paru.
52

4.3 Pembahasan

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Host,

Agent, Environtment Penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru di

Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat. Variabel

yang diteliti dalam penelitian ini adalah variabel independen yaitu variabel umur,

jenis kelamin, pendidikan, status gizi, merokok, riwayat penyakit, kepadatan

hunian, ventilasi jendela, pencahayaan matahari, lantai rumah dan dinding rumah

dengan variabel dependen yaitu penyakit TB Paru. Penelitian yang dilakukan oleh

peneliti hasil penelitian dilapangan yang peneliti lakukan dan didukung oleh data

dari puskesmas.

4.3.1 Perbedaan Umur penderita TB Paru dengan tidak menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,002, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata umur antara responden yang terkena TB

Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

umur responden yang lebih tua lebih banyak mengalami TB Paru karena pada

masa muda tidak menjaga pola hidup selain itu pada masa muda bekerja dengan

giat dan kurang beristirahat sehingga di masa tua responden mengalami penyakit

TB Paru.

Umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko untuk

mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal

terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga

dewasa memiliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya

tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok
53

menjelang usia tua. Kelenjar timus berperan dalam pendewasaan limfosit B dan

limfosit T. pada kelompok usia 20 – 50 tahun ditemukan bahwa kadar hormone

timus dalam serum relatif tetap dan mengalami penurunan yang signifikan pada

usia 50 tahun keatas. Hal ini membuktikan bahwa kadar imunitas orang berusia 20

– 50 tahun relatif sama (Widoyono, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk di BP4 Pati (2006) dengan desain

case control ditemukan bahwa umur >45 tahun mempunyai risiko 3,816 kali (OR

3,816 ; CI 1,701-8,558) untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan umur ≤45

tahun.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Sari (2014), dimana analisis

data menggunakan pendekatan case control dan didapatkan hasil bahwa adanya

hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas

Tanah Kali Kedinding Surabaya, hasil p value umur (0,010) < α (0,05).

4.3.2 Perbedaan Jenis Kelamin penderita TB Paru dengan tidak menderita

TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,004, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata jenis kelamin antara responden yang

terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang laki-laki lebih bayak mengalami kejadian TB Paru dibandingkan

dengan responden yang berjenis kelamin perempuan, hal ini karena kebanyakan

responden laki-laki berpola hidup kurang sehat seperi merokok, dan bekerja

dengan berat sehingga mengalami gangguan kesehatan yang dapat menyebabkan


54

penyakit TB Paru. Selain itu responden laki-laki lebih jarang memeriksakan

kesehatannya ke pelayanan kesehatan dan jarang mengkonsumsi obat jika sakit.

Jenis Kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki

dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam

menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan (Notoatmodjo, 2012).

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Dotulong, Sapulete dan

Kandou (2015), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan

didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian

TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori Minahasa Utara, hasil p value jenis

kelamin (0,000) < α (0,05).

4.3.3 Perbedaan Pendidikan penderita TB Paru dengan tidak menderita TB

Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata pendidikan antara responden yang terkena

TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang memiliki pendidikan rendah lebih banyak mengalami penyakit

TB Paru karena mereka tidak mengetahui tentang bahaya dan pencegahan atau

penyebabb dari penykit TB Paru tersebut. Hal ini membuat responden yang

berpendidikan rendah tidak menjaga pola hidupnya dengan baik karena kurangnya

pengetahuan yang didapat sehingga mengalami kejadian TB Paru.

Menurut Suryo (2010) tingkat pendidikan menentukan pengetahuan

mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan juga pengetahuan mengenai

penyakit TB Paru. Dengan pengetahuan yang baik, maka seseorang akan


55

mengkondisikan rumahnya agar sehat. Selain itu, seseorang dengan pengetahuan

yang baik akan berusaha mencegah terjadinya penularan yang mungkin terjadi.

Pernyataan mengenai tingkat pendidikan sebagai faktor risiko TB Paru

sesuai dengan hasil penelitian Ratnasari (2005) yang menunjukkan hasil bahwa

tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor risiko TB paru hasil p value

pendidikan (0,006) < α (0,05).

4.3.4 Perbedaan Status Gizi penderita TB Paru dengan tidak menderita TB

Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata status gizi antara responden yang terkena

TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang memiliki status gizi tidak baik lebih banyak mengalami kejadian

TB Paru karena status gizi merupakan kondisi kesehatan sesorang, responden

yang memiliki status gizi tidak baik akan lebih mudah mengalami peyakit karena

daya tahan tubuhnya yang tidak baik. Dan pada saat kekebalan tubuh menurun

atau lemah, kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit

tuberkulosis paru.

Untuk mengetahui status gizi, yaitu ada tidaknya malnutrisi pada individu

atau masyarakat diperlukan Penilaian Status Gizi (PSG). Definisi dari PSG adalah

interpretasi dari data yang didapatkan dengan menggunakan berbagai metode

untuk mengidentifikasi populasi atas individu yang berisiko atau dengan status

gizi buruk. Metode dalam PSG dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama,

metode secara langsung yang terdiri dari penilaian dengan melihat tanda klinis, tes
56

laboratorium, metode biofisik, dan pengukuran antropometri. Kelompok kedua,

penilaian dengan melihat statistik kesehatan yang biasa disebut PSG tidak

langsung karena tidak menilai individu secara langsung. Kelompok ketiga,

penilaian dengan melihat variabel ekologi (Departemen Gizi dan Kesehatan

Masyarakat UI, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk di BP4 Pati (2006) dengan desain

case control ditemukan bahwa status gizi yang buruk berisiko 5,113 kali untuk

terinfeksi TB Paru dibanding orang dengan status gizi baik.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Nurhanah, Amiruddin,

Abdullah (2010), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan

didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara status gizi dengan kejadian TB

Paru pada masyarakat di Propinsi Sulawesi Selatan 2007, hasil p value status gizi

(0,000) < α (0,05).

4.3.5 Perbedaan Merokok penderita TB Paru dengan tidak menderita TB

Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,011, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata merokok antara responden yang terkena

TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang merokok lebih banyak mengalami kejadian TB Paru karena asap

rokok tidak baik bagi kesehatan dapat merusak paru-paru dan dapat mengakibat

berbagai penyakit seperti penyakit TB Paru. Sedangkan responden yang memiliki

tidak merokok lebih sedikit mengalami kejadian TB Paru karena rumah bersih

dari asap rokok sehingga tidak merusak paru-paru dan terhindari TB Paru .
57

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap

rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 di antaranya merupakan racun antara

lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan

lain-lain (Kemenkes RI, 2011a).

Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS

Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang mempunyai

kebiasaan merokok 7,7 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada yang tidak

merokok pada penderita TB Paru.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Anggraeni, Raharjo, dan

Nurjazuli (2015), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan

didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan

kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Gondanglegi Kecamatan

Gondanglegi Kabupaten Malang, hasil p value kebiasaan merokok (0,0001) < α

(0,05).

4.3.6 Perbedaan Riwayat Penyakit penderita TB Paru dengan tidak

menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata riwayat penyakit antara responden yang

terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang memiliki riwayat penyakit ada lebih banyak mengalami penyakit

TB Paru karena pasien yang pernah mengalami penyakit lebih rentan atau lebih

mudah untuk mengalami penyakit TB Paru karena daya tahan tubuh yang kurang

baik. sedangkan repsonden yang tidak ada mengalami riwayat penyakit lebih
58

sedikit mengalami penyakit TB Paru karena responden memiliki daya tahan tubuh

yang baik sehingga tidak rentan atau tidak mudah mengalami penyakit TB Paru.

Riwayat penyakit merupakan faktor yang dianggap juga sebagai pencetus

timbulnya TB Paru, karena penyakit yang di derita seseorang akan mempengaruhi

kondisi kesehatan dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang pernah atau

sementara menderita penyakit sistem pernafasan, maka akan meningkatkan resiko

timbulnya penyakit sistem pernapasan jika terpapar debu (Rizki, 2014)

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Widyasari, Wuryanto, dan

Setyawan (2012), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan

didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara riwayat penyakit seperti DM

dengan kejadian TB Paru dewasa di Wilayah Kecamatan Semarang Utara Tahun

2011, hasil p value riwayat penyakit (0,038) < α (0,05).

4.3.7 Perbedaan Kepadatan Hunian penderita TB Paru dengan tidak

menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata kepadatan hunian kamar antara responden

yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang memiliki kepadatan hunian yang padat lebih banyak mengalami

kejadian TB Paru karena keadaan kamar yang padat dapat menyebabkan penghuni

rumah untuk tidak memperoleh udara yang segar serta membuat suasana dalam

kamar terasa penuh, hal ini dapat menyebabkan paru-paru mengalami masalah

kesehatan. Sedangkan responden yang memiliki kepadatan hunian tidak padat

lebih banyak yang tidak mengalami kejadian TB Paru karena udara di dalam
59

kamar terasa nyaman dan segar, pergantian udara dapat dihirup dengan baik oleh

penghuni kamar, hal ini membuat fungsi paru-paru dapat bekerja dengan baik dan

terhindar dari masalah kesehatan.

Kepadatan Penghuni Rumah, ukuran luas ruangan suatu rumah erat

kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru. Hal ini dikarenakan kepadatan

rumah yang tinggi akan mengakibatkan kadar CO2 di rumah meningkat.

Peningkatan CO2, sangat mendukung perkembangan bakteri. Hal ini di karenakan

Mycobacterium tuberculosis adalah aerob obligat dan mendapatkan energi dari

oksidasi banyak komponen karbon sederhana (Hera, 2013)

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Mawardi, dan Indah (2014),

dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan didapatkan hasil

bahwa adanya hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di

Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Dadahup Kecamatan Dadahup Kabupaten

Kapuas, hasil p value kepadatan huniaan (0,006) < α (0,05).

4.3.8 Perbedaan Ventilasi Jendela penderita TB Paru dengan tidak

menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata ventilasi jendela antara responden yang

terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang memiliki jendela ada lebih banyak yang tidak mengalami TB

Paru karena setiap ruangan dirumah memiliki jendela sehingga pertukaran udara

selalu terjadi dalam rumah dan suasana rumah selalu terasa segar dan responden

terhindar dari kejadian TB Paru. Sedangkan responden yang tidak ada memiliki
60

jendela di setiap ruangannya lebih banyak yang mengalami kejadian TB Paru

karena jendela tidak ada di ruangan sehingga udara tidak dapat tertukar, hal ini

menyebabkan suasana rumah tidak sehat dan menyebabkan responden mengalami

TB Paru.

Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya

udara juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam

rumah tersebut tetap segar. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan

menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses

penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi

akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-

bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis (Hera, 2013)

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Kurniasari, Suhartono, dan

Cahyo (2012), dimana analisis data menggunakan analisis case control dan

didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara ventilasi jendela dengan kejadian

TB Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri, hasil p value ventilasi

jendela (0,005) < α (0,05).

4.3.9 Perbedaan Pencahayaan Matahari penderita TB Paru dengan tidak

menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata pencahayan sinar matahari antara

responden yang terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang memiliki pencahayaan matahari ada lebih banyak yang tidak

mengalami TB Paru karena cahaya matahari selalu masuk ke setiap ruangan yang
61

ada di rumah, seperti kamar, ruang makan, ruang tamu dan dapur hal ini membuat

suasana dan keadaan rumah selalu nyaman dan sehat sehingga terhindar dari TB

Paru. Sedangkan responden yang tidak ada memiliki pencahayaan matahari di

rumahnya lebih banyak mengalami kejadian TB Paru karena suasana rumah yang

tidak nyaman karena cahaya matahari tidak masuk dalam setiap ruangan seperti

kamar, ruang makan, dapur dan ruang tamu. Hal ini membuat suasana rumah

terasa lembab dan tidak baik bagi kesehatan sehingga menyebabkan pasien

mengalami TB Paru.

Pencahayaan Sinar Matahari Cahaya matahari selain berguna untuk

menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri (Hera, 2013)

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Simbolon (2007), dimana

analisis data menggunakan pendekatan case control dan didapatkan hasil bahwa

adanya hubungan antara pencahayaan matahari dengan kejadian TB Paru di

Kabupaten Rejang Lebong, hasil p value pencahayaan matahari (0,006) < α

(0,05).

4.3.10 Perbedaan Lantai Rumah penderita TB Paru dengan tidak menderita

TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,189, berarti pada alpha 5% terlihat

tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata lantai rumah antara responden yang

terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang memiliki lantai rumah memenuhi syarat lebih banyak yang tidak

mengalami kejadian TB Paru karena lantai rumah terbuat dari keramik dan semen

yang licin tidak mengalami bolong-bolong sehingga selalu terjaga kebersihannya


62

dengan di pel. Hal ini membuat seluruh keluarga terhindar dari maslaah TB Paru.

Sedangkan responden yang lantai rumahnyaa tidak memenuhi syarat lebih banyak

mengalami kejadian TB Paru karena lantai rumah mereka terbuat dari semen akan

tetapi terdapat lantai yang berlubang dimana-mana sehingga pasir banyak terdapat

di dalam rumah, hal ini membuat responden tidak dapat menjaga kebersihan

rumahnya dan mengalami masalah TB Paru.

Lantai rumah Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki

lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap

proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai

tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi

kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya

(Hera, 2013)

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Halim, Naning, dan Satrio

(2015), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan

didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara lantai rumah dengan kejadian TB

Paru pada anak usia 1-5 tahun di Kabupaten Kebumen, hasil p value lantai rumah

(0,002) < α (0,05).

4.3.11 Perbedaan Dinding Rumah penderita TB Paru dengan tidak

menderita TB Paru

Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,010, berarti pada alpha 5% terlihat

ada perbedaan yang signifikan rata-rata dinding rumah antara responden yang

terkena TB Paru dan tidak terkena TB Paru.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti menemukan bahwa

responden yang memiliki dinding rumah memenuhi syarat lebih banyak yang
63

tidak mengalami kejadian TB Paru karena dinding rumah terbuat dari beton dan

kayu yang masih layak di gunakan dan licin tidak mengalami lubang-lubang

sehingga selalu terjaga kebersihannya. Hal ini membuat seluruh keluarga

terhindar dari masalah TB Paru. Sedangkan responden yang dinding rumahnya

tidak layak lebih banyak mengalami kejadian TB Paru karena dinding rumah

mereka terbuat dari beton akan tetapi terdapat dinding yang berlubang sehingga

menyebabkan debu, hal ini membuat responden tidak dapat menjaga kebersihan

rumahnya dan mengalami masalaha TB Paru.

Dinding-dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan

maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta

menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya.Beberapa bahan pembuat dinding

adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya.Tetapi dari

beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok

(permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah

dibersihkan.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Mudiyono, Endah, dan Adi

(2015), dimana analisis data menggunakan pendekatan case control dan

didapatkan hasil bahwa adanya hubungan antara dinding rumah dengan kejadian

TB Paru di Kota Pekalongan, hasil p value dinding rumah (0,025) < α (0,05).
64

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Ada Perbedaan faktor Host (umur (p= 0,002 < α = 0,05), jenis kelamin

(p= 0,004 < α = 0,05), pendidikan (p= 0,000 < α = 0,05), status gizi (p=

0,000 < α (0,05) dan merokok (p= 0,011 < α (0,05)) antara penderita TB

Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas

Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

2. Ada Perbedaan faktor Agent (riwayat penyakit (p= 0,000 α (0,05)) antara

penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

3. Ada Perbedaan faktor Environtment (kepadatan hunian kamar (p= 0,000

< α (0,05), ventilasi jendela (p= 0,000< α (0,05), pencahayaan matahari

(p= 0,000 < α (0,05), dinding rumah (p= 0,010 < α (0,05).) antara

penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

Akan tetapi tidak Ada perbedaan yang signifikan rata-rata faktor lantai

rumah dengan kejadian TB Paru (p= 0,189 > α (0,05).

5.2 Saran

1. Kepada pihak puskesmas diharapkan agar dapat memberikan penyuluhan

atau informasi kepada masyarakat agar menjaga kebersihan lingkungan,

tidak merokok, dalam satu kamar hanya boleh di terdiri dari 2 orang

dewasa dan 1 bayi, agar membuat jendela dan ventilasi dalam setiap

64
65

ruangan di rumah. Hal ini diharapkan agar terhindar dari bahaya penyakit

TB Paru dan penyebab dari penyakit TB Paru tersebut.

2. Kepada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas Meureubo

diharapkan agar dapat lebih memperhatikan kebersihan lingkungan,

ventilasi udara sehingga udara dalam rumah selalu dapat bertukar, serta

jika ada keluarga yang perokok untuk tidak merokok di dalam rumah,

sehingga dapat terhindar dari penyakit TB Paru.

3. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat diharapkan agar dapat

lebih memperhatikan fasilitas kesehatan agar dapat berperan aktif dalam

memberikan penyuluhan kepada masyarakat sehingga masyarakat

mengetahui bahaya TB Paru.

4. Kepada masyarakat yang telah mengalami TB Paru agar dapat selalu

memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan yang ada dan rutin

mengkonsumsi obat hingga sembuh.

5. Kepada Peneliti sendiri diharapkan agar penelitian ini dapat menambah

wawasan peneliti tentang TB Paru, dan dapat memberikan informasi

yang bermanfaat bagi semua pihak.

6. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat melakukan penelitian

yang sama akan tetapi pada faktor-faktor yang lainnya yang juga

berhubungan dengan TB Paru.


66

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni Raharjo dan Nurjazzul. 2015 Hubungan Kualitas Lingkungan Fisik


Rumah dan Perilaku Kesehatan dengan Kejdian TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmmas Gindanglegi Keaatan Gondanglegi Kabupaten
Malang. Univversitas Diponegoro, Semarang. Jurnal Kesehatan asyarakat
Vol. 3 No 1 Januari 2015.
Achmadi, U.F. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. PT. Kompas Media
Nusantara: Jakarta.
Bustan. 2000. Epidemiologi Penyakit. Jakarta: Rineka Cipta.

Budiarto.2003. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Alfabeta:


Bandung

Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Departemen


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Dinkes Aceh. 2014. Data Kesehatan TB di Aceh. Aceh

Djojodibroto, D. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

Dotulong, Sapulete, dan Kandou. 2015. Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis
Kelamin dan Kepadatan Hunian, dengan Kejadian Penyakit TB Paru di
Desa Wori Kecamatan Wori. Universitas Sam Ratulangi.. Jurnal
Kedokteran Komunitas dan Tropik. Vvol III No. 2 April 2015.

Fatimah S. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan


dengan Kejadian TB paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan: Sidareja,
Cilacap, Kedungan, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarasari) Tahun
2008. Tesis. Semarang: Universitas Diponedoro Semarang.

Halim, Naning dan Satrio.. 2015.. Faktor Risiko Kejadian TB Paru pada anak
Usia 1-5 Tahun di Kabupaten Kebumen. Universitas Jabi Jurnl Kesas ol 17
No 2 Hal 26-29 Juli-Deseber 2015

Haryanto, 2002. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Pengetahuan Penderita


Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tangerang. Jurnal Ekologi Kesehatan
Vol.2 2003. 3 : 282-289

Kemenkes RI. 2013. Profil Kesehatan Indoensia. Jakarta

___________. 2014. Profil Kesehatan Indoensia. Jakarta

___________. 2010. Profil Kesehatan Indoensia. Jakarta

___________. 2015. Profil Kesehatan Indoensia. Jakarta


67

Kurniasari, Suhartono, dan Cahyo. 2012. Faktor Risiko Kejadian TB Pru di


Kecamatan Baturetno Kbaupaten Wonogiri. FKMM UNDIP. Jurnal Media
Kesehatan Msyarakat Indonesia. Vo. 11,, No. 2 Oktober 2012.

Mandal, dkk, 2006, Lacture Notes : Penyakit Infeksi, (6 Edition), Erlangga


:Jakarta

Mudiyono, Endah, dan Adi.. 2015. Hubungan Antara Perilaku Ibu dan
Lingkungan Fisik Rummah dengan Kejadian TB Paru Anak di Kota
Pekalongan. UNDIP. Jurnal Keseling Indonesi Vvol 14 No 2 Oktober
2015.

Mawardi, dan Indah 2014. Hubungan Kondidis Fisik Ruah dan Kepadtan Hunian
dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja UPT Puskesas Dadahup
Kecatan Dadahup Kabupaten Kapuas. UNISKA. Jurnal An-Nad, Vol 1
No. 1 Juni 2014. Hal. 14-20.

Notoatmodjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.

Nurhanah, Amiruddin, dan Abdullah. 2010.. Faktor-faktor yang berhubungan


dengan Kejadian Tuberkulosis Paru pada Masyarakat di Propinsi
Sulawesi Selatan 2007.. Unhas akassar. Jurnal MMKMI. Vvol 6 No 4
Oktober 2010 Hal 204-209.

Pedoman Nasional Pengendalaian Tuberkulosis. 2011. Jakarta.

Profil Kesehatan Aceh. 2013. Data Kesehatan TB di Aceh. Aceh

__________________. 2014. Data Kesehatan TB di Aceh. Aceh

__________________. 2015. Data Kesehatan TB di Aceh Barat. Aceh Barat

Puskesmas Meureubo. 2015. Data Kesehatan TB di Wilayah Kerja Puskesmas


Meureubo. Aceh Barat.

Ratnasari. 2005. Faktor-faktor Risiko TB Paru di Beberapa Unit Pelayanan


Kesehatan Koata Semarang. Universitas Eirlangga.

Rusnoto, dkk. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru


Pada Usia Dewasa (Studi Kasus Di BP4 Pati). Jurnal UNDIP. Semarang

Roeswendi. 2009. Faktor determinan kejadian tb paru di Purworejo. Jogjakarta:


UGM

Sari. 2014. Hubungan Karakteristik Kontak dengan Adanya Gejala TB Pada


Kontak Penderita TB Paru. Universitas Eirlangga.. Jurnal Berkala
Epidemiologi ol 2 No. 2 ei 2014: 274-285
68

Simbolon. 2007. Faktor Risiko TB Paru di Kabupaten Rejang Lebong. Politenik


Kesehata Bengkulu. Jurnal Kesehtan Mmasyarakat Nasional, Vol 2 No. 3
Deseber 2007.

Suryo. 2010. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: PT.


Bentang Pustaka.

Soemirat,. J, 2010. Epidemiologi Lingkungan. Gadjah mada University Press:


Yogyakarta.

Umar, F., 2005. Pengaruh Peran Petugas PMO Dan Persepsi Penderita Tabel Paru
BTA Positif Terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis di
Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. Tesis. Yogyakarta : Universitas
Gajah Mada.

Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya, Edisi ke-2, Semarang, Erlangga, 2011

Widyasri, Wuryanto, dan Setyawan. 2012.. Hubungan Antara Jenis Kepribadian


Riwayat Penyakit, dan Riwayat Paparan erokok dengan Kejadian TB Paru
Dewasa di Wilayah Kecamatan Semrng Utara Tahun 2011. FKM UNDIP
Jurnal Kesehataan Msyarakat, Vol. 1 No.. 2, Tahun 2012 Halaman 446-
453.

Zulkifli dan Asril Bahar. 2010. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi kelima Jilid III. Jakarta. FKUI
69

KUESIONER PENELITIAN

PERBEDAAN FAKTOR HOST, AGENT, ENVIRONMENT PENDERITA TB


PARU DENGAN TIDAK MENDERITA TB DI PUSKESMAS
MEUREUBO KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN
ACEH BARAT

I. Karakteristik Responden
Nama :
Umur :
Pendidikan :
Jenis Kelamin :
Status Gizi :
II. Faktor Merokok
Pertanyaan Ya Tidak
Apakah anda seorang perokok/Sugi tembakau

III. Faktor Riwayat Penyakit


No Pertanyaan Ada Tidak Ada
1 Apakah anda pernah mengalami penyakit demam
2 Apakah anda pernah mengalami penyakit sesak
nafas
3 Apakah anda pernah mengalami sakit batuk-batuk
4 Apakah anda pernah mengalami penyakit nyeri
dada

IV. Kepadatan Hunian Kamar


Pertanyaan Dewasa Balita
Jumlah Hunian dalam satu kamar

V. Jumlah Ventilasi Jendela dan Lubang Ventilasi


No Pertanyaan: apakah ada jendela dan lubang ventilasi Ada Tidak Ada
di ruang:
1 Pada kamar
2 Ruang tamu
3 Ruang makan
4 Ruang dapur
70

VI. Pencahayaan Sinar Matahari


No Pertanyaan: apakah sinar matahari masuk ke dalam Ada Tidak Ada
rumah anda di ruang:
1 Pada kamar
2 Ruang tamu
3 Ruang makan
4 Ruang dapur

VII. Jenis Lantai Rumah


No Pertanyaan: Lantai rumah anda terbuat dari? Ada Tidak Ada
1 Terbuat dari Keramik
2 Terbuat dari Lantai Semen
3 Lantai Tanah
4 Lantai Kayu

VIII. Jenis Dinding Rumah


No Pertanyaan: Dinding rumah anda terbuat dari? Ada Tidak Ada
1 Beton
2 Kayu
3 Tepas
4 Teriplek
5 Terpal

IX. Faktor Kejadian TB Paru


Pertanyaan Ada Tidak Ada
Apakah anda atau keluarga mengalami TB Paru
71

TABEL SKOR

NO Variabel yang No. urut Bobot Skor Rentang


diteliti pertanya Ya Tidak
an
1 Umur Tua > 30 tahun
Muda ≤ 30 tahun
2 Jenis Kelamin Laki-laki = 1
Perempuan = 0
3 Pendidikan Tinggi : TamanTan SMA-
Perguruan Tinggi
=1
Rendah: Tamatan SD-SMP
=0
4 Status Gizi IMT<17, >17-18,5, 25,0-
27,0 dan > 27,0 =
tidak baik = 0
IMT 18,5-25,0 = baik = 1
5 Merokok Ada = 0
Tidak Ada = 1
6 Riwayat Penyakit 1 1 0 4+0
2 1 0 =2
3 1 0 2
4 1 0 Ada: >2
Tidak Ada : ≤2
7 Kepadatan Hunian Padat > 2 orang dewasa 1
Kamar bayi = 0
Tidak Padat ≤ 2 orang
dewasa 1 bayi = 1
8 Ventilasi jendela 1 1 0 4+0
dan lubang 2 1 0 =2
ventilasi 3 1 0 2
4 1 0 Ada: >2
Tidak Ada : ≤2
9 Pencahayaan 1 1 0 4+0
Matahari 2 1 0 =2
3 1 0 2
4 1 0 Ada: >2
Tidak Ada : ≤2
10 Lantai Rumah Layak = jika lantai keramik,
semen dan kayu
yang dalam
kondisi baik = 1
Tidak Layak = jika lantai
rumah dari keramik, semen
dan kayu yang dalam
kondisi tidak baik = 0
72

11 Dinding Rumah Layak = jika dinding terbuat


dari kayu dan
beton yang dalam
kondisi baik = 1
Tidak Layak = jika dinding
terbuat dari kayu
dan beton yang
dalam kondisi
tidak baik = 0
12 TB Paru 1 0 1 0+1
= 0,5 di genapkan = 1
2
Ada: = 0
Tidak Ada : = 1
73

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ramita ostria


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Pungki, 07 Oktober 1993
Agama : Islam
Alamat : Jl Nasional Meulaboh Tapak Tuan
Gampong Ujong Drien lr Coklat Dusun
Tgk Yed Kec. Meureubo Kab. Aceh
Barat

Nama Orang Tua


Nama Ayah : Usman Haitami (Alm)
Nama Ibu : Meureudom Ratna
Alamat Orang Tu : Jl Nasional Meulaboh T-tuan Gampong
Ujong Drien lr Coklat Dusun Tgk yed
Kec. Meureubo Kab. Aceh Barat

Pendidikan Yang Telah Di Tempuh


1. SD N Pasi Pinang : Tamat 2005
2. SMP N 2 Meureubo : Tamat 2008
3. SMA N 2 Meulaboh : Tamat 2011
4. FKM UTU : Masuk 2012 Sampai Sekarang

Anda mungkin juga menyukai