PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mycobacterium tuberculosis menginfeksi satu orang per detik di dunia.
Sepertiga penduduk duniatelah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis. World
Health Organization (WHO) menyatakan kedaruratan dunia (global emergency)
terhadap penyakit tuberkulosis (TB) paru sejak tahun 1993 dan merekomendasikan
penanggulangan TB dengan strategi DOTS sejak tahun 1995. Namun sebagian besar
negara-negara di dunia belum mampu mengendalikan penyakit TB paru.
Laporan WHO tahun 2006 menyimpulkan ada 22 negara dengan kategori
beban tertinggi terhadap TB paru. Sekitar 80% penderita TB paru di dunia berada pada
22 negara berkembang dengan angka kematian 3 juta setiap tahunnya dari 9 juta kasus
baru dan secara global angka insidensi penyakit TB meningkat 1%setiap tahun.
Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke
posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Limanegara
dengan jumlah kasus terbesar pada tahun 2009 adalah India, Cina,Afrika Selatan,
Nigeria dan Indonesia (sumber WHO Global TuberculosisControl 2010). Global
Report WHO 2010didapat data jumlah seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak
294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB baru BTA positif, 108616 adalah kasus
TB BTA negatif, 11215 adalah kasus TB Extra Paru, 3709 adalah kasus TB
Kambuh, dan 1978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh .
Sementara itu, untuk keberhasilan pengobatan dari tahun 2003 sampai tahun 2008
(dalam %), tahun 2003(87%), tahun 2004 (90%), tahun 2005 sampai 2008 semuanya
sama (91%) (Rahayu,E., 2010).
Indonesia adalah negara terbesar ketiga di dunia dengan masalah tuberkulosis
setelah India (30%) dan China (15%).2,3 Angka estimasi tahun 2004 diperkirakan
bahwa insidensi TB sekitar 530.000 kasus TB BTA positif (245/100.000),
prevalensi seluruh kasus TB diperkirakan 600.000 dengan angka kematian 101.000
orang.2 Hasil survei insidensi dan prevalensi tahun 2004 menunjukkan perbedaan yang
nyata di beberapa wilayah, di Jawa dan Bali 64/100.000, di Sumatera 160/100.000
dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) 210/100.000, yang terdapat daerah daerah
yang sulit terakses oleh pelayanan kesehatan, sehingga diperkirakan banyak
penderita TB yang tidak ditemukan dan tidak dilaporkan. Oleh karena itu, TB
masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia.
Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam
Depkes RI (2009), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian
nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semuakelompok usia, dan
nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka temuan kasus
1
baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376
penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%. Hal
ini melampaui target global, yaitu CDR 70% dan SR 85% (DepkesRI, 2009).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang kasus TB di dunia tersebut, ada beberapa rumusan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini :
Bagaimanakah Latar belakang TB di Indonesia ?
Apa yang dimaksud dengan Surveilans TB ?
Apa Definisi Operasional dari TB ?
Apa sajakah Tujuan dari Surveilans TB ?
Apa sajakah Gejala dan Tanda Peyakit TB ?
Apa sajakah Faktor Risiko TB ?
Apa sajakah Indikator Surveilans TB ?
Bagaimanakah Data Kasus TB secara Umum di Indonesia ?
Bagaimanakah Pencatatan/Pelaporan TB Paru ?
Bagaimanakah Pengembangan Sistem Surveilans ?
Bagaimanakah Pengendalian TB di Indonesia ?
Seperti apakah Form TB Nasional ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas , maka berikut ini merupakan tujuan
penulisan makalah surveilans TB :
Mengertahui Latar belakang TB di Indonesia
Mengetahui Pengertian Surveilans TB
Mengetahui Definisi Operasional
Mengertahui Tujuan Surveilans TB
Mengetahui Gejala dan Tanda Penyakit TB
Mengetahui Faktor Risiko TB
Mengetahui dan Memahami Indikator Surveilans TB
Mengetahui Data Kasus Umum TB
Mengetahui Bagaimana Pencatatan/Pelaporan TB Paru
Mengetahui Bagaimana Pengembangan Sistem Surveilans TB
Mengetahui Pengendalian TB di Indonesia
Mengetahui Form TB Nasional
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
C. Definisi Operasional
1. Tuberculosis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis , yang berkembang biak di dalam bagian tubuh dimana terdapat banyak
aliran darah dan oksigen.
2. TB aktif : saat dimana bakteri mulai memenangkan perlawanan terhadap
sistem pertahanan tubuh dan mulai menyebabkan gejala
3. TB paru : saat dimana bakteri ditemukan di paru-paru
4. TB ekstra paru : bakteri tumbuh hanya dibagian lain dari tubuh dan bukan di paru-
paru.
5. TB positif : penderita yang dalam darahnya ditemukan bakteri
mycobacterium tuberculosis melalui pemeriksaan mikroskopis.
D. Tujuan Surveilans TB.
Tujuan surveilans adalah memberikan informasi tepat waktu tentang masalah
kesehatan populasi sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan surveilans TB adalah memberikan informasi sesuai dengan orang, tempat ,
dan waktu yang berkaitan dengan masalah kesehatan yaitu penyakit tuberculosis, gejala
dan faktor risikonya sehingga dapat meresponsnya secara dini dengan tindakan
pencegahan dan penanggulangan yang tepat.
E. Gejala dan Tanda Penyakit TB.
a. Gejala utama pasien TB Paru : batuk berdahak selama dua minggu atau lebih ;
Gejala tambahan : dahak bercampur darah/ batuk berdarah, sesak nafas, badan
lemas, malaise, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
b. Pada TB ekstra paru, gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena,
mialnya kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura ( Pleuritis) ,
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas
tulang belakang (gibbus) pada spondilittis TB dan lain-lainya.
F. Faktor Risiko TB.
Penyakit TB paru yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
terjadi ketika daya tahan tubuh menurun. Dalam perspektif epidemiologi yang
melihat kejadian penyakit sebagai hasil interaksi antar tiga komponen agent, host, dan
environment dapat ditelaah faktor risiko dari simpul-simpul tersebut.
Faktor Umur.
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan
orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi
tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi
tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50
tahun.
4
Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun
1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan
jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 %
pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung
meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun
0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru.
Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan
orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik
terhadap penyakit.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain
itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.
Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu
di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran
pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,
terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.Jenis
pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan
mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan,
pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan
rumah (kontruksi rumah).
Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan
mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan
bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan
akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal
jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka
kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan
mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.
5
Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi
makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi
buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga
memudahkan terkena infeksi TB Paru.
Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan
kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB
paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per
tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di
Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di
Pakistan (Achmadi, 2005).
Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50%
terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan
adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga
yang lain.Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari
kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya
minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3
m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat
tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya
tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah
2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit
minimum tingginya 2,75 m.
Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca
minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang
leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteribakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena
itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih
6
60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup. Semua
jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses
mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan
melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat
dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan
pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi
udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar
aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu
kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini
akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri
penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan
dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran
udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di
dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum. Untuk sirkulasi yang baik diperlukan
paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi
permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka
tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur
dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari
kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.
Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit
TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan
kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan
debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman Mycrobacterium tuberculosis.
Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C.
Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
7
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit
dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
2. Proporsi kasus BTA positif diantara suspek adalah persentase penderita yang
ditemukan BTA positif di antara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya.
Angka ini menggambarkan proses penemuan sampai diagnosis penderita.
𝐏𝐫𝐨𝐩𝐨𝐫𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐝𝐢𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬 𝐓𝐁 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐜𝐚𝐭𝐚𝐭
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 (𝐛𝐚𝐫𝐮 + 𝐤𝐚𝐦𝐛𝐮𝐡)
= × 𝟏𝟎𝟎%
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 (𝐛𝐚𝐫𝐮 = 𝐤𝐚𝐦𝐛𝐮𝐡) + 𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐭𝐢𝐟
8
harus dicapai adalah 80%. Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan
angka kesembuhan yang tinggi pula.
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐁𝐓𝐀 𝐩𝐨𝐬𝐢𝐭𝐢𝐟 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐜𝐚𝐭𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐓𝐁. 𝟎𝟕 𝐂𝐍𝐑
𝐂𝐍𝐑 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐮𝐝𝐮𝐤
7. Case Detection Rate (CDR) adalah proporsi penderita baru BTA positif yang
ditemukan di antara jumlah yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
9
H. Data Kasus Umum TB .
Hasil Riskesda tahun 2013 memaparkan morbiditas TB menurut karakteristik
sosiodemografi. Berdasarkan karakteristik tersebut , besaran masalah TB antar
kelompok pada tiap karakteristik menunjukkan perbedaan, dimana kelompok tertentu
memiliki prevalensi lebih besar dibandingkan kelompok yang lain.
10
Gambaran kesakitan menurut karakteristik kelompok umur menunjukkan bahwa
kelompok umur > 45 tahun memiliki prevalensi yang lebih tinggi diantara kelompok
lainnya. Pada karakteristik pendidikan, prevalensi semakin rendah sejalan dengan
tingginya tingkat pendidikan. Prevalensi berdasarkan jenis pekerjaan bahwa
penduduk yang tidak bekerja ternyata memiliki prevalensi tertinggi.
Berikut ini juga merupakan data kasus TB sebagai sebuah infeksi opportunistic
dari penderita atau pengidap HIV/AIDS. Disajikan dibawah notifikasi kasus koinfeksi
TB HIV tahun 2009-20014, Pencatatan untuk notifikasi kasus TB-HIV dilakukan
mengikuti kohort tahun sebelumnya. Presentase pasien TB yang mengetahui status
11
HIV di antara pasien TB yang ternotifikasi meningkat dari tahun 2009-2014. Hal ini
berbanding terbalik dengan presentase pasien TB HIV menerima ART yang
mengalami penurunan dari tahun 2012-2014.
12
program penanggulangan TBC harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan
pelaporan yang baku.
a. Formulir Pencatatan Nasional.
Formulir pencatatan dan laporan yang digunakan dalam penanggulangan TBC
Nasional adalah:
TB 1. Kartu pengobatan TB
TB 2. Kartu identitas penderita
TB 3. Register TB kabupaten
TB 4. Register Laboratorium TB
TB 5. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
TB 6. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS
TB 7. Laporan Triwulan Penemuan Penderita Baru dan Kambuh
TB 8. Laporan Triwulan Hasil Pengobatan Penderita TB Paru yang terdaftar 12 –
15 bulan lalu
TB 9. Formulir rujukan/pindah penderita
TB 10. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan
TB 11. Laporan Triwulan Hasil Pemeriksaan Dahak Akhir Tahap Intensif untuk
penderita terdaftar 3 - 6 bulan lalu
TB 12. Formulir Pengiriman Sediaan Untuk Cross Check
TB 13. Laporan Penerimaan dan Pemakaian OAT di kabupaten
Rekapitulasi TB.07 kabupaten / kota ( blok 1 & blok 2 )
Rekapitulasi TB.08 kabupaten / kota (Penderita Baru BTA positif,
Penderita Kambuhdan Penderita Baru BTA negatif Röntgen positif)
Rekapitulasi TB.12 kabupaten / kota dan propinsi
Rekapitulasi TB.11 Per kabupaten / kota dan propinsi (Penderita Baru BTA
Positif,Penderita Kambuh, dan Gagal).
Rekapitulasi TB.13 propinsi.
b. Pencatatan dan pelaporan pada masing-masing tingkat pelaksana.
UPK misalnya Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek
swasta dalam melaksanakan pencatatan dapat menggunakan formulir
sebagai berikut:
13
1.3.Kartu pengobatan TB (TB.01),
• Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (Formulir TB.11)
14
• Laporan Penerimaan dan Pemakaian OAT di daerah Kabupaten/Kota (Formulir
TB.13)
• Rekapitulasi TB.08 yang dibuat tersendiri untuk tiap tipe penderita per
kabupaten/ kota.
• Rekapitulasi TB.11 yang dibuat tersendiri untuk tiap tipe penderita per
kabupaten/ kota.
15
tersebut masih dilakukan secara manual. Pada proses rekapitulasi data penderita
TB dilakukan dengan menggunakan MS Exel, sedangkan penghitungan indikator
dengan menggunakan komputer, belum didasarkan pada pendekatan Sistem
Manajemen Basis Data (SMBD), dan penerapan teknologi komputer, sehingga
terdapat beberapa kekurangan antara lain :
1. Sistem Informasi Surveilans TB (SISTB sistem lama), file data TB tersimpan
secara terpisah pada tabel – tabel yang berbeda, yang menyebabkan kesulitan
dalam akses data dan terjadi pengulangan pengisian data yang akan berpengaruh
pada inkonsistensi data sehingga dapat menyebabkan informasi tidak akurat.
Sumber utama inkonsistensi data adalah kurangnya sinkronisasi file dalam sistem,
yang disebabkan oleh pemutakhiran record terkait dalam file yang berbeda pada
waktu yang berbeda pula. Ketidak-konsistenan informasi yag diperoleh dari
sumber yag berbeda akan mempengeruhi mutu informasi. Pada sistem baru
penyimpanan file sudah menggunakan Sistem Manajemen Basis Data (SMBD).
Sistem ini mampu mengelola file data TB tanpa mengalami redundancy data,
mampu menyediakan data yang lengkap untuk laporan, mempunyai pengaman
data(Scott, 2002).
2. SISTB (sistem lama) tidak dapat mengakses data dan informasi kasus TB dengan
cepat, mudah dan tepat waktu. Sedangkan pada SISTB baru dapat dioperasikan
dengan mudah untuk mengakses data dan informasi hasil kegiatan P2TB sesuai
kebutuhan user. Program ini belum dapat digunakan di tingkat puskesmas.
3. SISTB (sistem lama) tidak dapat menghasilkan informasi indikator P2TB dengan
lengkap (hanya mencakup 3 jenis indikator) sehingga akan memberikan informasi
yang tidak lengkap, evaluasi P2TB tidak optimal dan akan berpengaruh kesalahan
pengambilan keputusan. Indikator proporsi suspek diantara suspek yang diperiksa
dahaknya tidak ada atau tidak digunakan untuk evaluasi P2TB mengakibatkan
jangkauan pelayanan P2TB tidak diketahui sehingga terjadi penurunan dalam
penemuan dan pengobatan penderita TB. Pada SISTB lama sering terjadi
kesalahan hitung indikator P2TB, karena dilakukan hanya menggunakan
kalkulator, padahal sumber data yang digunakan banyak, misalnya pada register
TB terdapat 33 kolom isian data, dengan batasan waktu yang sudah ditentukan.
Pada SISTB baru, hasil penghitungan indikator P2TB akurat, kesalahan hitung
bisa terhindar karena rumus penghitungan indikator P2TB sudah dirancang atau
dimasukkan pada program SISTB. Indikator merupakan alat yang paling efektif
untuk melakukan evaluasi, oleh karena itu indikator yang baik harus memenuhi
persyaratan antara lain akurat, lengkap, spesifik, dapat diukur (Depkes, 1999)
c. Kebutuhan Informasi
Sistem Informasi Surveilans TB (sistem lama) menghasilkan informasi
dengan format yang sama untuk semua tingkat manajemen, tidak disesuaikan
dengan kebutuhan informasi pada masing – masing tingkat manajemen yaitu
16
berupa tabel rekapitulasi penemuan kasus penderita TB dan hasil pengobatan.
Sedangkan pada sistem informasi yang dikembangkan dapat menghasilkan
informasi yang disesuaikan dengan kebutuhan informasi pada tiap tingkatan
manajemen. Kebutuhan informasi hasil kegiatan P2TB didasarkan pada tingkatan
manajemen yaitu :
1. Pimpinan Puncak, bahwa informasi yang dibutuhkan bersifat analisis dan untuk
perencanaan strategis. Pada Sistem Informasi Surveilans TB , Kepala Dinas
Kesehatan sebagai manajer puncak membutuhkan informasi berupa grafik
indikator keberhasilan P2TB.
2. Pimpinan Menengah, informasi yang dibutuhkan bersifat analisis, perencanaan
taktis dan supervisi. Pada Sistem Informasi Surveilans TB, maka informasi yang
dibutuhkan oleh Kepala Sub Dinas Pencegahan dan Pemberantasan sebagai
manajer tingkat menengah adalah laporan hasil evaluasi P2TB.
3. Pimpinan Bawah, informasi yang dibutuhkan digunakan untuk perencanaan
tingkat operasional dan supervisi. Kepala Seksi Pemberantasan penyakit sebagai
manajer tingkat bawah pada Sistem Informasi Surveilans TB membutuhkan
informasi rekapitulasi penemuan kasus dan rekapitulasi hasil pengobatan,
berupa tabel.
4. Pelaksana atau staf Seksi Pemberantasan, bahwa informasi yang dibutuhkan
bersifat rutin untuk menunjang kegiatannya. Staf Pemberantasan Penyakit
selaku pelaksana surveilans TB membutuhkan data atau informasi rekapitulasi
register TB. Hasil tersebut sesuai dengan kebutuhan informasi berdasarkan level
manajemen, yaitu ;
a. Manajer puncak, informasi untuk perencanaan strategis dan kebijakan serta
pengambilan keputusan.
b. Manajer menengah, informasi manajemen untuk perencanaan taktis dan
pengambilan keputusan.
c. Manajer bawah, informasi manajemen untuk perencanaan operasional dan
pengendalian.
d. Pelaksana , pengolahan transaksi informasi.
d. Pengembangan Sistem Informasi
Surveilans TB Teknologi Sistem Komputer Komputer merupakan
komponen dari Sistem Informasi Surveilans TB yang digunakan untuk
memasukkan, menyimpan, dan memproses data hasil kegiatan surveilans TB
untuk menghasilkan informasi yang diperlukan. Komputer yang digunakan untuk
mengembangkan SISTB di Seksi Pemberantasan Penyakit mempunyai spesifikasi
Pentium 3 , hard disk mempunyai kapasitas 20 GB. Teknologi sistem komputer
dengan spesifikasi tersebut sudah mempunyai kemampuan untuk mengolah data
hasil kegiatan surveilans TB dengan cepat, akurat dan tepat waktu. Hal – hal yang
harus dipertimbangkan dalam penggunaan komputer pada sistem informasi adalah
17
1. Volume data yang diproses disesuaikan dengan kapasitas alat pengolahan
data.
2. Akurasi hasil pengolahan
Jika alat pengolahan data digunakan jauh melebihi kapasitas
kemampuannya, maka hasilnya tidak akurat dan pengawasan serta
pemeliharaan alat menjadi kurang diperhatikan.
3. Informasi tepat waktu
Informasi yang bernilai tinggi adalah bila dihasilkan tepat waktu, tetapi bila
volume data yang diolah sangat banyak, sering kali diikuti dengan
penurunan kecepatan pengolahan.
e. Pemilihan Sistem Operasi dan Perangkat Lunak Pengembangan Sistem Informasi
Pada pengembangan SISTB basis data menggunakan perangkat lunak MS
Acces 2000, dengan pertimbangan Sistem Surveilans TB merupakan sistem yang
tidak komplek, volume data yang disimpan tidak terlalu besar (kasus penderita TB
per kabupaten per tahun rata – rata 297 kasus). Kelebihan menggunakan
perangkat lunak MS Access 2003 adalah
1. MS Access 2003 adalah sebuah program Sistem Manajemen Basis Data
(SMBD).
2. Mampu mengelola dan mengorganisasi data agar mudah dilihat dan diakses.
3. Lebih sederhana dan mudah dipergunakan dan disukai karena untuk membuat
basis data dalam Access tidak ditemukan barisbaris program.
4. Pembuatan basis data dilakukan secara visual dan mudah.
5. MS Access 2003jalan dan beroperasi dalam keluarga Windows sehingga
kemampuan dan dukungan fitur – fitur luar dapat digunakan dalam Access,
seperti VBA (Visual Basic Application) Program aplikasi yang digunakan
untuk mendukung pengolahan basis data dalam pengembangan sistem
informasi surveilans TB adalah MS Visual Basic vers.6.0.
K. Pengendalian TB di Indonesia
Sejak dilaporkan kasus TB pertama kali di Indonesia berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah melalui Kementrian Kesehatan. Upaya tersebut dimulai dari
proses penjaringan suspek, deteksi dan pencatatan kasus, pengobatan pasien dan tata
laksana multi drug resistence (MDR) .
Terduga TB yang telah dijaring oleh pelayanan kesehatan menjalani pemeriksaan
laboratorium. Pda tahap ini ditetapkan indicator proporsi pasien baru TB Paru
terkonfirmasi bekteriologis (BTA positif dan MTB positif) yang ditemukan di antara
seluruh terduga yang diepriksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari
proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan criteria
terduga.
18
Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi mengalami peningkatan signifikan dari
tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 dari 7% menjadi 13%. Indicator ini cenderung
menurun dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2014. Pada tahun 2015 indikatoe ini
kembali meningkat menjadi 14%
Gambaran upaya penemuan kasus dapat diukur dengan mengetahui banyaknya
semua kasus TB yang ditemukan dan tercatat melalui indicator Case Notification
Rate (CNR). CNR merupakan jumlah kasus TB baru yang ditemukan dan dicatat
diantara 100.000 penduduk di wilayah dan periode waktu tertentu. Indicator ini dapat
digunakan untuk menggambarkan penemuan semua kasus TB maupun BTA positif .
Angka notifikasi kasus BTA positif maupun semua kasus menunjukkan pola yang
tidak jauh berbeda. CNR TB untuk kedua tipe cenderung menurun dalam empat tahun
terakhir. Penurunan yang signifikan terjadi pada CNR TB semua kasus, dari 138 per
19
100.000 penduduk pada tahun 2012 menjadi 125 per 100.000 penduduk pada tahun
2015.
Dari sisi upaya penemuan kasus, provinsi dengan CNR tinggi sebagian besar
berasa di wilayah timur, kecuali DKI Jakarta (220) dan Kepulauan Riau(147). Dapat
diasumsikan provinsi di wilayah timur memiliki sistem panjaringan dan pencatatan
kasus yang lebih baik. Provinsi dengan CNR rendah didominasi oleh provinsi di
wilayah barat, kecuali Papua Barat.
Secara nasional, angka keberhasilan pengobatan di Indonesia sebesar 84%. Sulawesi
Utara memiliki capaian tertinggi ebesar 93%, sedangkan capaian terendah berada di
Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 37% ( data per 2 Mei 2016)
20
TB MDR adalah pasien TB yang resisten terhadap Isoniazid dan Rifampisin
secara bersamaan. Berikut adalah data kasusnya.
a. Penemuan data kasus TB MDR tahun 2009-2015
21
b. Fasilitas Pelayanan TB MDR di Indonesia sampai Desember 2015
22
kasus TB nasional. Kondisi yang mendukung tersebut diantaranya adalah pengembangan
infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia dan pelatihan, kerjasama lintas
program dan lintas sektor, dukungan dari kebijakan pengendalian TB untuk pelaksanaan
program secara rasional, termasuk tersedianya OAT (Obat Anti Tuberkulosis) lini kedua
dan sarana pendukung lainnya. Selain itu, Program Pengendalian TB Nasional harus
diperkuat untuk mencegah meningkatnya kejadian TB di masyarakat.
2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
Diagnosis yang akurat dan tepat waktu adalah landasan utama dalam Program
Pengendalian TB Nasional, termasuk mempertimbangkan perkembangan teknologi yang
sudah ada maupun baru. Proses penegakan diagnosis TB adalah pemeriksaan apusan
dahak secara mikroskopis, biakan, dan uji kepekaan konvensional yang dilakukan di
laboratorium rujukan yang sudah tersertifikasi maupun penggunaan tes cepat yang sudah
mendapatkan pengakuan dari Badan Kesehatan Dunia dan Kementerian Kesehatan RI.
3. Pengobatan yang standar, dengan pengobatan dan dukungan bagi pasien.
Patokan dalam mengontrol TB adalah mengatur dan mengelola pengobatan
standar untuk semua kasus TB dewasa dan anak – sputum BTA positif, BTA-negatif, dan
paru. Dalam semua kasus, pedoman WHO pada kategorisasi pasien dan manajemen harus
diikuti. Pedoman ini menekankan penggunaan rejimen standar dan paling efektif serta
dosis tetap obat untuk memfasilitasi kepatuhan terhadap pengobatan dan untuk
mengurangi risiko terjadinya resistensi obat. Agar mencapai tingkat kesembuhan yang
tinggi, pengobatan pasien TB membutuhkan penggunaan obat TB secara rasional oleh
tenaga kesehatan dan dukungan yang memadai dari berbagai pihak terhadap pasien TB
dan pengawas minum obat (PMO) serta mempermudah akses pasien terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan yang telah tersedia.
4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
Pencapaian angka keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada efektivitas
sistem logistik dalam menjamin ketersediaan obat (untuk obat lini pertama dan kedua)
dan logistik non-obat secara kontinyu. Diperlukan upaya tambahan dari petugas
farmasi/petugas kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan OAT di setiap jenjang,
dimulai dari perhitungan kebutuhan, penyimpanan, sampai persiapan pemberian
(distribusi) OAT kepada pasien. Untuk menjamin tidak terputusnya pemberian OAT
maka stok OAT harus tersedia dalam jumlah cukup untuk minimal 6 bulan sebelum obat
diperkirakan habis.
5. Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan.
Prosedur penegakan diagnosis TB memerlukan waktu yang bervariasi (tergantung
metode yang dipakai), masa pengobatan yang panjang dan tidak sama lamanya,
banyaknya jumlah OAT yang ditelan, efek samping yang mungkin ditimbulkan
merupakan hal-hal yang menyebabkan perbedaan antara pencatatan pelaporan program
Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat dengan sistem yang dipakai untuk
TB tidak resistan obat yang selama ini sudah berjalan. Perbedaannya antara lain adalah
23
terdapatnya pencatatan hasil pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT, pengawasan
pemberian pengobatan dan respons selama masa pengobatan serta setelah masa
pengobatan selesai. Hasil pencatatan dan pelaporan diperlukan untuk analisis kohort,
menghitung indikator antara dan laporan hasil pengobatan. Selain itu pengawasan rutin
harus dilakukan untuk memverifikasi kualitas informasi dan untuk mengatasi masalah
kinerja.
L. Form TB Nasional.
24
25
26
27
BAB III
PENUTUP
Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam
Depkes RI (2009), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab
kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semuakelompok
usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka
temuan kasus baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau
didapati 166.376 penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya
(Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global, yaitu CDR 70% dan SR
85% (DepkesRI, 2009).
Surveilans TB dapat diartikan sebagai kegiatan yang terus menerus, teratur, dan
sistematis dalam pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data TB untuk
menghasilkan informasi yang akurat yang dapat disebarluaskan dan digunakan
sebagai dasar untuk melaksanakan tindakan penanggulangan yang cepat dan tepat
disesuaikan dengan kondisi setempat.
Tujuan surveilans TB adalah memberikan informasi sesuai dengan orang, tempat ,
dan waktu yang berkaitan dengan masalah kesehatan yaitu penyakit tuberculosis,
gejala dan faktor risikonya sehingga dapat meresponsnya secara dini dengan tindakan
pencegahan dan penanggulangan yang tepat.
Gejala utama pasien TB Paru yaitu batuk berdahak selama dua minggu atau lebih
dan Gejala tambahan meliputi dahak bercampur darah/ batuk berdarah, sesak nafas,
badan lemas, malaise, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan
Ada begitu banyak faktor risiko TB tetapi jika dinyatakan secara umum maka
mencakup agent, host dan environment.
Evaluasi hasil kegiatan surveilans TB didasarkan pada indikator – indikator
program penanggulangan TB, yaitu proporsi suspek yang diperiksa dahaknya,
proporsi kasus BTA positif diantara suspek, proporsi penderita TB paru positif
diantara semua kasus TB paru yang tercatat, angka konversi, angka kesembuhan (cure
rate), Case Natification Rate(CNR), Case Detection Rate(CDR). Cara menghitung
dan analisis indicator adalah sebagai berikut: (Depkes, 2003)
Sejak dilaporkan kasus TB pertama kali di Indonesia berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah melalui Kementrian Kesehatan. Upaya tersebut dimulai dari
proses penjaringan suspek, deteksi dan pencatatan kasus, pengobatan pasien dan tata
laksana multi drug resistence (MDR) .
28