Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mycobacterium tuberculosis menginfeksi satu orang per detik di dunia.
Sepertiga penduduk duniatelah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis. World
Health Organization (WHO) menyatakan kedaruratan dunia (global emergency)
terhadap penyakit tuberkulosis (TB) paru sejak tahun 1993 dan merekomendasikan
penanggulangan TB dengan strategi DOTS sejak tahun 1995. Namun sebagian besar
negara-negara di dunia belum mampu mengendalikan penyakit TB paru.
Laporan WHO tahun 2006 menyimpulkan ada 22 negara dengan kategori
beban tertinggi terhadap TB paru. Sekitar 80% penderita TB paru di dunia berada pada
22 negara berkembang dengan angka kematian 3 juta setiap tahunnya dari 9 juta kasus
baru dan secara global angka insidensi penyakit TB meningkat 1%setiap tahun.
Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke
posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Limanegara
dengan jumlah kasus terbesar pada tahun 2009 adalah India, Cina,Afrika Selatan,
Nigeria dan Indonesia (sumber WHO Global TuberculosisControl 2010). Global
Report WHO 2010didapat data jumlah seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak
294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB baru BTA positif, 108616 adalah kasus
TB BTA negatif, 11215 adalah kasus TB Extra Paru, 3709 adalah kasus TB
Kambuh, dan 1978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh .
Sementara itu, untuk keberhasilan pengobatan dari tahun 2003 sampai tahun 2008
(dalam %), tahun 2003(87%), tahun 2004 (90%), tahun 2005 sampai 2008 semuanya
sama (91%) (Rahayu,E., 2010).
Indonesia adalah negara terbesar ketiga di dunia dengan masalah tuberkulosis
setelah India (30%) dan China (15%).2,3 Angka estimasi tahun 2004 diperkirakan
bahwa insidensi TB sekitar 530.000 kasus TB BTA positif (245/100.000),
prevalensi seluruh kasus TB diperkirakan 600.000 dengan angka kematian 101.000
orang.2 Hasil survei insidensi dan prevalensi tahun 2004 menunjukkan perbedaan yang
nyata di beberapa wilayah, di Jawa dan Bali 64/100.000, di Sumatera 160/100.000
dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) 210/100.000, yang terdapat daerah daerah
yang sulit terakses oleh pelayanan kesehatan, sehingga diperkirakan banyak
penderita TB yang tidak ditemukan dan tidak dilaporkan. Oleh karena itu, TB
masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia.
Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam
Depkes RI (2009), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian
nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semuakelompok usia, dan
nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka temuan kasus

1
baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376
penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%. Hal
ini melampaui target global, yaitu CDR 70% dan SR 85% (DepkesRI, 2009).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang kasus TB di dunia tersebut, ada beberapa rumusan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini :
 Bagaimanakah Latar belakang TB di Indonesia ?
 Apa yang dimaksud dengan Surveilans TB ?
 Apa Definisi Operasional dari TB ?
 Apa sajakah Tujuan dari Surveilans TB ?
 Apa sajakah Gejala dan Tanda Peyakit TB ?
 Apa sajakah Faktor Risiko TB ?
 Apa sajakah Indikator Surveilans TB ?
 Bagaimanakah Data Kasus TB secara Umum di Indonesia ?
 Bagaimanakah Pencatatan/Pelaporan TB Paru ?
 Bagaimanakah Pengembangan Sistem Surveilans ?
 Bagaimanakah Pengendalian TB di Indonesia ?
 Seperti apakah Form TB Nasional ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas , maka berikut ini merupakan tujuan
penulisan makalah surveilans TB :
 Mengertahui Latar belakang TB di Indonesia
 Mengetahui Pengertian Surveilans TB
 Mengetahui Definisi Operasional
 Mengertahui Tujuan Surveilans TB
 Mengetahui Gejala dan Tanda Penyakit TB
 Mengetahui Faktor Risiko TB
 Mengetahui dan Memahami Indikator Surveilans TB
 Mengetahui Data Kasus Umum TB
 Mengetahui Bagaimana Pencatatan/Pelaporan TB Paru
 Mengetahui Bagaimana Pengembangan Sistem Surveilans TB
 Mengetahui Pengendalian TB di Indonesia
 Mengetahui Form TB Nasional

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang TB di Indonesia.


Indonesia adalah negara terbesar ketiga di dunia dengan masalah tuberkulosis
setelah India (30%) dan China (15%).2,3 Angka estimasi tahun 2004
diperkirakan bahwa insidensi TB sekitar 530.000 kasus TB BTA positif
(245/100.000), prevalensi seluruh kasus TB diperkirakan 600.000 dengan angka
kematian 101.000 orang.2 Hasil survei insidensi dan prevalensi tahun 2004
menunjukkan perbedaan yang nyata di beberapa wilayah, di Jawa dan Bali
64/100.000, di Sumatera 160/100.000 dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)
210/100.000, yang terdapat daerah daerah yang sulit terakses oleh pelayanan
kesehatan, sehingga diperkirakan banyak penderita TB yang tidak ditemukan
dan tidak dilaporkan. Oleh karena itu, TB masih merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam
Depkes RI (2009), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab
kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semuakelompok
usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka
temuan kasus baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau
didapati 166.376 penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya
(Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global, yaitu CDR 70% dan SR
85% (DepkesRI, 2009).
B. Pengertian Surveilans TB
Surveilans adalah suatu kegiatan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data
secara terus - menerus dan sistematis yang kemudian akan didiseminasikan
(disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan
penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
Surveilans epidemiologi adalah suatu rangkaian proses pengamatan secara terus
menerus , sistematik dan berkesinambungan melalui pengumpulan , analisa, dan
interpretasi dta kesehatan dalam upaya untuk memantau suatu peristiwa kesehatan
agar dapat dilakukan penanggulangan yang efektif dan efisien.
Berdasarkan pemahaman terhadap pengertian surveilans epidemiologi tersebut ,
maka Surveilans TB dapat diartikan sebagai kegiatan yang terus menerus, teratur, dan
sistematis dalam pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data TB untuk
menghasilkan informasi yang akurat yang dapat disebarluaskan dan digunakan
sebagai dasar untuk melaksanakan tindakan penanggulangan yang cepat dan tepat
disesuaikan dengan kondisi setempat.

3
C. Definisi Operasional
1. Tuberculosis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis , yang berkembang biak di dalam bagian tubuh dimana terdapat banyak
aliran darah dan oksigen.
2. TB aktif : saat dimana bakteri mulai memenangkan perlawanan terhadap
sistem pertahanan tubuh dan mulai menyebabkan gejala
3. TB paru : saat dimana bakteri ditemukan di paru-paru
4. TB ekstra paru : bakteri tumbuh hanya dibagian lain dari tubuh dan bukan di paru-
paru.
5. TB positif : penderita yang dalam darahnya ditemukan bakteri
mycobacterium tuberculosis melalui pemeriksaan mikroskopis.
D. Tujuan Surveilans TB.
Tujuan surveilans adalah memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan surveilans TB adalah memberikan informasi sesuai dengan orang, tempat ,
dan waktu yang berkaitan dengan masalah kesehatan yaitu penyakit tuberculosis, gejala
dan faktor risikonya sehingga dapat meresponsnya secara dini dengan tindakan
pencegahan dan penanggulangan yang tepat.
E. Gejala dan Tanda Penyakit TB.
a. Gejala utama pasien TB Paru : batuk berdahak selama dua minggu atau lebih ;
Gejala tambahan : dahak bercampur darah/ batuk berdarah, sesak nafas, badan
lemas, malaise, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
b. Pada TB ekstra paru, gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena,
mialnya kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura ( Pleuritis) ,
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas
tulang belakang (gibbus) pada spondilittis TB dan lain-lainya.
F. Faktor Risiko TB.
Penyakit TB paru yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
terjadi ketika daya tahan tubuh menurun. Dalam perspektif epidemiologi yang
melihat kejadian penyakit sebagai hasil interaksi antar tiga komponen agent, host, dan
environment dapat ditelaah faktor risiko dari simpul-simpul tersebut.
 Faktor Umur.
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan
orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi
tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi
tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50
tahun.

4
 Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun
1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan
jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 %
pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung
meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun
0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru.
 Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan
orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik
terhadap penyakit.
 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain
itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.
 Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu
di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran
pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,
terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.Jenis
pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan
mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan,
pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan
rumah (kontruksi rumah).
Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan
mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan
bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan
akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal
jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka
kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan
mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.

5
 Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi
makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi
buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga
memudahkan terkena infeksi TB Paru.
 Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan
kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB
paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per
tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di
Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di
Pakistan (Achmadi, 2005).
Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50%
terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan
adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
 Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga
yang lain.Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari
kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya
minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3
m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat
tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya
tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah
2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit
minimum tingginya 2,75 m.
 Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca
minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang
leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteribakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena
itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih

6
60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup. Semua
jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses
mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan
melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat
dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan
pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi
udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
 Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar
aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu
kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini
akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri
penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan
dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran
udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di
dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum. Untuk sirkulasi yang baik diperlukan
paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi
permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka
tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur
dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari
kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.
 Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit
TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan
kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan
debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman Mycrobacterium tuberculosis.
 Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C.
Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
 Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara

7
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit
dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.

G. Indikator Surveilans TB.


Evaluasi hasil kegiatan surveilans TB didasarkan pada indikator – indikator
program penanggulangan TB, yaitu proporsi suspek yang diperiksa dahaknya,
proporsi kasus BTA positif diantara suspek, proporsi penderita TB paru positif
diantara semua kasus TB paru yang tercatat, angka konversi, angka kesembuhan (cure
rate), Case Natification Rate(CNR), Case Detection Rate(CDR). Cara menghitung
dan analisis indicator adalah sebagai berikut: (Depkes, 2003)

1. Proporsi suspek yang diperiksa dahaknya adalah persentase suspek di antara


perkiraan jumlah suspek yang seharusnya ada. Proporsi suspek ini digunakan
untuk mengetahui jangkauan pelayanan. Angka target minimal adalah 20%.

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐮𝐬𝐩𝐞𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐢𝐤𝐬𝐚


𝐏𝐫𝐨𝐩𝐨𝐫𝐬𝐢 𝐬𝐮𝐬𝐩𝐞𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐢𝐤𝐬𝐚 𝐝𝐚𝐡𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐩𝐞𝐫𝐤𝐢𝐫𝐚𝐚𝐧 𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐮𝐬𝐩𝐞𝐤

2. Proporsi kasus BTA positif diantara suspek adalah persentase penderita yang
ditemukan BTA positif di antara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya.
Angka ini menggambarkan proses penemuan sampai diagnosis penderita.

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟


𝐏𝐫𝐨𝐩𝐨𝐫𝐬𝐢 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐝𝐢𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐮𝐬𝐩𝐞𝐤 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐬𝐮𝐬𝐩𝐞𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐢𝐤𝐬𝐚

3. Proporsi penderita TB paru positif diantara semua kasus TB paru yang


tercatat. adalah persentase penderita TB paru BTA positif di antara semua
penderita TB paru tercatat. Indikator ini menggambarkan kegiatan penemuan
penderita TB yang menular di antara seluruh kasus TB paru yang di obati.
Target pencapaian ≥65%, bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti kurang
memberikan prioritas untuk menemukan penderita yang menular (penderita
BTA positif).

𝐏𝐫𝐨𝐩𝐨𝐫𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐝𝐢𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐜𝐚𝐭𝐚𝐭
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 (𝐛𝐚𝐫𝐮 + 𝐤𝐚𝐦𝐛𝐮𝐡)
= × 𝟏𝟎𝟎%
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 (𝐛𝐚𝐫𝐮 = 𝐤𝐚𝐦𝐛𝐮𝐡) + 𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐭𝐢𝐟

4. Angka konversi adalah persentase penderita TB paru BTA positif yang


mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan
intensif. Konversi dihitung tersendiri sesuai kategori 1 dan kategori 2, untuk
mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan dan untuk
mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat. Angka minimal yang

8
harus dicapai adalah 80%. Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan
angka kesembuhan yang tinggi pula.

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐤𝐨𝐧𝐯𝐞𝐫𝐬𝐢


𝐊𝐨𝐧𝐯𝐞𝐫𝐬𝐢 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐣𝐮𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐨𝐛𝐚𝐭𝐢

5. Angka Kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase penderita TB


paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan di antara
penderita TB paru yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk
katagori 1 dan 2, ini untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah
potensial.

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐓𝐁 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐦𝐛𝐮𝐡


𝐀𝐧𝐠𝐤𝐚 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐦𝐛𝐮𝐡𝐚𝐧 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐨𝐛𝐚𝐭𝐢

6. Case Notification Rate (CNR) adalah angka yang menunjukkan jumlah


penderita baru BTA positif yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000
penduduk di suatu wilayah tertentu.

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐜𝐚𝐭𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐓𝐁. 𝟎𝟕 𝐂𝐍𝐑
𝐂𝐍𝐑 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐮𝐝𝐮𝐤

7. Case Detection Rate (CDR) adalah proporsi penderita baru BTA positif yang
ditemukan di antara jumlah yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐭𝐞𝐫𝐜𝐚𝐭𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐓𝐁. 𝟎𝟕


𝐂𝐃𝐑 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐩𝐞𝐫𝐤𝐢𝐫𝐚𝐚𝐧 𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟

9
H. Data Kasus Umum TB .
Hasil Riskesda tahun 2013 memaparkan morbiditas TB menurut karakteristik
sosiodemografi. Berdasarkan karakteristik tersebut , besaran masalah TB antar
kelompok pada tiap karakteristik menunjukkan perbedaan, dimana kelompok tertentu
memiliki prevalensi lebih besar dibandingkan kelompok yang lain.

10
Gambaran kesakitan menurut karakteristik kelompok umur menunjukkan bahwa
kelompok umur > 45 tahun memiliki prevalensi yang lebih tinggi diantara kelompok
lainnya. Pada karakteristik pendidikan, prevalensi semakin rendah sejalan dengan
tingginya tingkat pendidikan. Prevalensi berdasarkan jenis pekerjaan bahwa
penduduk yang tidak bekerja ternyata memiliki prevalensi tertinggi.

Kesakitan TB menurut kuantil indeks kepemilikan ternyata tidak menunjukkan


perbedaan yang berarti antara kelompok terbawah sampai dengan menengah atas.
Fakta yang menarik adalah tingkat ekonomi menunjukkan perbedaan berarti hanya
pada kelompok teratas, yaitu dengan prevalensi terendah sebesar 0,2.

Berikut ini juga merupakan data kasus TB sebagai sebuah infeksi opportunistic
dari penderita atau pengidap HIV/AIDS. Disajikan dibawah notifikasi kasus koinfeksi
TB HIV tahun 2009-20014, Pencatatan untuk notifikasi kasus TB-HIV dilakukan
mengikuti kohort tahun sebelumnya. Presentase pasien TB yang mengetahui status

11
HIV di antara pasien TB yang ternotifikasi meningkat dari tahun 2009-2014. Hal ini
berbanding terbalik dengan presentase pasien TB HIV menerima ART yang
mengalami penurunan dari tahun 2012-2014.

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa terjadi kecenderungan peningkatan


persentase pasien TB yang positif HIV di antara pasien TB ternotifikasi dari tahun
2010 sampai dengan tahun 2014. Peningkatan yang tajam terjadi dari tahun 2010
sampai tahun 2011. Hal ini dapat disebabkan karena pada tahun 2010 mulai dilakukan
penguatan terhadap kolaborasi TB-HIV termasuk dalam pencatatan dan pelaporan.
I. Pencatatan / Pelaporan TB Paru
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting
dalam sistem informasi penanggulangan TBC. Untuk itu pencatatan & pelaporan
perlu dibakukan berdasar klasifikasi dan tipe penderita. Semua unit pelaksana

12
program penanggulangan TBC harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan
pelaporan yang baku.
a. Formulir Pencatatan Nasional.
Formulir pencatatan dan laporan yang digunakan dalam penanggulangan TBC
Nasional adalah:
 TB 1. Kartu pengobatan TB
 TB 2. Kartu identitas penderita
 TB 3. Register TB kabupaten
 TB 4. Register Laboratorium TB
 TB 5. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
 TB 6. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS
 TB 7. Laporan Triwulan Penemuan Penderita Baru dan Kambuh
 TB 8. Laporan Triwulan Hasil Pengobatan Penderita TB Paru yang terdaftar 12 –
15 bulan lalu
 TB 9. Formulir rujukan/pindah penderita
 TB 10. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan
 TB 11. Laporan Triwulan Hasil Pemeriksaan Dahak Akhir Tahap Intensif untuk
penderita terdaftar 3 - 6 bulan lalu
TB 12. Formulir Pengiriman Sediaan Untuk Cross Check
TB 13. Laporan Penerimaan dan Pemakaian OAT di kabupaten

Disamping formulir tersebut diatas terdapat formulir sebagai berikut:


Rekapitulasi TB.07 kabupaten / kota ( blok 1 & blok 2 )

Rekapitulasi TB.08 kabupaten / kota (Penderita Baru BTA positif,
Penderita Kambuhdan Penderita Baru BTA negatif Röntgen positif)
 Rekapitulasi TB.12 kabupaten / kota dan propinsi
 Rekapitulasi TB.11 Per kabupaten / kota dan propinsi (Penderita Baru BTA
Positif,Penderita Kambuh, dan Gagal).
 Rekapitulasi TB.13 propinsi.
b. Pencatatan dan pelaporan pada masing-masing tingkat pelaksana.

1. Pencatatan Di Unit Pelayanan Kesehatan

UPK misalnya Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek
swasta dalam melaksanakan pencatatan dapat menggunakan formulir
sebagai berikut:

1.1.Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06),

1.2.Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak


(TB.05),

13
1.3.Kartu pengobatan TB (TB.01),

1.4.Kartu identitas penderita (TB.02),

1.5.Formulir rujukan/pindah penderita (TB.09)

1.6.Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB.10).

UPK diharuskan melakukan pencatatan semua kegiatan yang


dilaksana¬kan dan tidak diwajibkan membuat laporan.

Petugas kabupaten/kota akan mengambil data yang dibutuhkan dan mengisi


dalam buku Register TB Kabupaten (Form TB.03) sebagai bahan laporan yang
pelaksanaannya dilakukan secara rutin.

UPK yang banyak penderitanya, misalnya rumah sakit, dapat menggunakan


buku pencatatan seperti Buku Register TB Kabupaten (TB.03), tetapi untuk
nomor register diisi sesuai dengan nomor register yang diberikan oleh
kabupaten / kota.

2. Pencatatan Di Laboratorium Prm / Ppm / Rs / Bp4

Laboratorium yang melakukan pewarnaan dan pembacaan sedian dahak


BTA menggunakan formulir pencatatan sebagai berikut:

 Register Laboratorium TB (Formulir TB.04)

 Formulir Permohonan Laboratorium TB Untuk Pemeriksaan Dahak


(TB.05) bagian bawah (mengisi hasil pemeriksaan).

3. Pencatatan Dan Pelaporan Di Kabupaten / Kota

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan


pelaporan sebagai berikut:

• Register TB kabupaten (Formulir TB.03)

• Laporan Triwulan Penemuan Penderita Baru dan Kambuh (Formulir TB.07)

• Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (Formulir TB.08)

• Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (Formulir TB.11)

• Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Cross Check (Formulir TB.12)

• Rekapitulasi TB.12 kabupaten (Analisis Hasil Cross Check kabupaten)

14
• Laporan Penerimaan dan Pemakaian OAT di daerah Kabupaten/Kota (Formulir
TB.13)

4. Pencatatan Dan Pelaporan Di Propinsi

Propinsi menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan sebagai berikut:

• Rekapitulasi TB.07 blok 1 per kabupaten/ kota.

• Rekapitulasi TB.07 blok 2 per kabupaten/ kota.

• Rekapitulasi TB.08 yang dibuat tersendiri untuk tiap tipe penderita per
kabupaten/ kota.

• Rekapitulasi TB.11 yang dibuat tersendiri untuk tiap tipe penderita per
kabupaten/ kota.

• Rekapitulasi TB.12 propinsi (Rekapitulasi Analisis Hasil Cross Check


propinsi) per kabupaten/ kota.

J. Pengembangan Sistem Surveilans TB.


a. Pemprograman
1. Perancangan basis data TB, tabel – tabel basis data dibuat dengan perangkat
lunak MS Access 2003karena merupakan program Sistem Manajemen Basis
Data (SMBD) yang mampu mengelola data dengan mudah.
2. Perancangan form inputdata TB, dibuat dengan menggunakan bahasa
pemrograman Visual Basic6.0 karena mampu memberikan dukungan dalam
pengolahan data basis data.
3. Pembuatan dialog antar muka, dibuat dengan MS Access 2003.
4. Pembuatan laporan hasil kegiatan P2TB, dengan menggunakan MS Access
2003.

Sistem Informasi Surveilans TB (sistem baru) yang dibangun merupakan


sistem yang baru bagi para petugas di Seksi Pemberantasan, sehingga dilakukan
pelatihan bagi mereka selama dua hari. Materi yang disampaikan meliputi penjelasan
maksud dan tujuan SISTB (Sistem Informasi Surveilans TB), cara pengoperasian
sistem. Kemudian setelah dilakukan pelatihan, usermemberikan tanggapan terhadap
penerapan sistem baru. Instalasi SISTB akan dilakukan oleh petugas dengan
mengikuti petunjuk pengoperasian sistem. Sistem ini dioperasikan secara single user.

b. Karakteristik Sistem Informasi


Sistem Informasi Surveilans TB saat ini sudah dapat menghasilkan
informasi hasil kegiatan P2TB, namun proses – proses yang terjadi dalam sistem

15
tersebut masih dilakukan secara manual. Pada proses rekapitulasi data penderita
TB dilakukan dengan menggunakan MS Exel, sedangkan penghitungan indikator
dengan menggunakan komputer, belum didasarkan pada pendekatan Sistem
Manajemen Basis Data (SMBD), dan penerapan teknologi komputer, sehingga
terdapat beberapa kekurangan antara lain :
1. Sistem Informasi Surveilans TB (SISTB sistem lama), file data TB tersimpan
secara terpisah pada tabel – tabel yang berbeda, yang menyebabkan kesulitan
dalam akses data dan terjadi pengulangan pengisian data yang akan berpengaruh
pada inkonsistensi data sehingga dapat menyebabkan informasi tidak akurat.
Sumber utama inkonsistensi data adalah kurangnya sinkronisasi file dalam sistem,
yang disebabkan oleh pemutakhiran record terkait dalam file yang berbeda pada
waktu yang berbeda pula. Ketidak-konsistenan informasi yag diperoleh dari
sumber yag berbeda akan mempengeruhi mutu informasi. Pada sistem baru
penyimpanan file sudah menggunakan Sistem Manajemen Basis Data (SMBD).
Sistem ini mampu mengelola file data TB tanpa mengalami redundancy data,
mampu menyediakan data yang lengkap untuk laporan, mempunyai pengaman
data(Scott, 2002).
2. SISTB (sistem lama) tidak dapat mengakses data dan informasi kasus TB dengan
cepat, mudah dan tepat waktu. Sedangkan pada SISTB baru dapat dioperasikan
dengan mudah untuk mengakses data dan informasi hasil kegiatan P2TB sesuai
kebutuhan user. Program ini belum dapat digunakan di tingkat puskesmas.
3. SISTB (sistem lama) tidak dapat menghasilkan informasi indikator P2TB dengan
lengkap (hanya mencakup 3 jenis indikator) sehingga akan memberikan informasi
yang tidak lengkap, evaluasi P2TB tidak optimal dan akan berpengaruh kesalahan
pengambilan keputusan. Indikator proporsi suspek diantara suspek yang diperiksa
dahaknya tidak ada atau tidak digunakan untuk evaluasi P2TB mengakibatkan
jangkauan pelayanan P2TB tidak diketahui sehingga terjadi penurunan dalam
penemuan dan pengobatan penderita TB. Pada SISTB lama sering terjadi
kesalahan hitung indikator P2TB, karena dilakukan hanya menggunakan
kalkulator, padahal sumber data yang digunakan banyak, misalnya pada register
TB terdapat 33 kolom isian data, dengan batasan waktu yang sudah ditentukan.
Pada SISTB baru, hasil penghitungan indikator P2TB akurat, kesalahan hitung
bisa terhindar karena rumus penghitungan indikator P2TB sudah dirancang atau
dimasukkan pada program SISTB. Indikator merupakan alat yang paling efektif
untuk melakukan evaluasi, oleh karena itu indikator yang baik harus memenuhi
persyaratan antara lain akurat, lengkap, spesifik, dapat diukur (Depkes, 1999)
c. Kebutuhan Informasi
Sistem Informasi Surveilans TB (sistem lama) menghasilkan informasi
dengan format yang sama untuk semua tingkat manajemen, tidak disesuaikan
dengan kebutuhan informasi pada masing – masing tingkat manajemen yaitu

16
berupa tabel rekapitulasi penemuan kasus penderita TB dan hasil pengobatan.
Sedangkan pada sistem informasi yang dikembangkan dapat menghasilkan
informasi yang disesuaikan dengan kebutuhan informasi pada tiap tingkatan
manajemen. Kebutuhan informasi hasil kegiatan P2TB didasarkan pada tingkatan
manajemen yaitu :
1. Pimpinan Puncak, bahwa informasi yang dibutuhkan bersifat analisis dan untuk
perencanaan strategis. Pada Sistem Informasi Surveilans TB , Kepala Dinas
Kesehatan sebagai manajer puncak membutuhkan informasi berupa grafik
indikator keberhasilan P2TB.
2. Pimpinan Menengah, informasi yang dibutuhkan bersifat analisis, perencanaan
taktis dan supervisi. Pada Sistem Informasi Surveilans TB, maka informasi yang
dibutuhkan oleh Kepala Sub Dinas Pencegahan dan Pemberantasan sebagai
manajer tingkat menengah adalah laporan hasil evaluasi P2TB.
3. Pimpinan Bawah, informasi yang dibutuhkan digunakan untuk perencanaan
tingkat operasional dan supervisi. Kepala Seksi Pemberantasan penyakit sebagai
manajer tingkat bawah pada Sistem Informasi Surveilans TB membutuhkan
informasi rekapitulasi penemuan kasus dan rekapitulasi hasil pengobatan,
berupa tabel.
4. Pelaksana atau staf Seksi Pemberantasan, bahwa informasi yang dibutuhkan
bersifat rutin untuk menunjang kegiatannya. Staf Pemberantasan Penyakit
selaku pelaksana surveilans TB membutuhkan data atau informasi rekapitulasi
register TB. Hasil tersebut sesuai dengan kebutuhan informasi berdasarkan level
manajemen, yaitu ;
a. Manajer puncak, informasi untuk perencanaan strategis dan kebijakan serta
pengambilan keputusan.
b. Manajer menengah, informasi manajemen untuk perencanaan taktis dan
pengambilan keputusan.
c. Manajer bawah, informasi manajemen untuk perencanaan operasional dan
pengendalian.
d. Pelaksana , pengolahan transaksi informasi.
d. Pengembangan Sistem Informasi
Surveilans TB Teknologi Sistem Komputer Komputer merupakan
komponen dari Sistem Informasi Surveilans TB yang digunakan untuk
memasukkan, menyimpan, dan memproses data hasil kegiatan surveilans TB
untuk menghasilkan informasi yang diperlukan. Komputer yang digunakan untuk
mengembangkan SISTB di Seksi Pemberantasan Penyakit mempunyai spesifikasi
Pentium 3 , hard disk mempunyai kapasitas 20 GB. Teknologi sistem komputer
dengan spesifikasi tersebut sudah mempunyai kemampuan untuk mengolah data
hasil kegiatan surveilans TB dengan cepat, akurat dan tepat waktu. Hal – hal yang
harus dipertimbangkan dalam penggunaan komputer pada sistem informasi adalah

17
1. Volume data yang diproses disesuaikan dengan kapasitas alat pengolahan
data.
2. Akurasi hasil pengolahan
Jika alat pengolahan data digunakan jauh melebihi kapasitas
kemampuannya, maka hasilnya tidak akurat dan pengawasan serta
pemeliharaan alat menjadi kurang diperhatikan.
3. Informasi tepat waktu
Informasi yang bernilai tinggi adalah bila dihasilkan tepat waktu, tetapi bila
volume data yang diolah sangat banyak, sering kali diikuti dengan
penurunan kecepatan pengolahan.
e. Pemilihan Sistem Operasi dan Perangkat Lunak Pengembangan Sistem Informasi
Pada pengembangan SISTB basis data menggunakan perangkat lunak MS
Acces 2000, dengan pertimbangan Sistem Surveilans TB merupakan sistem yang
tidak komplek, volume data yang disimpan tidak terlalu besar (kasus penderita TB
per kabupaten per tahun rata – rata 297 kasus). Kelebihan menggunakan
perangkat lunak MS Access 2003 adalah
1. MS Access 2003 adalah sebuah program Sistem Manajemen Basis Data
(SMBD).
2. Mampu mengelola dan mengorganisasi data agar mudah dilihat dan diakses.
3. Lebih sederhana dan mudah dipergunakan dan disukai karena untuk membuat
basis data dalam Access tidak ditemukan barisbaris program.
4. Pembuatan basis data dilakukan secara visual dan mudah.
5. MS Access 2003jalan dan beroperasi dalam keluarga Windows sehingga
kemampuan dan dukungan fitur – fitur luar dapat digunakan dalam Access,
seperti VBA (Visual Basic Application) Program aplikasi yang digunakan
untuk mendukung pengolahan basis data dalam pengembangan sistem
informasi surveilans TB adalah MS Visual Basic vers.6.0.
K. Pengendalian TB di Indonesia
Sejak dilaporkan kasus TB pertama kali di Indonesia berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah melalui Kementrian Kesehatan. Upaya tersebut dimulai dari
proses penjaringan suspek, deteksi dan pencatatan kasus, pengobatan pasien dan tata
laksana multi drug resistence (MDR) .
Terduga TB yang telah dijaring oleh pelayanan kesehatan menjalani pemeriksaan
laboratorium. Pda tahap ini ditetapkan indicator proporsi pasien baru TB Paru
terkonfirmasi bekteriologis (BTA positif dan MTB positif) yang ditemukan di antara
seluruh terduga yang diepriksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari
proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan criteria
terduga.

18
Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi mengalami peningkatan signifikan dari
tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 dari 7% menjadi 13%. Indicator ini cenderung
menurun dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2014. Pada tahun 2015 indikatoe ini
kembali meningkat menjadi 14%
Gambaran upaya penemuan kasus dapat diukur dengan mengetahui banyaknya
semua kasus TB yang ditemukan dan tercatat melalui indicator Case Notification
Rate (CNR). CNR merupakan jumlah kasus TB baru yang ditemukan dan dicatat
diantara 100.000 penduduk di wilayah dan periode waktu tertentu. Indicator ini dapat
digunakan untuk menggambarkan penemuan semua kasus TB maupun BTA positif .

Angka notifikasi kasus BTA positif maupun semua kasus menunjukkan pola yang
tidak jauh berbeda. CNR TB untuk kedua tipe cenderung menurun dalam empat tahun
terakhir. Penurunan yang signifikan terjadi pada CNR TB semua kasus, dari 138 per

19
100.000 penduduk pada tahun 2012 menjadi 125 per 100.000 penduduk pada tahun
2015.

Dari sisi upaya penemuan kasus, provinsi dengan CNR tinggi sebagian besar
berasa di wilayah timur, kecuali DKI Jakarta (220) dan Kepulauan Riau(147). Dapat
diasumsikan provinsi di wilayah timur memiliki sistem panjaringan dan pencatatan
kasus yang lebih baik. Provinsi dengan CNR rendah didominasi oleh provinsi di
wilayah barat, kecuali Papua Barat.
Secara nasional, angka keberhasilan pengobatan di Indonesia sebesar 84%. Sulawesi
Utara memiliki capaian tertinggi ebesar 93%, sedangkan capaian terendah berada di
Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 37% ( data per 2 Mei 2016)

20
TB MDR adalah pasien TB yang resisten terhadap Isoniazid dan Rifampisin
secara bersamaan. Berikut adalah data kasusnya.
a. Penemuan data kasus TB MDR tahun 2009-2015

21
b. Fasilitas Pelayanan TB MDR di Indonesia sampai Desember 2015

(Directly Observed Treatment Short-course) atau yang dalam bahasa Indonesia


berarti pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung merupakan suatu strategi
rekomendasi WHO yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar di dunia untuk
mendeteksi dan menyembuhkan tuberkulosis (TB). DOTS di Indonesia mulai diterapkan
sejak tahun 1995 dan dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam penyusunan Rencana
Strategi Nasional Pengendalian TB sekitar tahun 2000.

Penerapan strategi DOTS memerlukan pengelolaan yang sangat spesifik karena


dibutuhkan kedisplinan dalam penerapan semua standar prosedur operasional yang
ditetapkan. Selain itu perlu adanya koordinasi antar unit pelayanan dalam bentuk jejaring
dan penerapan standar diagnosa dan terapi yang benar serta dukungan yang kuat dari
jajaran direksi rumah sakit berupa komitmen dalam pengelolaan penanggulangan TB.

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas


diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB
dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Adapun 5 komponen kunci strategi DOTS yang diterapkan adalah sebagai berikut:

1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.


Komitmen politis yang berkesinambungan sangat penting untuk menerapkan dan
mempertahankan komponen DOTS lainnya. Dibutuhkan investasi dan komitmen yang
berkesinambungan untuk menjamin kondisi yang mendukung terintegrasinya manajemen

22
kasus TB nasional. Kondisi yang mendukung tersebut diantaranya adalah pengembangan
infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia dan pelatihan, kerjasama lintas
program dan lintas sektor, dukungan dari kebijakan pengendalian TB untuk pelaksanaan
program secara rasional, termasuk tersedianya OAT (Obat Anti Tuberkulosis) lini kedua
dan sarana pendukung lainnya. Selain itu, Program Pengendalian TB Nasional harus
diperkuat untuk mencegah meningkatnya kejadian TB di masyarakat.
2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
Diagnosis yang akurat dan tepat waktu adalah landasan utama dalam Program
Pengendalian TB Nasional, termasuk mempertimbangkan perkembangan teknologi yang
sudah ada maupun baru. Proses penegakan diagnosis TB adalah pemeriksaan apusan
dahak secara mikroskopis, biakan, dan uji kepekaan konvensional yang dilakukan di
laboratorium rujukan yang sudah tersertifikasi maupun penggunaan tes cepat yang sudah
mendapatkan pengakuan dari Badan Kesehatan Dunia dan Kementerian Kesehatan RI.
3. Pengobatan yang standar, dengan pengobatan dan dukungan bagi pasien.
Patokan dalam mengontrol TB adalah mengatur dan mengelola pengobatan
standar untuk semua kasus TB dewasa dan anak – sputum BTA positif, BTA-negatif, dan
paru. Dalam semua kasus, pedoman WHO pada kategorisasi pasien dan manajemen harus
diikuti. Pedoman ini menekankan penggunaan rejimen standar dan paling efektif serta
dosis tetap obat untuk memfasilitasi kepatuhan terhadap pengobatan dan untuk
mengurangi risiko terjadinya resistensi obat. Agar mencapai tingkat kesembuhan yang
tinggi, pengobatan pasien TB membutuhkan penggunaan obat TB secara rasional oleh
tenaga kesehatan dan dukungan yang memadai dari berbagai pihak terhadap pasien TB
dan pengawas minum obat (PMO) serta mempermudah akses pasien terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan yang telah tersedia.
4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
Pencapaian angka keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada efektivitas
sistem logistik dalam menjamin ketersediaan obat (untuk obat lini pertama dan kedua)
dan logistik non-obat secara kontinyu. Diperlukan upaya tambahan dari petugas
farmasi/petugas kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan OAT di setiap jenjang,
dimulai dari perhitungan kebutuhan, penyimpanan, sampai persiapan pemberian
(distribusi) OAT kepada pasien. Untuk menjamin tidak terputusnya pemberian OAT
maka stok OAT harus tersedia dalam jumlah cukup untuk minimal 6 bulan sebelum obat
diperkirakan habis.
5. Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan.
Prosedur penegakan diagnosis TB memerlukan waktu yang bervariasi (tergantung
metode yang dipakai), masa pengobatan yang panjang dan tidak sama lamanya,
banyaknya jumlah OAT yang ditelan, efek samping yang mungkin ditimbulkan
merupakan hal-hal yang menyebabkan perbedaan antara pencatatan pelaporan program
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat dengan sistem yang dipakai untuk
TB tidak resistan obat yang selama ini sudah berjalan. Perbedaannya antara lain adalah

23
terdapatnya pencatatan hasil pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT, pengawasan
pemberian pengobatan dan respons selama masa pengobatan serta setelah masa
pengobatan selesai. Hasil pencatatan dan pelaporan diperlukan untuk analisis kohort,
menghitung indikator antara dan laporan hasil pengobatan. Selain itu pengawasan rutin
harus dilakukan untuk memverifikasi kualitas informasi dan untuk mengatasi masalah
kinerja.

L. Form TB Nasional.

24
25
26
27
BAB III

PENUTUP

Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam
Depkes RI (2009), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab
kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semuakelompok
usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka
temuan kasus baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau
didapati 166.376 penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya
(Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global, yaitu CDR 70% dan SR
85% (DepkesRI, 2009).
Surveilans TB dapat diartikan sebagai kegiatan yang terus menerus, teratur, dan
sistematis dalam pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data TB untuk
menghasilkan informasi yang akurat yang dapat disebarluaskan dan digunakan
sebagai dasar untuk melaksanakan tindakan penanggulangan yang cepat dan tepat
disesuaikan dengan kondisi setempat.
Tujuan surveilans TB adalah memberikan informasi sesuai dengan orang, tempat ,
dan waktu yang berkaitan dengan masalah kesehatan yaitu penyakit tuberculosis,
gejala dan faktor risikonya sehingga dapat meresponsnya secara dini dengan tindakan
pencegahan dan penanggulangan yang tepat.
Gejala utama pasien TB Paru yaitu batuk berdahak selama dua minggu atau lebih
dan Gejala tambahan meliputi dahak bercampur darah/ batuk berdarah, sesak nafas,
badan lemas, malaise, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan
Ada begitu banyak faktor risiko TB tetapi jika dinyatakan secara umum maka
mencakup agent, host dan environment.
Evaluasi hasil kegiatan surveilans TB didasarkan pada indikator – indikator
program penanggulangan TB, yaitu proporsi suspek yang diperiksa dahaknya,
proporsi kasus BTA positif diantara suspek, proporsi penderita TB paru positif
diantara semua kasus TB paru yang tercatat, angka konversi, angka kesembuhan (cure
rate), Case Natification Rate(CNR), Case Detection Rate(CDR). Cara menghitung
dan analisis indicator adalah sebagai berikut: (Depkes, 2003)
Sejak dilaporkan kasus TB pertama kali di Indonesia berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah melalui Kementrian Kesehatan. Upaya tersebut dimulai dari
proses penjaringan suspek, deteksi dan pencatatan kasus, pengobatan pasien dan tata
laksana multi drug resistence (MDR) .

28

Anda mungkin juga menyukai