Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH USHUL FIQH

“ISTIHSAN”
Dosen Pengampu : Muhammad Rofiq Zunaidi

Disusun oleh:
1. Abdul Kolik M (165221139)
2. Titin Putri (165221154)
3. Choirotur Rohmah (165221171)

AKUNTANSI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2016/2017

I
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’.
Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih
terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas dengan beberapa
alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu pesat
terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak
cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya
beberapa metode istinbath hukum yang pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber
hukum yang dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima
keabsahannya, sehingga tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga
saat ini. Terlepas dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa
ini modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang merupakan
dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat
dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Karena jika tetap berpegang pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta,
otomatis agama akan ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi permasalahan-
permasalahan baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan
pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya
memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa ini,
hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain
sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan
syariat agama.

2
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu terkait
dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita akan
mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita
temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan
ijtihad hukum yang baru.
Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat
diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan
pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para
sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya
memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci.
Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam
bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah
SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist,
para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi
metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai
metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya. Dalam makalah ini akan dibahas
tentang persoalan metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini
pembahasan cukup difokuskan pada persoalan berijtihad dengan Istihsan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa definisi Istihsan?

2. Apa sajakah macam-macam Istihsan?

3. Bagaimana bentuk kehujjahan Istihsan?

4. Bagaimana Hukum dasar Istihsan?

3
C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk menginformasikan kepada Mahasiswa tentang gambaran umum/penjelasan tentang


definisi-definisi istihsan
2. Untuk menginformasikan bagaimana Macam-macam Istihsan .
3. Mengetahui kehujjahan Istihsan .
4. Mengetahui hukum dasar Istihsan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Istihsan

Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah Ulama’
Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas
Khafi (Qiyas samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada
dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini.

Istihsan secara bahasa yaitu kata bentukan (musytaq) dari al-hasan yang artinya adalah apapun
yang baik dari sesuatu. Istihsan sendiri kemudian berarti kecenderungan seseorang pada sesuatu
karena menganggapnya lebih baik, dan ini bersifat lahiriyah (hissiy) ataupun maknawiyah,
meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.

Menurut istilah dari Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi yaitu salah seorang ulama’ ushul,
memberikan pendapat tentang Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan
hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang
membutuhkan keadilan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.

B. Macam-macam Istihsan

Dari definisi istihsan menurut syara’, jelaslah bahwasanya istihsan ada dua macam, yaitu:

5
1. Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu
dalil.

Contohnya: Fuqoha Hanafiyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman binatang buas, seperti
burung nasar, burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci berdasarkan Istihsan,
dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah bahwasanya ia merupakan sisa minuman
binatang yang dagingnya haram dimakan, sebagaimana sisa minuman buas seperti: harimau,
macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa makanan binatang mengikuti hukuman dagingnya.

Sedangkan segi Istihsannya adalah bahwasanya jenis burung yang buas, meskipun dagingnya
diharamkan, hanya saja air liurnya yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa
minumannya, karena ia meminum dengan paruhnya, padahal paruh tersebut termasuk dalam
tulang yang suci. Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur
dengan air liurnya. Oleh karena inilah sisa minumannya najis.

Dari contoh tersebut, terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama
adalah qiyas yang nyata yang mudah difahami, dan kedua adalah qiyas yang tersembunyi,
kemudttgian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”. Dan dalil yang
menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.

2. Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu
dalil.

Contohnya: Syari’ (Pembuat hukum: Allah) melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada,
namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan kepada salam (pemesanan), sewa
menyewa, muzara’ah (akad bagi hasil penggarapan tanah, muaqat (akad bagi hasil penyiraman
tanaman), dan istishna’ (akad jasa pengerjaan sesuatu). Semuanya itu adalah akad berlangsung.
Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.

Pada contoh diatas, ada pengecualian kasus dari hukum kulli (umum) karena ada dalil. Inilah
yang menurut istilah disebut dengan istihsan.

C. Kehujjahan Istihsan

6
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasannya pada
hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum
istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya
yang membuat tenang hati si Mujtahid. Itulah segi Istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari
istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum
kulli (umum), dan juga yang disebut dengan segi istihsan.

Adapun kehujjahan istihsan menurut para ulama’, antara lain:

1. Ulama’ Hanafiyah

Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula
dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah
mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqihnya banyak sekali terdapat
permasalahan yang menyangkut istihsan.

2. Ulama’ Malikiyah

Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitupula menurut Abu Zahrah,
bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.

3. Ulama’ Hanabilah

Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan,
sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli
dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah,
namun ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.

4. Ulama’ Syafi’iyah

Golongan Al Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul
menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.
Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah
membuat syari’at.” Beliau juga berkata, “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT.,

7
setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas. Namun tidak
boleh menggunakan istihsan.”

D. Hukum Dasar Istihsan

Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang
menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti
Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬

Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.

‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬

Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.

Hadits Nabi saw:

.ٌ‫سيِئ‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ‫س ٌن َو َما َرأ َ ْوا‬
‫سيِئًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬ َ ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح‬
‫سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬
َ ‫َّللاِ َح‬

Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.

8
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

9
Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih
cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan
satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.

Macam macam istihsan ada dua macam, yaitu pertama: Pentarjihan qiyas khafi (yang
tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu dalil. Kedua: Pengecualian kasuistis
(juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu dalil.

Hadits Nabi saw:

.ٌ‫سيِئ‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ‫س ٌن َو َما َرأ َ ْوا‬
‫سيِئًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬ َ ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْس ِل ُمونَ َح‬
‫سنًا فَ ُه َو ِع ْندَ ه‬
َ ‫َّللاِ َح‬

Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-
sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.

DAFTAR PUSTAKA

Wahab, Khalaf Abdul, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Syafe’i Rachmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.

10
Wahab, Khalaf Abdul, 1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama.

Al-Khudhari Biek, Muhammad, 2007, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani.

[1] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih), Jakarta, 1996, hlm.
120

[2] DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 111-112

[3] Prof. Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994, hlm. 110

[4] Syaikh Muhammad al-Khudari Biek, Ushul Fiqih, Jakarta, 2007, hlm. 734

[5] Prof. Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, 1994, hlm. 110

[6] DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 112

11

Anda mungkin juga menyukai