Anda di halaman 1dari 25

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Imunisasi

Disusun oleh
Ridha Eka Dharmayanthi 1810029007

Pembimbing
dr. Ahmad Wisnu Wardhana, Sp.A

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019

i
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL

Imunisasi

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Stase Anak

Oleh :
Ridha Eka Dharmayanthi (1810029008)

Pembimbing

dr. Ahmad Wisnu Wardhana, Sp.A

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Imunisasi”. Tutorial
ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Ahmad Wisnu Wardhana, Sp.A, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, Maret 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4

2.1 Definisi .......................................................................................................... 4

2.2 Epidemiologi ................................................................................................. 5

2.3 Respon Imun ................................................................................................. 5

2.4 Keberhasilan Imunisasi ................................................................................. 6

2.6 Klasifikasi Vaksin ......................................................................................... 9

2.7 Pemberian Imunisasi ..................................................................................... 9

2.8 Sasaran Imunisasi ........................................................................................ 11

2.9 Jenis Imunisasi ........................................................................................... 13

2.10 Jadwal Imunisasi ....................................................................................... 18

BAB 3 PENUTUP................................................................................................ 20

3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 20

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua
jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif
adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh tubuh itu
sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau
kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan immunoglobulin.
Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.
Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh immunoglobulin lainnya lebih
pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat
terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah.
Kekebalan aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya
memori imunologik.1
Angka kesakitan bayi di Indonesia relatif masih cukup tinggi, meskipun
menunjukkan penurunan dalam satu dekade terakhir. Program imunisasi bisa
didapatkan tidak hanya di puskesmas atau di rumah sakit saja, akan tetapi juga
diberikan di posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas
kesehatan dan diberikan secara gratis kepada masyarakat dengan maksud program
imunisasi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Program imunisasi di posyandu
telah menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni pemberian imunisasi pada
bayi secara lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap apabila mendapat BCG 1 kali,
DPT 3 kali, Hepatitis 3 kali, Campak 1 kali, dan Polio 4 kali. Bayi yang tidak
mendapat imunisasi secara lengkap dapat mengalami berbagai penyakit, misalnya
difteri, tetanus, campak, polio, dan sebagainya. Oleh karena itu, imunisasi harus
diberikan dengan lengkap sesuai jadwal. Imunisasi secara lengkap dapat
mencegah terjadinya berbagai penyakit tersebut.2
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas
utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat

1
efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi
merupakan hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana
untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada
bayi. Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang
lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur
dengan cakupan yang luas.3
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar
diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu
kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar.
Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan
perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya
karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi
penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan
serius pada perkembangan fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi anak-
anak dari penyakit melaui vaksinasi yang bisa berupa suntikan atau melalui
mulut.3

2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya tutorial ini adalah untuk menambah wawasan
bagi dokter muda mengenai “Imunisasi”, serta sebagai salah satu syarat
mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang
serupa tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti
kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan
kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari
penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.3
Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem
kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan
terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak
cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan
lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat
membahayakan kesehatan dan hidup anak.1
Vaksinasi mempunyai keuntungan :
 Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.
 Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.
 Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh
lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit
tersebut secara almiah.
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid
yang diubah ( dilemahkan atau diamtikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas
atau toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin
diberikan kepada manusia maka akan menimbulkan kekebalan spesifik secara
aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional,
upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh
kembang anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder dan pencegahan tersier. 3

4
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya
sakit atau kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita
cedera dan cacat. Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi
komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal atau meninggalkan gejala sisa,
cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya
gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seseorang penderita agar dapat hidup
mandiri tanpa bantuan orang lain.4

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian
sebanyak 2,5 juta balita, yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui
vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh pneumokokus menduduki peringkat
utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus
(diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua
kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi dinegara-negara sedang
berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia).1
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui
vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam
hal ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi
terhadap penyakit tersebut.1

2.3 Respon Imun


Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut
juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu
macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan
tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis
antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian
antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada
pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat
mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.

5
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan
oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD (
T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh
oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut
imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang
lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya
dapat dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ
transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Proses imun terdiri dari dua fase :


 Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (
APC = antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.
 Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor1

2.4 Keberhasilan Imunisasi


Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik
pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa
fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi
campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan
membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang
mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya
kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur
beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA
FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI
setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena

6
itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau
sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan
diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap
antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus
akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila
imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan
imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat
obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita
penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit
keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya
defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat
menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada
individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis
milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti
makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral
spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi,
imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena
terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar
komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya
respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup,
dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah
terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena
itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
Kualitas dan kuantitas vaksin

7
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa
sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung
sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat
menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi
pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping
sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas
sistemik saja.
 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun
yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel
imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis,
karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat
kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera
dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga
tidak sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa
yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah
suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal
sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster )
sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons
imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen
secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
 Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated )

8
atau bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh
dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan
organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan.
Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob,
atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin
BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai
mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia
avirulen, misalnya virus cacar sapi.1,2,4
2.5 Penggolongan vaksin

2.6 Klasifikasi Vaksin

2.7 Pemberian Imunisasi


Tata cara pemberian imunisasi

9
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai
berikut :
 Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila
tidak divaksinasi.
 Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila
terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
 Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab
dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
 Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
 Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
 Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan
dengan baik.
 Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
 Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up
vaccination ) bila diperlukan.
 Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai
pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan
posisi bayi/anak penerima vaksin.
 Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :
 Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau
pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang
biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
 Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan
klinis.
 Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas
Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
 Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan
vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.6

10
Tempat Suntikan yang Dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam
batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling
tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang
lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12
bulan adalah :
 Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.
 Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap
suntikan secara adekuat.
 Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila
disuntikkan di daerah gluteal
 Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat
suntikan yang menahun.
 Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian
anterior.7

Gambar 1 Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)
2.8 Sasaran Imunisasi

11
12
2.9 Jenis Imunisasi 8

a. Imunisasi Dasar

13
14
15
b. Imunisasi lanjutan

16
17
2.10 Jadwal Imunisasi
1. Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar8

2. Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Usia Batita

18
3. Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Usia Sekolah

4. Jadwal Imunisasi Lanjutan Tetanus Toksoid ( TT )

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Upaya pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah
satunya adalah dengan meningkatkan kekebalan atau imunitas tubuh dalam
menghadapi ancaman penyakit yang dilakukan dengan pemberian imunisasi.
Imunisasi dasar pada anak usia dibawah 2 tahun sangat penting untuk dilakukan
oleh karena bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian yang seharusnya
dapat dicegah walaupun imunisasi tidak menjamin 100% bahwa seseorang tidak
akan terjangkit penyakit tersebut.
Pada tahun 2010 ini berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia) tidak adanya lagi perbedaan program imunisasi yang diwajibkan dan
dianjurkan serta ada perbedaan waktu pemberian awal imunisasi seperti varisela
atau imunisasi ulangan seperti hepatitis B.
Dalam hal ini maka harus terus digalakkan program imunisasi kepada
masyarakat luas sehingga masyarakat menyadari pentingnya imunisasi dan mau
membawa anaknya untuk melakukan imunisasi, khususnya imunisasi yang
diwajibkan. Jika imunitas pada masyarakat tinggi, maka risiko terjadinya
penularan dan wabah juga akan berkurang.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius :


2010
2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi
di Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK
Respiratologi PP IDAI; 2007.
5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis
MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.
6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization.
Page 235-258.
7. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of
Pediatrics. Illinois; Amerika Serikat,1997.
8. National Health and Medical Research Council. National Immunisation
Program: The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-6.
Commonwealth of Australia, 1997.
9. Satgas Imunisasi IDAI. 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi
Keempat. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

21

Anda mungkin juga menyukai