Anda di halaman 1dari 3

MENGENDALIKAN AMARAH

Al Qur'an menjanjikan surga bagi orang-orang yang mengendalikan amarah :

" Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa [yaitu] orang-orang
yang menafkahkan [hartanya], baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan [kesalahan] orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan." (QI 3:133-134,terjemahan Depag)

Amarah merupakan energi yang menggerakkan kita untuk melakukan banyak hal.
Tanpa amarah, kita menjadi orang yang loyo dan tak bergairah dalam hidup ini sehingga
banyak tugas-tigas kita akan terbengkalai. Karena itu, janganlah kita membenci amarah. Yang
perlu kita lakukan adalah mengendalikannya.
Kita perlu melatih diri untuk menyalurkan amarah itu kepada hal-hal yang positif, misalnya
untuk melakukan pekerjaan kita sehari-hari, menolong orang lain, berolah raga dll. Sebaliknya
kita harus mencegah penyaluran energi amarah untuk marah dan melakukan pekerjaan-
pekerjaan yang tidak bermanfaat, apalagi pekerjaan yang haram dan merugikan pihak lain.

Disebut di atas bahwa MARAH merupakan salah satu penyaluran energi amarah yang
salah arah. Tak seorang pun memperoleh manfaat dari marah yang tak terkendali, bahkan
cenderung untuk mengakibatkan kerusakan, baik pada diri orang yang marah, maupun pada
orang atau benda-benda di sekitarnya. Banyak sekali energi yang terkuras ketika kita marah.
Di samping itu, terjadi ketegangan urat syaraf yang mengganggu keseimbangan jiwa dan
tubuh. Jantung terpacu sangat cepat. Pada orang yang lemah, apabila kemarahan itu
memuncak, ia dapat mengalami stroke atau gangguan jantung. Orang yang sering marah tidak
memperoleh ketenangan dalam hidupnya. Hatinya selalu panas dibakar 'apineraka'

Lain kali jika anda sadar bahwa anda sedang marah, perhatikan, apakah anda bahagia
(tenteram, damai) ataukah panas? Kalau kita tahu bahwa kita sering marah, sebaiknya kita
menguras energi kita dengan lebih banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang positif.
Salah satu tugas salik adalah menahan marah. Ini merupakan tugas sulit terutama bagi
mereka yang memang diciptakan dengan porsi amarah yang sangat besar, dan mereka yang
terlalu banyak makan makanan 'panas' dan/atau makanan haram.
Kemarahan terjadi akibat reaksi kita yang keliru terhadap terjadinya hal-hal yang tidak
berkenan di hati kita. Misalnya,

[a] saya sangat haus dan tak ada minuman, maka isteri dan seisi rumah saya
marahi

[b] saya ingin agar anak saya mendapat ranking 1, 2 atau 3 di kelas, tetapi tidak,
maka saya marah kepada anak saya karena tidak berusaha cukup
keras, dan marah kepada guru-gurunya karena terlalu pelit dalam
memberi nilai;

[c] hari ini banyak pekerjaan di kantor, tetapi seorang pembantu saya malah
tidak berangkat karena sakit, maka saya marahi semuanya.

Dari ketiga contoh di atas dapat ditarik satu kesamaan, yaitu saya tidak mau
menerima keadaan, saya protes, saya menganggap bahwa sayalah yang benar dan pihak lain-
lah yang salah, saya sama sekali tidak menyadari peran Allah di sini. Saya merasa bahwa saya-
lah yang berkuasa mengatur dan menentukan segalanya. Saya lupa [atau malah tidak tahu]
bahwa saya hanya berwenang berusaha dengan sebaik mungkin dengan menggunakan
perhitungan yang secermat mungkin, tetapi Allah-lah yang menentukan hasilnya. Allah pula-
lah yang menciptakan segala keadaan; kesulitan, rintangan atau masalah yang ada harus
dianngap sebagai cobaan atau hukuman dari Allah. Tidak pantas bagi kita untuk melakukan
protes kepada Allah atas rintangan-rintangan itu.
Seorang sufi tidak pernah marah. Kalaupun ia tampak memarahi seseorang, kemarahannya itu
semata-mata merupakan ibadah yang dilakukannya demi Allah untuk mencapai sesuatu tujuan
yang telah ditetapkannya. Ia marah dengan disertai rasa kasih sayang kepada orang dimarahi,
bukan dengan kebencian.

Dalam suatu peperangan dengan orang kafir, Sayidina Ali berhadapan musuh yang
sudah jatuh telentang. Ketika hendak mengayunkan pedangnya, musuh itu meludah kepada
beliau sehingga beliau marah, namun beliau justru tidak jadi membunuhnya dan
membiarkannya pergi. Orang yang melihat itu bertanya, mengapa beliau tidak membunuhnya
saja, beliau menjawab: "Aku hanya membunuh karena Allah. Kalau tadi aku membunuhnya,
maka aku telah membunuh karena amarah"

Dengan kesadaran bahwa marah merupakan hal yang bukan hanya tidak bermanfaat,
tetapi merugikan, hendaklah kita melatih diri untuk mengikis kemarahan itu sedikit demi
sedikit. Pada mulanya, biarkan kemarahan itu datang, tetapi begitu anda menyadari, segera
hentikan kemarahan itu. Kalau anda berdiri ketika marah, duduklah; dan jika anda duduk
ketika marah, berbaringlah. Kemudian berdoalah dalam kalimat "Ya Allah, berikanlah
kepadaku kemampuan untuk memahami diri-Mu", atau kalimat-kalimat lain yang mengingatkan
kepada peran Allah dalam setiap kejadian. Insya Allah, lambat-laun anda akan dapat
mengendalikan amarah; kemarahan makin lama akan makin singkat terjadinya, dan
padaakhirnya akan sirna (tidak pernah datang lagi).

Anda mungkin juga menyukai