Anda di halaman 1dari 26

STUDENT PROJECT

Management of Multiple Dental Trauma: Case Report with Eight-Year


Follow-up

Dosen Pembimbing: drg. Eka Pramudita Ramadhany, Sp. Perio

Oleh:

SGD 1

1. Ni Putu Ratna Adyatmi Swari (1502405001)


2. Made Laurentina (1502405002)
3. Monica Regina (1502405003)
4. Ni Putu Ayu Sakura (1502405004)
5. Ni Luh Made Rare Ayu Sawitri (1502405020)
6. Komang Lisa Purnia Cahyani (1502405021)
7. Celia Sacha Maria Bosco (1502405022)
8. Luh Made Diva Sasmita P. (1502405040)
9. Komala Pradipta (1502405041)

PROGRAM STUDI SARJANAKEDOKTERAN GIGI DAN PROFESI DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Student Project yang berjudul
“Management of Multiple Dental Trauma: Case Report with Eight-Year
Follow-up”. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :

1. drg. Eka Pramudita Ramadhany, Sp. Perio


2. Orang tua kami yang telah membantu baik moril maupun materi
3. Rekan-rekan SGD 1 yang telah membantu dalam penyusunan student
project ini.
Student project ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuan
mengenai seperti yang kami sajikan berdasarkan jurnal.

Semoga student project ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa
Universitas Udayana. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca.

Denpasar, April 2019

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I. PENDAHULUAN 1
BAB II. LAPORAN KASUS 2
BAB III. DISKUSI 4
BAB IV. TINJAUAN PUSTAKA 6
4.1 Definisi Trauma Gigi 6
4.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi Trauma Gigi 6
4.3 Klasifikasi Trauma Gigi 7
4.3.1 Klasifikasi Elis dan Davey 7
4.3.2 Klasifikasi WHO (1994) 8
4.3.2.1 Trauma Pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa 8
4.3.2.2 Trauma Pada Jaringan Periodontal 10
4.3.2.3 Trauma Pada Tulang Pendukung 11
4.3.2.4 Trauma Pada Gingiva atau Mukosa Rongga Mulut 11
4.4 Rencana Perawatan 12
4.4.1 Perawatan pada Intrusi Gigi 12
4.4.2 Perawatan pada Fraktur Akar Horizontal 14
4.5 Prognosis 17
4.5.1 Prognosis Pada Gigi Yang Mengalami Intrusi 17
4.5.2 Prognosis Pada Gigi Yang Mengalami Fraktur Akar Horizontal 18
BAB V. KESIMPULAN 20
DAFTAR PUSTAKA 21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Radiografi Periapikal Insisivus Lateral dan Sentral Maksila Kiri ........... 2
Gambar 2. Foto Klinis Setelah Bedah Ekstrusi ........................................................ 3
Gambar 3. Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa ................................... 9
Gambar 4. Kerusakan pada Jaringan Periodontal ................................................. 11
Gambar 5. Penyembuhan Fraktur Akar ................................................................ 18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Intrusi gigi dianggap sebagai salah satu cedera dentoalveolar yang paling
parah, menghasilkan pergeseran gigi ke arah aksial dengan tingkat kejadian 2%
pada gigi permanen. Sequela utamanya adalah nekrosis pulpa, resorpsi akar
eksternal karena inflamasi, dan resorpsi pengganti. Perawatan pada trauma intrusi
gigi tergantung pada pembentukan akar, jika pembentukan akar belum sempurna,
pemulihan secara spontan dapat diharapkan, jika pembentukan akar sudah
sempurna dianjurkan intervensi secara bedah atau ortodontik.
Selain itu, jenis lain dari trauma gigi yang parah adalah fraktur akar.
Fraktur horizontal yang paling umum terjadi di sepertiga tengah, biasanya
disebabkan oleh dampak frontal terdiri dari area pada regio bukal dan lingual, dan
melibatkan kompleks dentin-pulpa dan sementum. Dalam hal ini, jaringan pulpa
dan sel-sel ligamen periodontal dirangsang untuk mendorong proses
penyembuhan. Hal ini terjadi pada gigi permanen dalam frekuensi 0,5% sampai
7%.
Perawatan fraktur akar tergantung pada vitalitas pulpa, perpindahan
fragmen dan lokasi / perluasan garis fraktur. Tujuan dari laporan kasus ini adalah
untuk menjelaskan perawatan, evolusi dan tindak lanjut intrusi gigi dan fraktur
horizontal selama delapan tahun, pada saat yang bersamaan.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

Seorang wanita berusia 9 tahun mengunjungi klinik trauma dentoalveolar


2 jam setelah kecelakaan sepeda. Pemeriksaan klinis dan radiografi menunjukkan
adanya fraktur akar horizontal pada sepertiga tengah insisivus lateral maksila kiri
dan perpindahan 5 mm ke arah aksial di insisivus sentral maksila kiri. Pasien
menerima perawatan pendahuluan setelah kecelakaan termasuk reposisi bagian
koronal dari gigi insisivus lateral maksila kiri. Dicurigai terdapat fraktur tulang
alveolar dan digunakan rigid splint yang melibatkan gigi insisivus maksila
(Gambar 1A).

Dua minggu kemuadian saat kunjungan ke dua, dilakukan bedah ekstrusi


pada insisivus sentral maksila kiri dan diresepkan antibiotik (Amoxicillin / 500
mg selama 7 hari). Prosedur ini dipilih karena apeks gigi sudah terbetuk sempurna
dan pemulihan spontan mungkin tidak terjadi. Insisivus sentral kiri maksila
menunjukkan respon negatif terhadap uji sensibilitas pulpa dan perawatan dengan
dental splint dilanjutkan selama 3 bulan.

Gambar 1. A) Radiografi periapikal awal yang menunjukkan intrusi insisivus


sentral maksila kiri dan fraktur horizontal di sepertiga tengah gigi insisivus lateral
maksila kiri; B) Radiografi periapikal dengan 2 tahun follow-up; C) Radiografi
periapikal setelah 5 tahun follow-up; D) Radiografi periapikal dengan tindak
lanjut 8 tahun

2
Setelah 20 hari, perawatan endodontik pada gigi insisivus yang mengalami
intrusi dimulai dan pasta kalsium hidroksida (Calen, SS White-Rio de Janeiro, RJ,
Brasil) ditempatkan di saluran akar selama 4 minggu, dan dilanjutkan dengan
obturasi dan restorasi koronal.
Kontrol tahunan dilakukan. Pemeriksaan klinis menunjukkan jaringan
lunak dan jaringan keras yang normal, dan gigi insisivus lateral kiri menunjukkan
respon positif terhadap tes sensitivitas pulpa. Selama enam bulan pertama,
dilakukan pemeriksaan radiografi setiap bulan dan kontrol klinis dari semua gigi
yang terlibat. Follow-up dari pemeriksaan klinis dan radiografi, menunjukkan
stabilisasi fraktur akar horizontal di sepertiga tengah, jaringan lunak dan keras
normal, tidak ada tanda resorpsi akar pada gigi dan respons positif terhadap tes
sensibilitas pulpa dari gigi insisivus lateral kiri rahang atas. Setelah 8 tahun, hasil
radiografi mengindikasikan terjad penyembuhan gigi insisivus lateral kiri rahang
atas dengan deposisi jaringan mineral di antara fragmen (Gambar 1BD). Gambar
2A dan 2B menunjukkan gambar klinis awal dan akhir.

Gambar 2. A) Foto klinis setelah dilakukan bedah ekstrusi pada insisivus


sentral makasila kiri; B) Foto klinis setelah follow-up 8 tahun.

3
BAB III
DISKUSI

Intrusi gigi dapat menyebabkan nekrosis pulpa pada 45% gigi dengan
ujung akar yang belum tumbuh sempurna dan 100% pada kasus ujung akar yang
telah tumbuh sempurna. Pada jenis trauma ini resorpsi akar dapat terjadi karena
kerusakan yang irreversible pada sementum dan ligamen periodontal. Wigen et al.
mengevaluasi 51 gigi dengan dental intrusi, 20 memiliki ujung akar yang telah
tumbuh sempurna, dan hanya 5 yang vital dengan adanya kalsifikasi pulpa
posterior. Selain itu, resorpsi akar yang mengalami inflamasi diamati pada tujuh
dari 20 gigi dengan ujung akar yang telah tumbuh sempurna.
Lima et al., melaporkan bahwa terjadi resorpsi akar sebanyak 25%. Dalam
kasus ini, setelah 8 tahun follow-up, tidak ada tanda-tanda radiografi yang
ditemukan kompatibel dengan resorpsi akar di gigi insisivus sentral maksila kiri.
Keterlambatan dalam perawatan saluran akar meningkatkan kemungkinan
terjadinya resorpsi akar pada gigi dengan ujung akar yang telah tumbuh sempurna.
Peristiwa tertentu seperti cedera pada saat olahraga, insiden kekerasan, dan
kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan beberapa trauma gigi. Dalam kasus
ini, selain intrusi dari insisivus sentral maksila kiri, terdapat juga fraktur akar.
Fraktur akar terjadi akibat adanya gaya benturan pada arah horizontal
sehingga sering mengakibatkan fraktur mahkota atau fraktur mahkota akar.
Fraktur ini dapat menyebabkan konsekuensi yang berbahaya bagi kompleks
dentin-pulpa dan jaringan periodontal, namun vitalitas pulpa lebih dapat
dipertahankan pada gigi yang telah mengalami fraktur horizontal daripada gigi
dengan dislokasi dan tanpa fraktur akar.
Diameter foramen apikal, kondisi dukungan vaskular, jumlah sel yang
tersedia, dan derajat diastasis (pemisahan antar fragmen) merupakan hal yang
mendasar untuk menentukan prognosis. Fraktur gigi pada sepertiga servikal
memiliki prognosis yang buruk karena kemungkinan terdapat interposisi jaringan
lunak di antara fragmen.

4
Pada kasus ini, fraktur terjadi pada sepertiga tengah, sehingga mendukung
pemeliharaan vitalitas pulpa. Hal ini juga dikuatkan dengan laporan oleh Cvek et
al. yang menggambarkan tingkat pertahanan yang tinggi pada gigi dengan fraktur
di sepertiga tengah atau fraktur apikal. Westphalen et al. menyajikan kasus
vitalitas pulpa pada tiga gigi fraktur setelah 13 tahun follow-up. Menurut penulis,
reduksi dan imobilisasi fraktur yang cepat sangat berperan dalam menjaga
vitalitas pulpa dari gigi yang terlibat.
Pemeriksaan klinis dan radiografi yang cermat dilakukan bersamaan
dengan follow-up secara rutin sangatlah penting untuk meminimalkan gejala dari
trauma gigi. Radiografi periapikal dengan angulasi yang berbeda dan computed
tomography yang memberikan tampilan 3D, dengan kemungkinan pengamatan
yang lebih detail dari tanda-tanda patologis awal juga direkomendasikan. Namun,
penting untuk diingat bahwa computed tomography harus menjaga dosis serendah
mungkin.
Dalam kasus intrusi gigi dan fraktur akar, pemeriksaan klinis dan kontrol
radiografi harus dilakukan setelah 6 bulan, 1 tahun dan kemudian setiap tahun.
Dalam kasus ini, tidak diamati gejala atau komplikasi gigi setelah 8 tahun masa
tindak lanjut. Walaupun literatur menggambarkan beberapa komplikasi dengan
prognosis buruk pada gigi yang mengalami intrusi gigi degan pembedahan
ekstrusi, adanya kondisi yang menguntungkan dan prosedur yang tepat
meningkatkan peluang untuk keberhasilan yang bertanggung jawab atas prosedur
aplikasi yang benar dalam berbagai jenis trauma gigi dan pasien harus mengikuti
prosedur dan kontrol yang rutin.

5
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi Trauma Gigi


Pengertian trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun
psikis. Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound, dapat diartikan
sebagai kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan
fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur. Trauma juga diartikan
sebagai suatu kejadian tidak terduga atau suatu penyebab sakit, karena kontak
yang keras dengan suatu benda (Dorland, 2002). Sementara itu, trauma gigi
didefinisikan sebagai kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi dan atau
periodontal karena sebab mekanis. Trauma gigi juga dapat diartikan sebagai
kerusakan pada gigi dan struktur periradikular. Kerusakan ini dapat merusak
pulpa, dengan atau tanpa menyebabkan kerusakan pada mahkota dan atau akar,
atau pada kasus yang parah dapat menyebabkan perpindahan gigi (Schuurs, 1992).
4.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi Trauma Gigi
Trauma gigi merupakan masalah kesehatan yang banyak terjadi di
masyarakat dengan prevalensi yang lebih tinggi pada anak-anak dan remaja. Salah
satu penyebab utama dari trauma pada gigi adalah jatuh dengan persentase 31,7-
64,2%, yang umumnya terjadi pada anak yang baru belajar berjalan karena kurang
seimbang. Penyebab lainnya adalah kegiatan olahraga dengan prevalensi hingga
40,2%. Kegiatan olahraga ini digolongkan kedalam dua kategori berdasarkan
risikonya, yaitu olahraga berisiko tinggi dan menengah. Contoh kegiatan olah raga
berisiko tinggi yaitu bela diri, sedangkan kegiatan olahraga berisiko menengah
contohnya adalah basket, menyelam, dan senam (Aghdash dkk, 2015; Zaleckiene
dkk, 2014).
Kecelakaan juga merupakan faktor penyebab terjadinya trauma gigi.
Kecelakaan lalulintas dengan prevalensi mencapai 7.8% merupakan kelompok
penyebab trauma yang khas karena sering menimbulkan trauma multipel termasuk
trauma pada jaringan pendukung. Sementara itu, kecelakaan bersepeda dengan
prevalensi hingga 19,5% merupakan penyebab trauma gigi yang umum terjadi

6
pada anak usia sekolah. Berdasarkan studi, penggunaan helm saat bersepeda dapat
menurunkan risiko trauma wajah hingga 65%, namun tidak menurunkan risiko
trauma pada gigi (Zaleckiene dkk, 2014).
Perkelahian dan kekerasan juga menjadi salah satu faktor terjadinya
trauma gigi pada anak dan remaja yang mengindikasikan karakteristik perilaku
pada rentang usia ini. Oleh sebab itu, pendidikan sosial baik di rumah maupun di
sekolah sangat dibutuhkan untuk mengembangkan budaya mengontrol diri dan
saling menghormati satu sama lain. Disamping itu, penting untuk diketahui juga
bahwa dokter gigi dapat mendeteksi terjadinya kekerasan fisik pada anak
berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan (Aghdash dkk, 2015; Zaleckiene
dkk, 2014).
Beberapa kasus trauma pada gigi juga bersifat iatrogenik yaitu terjadi
selama prosedur intubasi pada anestesi umum. Trauma gigi yang terjadi karena
faktor iatrogenik ini yaitu fraktur mahkota dan akar, luksasi, dan
avulsi(Zaleckiene dkk, 2014).
Selain faktor-faktor tersebut, variasi anatomi individu juga berperan
sebagai faktor predisposisi untuk insiden trauma gigi yang lebih tinggi. Anak-
anak dengan maloklusi klas 1 divisi 1 ditemukan lebih sering mengalami trauma
gigi apabila dibandingkan dengan anak dengan jenis oklusi lainnya. Anak dengan
overjet besar (>3,0 mm) juga ditemukan 5,4 kali lebih berisiko mengalami trauma
gigi apabila dibandingkan dengan anak dengan overjet lebih rendah atau sama
dengan 3,0 mm (Zaleckiene dkk, 2014).
4.3 Klasifikasi Trauma Gigi
4.3.1 Klasifikasi Elis dan Davey
Ellis dan Davey (1970) menyusun klasifikasi fraktur pada gigi anterior
menurut banyaknya struktur gigi yang terlibat, yaitu (Kasyruddin, 2014):
Kelas 1: Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan email. Ini
adalah fraktur relatif tidak berbahaya melibatkan permukaan terluar gigi
. Hal ini biasanya tidak menimbulkan rasa sakit.

7
Kelas 2: Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan dentin
tetapi belum melibatkan pulpa. Fraktur ini menembus lapisan kedua gigi
yang cenderung sensitif terhadap suhu panas atau dingin.
Kelas 3: Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan
terbukanya pulpa.
Kelas 4: Fraktur pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital dengan atau
tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 5: Fraktur pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi.
Kelas 6: Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
Kelas 7: Fraktur pada gigi yang menyebabkan perubahan posisi atau displacement
gigi.
Kelas 8: Fraktur mahkota yang besar dan perpindahannya.
Berdasarkan klasifikasi oleh Ellis dan Davey (1970) tersebut, trauma pada
gigi insisivus lateral maksila kiri merupakan fraktur kelas 6 yaitu fraktur akar
dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
4.3.2 Klasifikasi WHO (1994)
Sistem klasifikasi yang saat ini digunakan secara umum adalah
berdasarkan Application of International Classification of Diseases to Dentristry
and Stomatology dari World Health Organization (WHO) dan dimodifikasi oleh
Andreasen. Klasifikasi ini dapat digunakan untuk mengklasifikasikan trauma gigi
dan jaringan pendukungnya dan dapat digunakan baik pada gigi sulung maupun
gigi permanen. Klasifikasi ini terbagi menjadi 4 bagian yaitu trauma pada jaringan
keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, tulang pendukung serta gingiva dan
mukosa pada rongga mulut (Pagadala dan Tadikonda, 2015).
4.3.2.1 Trauma Pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa
Organisasi Kesehatan Dunia WHO (1978) memakai klasifikasi dengan
nomor kode yang sesuai dengan ICD (International Classification of Diseases),
sebagai berikut (Thalib,2017):
873.60: Fraktur email. Meliputi hanya email dan mencakup gumpilnya email,
fraktur tidak menyeluruh atau retak pada email.

8
873.61: Fraktur mahkota yang melibatkan email dan dentin tanpa terbukanya
pulpa. Fraktur sederhana yang mengenai email dan dentin, pulpa tidak
terbuka.
873.62: Fraktur mahkota dengan terbukanya pulpa. Fraktur yang rumit yang
mengenai email dan dentin dengan disertai pulpa yang terbuka.
873.63: Fraktur akar. Fraktur akar yang hanya mengenai sementum, dentin, dan
pulpa. Juga disebut fraktur akar horizontal.
873.64: Fraktur mahkota-akar. Fraktur gigi yang mengenai email, dentin, dan
sementum akar. Bisa disertai atau tidak dengan terbukanya pulpa.
873.66: Luksasi. Pergeseran gigi, mencangkup konkusi (concussion),
subluksasi, luksasi lateral, luksasi ekstruksi, dan luksasi intrusi.
873.67: Intrusi atau ekstrusi.
873.68: Avulsi. Pergeseran gigi secara menyeluruh dan keluar dari soketnya.
873.69: Injuri lain, seperti laserasi jaringan lunak.
Pemeriksaan klinis dan radiografi pada laporan kasus menunjukkan
adanya fraktur akar horizontal, yaitu fraktur akar yang hanya mengenai
sementum, dentin, dan pulpa.

Gambar 3. Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

9
4.3.2.2 Trauma Pada Jaringan Periodontal
Kerusakan pada jaringan periodontal terbagi menjadi 6 bagian, yaitu
(Gisnawan, 2014):
a) Konkusio yaitu trauma terhadap jaringan pendukung gigi yang
menyebabkan gigi menjadi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi
tanpa adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.
b) Subluksasi yaitu trauma terhadap jaringan pendukung gigi yang
menyebabkan terjadinya kegoyangan tanpa disertai perubahan posisi
gigi.
c) Luksasi yaitu perubahan posisi gigi dalam arah lateral, palatal, lingual
maupun labial dan menyebabkan kerusakan pada ligamen periodontal
dan kontusi atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut.
d) Luksasi ekstrusi, yaitu terlepasnya sebagian gigi dari soketnya yang
menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal. Luksasi ekstrusi
disebut juga avulsi parsial.
e) Luksasi intrusi yaitu masuknya gigi ke dalam soket tulang alveolar
yang menekan ligamen periodontal dan umumnya menyebabkan fraktur
pada soket tulang alveolar.
f) Avulsi, yaitu terlepasnya gigi secara keseluruhan dari soketnya. Pada
kondisi ini, ligamen periodontal terputus dan dapat disertai dengan
fraktur pada tulang alveolar.
Berdasarkan klasifikasi di atas, trauma pada gigi insisivus sentral
maksila kiri pada kasus termasuk luksasi intrusi. Hal ini didukung oleh hasil
pemeriksaan klinis dan radiografi yang menunjukkan perpindahan 5 mm ke
arah aksial di insisivus sentral maksila kiri.

10
Gambar 4. Kerusakan pada Jaringan Periodontal
4.3.2.3 Trauma Pada Tulang Pendukung
Kerusakan pada tulang pendukung terdiri dari 4 jenis yaitu sebagai berikut
(Pagada dan Tadikonda, 2015):
a. Pemecahan soket alveolar: Penghancuran dan kompresi soket alveolar.
Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusi dan luksasi lateral.
b. Fraktur pada dinding soket alveolar: fraktur mengenai facial atau lingual
dinding soket.
c. Fraktur pada prosesus alveolaris: melibatkan atau tidak soket alveolar.
d. Fraktur pada mandibular dan maksila: fraktur yang melibatkat dasar dari
mandubula atau maksila dan prosesus alveolaris (fraktur rahang). Fraktur
ini dapat melibatkan atau tidak melibatkan soket alveolar.
4.3.2.4 Trauma Pada Gingiva atau Mukosa Rongga Mulut
Kerusakan pada tulang pendukung terdiri dari 3 jenis yaitu sebagai berikut
(Pagada dan Tadikonda, 2015; Riyanti,2010):
a. Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang
disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka
terbuka tersebut berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel.
b. Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda
tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa
tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

11
c. Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena
gesekan atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang
berdarah atau lecet.
4.4 Rencana Perawatan
4.4.1 Perawatan Pada Intrusi Gigi
Perawatan kasus intrusi bervariasi bergantung pada perkembangan akar
gigi dan beratnya intrusi yang terjadi. Perawatan pada intrusi yang dapat
dilakukan yaitu reposisi pasif, reposisi secara bedah dan reposisi dengan
ortodontik yang disebut sebagai reposisi aktif (Punta dan Silvy, 2013). Pada gigi
dengan pertumbuhan akar belum sempurna maka pilihan perawatannya adalah
tanpa intervensi dan menunggu erupsi kembali. Jika dalam beberapa minggu tidak
didapatkan pergerakan gigi maka disarankan untuk reposisi secara bedah atau
ortodontik. Pada gigi dengan pembentukkan akar yang telah sempurna, pilihan
perawatannya adalah tanpa intervensi dan menunggu erupsi kembali, apabila
intrusi kurang dari 3 milimeter. Jika dalam 2-4 minggu tidak didapatkan
pergerakan gigi maka dilakukan reposisi secara bedah atau ortodontik sebelum
terjadi ankylosis (DiAngelis dkk, 2012).
Gigi intrusi memiliki kecenderungan untuk menjadi nekrosis. Beberapa
penelitan menyatakan bahwa gigi dengan apeks tertutup yang mengalami intrusi,
100% akan terjadi nekrosis pulpa, sedangkan gigi dengan apeks terbuka hanya
62,5%. Perawatan lanjutan endodontik dengan pengaplikasian kalsium hidroksida
pada saluran akar perlu dipertimbangkan, serta bisa dimulai dalam waktu sesegera
mungkin. Perawatan endodontik harus dimulai 2-3 minggu setelah trauma,
(DiAngelis dkk, 2012).
Tabel. 1. Derajat keparahan intrusi gigi.
No Derajat intrusi gigi Apeks terbuka Apeks tertutup
1. Ringan (< 3 mm) RP RP setelah 2 sampai 3 minggu
RO
2. Sedang (3-6 mm) RP RB atau RO
3. Berat (> 6mm) RP RB

12
Ket: RP: reposisi pasif, RO: Reposisi ortodontic, RB: Reposisi bedah (DiAngelis
dkk, 2012)
A. Reposisi Pasif
Reposisi Pasif merupakan perawatan gigi instrusi dengan membiarkan gigi
tersebut mengadakan erupsi kembali dengan sendirinya. Gigi dibiarkan
mengalami erupsi kembali selama 2-4 minggu dan dievaluasi selama 6 bulan.
Reposisi pasif biasa dilakukan apabila pada gigi masih terlihat mahkota,
kerusakan tulang alveolar kecil, maupun pada gigi yang pertumbuhan akarnya
belum sempurna. Gigi yang re-erupsi kemungkinan dapat menjadi non vital, tetapi
keadaan ini dapat ditanggulangi dengan perawatan endodontik. Daerah trauma
rawan terjadi infeksi terutama pada 2-3 minggu pertama selama proses reerupsi.
Apabila tanda-tanda inflamasi terlihat pada periode ini maka perawatan terbaik
adalah ekstraksi. Waktu yang diperlukan untuk reerupsi umumnya antara 2-6
bulan (Riyanti, 2010).
B. Reposisi Aktif
Reposisi aktif merupakan proses mengembalikan gigi dengan cara menarik
gigi sehingga kembali ke posisi semula. Prosedur reposisi aktif pada gigi yang
intrusi adalah sebagai berikut (Syarifah, 2008) (DiAngelis dkk, 2012):
1. Memakai anastesi lokal secara infiltrasi
2. Reposisi gigi dilakukan dengan menarik gigi yang intrusi keluar dari
soketnya secara perlahan-lahan dengan memakai tang. Prosedur tersebut
harus dilakukan dengan hati-hati dan jangan sampai menyebabkan trauma
tambahan.
3. Setelah gigi selesai direposisi, lagkah selanjutnya adalah perhatikan
permukaan insisal antara gigi yang direposisi dengan gigi tetangganya. Hal
tersebut bertujuan untuk menciptakan fungsi estetis dan juga untuk
menghindari faktor predisposisi terjadinya trauma akibat insisal gigi yang
tidak sama dengan insisal gigi tetangganya.
4. Pada kasus gigi yang intrusi setelah direposisi, dapat dilakukan
pemasangan splint atau bracket ortodontik. Karena setelah pemindahan

13
posisi gigi, gigi sangat goyang sehingga perlu distabilkan dengan bantuan
splinting.
5. Follow up dilakukan setiap 2 minggu selama 6 bulan, dilakukan
pemeriksaan klinis serta radiografi.
Pada kasus dijelaskan bahwa pasien mengalami intrusi pada gigi insisivus
sentral maksila kiri 5 mm kearah aksial. Prosedur perawatan yang dilakukan pada
gigi yang intrusi pada kasus yaitu perawatan reposisi aktif secara bedah kemudian
dilanjutkan dengan dental splint. Prosedur ini dipilih karena apeks gigi sudah
terbetuk sempurna dan pemulihan spontan mungkin tidak terjadi. Setelah 20 hari,
perawatan endodontik pada gigi insisivus yang mengalami intrusi dimulai dan
pasta kalsium hidroksida (Calen, SS White-Rio de Janeiro, RJ, Brasil)
ditempatkan di saluran akar selama 4 minggu, dan dilanjutkan dengan obturasi
dan restorasi koronal. Setelah perawatan dilakukan follow-up dengan pemeriksaan
radiografi setiap bulan dan kontrol klinis dari semua gigi yang terlibat.
4.4.2 Perawatan Pada Fraktur Akar Horizontal
Penanganan fraktur akar horizontal dapat dibagi berdasarkan lokasi fraktur
di bagian sepertiga apikal, sepertiga tengah dan sepertiga servikal, sebagai berikut
(Malhotra dkk, 2011) :
A. Fraktur di bagian sepertiga apikal
Kasus fraktur seperti ini biasanya tidak ada tanda-tanda mobilitas dan
mungkin asimptomatik pada akar dan gigi. Dalam kebanyakan kasus, didapati
segmen apikal tetap vital. Dengan demikian, tidak ada perawatan yang diperlukan
tetapi gigi tersebut diobservasi untuk waktu yang lama. Jika terdapat nekrosis
pulpa pada fragmen apikal, pengeluaran fragmen apikal secara bedah menjadi
indikasi.
B. Fraktur di bagian sepertiga tengah (fraktur di bawah alveolar bone crest)
Pada prinsipnya, fraktur sepertiga tengah memerlukan reduksi dan
imobilisasi fraktur yang cepat, hal ini sangat berperan dalam menjaga vitalitas
pulpa dari gigi yang terlibat.
Perawatan yang dapat dilakukan pada fraktur sepertiga tengah yaitu
mengembalikan posisi fragmen gigi yang telah bergeser dengan segera

14
menggunakan tekanan jari. Dapat juga dilakukan perawatan ortodontik untuk
mengembalikan bagian yang telah bergeser ke posisi yang tepat. Selanjutnya
dilakukan splinting untuk menstabilisasi gigi agar tidak bergerak. Metode
splinting yang dianjurkan yaitu penggunaan splinting resin komposit dengan
kawat stainless-steel atau titanium trauma splints (TTS).
Fragmen yang akan dipindahkan terlebih dahulu dilakukan reduksi atau
pengurangan dan harus diperiksa secara radiografi. Setelah dilakukan reduksi,
splinting diletakkan selama 4 minggu untuk menjamin konsolidasi jaringan keras
yang mencukupi.
C. Fraktur di bagian sepertiga servikal
Perawatan pada fraktur sepertiga servikal tergantung pada posisi garis
fraktur, panjang segmen akar yang tersisa dan ada atau tidaknya segmen koronal.
Kemungkinan penyembuhan dengan jaringan terkalsifikasi adalah paling rendah
pada fraktur di lokasi ini. Perawatan yang dapat dilakukan pada fraktur sepertiga
servikal, antara lain :
1. Reattchhment
Pemasangan kembali segmen fraktur dapat dilakukan jika segmen koronal
tersedia dan fraktur terjadi pada koronal atau setingkat dengan alveolar
bone crest. Hal ini dilakukan dengan bantuan fibre-reinforced post dan
bahan resin komposit.
2. Perawatan konvensional
Fraktur di bagian sepertiga servikal di bawah alveolar bone crest dapat
dirawat dengan reduksi dan stabilisasi konvensional. Stabilisasi
menggunakan splinting dan harus dilakukan selama 4 bulan. Pada pasien
dengan kebersihan mulut yang optimal, fiksasi permanen fragmen koronal
ke gigi yang berdekatan pada daerah kontak proksimal dilakukan dengan
resin komposit atau pemasangan kembali segmen yang retak juga dapat
dicoba.
3. Post crown

15
Post crown pada margin subgingiva diindikasikan pada kasus dengan
segmen koronal tidak ada (hilang), garis fraktur berada di atas alveolar
bone crest dan segmen akar apikal memiliki panjang yang cukup.
4. Crown lengthening (bedah periodontal)
Crown lengthening dilakukan jika garis fraktur tidak lebih dari 1-2 mm di
bawah alveolar bone crest. Prosedur ini melibatkan pengangkatan 1-2 mm
crestal bone yang berdekatan dengan bagian terdalam dari fraktur dan
mengembalikan kedalaman sulkus menjadi normal (2 mm). Biasanya
dapat menyebabkan pergeseran margin gingiva yang dapat mengganggu
estetika.
5. Transplantasi intra-alveolar dari gigi yang fraktur
Dilakukan pada kasus pasien dengan perawatan darurat dan mengalami
fraktur akar dengan luksasi yang berat. Dalam teknik ini, gigi diekstrusi
dengan hati-hati ke posisi yang seharusnya, kemudian dilakukan suturing
pada interdental dan diberikan surgical dressing.
6. Ekstraksi
Dalam kasus di mana perawatan konservatif tidak memungkinkan maka
gigi yang fraktur harus diekstraksi tanpa menyebabkan kerusakan pada
prosesus alveolaris. Jika pengangkatan fragmen apikal pada akhirnya
diperlukan, maka harus dilakukan melalui soket dengan kehilangan
minimal tulang labial atau pengangkatan dengan pembedahan.

Prosedur follow-up dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan radiografi


harus untuk meminimalkan gejala dari trauma gigi dengan interval follow-up
setiap 4 minggu, 6-8 minggu, 4 bulan, 6 bulan, 1 tahun dan 5 tahun. Pasien harus
diberitahu mengenai perawatan apa saja yang dilakukan setelah gigi mengalami
cedera. Penggunaan sikat gigi berbulu lembut dan kumur dengan klorheksidin
0,1% dapat dilakukan untuk mencegah akumulasi plak, debris dan membantu
menjaga kebersihan mulut dengan baik (Malhotra dkk, 2011).
Pada kasus dijelaskan bahwa pasien mengalami fraktur akar horizontal
pada sepertiga tengah pada gigi insisivus lateral maksila kiri setelah mengalami

16
trauma. Prosedur perawatan yang dilakukan pada gigi yang fraktur pada kasus
yaitu dilakukan reposisi terlebih dahulu pada bagian koronal dari gigi insisivus
lateral maksila kiri, kemudian digunakan rigid splint yang melibatkan gigi
insisivus maksila untuk menjaga stabilitas. Setelah perawatan dilakukan follow-
up, pada kasus dilakukan follow-up dilakukan setelah 6 bulan, 1 tahun dan
kemudian setiap tahun selama 8 tahun dan dari pemeriksaan klinis dan radiografi,
menunjukkan stabilisasi fraktur akar horizontal di sepertiga tengah.

4.5 Prognosis
4.5.1 Prognosis Pada Gigi Yang Mengalami Intrusi
Intrusi merupakan salah satu trauma luksasi gigi yang paling sulit dan
jarang terjadi. Jarangnya kasus intrusi mengakibatkan terbatasnya penelitian-
penelitian yang mendukung metode perawatan yang tepat. Sampai saat ini
perawatan yang optimal dari luksasi intrusi selalu menjadi kontroversial, dan
keberhasilannya masih diperdebatkan karena kompleksnya komplikasi yang
terjadi paska perawatan.
Intrusi yang berat dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan pulpa,
jaringan periodontium, neurovaskular, dan keadaaan ini mengakibatkan
komplikasi paska perawatan seperti nekrosis pulpa, resorbsi akar eksterna,
resorbsi inflamasi, resorbsi pengganti, kalsifikasi pulpa, dan hilangnya tulang
marginal. Terdapat beberapa penelitian menyatakan bahwa intrusi mencapai 3 mm
masih mempunyai prognosis yang baik, tetapi apabila lebih dari 6 mm memiliki
prognosis yang buruk (Punta, et al., 2013).
Pada kasus ini, disebutkan intrusi yang terjadi mencapai 5 mm maka dapat
dikatakan prognosisnya baik karena belum lebih dari 6mm. Pada kasus juga
menyebutkan bahwa pasien telah melakukan follow up selama 8 tahun, yang
menujukkan pasien tersebut kooperatif dan dapat membawa ke prognosis baik.
4.5.2 Prognosis Pada Gigi Yang Mengalami Fraktur Akar Horizontal

Menurut Andreasen dan Hjorting — Hansen, fraktur akar dapat mengalami


penyembuhan dengan cara berikut (Garg, et al, 2010, Malhotra, et al., 2011):

17
1. Penyembuhan dengan kalsifikasi pada jaringan, dimana fragmen fraktur
berada berdekatan (gambar 1a). Penyembuhan ini jarang terjadi.
2. Penyembuhan dengan interposisi jaringan ikat, dimana secara radiografi
fragmen tampak dipisahkan oleh garis radiolusen (gambar 1b).
penyembuhan jenis ini lebih sering terjadi
3. Penyembuhan dengan interposisi tulang dan jaringan ikat. Fragmen yang
retak terlihat dipisahkan oleh jembatan tulang yang nyata secara
radiografis (gambar 1c).
4. Interposisi jaringan granulasi, secara radiografi menunjukkan pelebaran
pada garis fraktur (gambar 1d).

Gambar 5. a) Penyembuhan dengan kalsifikasi pada jaringan, b) penyembuhan


dengan jaringan ikat interproksimal, c) penyembuhan dengan tulang
interproksimal dan jaringan ikat, d) jaringan inflamasi interproksimal tanpa
penyembuhan
Prognosis pada gigi yang mengalami fraktur horizontal tergantung pada
(Garg, et al, 2010, Malhotra, et al., 2011):
1) Jumlah dislokasi dan tingkat mobilitas segmen koronal
Jarak pergeseran dan derajat mobilitas mempengaruhi prognosis. Semakin
berat dislokasi maka prognosis semakin buruk,
karena fraktur semakin sulit diperbaiki dan pulpa telah rusak
2) Tahap perkembangan gigi
Semakin immature gigi, semakin baik kemampuan pulpa untuk pulih dari
trauma. Banyak suplai darah pada gigi yang muda atau immature.
3) Status pulpa

18
Pulpa yang vital dan sensibilitas pulpa positif pada saat trauma
berhubungan dengan cepatnya penyembuhan dan perbaikan jaringan keras
yang fraktur. Hampir pada semua kasus, pulpa pada segmen apikal gigi
yang fraktur tetap vital.
4) Posisi garis fraktur
Fraktur pada sepertiga tengah merupakan fraktur yang memiliki prognosis
terbaik. Tetapi, prognosis penyembuhan dengan jaringan keras buruk jika
garis fraktur sangat dekat dengan puncak gingiva.

5) Hubungan dengan rongga mulut


Jika terdapat celah antara sulkus gingiva dan daerah yang mengalami
fraktur, maka prognosis buruk karena adanya kontaminasi bakteri.
6) Jenis kelamin
Penyembuhan dengan jaringan keras lebih sering terjadi pada perempuan
daripada laki-laki karena perempuan jarang mengalami trauma.

Berdasarkan indikator di atas jika dikaitkan dengan kasus memiliki


prognosis yang baik karena fraktur akar horizontal yang dialami pasien terjadi di
daerah sepertiga tengah akar, respon pulpa terhadap tes sensitivitas pulpa positif,
tidak ada resorpsi akar, dan adanya respon positif terhadap tes sensibilitas pulpa.

19
BAB V
KESIMPULAN

Kasus ini menunjukkan stabilitas selama 8 tahun, dengan estetika dan


fungsi gigi tetap terjaga. Tindak lanjut klinis dan radiografi jangka panjang
diperlukan untuk prognosis pasca trauma. Pemeliharaan gigi pasca trauma
memiliki dampak langsung pada kualitas hidup pasien, memulihkan keadaan
psikologis dan emosional pasien.

20
DAFTAR PUSTAKA

Aghdash, S.A., Azar, F.E., Azar, F.P., Rezapour, A., Joo, M.M., Moosavi, A.,
Oskouei, S.G., 2015, Prevalence, Etiology, and Types of Dental Trauma in
Children and Adolescents: Systematic Review and Meta-Analysis, Med J
Islam Repub Iran, 29(234):1-13.

DiAngelis, A. J., dkk, 2012, International association of dentaltraumatology


guidelines for the managementof traumatic dental injuries: fractures
andluxations of permanent teeth, Dental Traumatology, 28: 2-12.

Dorland, W. A.N. 2002, Kamus kedokteran Dorland. 29th ed. Terjemahan H.


Hartanto dkk. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal. 12.

Garg, N., dkk. 2010. Text book of Endodontics. 2th Ed. Jaypee Brother Medical
Publisher : New Delhi. hal. 422.

Gisnawan, A., 2014. Penatalaksanaan Replantasi Gigi Anterior Permanen.


Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, Makassar, hal. 24.

Malhotra, N., Kundabala, M., Acharaya, S., 2011, A Review of Root Fractures:
Diagnosis, Treatment, and Prognosis, Restorative Dentistry, hal. 615-628.

Pagadala, Sasikala, Deepti, C.T., 2015. An Overview of Classification of Dental


Trauma. Maharashtra, India, hal. 157-164.

Punta, B., Silvy, D. M., 2013, Endodontic Treatment of Surgical Repositioned


Traumatically-Intruded Maxillary Incisors Permanent Teeth, Journal of
Dentistry Indonesia, 2013, 20(2): 51-56.

Riyanti, E., 2010, Penatalaksanaan Trauma Gigi Pada Anak, Bagian Kedokteran
Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Pustaka
Unpad, Sumedang, hal. 14.

21
Schuurs, A.H.B. dkk. 1992, Patologi gigi-geligi: Kelainan-Kelainan Jaringan
Keras Gigi. Terjemahan S. Suryo. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press. hal. 20.

Syarifah, T. R., 2008, Perawatan Ekstruksi dan Intrusi Gigi Permanen Anak
Akibat Traumatik Injuri, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara, USU e-Respository, Medan, hal. 17.

Thalib, B., 2017. Perawatan Gigi Fraktur Dengan Mahkota. Fakulutas


Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, Makasar, hal. 2.

Zaleckiene, V., Peciuliene, V., Brukiene, V., Drukteinis, S., 2014, Traumatic
Dental Injuries: Etiology, Prevalence, and Possible Outcomes, Baltic Dental
and Maxillofacial Journal, 16(1): 7-14.

22

Anda mungkin juga menyukai