Anda di halaman 1dari 4

A�udzubillahiminasy syaitonir rojim

Bismillahir Rahmanir Rahim.

Assalamu�alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Untuk melengkapi 'ngerumpi' miskin ini adalah


tulisan Muhammad �Ainun Nadjib, sudah dimuat pada tabloid
�ADIL� No. 10 tahun ke-66. 3-9 Desember.

ALLAH telah mengaruniai beliau dengan kekuatan kata-kata yang


dituliskannya.

Semoga bermanfaat.

Wassalamu�alaikum.

-------------------------------------

PENYAKIT MISKIN PADA ORANG-ORANG KAYA

Emha Ainun Nadjib

Menaker Abdul Lathif mencuil uang Jamsostek untuk disampaikan kepada


pekerja di DPR itu tidak lain merupakan produk dari penyakit miskin.

Tradisi orang DPR untuk menerima uang, cincin, akses perusahaan, atau
apapun, serta disebut dengan kata apapun yang halus-halus dan
menyamarkan � tak lain merupakan hasil dari penyakit miskin.

Kebiasaan �berkasih sayang finansial� di antara lembaga-lembaga


pengurus negara, juga dengan kelompok manapun yang masing-masing
berposisi interdependen secara politik dan ekonomi � tak lain merupakan
akibat dari penyakit miskin.

Dari tinggat paling atas sampai stratan paling rendah, yang merupakan
pelaku rutin dari kolusi semacam itu � penyakit miskin semacam ini
menghinggapi bangsa Indonesia dengan riuh rendah.

Stadium tertinggi penyakit miskin tidak terletak pada kehidupan puluhan


juta orang miskin, melainkan terutama pada orang-orang kaya dan orang-
orang kuasa.

Bangsa Indonesia, terutama para penguasanya di bidang politik, ekonomi


dan hukum, menjalankan kebiasaan untuk mengakali Tuhan. Menjalankan
tradisi untuk meninabobokan akal sehat dan hakekat nilai dengan
nyanyian-nyanyian semu dan palsu.

Kebobrokan disamar-samarkan. Kejahatan ditutup-tutupi, terkadang dengan


pembenaran ayat dan wacana ilmiah. Kenaikan harga disuruh percaya bahwa
ia bukan kenaikan harga, melainkan penyesuaian. Korupsi menjadi menjadi
kemuliaan bagi pelakunya di depan mata keluarga, sanak famili dan
handai tolannya. Sogok-menyogok yang dilaksanakan dengan menabrak
hukum, ditabiri dengan kata-kata estetik dan retorik.

Batin dan hati kecil (qalbun fithr) mereka sesungguhnya selalu


melakukan pemberontakan dan berkecamuk di lubuk kedalaman dada mereka,
namun orang yang mengidap penyakit miskin tidak hanya pandai mendustai
orang lain, melainkan juga memiliki kecanggihan untuk menipu dirinya
sendiri.

Hati kecil itu mereka penjarakan jauh di kerak bumi jiwanya. Hati
sejati itu mereka kubur dan mereka timbuni di bawah tumpukan
pembenaran, aplogi dan klenik-klenik yang mereka tumbuhkan secara
curang di ladang akal pikiran mereka.

Pemenjaraan hati nurani itu sesudah berlangsung dalam jangka waktu yang
terlalu lama, akan membuat diri manusia pelakunya akan menjadi percaya
bahwa mereka bukan sedang menipu diri sendiri. Mereka akhirnya percaya
bahwa yang mereka lakukan adalah kemulian, kebenaran, bahkan kekudusan.

Kalau anak atau istri kita pada suatu sore berwajah cerah riang gembira
karena kita membawa uang sangat banyak, maka kecerian wajah mereka itu
benar-benar merupakan sorga mulia. Karena kecerian wajah anak istri itu
kita penggal keterkaitannya dengan kenyataan bahwa uang yang kita bawa
itu adalah uang curian atau rampokan. Kita berlindung pada keceriaan
wajah anak istri dan melarikan diri dari realitas rampok kita.

Kita menyemayamkan kesadaran kita pada suatu bilik lokal yang


subyektif dan egosentris, di mana segala sesuatu kita pandang hanya
dari sudut itu. Kita bukan menjadi bagian dari dunia, melainkan dunia
yang menjadi bagian dari kosmos kita sendiri.

Bukan kita yang menyesuaikan diri, mempersuasikan perilaku, serta


mempromosikan tindakan-tindakan kita berdasarkan rumus-rumus
kebersamaan hidup di mana kita hanya menjadi bagian kecil darinya.
Melainkan dunia yang harus menyesuaikan diri kepada mata pandang
subyektivisme kita. Seluruh alam yang harus toleran terhadap kehendak
egosentris kita. Semua rakyat dan bumi nusantara yang harus tunduk pada
apa mau kita, harus patuh kepada yang membahagiakan kita dan
menyusahkan kita.

Kalau ada orang, ada kelompok, ada gerakan, yang berjalan ke arah
berlawanan ke arah metabolisme kebahagiaan egosentris kita � kita akan
gebug. Dan kalau jumlah orang yang harus kita gebug sudah terlalu
banyak, sementara kita sudah tidak terlalu yakin bahwa kita akan bisa
terus menerus menerapkan subyektivisme kekuasaan seperti itu, maka kita
membutuhkan UMROH.

Kalau kita pergi ke Tanah suci dan baitullah, kita berhadapan dengan
dua kemungkinan. Pertama, Tuhan masih memiliki rasa sayang kepada kita,
sehingga kita akan ditegur, entah melalui cara apa.

Kedua, Tuhan sudah tidak memperdulikan nasib kita, dibiarkan saja kita
menginjakkan kaki kita yang penuh lumpur dosa di lantai rumahNya.
Dibiarkannya tangan kita yang penuh maksiat-maksiat besar menyentuh
dinding rumahNya. Sebab Tuhan tidak punya ketergantungan apapun
terhadap apa dan siapapun. Tuhan tidak bergantung pada adanya Ka�bah,
atau pada apapun.

Semua alam bumi dan tanah suci di Arab Saudi itu dihamparkan olehNya
tidak diperuntukkan bagi diriNya sendiri, melainkan untuk memberi
pelajaran hidup untuk hamba-hambaNya yang masih disayangiNya. Tuhan
bisa membiarkan Ka�bah dinjak-injak oleh perampok dan maling, tanpa
Tuhan kehilangan kehormatan dan nilai apapun.
Tuha tidak ngingu jimat sebagaimana hamba-hambaNya yang bodoh. Dan
kemulian serta keakbaranNya sama sekali tidak ditentukan oleh apakah
manusia mengakbarkanNya atau tidak. Qiyamuhu binafsihi. Dan itu semua
karena sudah dianggapnya final dan jelas: bukan hanya akan masuk
neraka, melainkan menjadi kerak neraka itu sendiri.

Kita, atau orang yang demikian, sudah �menjadi tuhan � dengan �t�
kecil. Oleh karena itu �setuhan-tuhannya manusia�, selalu akan masih ia
butuhkannya Tuhan yang sebenarnya. Tuhan dengan �t� besar. Tuhan Allah
subhanallahu wata�ala.

Tuhan amat kaya dan amnusia amat sangat miskin. Keduanya sama sekali
tidak bisa diperbandingkan. Dan di antara manusia-manusia itu, yang
termiskin adalah orang-orang kaya. Adalah menteri-menteri, presiden,
penguasa, pejabat, pemegang uang banyak, pemilik modal raksasa.
Penyakit miskin itu ditaburkan awalnya oleh Iblis, kepada Adam dan
Hawa.

Dua manusia pemula itu sudah memperoleh anugerah yang tiada taranya di
seantero sorga. Bahkan jumlah dan kadar kekayaan sorga sama sekali tak
bisa dibandingkan dengan kekayaan bumi, apalagi sekedar tambang emas di
Irian Jaya, tanah Kalimantan, bukit-bukit di Jawa atau apapun � yang
seluruhnya hanya membuat para penguasanya hanya menjadi bertambah
penyakit miskinnya.

Tapi Iblis melakukan brainwashing kepada Adam dan Hawa. Mereka dibuat
merasa belum kaya. Mereka disihir untuk merasa masih kurang, merasa
miskin � dan itulah hakekatnya penyakit miskin.

Di antara hamparan kekayaan sorga yang tak terhingga itu hanya ada satu
pohon yang Adam dan Hawa oleh Pemilik kekayaan itu dilarang
mendekatinya. Engkau boleh jebol semua pohon dan krakoti semua buahnya:
hanya satu saja � dari bermilyar-milyar pohon � yang engkau jangan
dekati. Engkau boleh makan apa saja, hanya babi saja jangan . Bukankah
kalau Tuhan kasih seratus, lantas yang lima puluh Ia larang untuk kita
sentuh - masih sangat normal dan wajar? Dan larangan Tuhan itu hanya
0,00000000001 persen belaka.

Tapi berkat penyakit miskin itulah kita bisa merasa kurang dan lantas
menyemporkan ketamakan dengan air liur kita sehingga kita dekati pohon
yang hanya satu.

Abdul Lathif kurang kaya apa? Menteri manapun, pejabat tinggi manapun,
pengusaha manapun, tukang katabelece manapun - kurang kaya bagaimana?
Pak Harto dan putra-putrinya, kurang kaya bagaimana? Masih berapa pohon
lagi yang akan mereka dekati, mereka ambil atau mereka sandera sampai
esok.

Penyakit miskin, oleh para ilmuwan disebut �budaya kemiskinan�.


Berlakunya, sekali lagi, tidak terutama pada orang-orang miskin,
melainkan justru pada orang yang secara fisik sudah memiliki kekayaan
yang tak terbayangkan bagi kebanyakan orang lainnya.

�Budaya kemiskinan� punya teori dan penjelasannya sendiri, dan biarkan


itu urusan para ilmuwan. Yang bisa saya sebut di sini adalah penyakit
miskin: yakni suatu situasi mental yang dikuasai oleh perasaan selalu
belum cukup, persaan selalu kurang, perasaan masih ingin lagi, perasaan
eman untuk memberi, persaan sayang untuk mencabut sehelai bulu sajapun
dari lengan tangannya bagi kebersamaan hidup.

Sehelai bulu itu mungkin sejumlah rupiah, mungkin juga jabatan,


kekuasaan, akses-akses atau apapun yang secara tolol diidentikan dengan
sukses hidup.

Orang-orang melakukan industri aborsi maupun putri-putri mudi yang


menjadi pasien mereka adalah para pengidap penyakit miskin. Iwik
diseret-seret ke dalam jebakan kemudian sampai ke pengadilan, lantas
ketahuan masyarakat bahwa itu skenario tidak bermutu, sampai akhirnya
terpaksa dituntut dan dihukum bebas � tidak lain pelakunya adalah para
pengidap penyakit kemiskinan.

Penyakit miskin tidak ada dokternya. Karena manusia dididik menjadi


dokter kebanyakan justru untuk sebanyak mungkin menyuntikkan virus
penyakit miskin ke dalam badan hidupnya.

Agama? Tuhan? Nabi? Rasul? Mursyid? Ulama? Sufi? Ah, siapa percaya
mereka?

----------------------------------
Feri A. Latief
Wiraangun-angun 32, Bandung 40115.
icadd5@indosat.net.id
----------------------------------

Anda mungkin juga menyukai