Anda di halaman 1dari 43

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Kreatifitas Guru

1. Pengertian kreatifitas

Pengakuan ilmiah terhadap pentingnya kreativitas sangat berperan

dalam memajukan dunia pendidikan, baik itu dari tingkatan SD, SMP,

SMA/SMK, maupun Perguruan Tinggi. Namun hingga kini hanya sedikit

sekali penelitian yang telah dilakukan. Hal itu disebabkan adanya kesulitan

metodologi dan karena adanya keyakinan bahwa kreativitas adalah suatu faktor

bawaan individual sehingga hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk

mengendalikannya. Utami Munandar (2008 : 25) menjelaskan bahwa

kreativitas adalah :

Suatu kemampuan umum untuk menciptakan suatu yang baru, sebagai


kemampuan untuk memberikan gagasan – gagasan baru yang dapat
diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk
melihat hubungan – hubungan baru antara unsur – unsur yang sudah ada
sebelumnya”.

Imam Musbikin dalam Firman (2010 : 6) mengungkapkan kreatifitas

adalah :

Kemampuan memulai ide, melihat hubungan yang baru, atau tak diduga
sebelumnya, kemampuan memformulasikan konsep yang tak sekedar
menghafal, menciptakan jawaban baru untuk soal – soal yang ada, dan
mendapatkan pertanyaan baru yang perlu di jawab”.

Mangunhardjana dalam Firman (2010 : 11) kreatifitas adalah :

Kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya berguna ( useful ), lebih


enak, lebih praktis, mempermudah, memperlancar, mendorong,
mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi
hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil lebih baik atau
banyak”.

15
16

Berdasarkan pengertian tentang kreatifitas para ahli diatas maka dapat saya

simpulkan bahwa kreatifitas adalah : Suatu kemampuan umum untuk menciptakan

suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan – gagasan baru

yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk

melihat hubungan – hubungan baru yang mendatangkan hasil yang sifatnya

berguna, lebih enak, lebih praktis, dan mendatangkan hasil lebih baik dalam

tujuan yang diharapkan.

2. Teori Empat P yang Melandasi Pengembangan Kreatifitas

a. Teori tentang Pembentukan Pribadi Kreatif

Banyak sekali teori yang berusaha menjelaskan pembentukan kepribadian

kreatif. Yang akan dibahas disini adalah teori Psikoanalisis, teori Humanistik, dan

teori Csikszentmihalyi mengenai kepribadian kreatif yang dapat dipertimbangkan

sebagai landasan perencanaan program pendidikan keberbakatan.

1) Teori Psikoanalisis

Pada umumnya teori – teori psikoanalisis melihat kreativitas sebagai hasil

mengatasi suatu masalah yang biasanya mulai dimasa anak – anak. Pribadi kreatif

dipandang sebagai seseorang yang pernah mempunyai pengalaman traumatis,

yang dihadapi dengan memungkinkan gagasan – gagasan yang disadari dan yang

tidak disadaribercampur menjadi pemecahan inovatif dari trauma. Tindakan

kreatif mentransformasi keadaan psikis yang tidak sehat menjadi sehat.

a) Teori Freud

Menurut beberapa pakar psikologi, kemampuan kreatif merupakan ciri

kepribadian yang menetap pada lima tahun pertama dari kehidupan. Sigmund
17

Freud dalam Usman ( 2007: 28 ) adalah toko utama yang menganut pandangan

ini. Ia menjelaskan proses kreatif dari mekanisme pertahanan, yang merupakan

upaya tak sadar untuk menghindari kesadaran mengenai ide – ide yang tidak

menyenangkan atau yang tidak dapat diterima. Karena mekanisme pertahanan

mencegah pengamatan yang cermat dari dunia, dan karena menghabiskan energi

psikis, mekanisme pertahanan biasanya merintangi produktivitas kreatif.

Freud percaya bahwa meskipun kebanyakan mekanisme pertahanan

menghambat tindakan kreatif, mekanisme sublimasi justru merupakan penyebab

utama kreativitas.

Kaitan antara kebutuhan seksual yang tidak disadari dan kreativitas mulai

pada tahun – tahun pertama dari kehidupan. Menurut Freud, orang hanya

didorong untuk menjadi kreatif jika mereka tidak dapat memenhi kebutuhan

seksual secara langsung. Pada umur empat tahun pada anak timbul hasrat fisik

terhadap orang tua dari jenis kelamin yang berbeda. Karena kebutuhan ini tidak

dapat dipenuhi, maka terjadi sublimasi dan awal dari imajinasi.

Freud menjelaskan banyak karya seni sebagai sublimasi dari seniman.

Sebagai contoh, banyaknya lukisan Leornardo da Vinci mengenai Madonna

dihasilkan dari kebutuhan seksual dengan tokoh ibu yang disublimasi, karena ia

kehilangan ibunya pada usia muda.

b) Teori Kris

Ernst Kris dalam Utami Munandar (2008 : 45) menekankan bahwa

mekanisme pertahanan :
18

Tabel 2.1 Mekanisme Pertahanan

Mekanisme Pertahanan Definisi


(1) Represi Secara tidak sadar melupakan
pengalaman yang tidak
menyenangkan.

(2) Kompensasi Berusaha mengimbangi ketidak


mampuan yang diamati secara
tidak sadar dengan menonjol
pada hal lain.

(3) Sublimasi Jika tidak mampu memenuhi


dorongan seks, mengimbangi
dengan kreativitas di bidang
seni, misalnya menjadi pemain
bola.

(4) Rasionalisasi Menjadi percaya bahwa suatu


kondisi yang bertentangan
dengan apa yang diinginkan
sesungguhnya adalah memang
hal yang diinginkan, misalnya
karena tidak berhasil
mendapatkan tiket untuk melihat
pertandingan sepakbola
kemudian mengatakan bahwa
sebenarnya ia tidak tertarik
untuk pergi.

(5) Identifikasi Ingin menjadi seperti seseorang


dengan menerima standar dan
nilai orang itu menjadi standar
dan nilai diri sendiri.

(6) Introjeksi Menerima standar dan nilai


seseorang karena takut untuk
tidak sependapat dengan dia.

(7) Regresi Kembali keprilaku yang


sebelumnya berhasil jika prilaku
saat ini tidak berhasil, misalnya
menangis ketika mendapat nilai
rendah dengan harapan guru
akan mengubah nilainya.
19

(8) Proyeksi Menganggap seseorang memiliki


perasaan terhadap seseorang
yang sebaliknya dari perasaan
sesungguhnya terhadap dia.

Menganggap memiliki perasaan


(9) Pembentukan reaksi terhadap seseorang yang
sebaiknya dari perasaan
sesungguhnya terhadap dia.

Jika takut mengungkapkan


(10) Pemindahan perasaan terhadap seseorang,
perasaan itu diungkapkan
terhadap seseorang yang kurang
kuasa, misalnya, karena takut
menyatakan kemarahan kepada
atasan, maka marah – marah
kepada anak.

Mempunyai dua kepercayaan


(11) Kompar temen talitas yang saling bertantangan pada
saat yang sama, misalnya
meskipun ia sebetulnya bodoh,
tetapi ia pintar berhitung.

Regresi yaitu kecenderungan untuk beralih keprilaku pada tingkat

perkembangan sebelumnya yang memberi kepuasan jika perilaku sekarang tidak

berhasil atau tidak memberi kepuasan jika sering muncul dalam tindakan kreatif.

Jika seseorang mampu untuk melakukan regresi ke kerangka berpikir atau pola

prilaku seperti anak, rintangan antara alam pikiran sadar dan tidak sadar menjadi

berkurang dan bahan yang tidak didasari yang sering mengandung benih

kreativitas dapat ditembus kealam kesadaran.

Orang – orang kreatif menurut teori ini adalah mereka yang paling mampu

“memangil” bahan dari alam pikiran tidak sadar. Pada umumnya, sebagai orang

dewasa kita tidak pernah bisa seperti anak lagi. Sedangkan orang kreatif tidak
20

mengalami hambatan untuk bisa “seperti anak” dalam pemikirannya. Mereka

dapat mempertahankan “sikap bermain” mengenai masalah – masalah serius

dalam kehidupan. Dengan demikian mereka mampu melihat masalah – masalah

dengan cara yang segar dan inovatif, mereka melakukan regresi demi bertahannya

ego (regression in the survive of the ego).

c) Teori Jung

Carl Jung dalam Utami Munandar (2008 : 47) juga percaya bahwa alam

ketidaksadaran memainkan perasaan yang amat penting dalam pemunculan

kreativitas tingkat tinggi. Alam pikiran yang tidak didasari dibentuk oleh masa

lalu pribadi. Selain itu, ingatan kabur dari pengalaman – pengalaman seluruh umat

manusia tersimpan disana. Secara tidak sadar kita “mengingat” pengalaman –

pengalaman yang paling berpengaruh dari nenek moyang kita. Dari ketidak

sadaran kolektif ini timbul penemuan, teori, seni, dan karya – karya baru lainnya.

Proses inilah yang menyebabkan berlanjutnya eksistensi manusia.

2) Teori Humanistik

Beberapa dari teori psikoanalisis, teori humanistik melihat kreativitas

sebagai hasil dari kesehatan psikologis tingkat tinggi. Tokoh – tokoh aliran

humanistik percaya bahwa kreativitas dapat berkembang selama hidup.

a) Teori Maslow

Menurut Abraham Maslow dalam Utami Munandar (2008 : 48)

pendukung utama dari teori humanistik adalah :


21

Manusia mempunyai naluri – naluri dasar yang menjadi nyata sebagai


kebutuhan. Kebutuhan ini harus dipenuhi dalam urutan hierarki tertentu;
kebutuhan primitif muncul pada saat lahir, dan kebutuhan tingkat tinggi
berkembang sebagai proses pematangan individu”.
Keenam kebutuhan naluri ini digambarkan pada tabel di bawah ini yang

menjelaskan tentang jenis – jenis hierarki kebutuhan manusia dan tingkat

kebutunya.

Tabel 2.2 Hierarki kebutuhan manusia

Jenis kebutuhan Tingkat kebutuhan


1. Kebutuhan faali yang diperlukan untuk
mempertahankan hidup, misalnya zat Deficiency rendah
asam, air, makanan, minuman, udara.
2. Kebutuhan akan rasa aman. Kita perlu
merasa bebas dari ancaman terhadap Deficiency
hidup kita, seperti kebutuhan akan
keakrapan, keturunan mempunyai rumah
tempat tinggal.
3. Kebutuhan akan sance of belonging dan
cinta. Semua orang ingin merasakan Deficiency
bahwa mereka tergolong pada suatu dan
bahwa setidak – tidaknya satu orang
mencintai atau menyayanginya.
4. Kebutuhan akan penghargaan dan harga
diri. Kita perlu merasa bahwa kita
berharga dan mampu, dan bahwa Deficiency
masyarakat menghargai sumbangan kita
terhadapnya.
5. Kebutuhan aktualisasi/perwujudan diri.
Kebutuhan akan pengembangan dan Being
perwujudan potensi kita sepenuhnya,
termasuk imajinasi dan kreativitas.
6. Kebutuhan estetik. Kebutuhan untuk
memberi sumbangan bermakna untuk
kemanusiaan. Hasrat untuk memahami
dunia sekeliling kita dan tujuan hidup. Being tinggi
Kebutuhan ini pada tingkat sangat tinggi
dan tidak semua orang mengalaminya;
sebagai contoh adalah Albert Einstein.
22

Urutan hierarki kebutuhan ini jelas: tidak ada orang yang dapat

mewujudkan dirinya (kebutuhan dasar tinggat tinggi) jika kebutuhan dasar pada

tingkat lebih rendah belum terpenuhi. Keempat kebutuhan pertama disebut

kebutuhan “ deficiency” karena menurut untuk dipuaskan sampai tidak dirasakan

sebagai kebutuhan lagi. “being”. Kebutuhan ini jika dipupuk akan menjadi

semangkin kuat sehingga memperkaya keberadaan kita. Sebagai contoh, belajar

memahami dan menghargai musik meningkatkan hasrat untuk belajar lebih

banyak tentang musik.

Proses perwujudan diri erat kaitannya dengan kreativitas. Bila bebas dari

neurosis, orang yang mewujudkan dirinya mampu memusatkan dirinya pada yang

hakiki. Mereka dapat mencapai apa yang oleh Maslow disebut ” peak experience”,

saat mendapatkan kilasan ilham (flash of insight) yang menumbuhkan

kegembiraan dan rasa syukur karena hidup.

b) Teori Rogers

Menurut Carl Rogers dalam Utami Munandar (2008 : 49) tiga kondisi

internal dari pribadi yang kreatif adalah:

(1) Keterbukaan terhadap pengalaman.


(2) Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi
seseorang ( internal locus of evaluation ).
(3) Kemampuan untuk bereksperimen, untuk “bermain” dengan konsep –
konsep.
Setiap orang yang memiliki ketiga ciri kesehatan psikologisnya sangat

baik. Orang ini dapat berfungsi sepenuhnya, menghasilkan karya – karya kreatif,

dan hidup secara kreatif. Ketiga ciri atau kondisi tersebut juga merupakan dorngan

dari dalam (internal press) untuk berkreasi.


23

Kedua aliran tersebut diatas psikoanalisis dan humanistik amat berbeda

dalam penjelasan kepribadian kreatif. Sulit dan tampaknya tidak perlu untuk

bersilang pendapat mengenai mana yang benar. Keduanya mempunyai maknanya

sendiri.

3) Teori Csikszentmihalyi

Dalam bukunya yang berjudul Creativity, Csikszentmihalyi dalam Utami

Munandar (2008 : 50)

Mengkaji ciri – ciri atau faktor – faktor yang memungkinkan atau


membantu kreativitas seseorang muncul dan berkembang. Seseorang juga
memerlukan akses terhadap suatu bidang (access to a domain). Hal ini
banyak bergantung pada faktor keberuntungan. Lahir dan tumbuh dalam
keluarga cukup mampu yang memungkinkan masuk sekolah – sekolah
yang terbaik, tersedianya sarana – prasarana, adanya pembinaan atau
mentor dalam bidang yang diminati, sangat membantu pengembangan
bakat”.

Yang sama pentingnya adalah access to a field. Mampu berkomunikasi

dan berinteraksi dengan sejawat dan tokoh – tokoh yang penting dalam bidang

yang digeluti, memperoleh informasi yang terakhir, mendapat kesempatan untuk

bekerja bersama pakar – pakar lain dalam bidang itu adalah hal – hal yang sangat

penting untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari orang – orang

penting.

Pemaparan teori – teori yang beragam ini membantu untuk memahami

pembentukan ciri – ciri pribadi kreatif. Dari keempat perspektif kreativitas

(pribadi, pendorong, proses, dan produk) mungkin yang paling menentukan

perwujudan kreativitas adalah aspek pribadi. Ciri – ciri kepribadian yang

bagaimanakah yang menunjang atau dapat dikatakan diperlukan agar potensi

kreatif yang pada dasarnya dimiliki setiap orang dapat diwujudkan.


24

3. Ciri – ciri Kepribadian Kreatif

Csikezentmihalyi dalamUtami Munandar (2008 : 51), sepuluh pasang ciri

– ciri kepribadian kreatif yang seakan – akan paradoksal tetapi saling terpadu

secara dialektis adalah :

1) Pribadi kreatif mempunyai kekuatan energi fisik yang memungkinkan


mereka bekerja berjam – jam dengan konsentrasi penuh, tetapi mereka
juga bisa tenang dan rileks, tergantung pada situasinya.
2) Pribadi kreatif cerdas dan cerdik, tetapi pada saat yang sama mereka
juga naif. Di satu pihak mereka memiliki kebijakan (wisdom), tetapi
juga bisa seperti anak – anak (childlike). Insigh yang mendalam dapat
tampak bersama – sama dengan ketidakmatangan emosional dan
mental. Mereka mampu berpikir konvergen dan divergen.
3) Ciri – ciri paradoksal ketiga berkaitan dengan kombinasi antara sikap
bermain dan disiplin. Kreativitas memerlukan kerja keras, keuletan,
dan ketekunan untuk menyelesaikan suatu gagasan atau karya baru
dengan mengatasi rintangan yang sering dihadapi.
4) Pribadi kreatif dapat beselang – seling antara imajinasi dan fantasi,
namun tetap bertumpuh pada realitas. Keduanya diperlukan untuk
dapat melepaskan diri tanpa kehilangan sentuhan dengan masa lalu.
Orang sering mengira bahwa seniman kuat dalam fantasi dan
imajinasi, sedangkan ilmuan, politikus, dan orang bisnis sangatrealitas.
5) Pribadi kreatif menunjukan kecenderungan baik introversi maupun
ekstroversi. Seseorang perlu dapat bekerja sendiri untuk dapat
“berkreasi” menulis, melukis, melakukan eksperimen dalam
laboratorium tetapi juga penting baginya untuk bertemu dengan orang
lain, bertukar pikiran, dan mengenal karya – karya orang lain.
6) Orang kreatif dapat bersikap rendah diri dan bangga akan karyanya
pada saat yang sama. Mereka puas dengan prestasi mereka tetapi
biasanya tidak perlu ingin menonjol apa yang telah mereka capai, dan
mereka juga mengakui adanya faktor keberuntungan dalam karier
mereka. Mereka lebih berminat terhadap apa yang masih akan mereka
lakukan.
7) Pribadi kreatif menunjukan kecenderungan androgini psikologis, yaitu
mereka dapat melepaskan diri dari stereotip gender (maskulin –
feminin). Lepas dari kedudukan gender, mereka bisa sensitif dan
asertif, dominan dan submisif pada saat yang sama. Perempuan kreatif
pada umumnya cenderung lebih dominan dari pada perempuan lain
dan pria kreatif cenderung lebih sensitif dan kurang agresif dari pada
pria lainnya.
8) Orang kreatif cenderung mandiri bahkan suka menentang, tetapi di lain
pihak mereka bisa tetap tradisional dan konservatif. Bagaimanapun,
25

kesediaan untuk mengambil resiko dan meninggalkan keterikatan pada


tradisi juga perlu.
9) Kebanyakan orang kreatif sangat bersemangat (passionate) bila
menyangkut karya mereka, tetapi juga sangat objektif dalam penilaian
karyanya. Tanpa “passion” seseorang bisa kehilangan minat terhadap
tugas yang sangat sulit, tetapi tanpa objektivitas, karyanya bisa
menjadi kurang baik dan kehilangan kredibilitasnya.
10) Sikap keterbukaan dan sensitivitas orang kreatif sering membuatnya
menderita jika mendapat banyak kritik dan serangan terhadap hasil
jerih payahnya, namun disaat yang sama ia juga merasakan
kegembiraan yang luar biasa. Keunggulan sering mengundang
tentangan dari lingkungan dan pribadi kreatif bisa merasa terisolir dan
seperti tidak dipahami.

Sepuluh pasang ciri – ciri yang nampaknya bertentangan ini merupakan

karakteristik yang mencerminkan kepribadian kreatif. Menurut Csikszentmihalyi,

setiap pasangan kedua ciri yang seperti paradoksal itu diperlukan untuk

menghasilkan gagasan baru atau inovasi.

Biasanya anak yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas,

mempunyai kegemaran dan menyukai aktifitas kreatif. Mereka lebih berani

mengambil resiki (tetapi dengan perhitungan) dari pada anak – anak pada

umumnya, artinya dalam melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti,

penting dan disukai, mereka tidak terlalu menghiraukan kritik dan ejekan orang

lain. Mereka pun tidak takut untuk membuat kesalahan dan mengemukakan

pendapat mereka walaupun mungkin tidak disetujui orang lain.

Ciri kreatif lainnya adalah kecenderungan untuk lebih tertarik pada hal –

hal yang rumit dan misterius. Yang menarik adalah kecenderungan pribadi kreatif

untuk percaya pada hal – hal yang bersifat paranormal. Mereka lebih sering

memiliki pengalaman indra keenam atau kejadian mistik.


26

Minat untuk seni dan keindahan juga lebih kuat dari pada rata – rata orang.

Walaupun tidak semua orang berbakat kreatif menjadi seniman, tetapi mereka

mempunyai minat yang cukup besar terhadap seni, sastra, musik, dan teater.

Penelitian pertama diindonesia tentang ciri – ciri kepribadian kreatif

dilakukan dengan membandingkan tiga kelompok, yaitu psikologi, guru, dan

orang tua. Alat penelitian yang digunakan adalah adaptasi dari Torrance “ Ideal

Pupil Checklist “, yang terdiri atas 60 ciri yang melalui studi empiris ditemukan

membedakan kelompok orang yang sangat kreatif dari kelompok orang yang

kurang kreatif.

Ciri – ciri perilaku yang ditemukan Torrance Utami Munandar (2008 : 55)

pada orang – orang yang memberikan sumbangan kreatif yang menonjol terhadap

masyarakat digambarkan sebagai berikut:

Berani dalam pendirian dan keyakinan, melit ( ingin tahu ), mandiri dalam
berpikir dan dalam memberi pertimbangan, bersibuk diri terus – menerus dengan
kerjanya atau apa yang menarik perhatiannya, intuitif, ulet, tidak bersedia
menerima menerima pendapat orang lain ( termasuk otoritas ) begitu saja jika
tidak sesuai dengan keyakinannya, dan lain – lainnya. Kenyataan menunjukan
bahwa guru dan orang tua lebih menginginkan pada anak yang berprilaku sopan,
rajin dan patuh, yaitu ciri – ciri yang tidak berkaitan dengan kreativitas.

Bagaimana pandangan di indonesia tentang ciri – ciri pribadi yang kreatif

di satu pihak dan ciri – ciri yang diinginkan pendidik pada anak dilain pihak?

peringkat dari 10 ciri – ciri pribadi yang diperoleh dari kelompok pakar psikologi

( 30 orang) adalah sebagai berikut. Utami Munandar, (2008 : 56) :

1) Imajinatif, Penuh energi.


2) Mempunyai prakarsa (inisiatif).
3) Mempunyai minat luas.
4) Mandiri dalam berfikir, Bersedia mengambil resiko.
5) Melit, Berani dalam pendirian dan keyakinan.
6) Senang berpetualang, Percaya diri.
27

Bandingkan ciri – ciri tersebut dengan peringkat ciri siswa yang paling

diinginkan oleh guru sekolah dasar dan menengah (berjumlah 102 orang):

1. Penuh energi.
2. Mempunyai prakarsa.
3. Percaya diri.
4. Sopan.
5. Rajin.
6. Melaksanakan pekerjaan pada waktunya.
7. Sehat.
8. Berani dalam pendapat dan keyakinan.
9. Mempunyai ingatan baik.
10. Ulet.

Dari daftar ciri – ciri ini tampak perbedaan yang mencolok antara ciri –

ciri pribadi kreatif menurut fsikolog dengan ciri – ciri yang paling diinginkan oleh

guru pada siswa. Hal ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana iklim pendidikan

diindonesia menunjang pengembangan kreativitas peserta didik.

4. Teori – teori tentang Press

Kreativitas seseorang agar dapat terwujud membutuhkan adanya

dorongan dalam diri individu maupun dorongan dari lingkungan.

a. Motivasi Intristik untuk Kreativitas

Pada setiap orang ada kecenderungan atau dorongan untuk mewujudkan

potensinya, untuk mewujudkan dirinya; dorongan untuk berkembang dan menjadi

matang, dorongan untuk mengungkapkan dan mengaktifkan semua kapasitas

seseorang. Dorongan ini merupakan motivasi primer untuk kreativitas ketika

individu membentuk hubungan – hubungan baru dengan lingkungannya dalam

upaya menjadi dirinya sepenuhnya. Dorongan ini ada pada setiap orang dan

bersifat internal, namun membutuhkan kondisi yang tepat untuk diekspresikan.


28

b. Kondisi Eksternal yang Mendorong Perilaku Kreatif

Telah dikemukakan bagai mana kondisi internal menurut Rogers yang

besifat mengembangkan kreativitas.Bagaimana kondisi eksternal (dari lingkugan )

yang memupuk kreativitas konstruktif ? kondisi lingkungan yang bagaimana yang

menjadi pendorong bagi seseorang untuk meningkatkan kreativitasnya?

kreativitas tidak bisa dipaksakan, tetapi harus dimungkinkan untuk tumbuh.

Menurut pengalaman Rogers dalam psikoterapi adalah dengan

menciptakan kondisi keamanan dan kebebasan psikologi yang memungkinkan

timbulnya kreativitas yang konstruktif.

1) Keamanan Psikologis

Ini dapat terbentuk dengan tiga proses yang saling berhubungan :

a) Menerima individu sebagaimana adanya dengan segala kelebihan dan

keterbatasannya. Jika orang tua atau guru memberi kepercayaan kepada anak

bahwa ia pada dasarnya baik dan mampu, apapun tingkah laku atau prestasi

anak saat ini, maka ia akan mendorong pengembangan kreativitas anak

tersebut. Efeknya adalah bahwa anak menghayati suasana aman.

b) Mengusahakan suasana yang didalamnya evaluasi eksternal tidak ada

(atau sekurang – kurangnya tidak bersifat atau mempunyai efek

mengancam). Evaluasi selalu mengandung ancaman, sehingga menimbulkan

kebutuhan akan pertahanan. Bagi anak, bila merasakan bahwa ia berada dalam

suasana dimana ia tidak dinilai, tidak diukur menurut patokan dari luar, maka

anak akan mengalami rasa kebebasan.


29

c) Memberikan pengertian secara empatis (dapat ikut menghayati).

Mengenal dan ikut menghayati perasaan anak, pemikiran – pemikirannya,

tindakan – tindakannya, betul – betul memberi rasa aman. Dalam suasana ini,

diri yang sebenarnya (real self) di mungkinkan untuk timbul, untuk

diekspresikan dalam bentuk – bentuk baru dalam hubungannya dengan

lingkungannya. Inilah pada dasarnya memupuk kreativitas.

2) Kebebasan Psikologis

Jika orang tua atau guru mengizinkan atau memberi kesempatan kepada

anak untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran atau perasaannya,

permissiveness ini memberi anak kebebasan dalam berfikir atau merasa sesuai

dengan apa yang ada dalam dirinya. Mengekspresikan dalam tindakan konkret

perasaannya, misalnya, dengan memaki – maki atau memukul, tidak selalu

dimungkinkan, karena hidup dalam masyarakat selalu ada batas – batasnya, tetapi

ekspresi secara simbolis hendaknya dimungkinkan, misalnya melalui sajak atau

gambar.

5. Teori tentang Proses Kreatif

a. Teori Wallas

Berabad – abad orang berupaya menjelaskan apa yang terjadi apabila

seseorang mencipta. Salah satu teori yang sampai sekarang banyak dikutif adalah

teori Wallas yang dikemukakan dalam bukunya “ The Art of Thought “ Piirto

dalam Utami (2008:60 ) yang menyatakan bahwa proses kreatif meliputi empat

tahap, yaitu (1) persiapan; (2) inkubasi, (3) iluminasi, dan (4) verifikasi.
30

Pada tahap pertama, seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan

masalah dengan belajar berpikir, mencari jawaban, bertanya kepada orang lain,

dan sebagainya.

Pada tahap kedua, kegiatan mencari dan menghimpun data/informasi tidak

dilanjutkan. Tahap inkubasi adalah tahap dimana individu seakan – akan

melepaskan diri untuk sementara dari masalah tersebut, dalam arti bahwa ia tidak

memikirkan masalah secara sadar, tetapi “mengeramnya” dalam alam pra – sadar.

Tahap iluminasi adalah tahap timbulnya “insight” atau “Aha – Erlebnis“ ,

saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru, beserta proses – proses psikologis

yang mengawali dan mengikuti munculnya inspirasi atau gagasan baru.

Tahap verifikasi atau evaluasi adalah tahap dimana ide atau kreasi baru

tersebut harus diuji terhadap realitas. Disini diperlukan pemikiran kritis dan

konvergen. Dengan perkataan lain, proses divergensi (pemikiran kreatif) harus

diikuti oleh proses konvergensi (pemikiran kritis).

b. Teori tentang Belahan Otak Kanan dan Kiri

Sesudah anak dilahirkan, gerakan – gerakannya yang semula

berdiferensasi berkembang menjadi pola dengan preferensi untuk kiri dan kanan.

Hampir setiap orang mempunyai sisi yang dominan. Pada umumnya orang lebih

bisa menggunakan tangan kanan (berarti dominasi belahan otak kiri); tetapi ada

orang – orang yang termasuk kidal (left – handed). Mereka lebih disukai oleh

belahan otak kanan. Dihipotesiskan bahwa belahan otak kanan terutama berkaitan

dengan fungsi – fungsi kreatif, sehingga terjadi “dichoto – mania “, membagi –

bagi semua fungsi mental menjadi fungsi belahan otak kanan atau kiri, lihat Tabel
31

2.3. teori ini, walaupun didukung oleh bukti – bukti empiris, namun masih

memerlukan pengkajian lebih lanjut Dacey dalam Utami Munandar (2008 : 62)

untuk keabsahannya.

Tabel 2.3 Dikotomi Mental

Belahan otak kiri Belahan otak kanan

Intelek Intuisi
Konvergen Divergen
Intelektual Emosional
Rasional Metorik, intuitif
Verbal Nonverbal
Horizontal Vertikal
Konkret Abstrak
Realistis Impulsif
Diarahkan Bebas
Diferensial Eksistensial
Sekuensial Multipel
Historikal Tanpa batas waktu
Analitis Sintesis, holitik
Eksplisif Implisit
Objektif Subjektif
Suksesif Simultan
Sumber. Springer, S.P. dan Deutsch, G, 2010

6. Teori/Model tentang Produk Kreatif

Pada pribadi kreatif, jika memiliki kondisi pribadi dan lingkungan yang

menunjang (pendorong), lingkungan yang memberi kesempatan atau peluang

untuk bersibuk diri secara kreatif (proses), maka dapat diprediksikan bahwa

produk kreativitasnya akan muncul.

Cropley dalam Utami Munandar (2008 : 60) menunjukan hubungan antara

tahap – tahap proses kreatif dari Wallas dan produk yang dicapai. Ia menekankan

bahwa prilaku kreatif memerlukan kombinasi antara ciri – ciri psikologis yang

berinteraksi sebagai berikut : sebagai hasil dari prilaku konvergen atau kecerdasan
32

memperoleh pengetahuan, pengembangan keterampilan manusia memiliki

seperangkat unsur – unsur mental.

Pemikir divergen (kreatif ) mampu menggabungkan unsur – unsur dengan

cara – cara yang tidak lazim dan tidak diduga. Namun, konstruksi konfigurasi

tersebut tidak memerlukan berpikir konvergen dan divergen saja, tetapi juga

motivasi, misalnya dorongan untuk menghasilkan solusi yang lebih baik;

karakteristik pribadi yang sesuai, misalnya keterbukaan terhadap pembaruan;

unsur – unsur sosial, misalnya kesediaan untuk tidak mengikuti saja; dan

keterampilan komunikasi. Proses ini disertai perasaan dan emosi, yang dapat

menunjukan atau menghambat.

Bagaimana kita dapat menilai bahwa suatu produk memenuhi

kriteriakreativitas? Sejumlah peneliti akhir – akhir ini bersibuk diri dengan

masalah penilai produk (Amabile, Ekvall dan Parnes), dalam Utami Munandar

(2008 : 61) terutama menyangkut konsep tingkat penemuan (inventive level).

Sebagai contoh adalah penilaian produk penemuan dalam hukum paten di A.S.

7. Penilaian Produk Penemuan dalam Hukum Paten

Hukum paten di Amerika Serikat dalam Utami Munandar (2008 : 61)

mempertimbangkan unsur – unsur berikut dalam memberi paten kepada inventor :

a. Kegiatan intelektual yang bermutu mendahului penemuan atau rekaan.


b. Gagasannya jelas untuk mengatasi masalah atau kesulitan khusus.
c. Jumlah eksperimentasi yang dilakukan sebelum mencapai produk baru
dianggap penting.
d. Sejauh mana mengalami kegagalan.
e. Produk harus berguna dan merupakan kemajuan.
f. Produk terutama dinilai kreatif jika ada orang – orang dalam bidang
kegiatan tersebut sebelumnya menunjukan keraguan (skepticism)
tentang kemungkinan penemuan yang baru.
g. Produk harus memenuhi kebutuhan yang belum tercapai.
33

Mungkin timbul pertanyaan, mengapa kegagalan memberikan nilai plus.

Kiranya hal ini berkaitan dengan keyakinan dan keuletan inventor. Kita ingin

bahwa edison mengalami kegagalan lebih dari 200 kali sebelum ia berhasil

dengan penemuannya. Demikian pula sikap ketidak percayaan dari orang

seprofesi (butir 6) yang tidak menggoyahkan tujuan inventor menggaris bawahi

ketangguhan dan keseriusan mengenai apa yang ingin dicipta.

Patokan penilaian produk dari hukum paten cukup membantu, tetapi tidak

cukup spesifik untuk penilaian secara ilmiah. Dibutuhkan perangkat kriteria yang

disetujuiuntuk menilai produk kreatif dan kemampuan kreatif.

8. Konsep Kreativitas dengan Pendekatan Empat P

Salah satu masalah penting dalam meneliti, mengidentifikasi, dan

mengembangkan kreativitas adalah bahwa ada begitu banyak definisi tentang

kreativitas, tetapi tidak ada satu definisi pun yang dapat diterima secara universal.

Mengigat kompleksitas dari konsep kereativitas, agaknya hal ini tidak mungkin

dan juga tidak perlu karena kreativitas dapat ditinjau dari berbagai aspek, yang

saling berkaitan tetapi penekanannya berbeda – beda. Rhodes dikutip U.

Munandar (2014: 25) dalam menganalisis lebih dari 40 definisi tentang kreativitas

menyimpulkan bahwa pada umumnya kreativitas dirumuskan dalam istilah

pribadi (person), proses, dan produk. Kreativitas dapat pula ditinjau dari kondisi

pribadi dan lingkungan yang mendorong (press ) individu keprilaku kreatif.

Rhodes menyebut keempat jenis definisi tentang kreativitas ini sebagai “Four P’s

of Creativity: Person, Process, Press, Product”. Sebagian besar definisi

kreativitas berfokus pada salah satu dari empat P ini atau kombinasinya. Keempat
34

P ini saling berkaitan: Pribadi kreatif yang melibatkan diri dalam proses kreatif,

dan dengan dukungan dan pendorong (Press) dari lingkungan, menghasilkan

Produk kreatif.

Rogers menekankan dalam Utami Munandar (2008 : 24)


Bahwa sumber kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasi
dari, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi
matang, kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua
kemampuan organisme”.
Clark Moustakas dalam Utami Munandar (2014: 24) psikolog humanistik

terkemuka lainnya menyatakan bahwa kreativitas adalah pengalaman

mengekspresikan dan mengakutualisasikan identitas individu dalam bentuk

terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam, dan dengan orang lain.

Hal ini sesuai dengan konsep pembangunan manusia indonesia seutuhnya.

9. Kreatifitas Guru dalam Proses Pembelajaran

Seseorang dikatakan kreatif tentu ada indikator – indikator yang

menyebabkan seseorang itu disebut kreatif, begitupula seorang guru. Guru yang

kreatif sangat diharapkan oleh siswa didalam proses pembelajaran.

Indikator sebagai ciri dari kreativitas dapat diamati dalam dua aspek yakni

aspek aptitute dan nonaptitute. Ciri – ciri aptitute adalah ciri – ciri yang

berhubungan dengan kognisi atau proses berpikir, sedangkan ciri – ciri

nonaptitute adalah ciri – ciri yang lebih berkaitan dengan sikap atau perasaan.

Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukan indikator kreativitas dikemukan

oleh ( Munandar, S. C. U, 2014: 25) sebagai berikut :

1) Dorongan ingin tahu besar.


2) Sering mengajukan pertanyaan yang baik.
3) Memberikan banyak gagasan atau usul terhadap suatu masalah.
4) Bebas dalam menyatakan pendapat.
35

5) Mempunyai rasa keindahan.


6) Menonjol dalam salah satu bidang seni.
7) Mempunyai pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya, tidak
mudah terpengaruh oleh orang lain.
8) Rasa humor tinggi.
9) Daya imajinasi kuat.
10) Keaslian (orisinalitas) tinggi (tampak dalam ungkapan gagasan,
karangan, dan sebagainya; dalam pemecahan masalah menggunakan
cara-cara orisinal, yang jarang diperlihatkan anak-anak lain).
11) Dapat bekerja sendiri.
12) Senang mencoba hal-hal baru.
13) Kemampuan mengembangkan atau memerinci suatu gagasan
(kemampuan elaborasi).

Dari uraian mengenai ciri-ciri kreativitas diatas maka dapat dipahami

bahwa seseorang dikatakan kreatif apabila dalam interaksinya dengan lingkungan

ciri-ciri dari kreativitas mendominasi dalam aktivitas kehidupannya, dan

melakukan segalanya dengan cara-cara yang unik. Semua ciri-ciri tersebut secara

konstruktif dapat dimunculkan dalam diri setiap individu, sebab setiap individu

memiliki potensi kreatif. Treffinger dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2013

mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kreatifitas, hal ini

memberikan makna bahwa setiap orang memiliki potensi kreatif dalam dirinya.

http://eko13.wordpress.com/2008/03/16/ciri-ciri-dan-faktor-yang-mempengaruhi-

kreativitas/.

B. Motivasi Belajar

1. Pengertian motivasi

Sebelum kita mengartikan apa itu motivasi, terlebih dahulu kita akan

membahas apa itu motivasi.


36

Pada dasarnya, motif merupakanpengertian yang melingkupi pengerak.

Alasan – alasan atau dorongan – dorongan dalam diri manusialah yang

menyebabkan manusia itu berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada

hakikatnya mempunyai motif. Juga tingkah laku yang disebut tingkah laku secara

refleks dan yang berlangsung secara otomatis mempunyai maksud

tertentumeskipun maksud itu tidak disadari oleh manusia. Motif manusia bisa

bekerja secara sadar dan juga secara tidak sadar. Untuk mengerti dan memahami

tingkah laku manusia dengan lebih sempurna, patutlah kita pahami dan mengerti

terlebih dahulu apa dan bagaimana motif – motifnya dari pada tingkah laku.

Menurut Alex Sobur (2011: 267) motif manusia merupakan dorongan,

hasrat, keinginan, dan tenaga penggerak lainnya, yang berasal dari dalam dirinya,

untuk melakukan sesuatu. Motif itu memberi tujuan dan arah kepada tingkah laku

kita. Juga berbagai kegiatan yang biasanya kita lakukan sehari – hari motif

tersendiri.

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian motif menurut Sherif &

Sheeif dalam Alex Sobur (2011: 267) misalnya, menyebut motif sebagai istila

generik yang meliputi semua faktor internal yang mengarah pada berbagai jenis

prilaku yang bertujuan, semua pengaruh internal, seperti kebutuhan (needs) yang

berasal dari fungsi – fungsi organisme, dorongan dan keinginan, aspirasi, dan

selera sosial, yang bersumber dari fungsi – fungsi tersebut. Giddens (alex 2011:

64) mengartikan motif sebagai impuls atau dorongan yang memberi energi pada

tindakan manusia sepanjang lintasnya kognitif/perilaku kearah pemuasan

kebutuhan. Menurut Giddens, motif tak harus dipersepsikan secara sadar. Ia lebih
37

merupakan suatu “keadaan perasaan”. Secara singkat. Nasution dalam Alex Sobur

menjelaskan bahwa motif adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk

melakukan sesuatu.

Dalam bukunya Management, Harold Koontz dan kawan – kawan

(Alex, 2011:632) , mengutip pendapat Berelson dan Steiner, mengemukakan

bahwa motif ‘is an inner state that energizes, activates, or moves (hence

‘motivation’), and that directs or channels behavion toward goals”. (adalah suatu

keadaan dari dalam yang memberi kekuatan, yang menggiatkan, atau yang

menggerakan, sehingga disebut ‘penggerakan’ atau ‘motivasi’, dan yang

mengarahkan atau menyalurkan perilaku kearah tujuan – tujuan).

Menurut Guralnik dalam alex sobur (2011:314) dalam Webster’s New

World Dictionary, “Motive: an inner drive, implus, etc., that causes one to act”

(Motif: suatu perangsang dari dalam, suatu gerak hati, dan sebagainya, yang

menyebabkan seseorang melakukan sesuatu).

Setelah melihat para ahli diatas bahwa motif itu adalah tujuan. Tujuan ini

disebut insentif (incentive). Adapun insentif bisa diartikan sebagai suatu tujuan

yang menjadi arah suatu kegiatan yang bermotif. Contoh motif, seperti telah

disinggung, adalah lapar (huger), maka insentifnya adalah makanan. Jadi motif

adalah suatu landasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat

sesuatu, melakukan tindakan, atau bersikap tertentu.

Selain motif , dalam psikologi dikenal pula istila motivasi. Sebenarnya,

motivasi merupakan istilah yang lebih umum yang menunjuk pada seluruh proses

gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri
38

individu, tingkah laku yang ditimbulkannya, dan tujuan atau akhir dari gerakan

atau perbuatan. Karena itu, bisa juga dikatakan bahwa motivasi berarti

membangkitkan motif, membangkitkan daya gerak, atau menggerakan seseorang

atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan

atau tujuan.

Sedangkan menurut pendapat Robert M. W. Travers, dalam Firman

Somantri (2010:30) menyatakan:

Motivasi merupakan peroses yang tidak dapat diamati, tetapi bisa


ditafsirkan melalui tingkat individu yang bertingkah laku, sehingga
motivasi merupakan konstruksi jiwa. Kedudukan motivasi sejajar dengan
sisi jiwa sebagai cipta ( kognisi ), karsa ( konasi ), dan rasa ( emosi ) yang
merupakan tridaya. Apabila cipta, karsa dan rasa yang melekat pada diri
seseorang, dikombinasikan dengan motivasi, dapat menjadi empat
dorongan kekuatan yang dapat mengarahkan individu mencapai tujuan dan
memenuhi kebutuhan.

Edward E. Lawler dalam Firman Somantri (2010:31) mengemukakan


bahwa:
Motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong atau menjadi penyebab
seseorang melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang dilakukan secara
sadar, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam keadaan
terpaksa seseorang mungkin saja melakukan suatu kegiatan yang tidak
disukai berupa kegiatan yang terpaksa dilakukan cenderung berlangsung
tidak efektif dan tidak efisien”.

Pakar sosial Abraham H. Maslow dalam Firman Somantri (2010:22)

berpendapat bahwa ada dua komponen utama untuk menganalisis motivasi

sebagai dasar tingkah laku individu, yaitu: (1) Komponen internal, merupakan

dorongan yang berdasarkan kebutuhan atau motif, dan (2) komponen tujuan yang

ingin dicapai. Dengan tercapainya tujuan berarti telah dipenuhi kebutuhan

individu. Sehubungan dengan itu Maslow mengemukakan bahwa studi motivasi

sebagian merupakan studi tentang tujuan, keinginan dan kebutuhan manusia.


39

Seseorang melaksanakan kecakapannya karena ada suatu motif. Jika motif

itu tidak timbul, belum tentu ia berbuat demikian. Di muka dikatakan bahwa pada

umumnya siswa itu rajin belajar. Akan tetapi, kalo seseorng siswa begitu takut

belajar, membaca buku hingga lewat tengah malam, tanpa menghiraukan atau

merasakan kantuk dan kelelahan, itu disebabkan adanya motif yang timbul

padanya. Contoh lain, jika terjadi suatu pembunuhan, misalnya, yang pertama –

tama timbul pada benak seseorang petugas kepolisian atau seseorang hamba

hukum ialah pertanyaan “apakah motif pembunuh itu”. Artinya, jika seseorang

membunuh, pasti ada motifnya.

Oleh sebab itu, pembahasan mengenai motivasi akan memberi jawaban

atas pertanyaan “mengapa” : “mengapa siswa harus tekun belajar”, “mengapa

petani harus bekerja keras”, “mengapa orang itu membunuh”, “mengapa dia

bersikap demikian’, “mengapa orang itu bertingkah laku aneh”, dan seterusnya.

Sesungguhnya, motivasi itu sendiri bukan merupakan suatu kekuatan yang

netral, atau kekuatan yang kebal terhadap pengaruh faktor – faktor lain, misalnya

pengalaman masa lampau, taraf inteligensi, kemampuan fisik, situasi lingkungan,

cita – cita hidup, dan sebagainya.

Dalam suatu motivasi, umumnya terdapat dua unsur pokok, yaitu unsur

dorongan atau kebutuhan dan unsur tujuan. Proses interaksi timbal balik antara

kedua unsur ini terjadi didalam diri manusia, namun dapat dipengaruhi oleh hal –

hal diluar diri manusia. Misalnya, keadaan cuaca, kondisi lingkungan, dan

sebagainya. Oleh karena itu, bisa saja terjadi perubahan motivasi dalam waktu
40

yang relatif singkat jika ternyata motivasi yang pertama mendapat hambatan atau

tidak mungkin terpenuhi.

Psikologi mengajukan pertanyaan tentang motivasi karena psikologi ingin

mengerti gejalah – gejalah psikis yang menjadi objek ilmu jiwa. Seperti setiap

ilmuan pengetahuan yang melebihi taraf deskripsi belaka, psikologi pun tidak

hanya memandang dan melukiskan objeknya, tetapi juga ingin mengerti.

“Mengerti” berarti mengetahui sebab – musababnya. Dan karena tingkah laku

manusia yang hendak dimengerti oleh psikologi, sebab – musababnya disebut

“motif” atau “motivasi”, mengingat manusia adalah makhluk berbudi. Karena itu,

Nico Syukur Dister OFM memakai “motif’’ tersebut sebagai “penyebab

psikologis yang merupakan sumber serta tujuan dari tindakan dan perbuatan

seorang manusia.

2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

Motivasi dapat dikelompokan berdasarkan sumbernya. Menurut Fouss dan

Troppmann (2008: 190) mengemukakan bahwa sumber motivasi berasal dari luar

(ekstrinsik) dan dari dalam (intrinsik).

1) Faktor Ekstrinsik. Faktor dari luar individu yang terbagi menjadi dua : a)

faktor sosial meliputi faktor manusia lain baik hadir secara langsung atau tidak

langsung. b) faktor non sosial meliputi keadaan udara, suhu udara, cuaca,

waktu, tempat belajar, dan lain-lain.

2) Faktor Intrinsik. Faktor dari dalam diri individu yang terbagi menjadi dua:

faktor fisiologis meliputi keadaan jasmani dan keadaan fungsi-fungsi

fisiologis dan faktor psikologis meliputi minat, kecerdasan, dan persepsi.


41

Menurut Sardiman (2010:4), ada beberapa bentuk dan cara untuk

menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah, antara lain :

a) Memberi angka, yang merupakan simbol dari kegiatan belajar.


b) Hadiah, hadiah juga dapat digunakan sebagai motivasi, tetapi tidak
selalu demikian. Karena hadiah untuk pekerjaan mungkin tidak akan
menarik bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat dalam
pekerjaan tersebut.
c) Saingan/kompetisi, persaingan dapat juga digunakan sebagai motivasi,
baik persaingan individual atau persaingan kelompok dapat
meningkatkan prestasi belajar.
d) Keterlibatan diri, keterlibatan diri ini menumbuhkan kesadaran pada
siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai
tantangan sehingga kerja keras dengan mempertaruhkan harga diri,
adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang sangat penting.
e) Memberi tes, para peserta didik akan giat belajar apabila mengetahui
akan adanya tes.
f) Mengetahui hasil, dengan mengetahui hasil apalagi terjadi kemajuan
akan mendorong peserta didik untuk giat belajar.
g) Pujian, sebagai hadiah yang positif yang sekaligus memberikan
motivasi yang baik.
h) Hukuman, sebagai hadiah yang negatif tetapi kalau diberikan secara
tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi.
i) Hasrat untuk belajar, berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk
belajar.
j) Minat, motivasi muncul karena adanya kebutuhan, begitu juga minat
sehingga tepatlah kalau minat merupakan motivasi yang pokok, proses
belajar itu akan berjalan lancar apabila disertai dengan minat.
k) Tujuan yang diakui, rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik
oleh peserta didik akan merupakan alat motivasi yang sangat penting.
Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, karena dirasa
sangat berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk
terus belajar.

Menurut Slavin (2009:45), cara meningkatkan motivasi intrinsik yaitu:

a) Membangkitkan Minat. Meyakinkan peserta didik tentang daya tarik


yang disajikan dan memperlihatkan manfaat dari pengetahuan tersebut.
b) Mempertahankan Keingintahuan. Menggunakan berbagai sarana untuk
lebih membangkitkan rangkaian pembelajaran.
c) Menggunakan berbagai cara penyajian yang menarik. Penggunaan
bahan-bahan yang menarik, misal dengan penggunaan film, mengajar
dengan menggunakan komputer.
42

Adapun prinsip-prinsip untuk memberikan insentif ekstrinsik untuk belajar

yaitu dengan:

a) Mengungkap harapan yang jelas. Peserta didik perlu mengetahui dengan tepat

apa yang diharapkan akan mereka lakukan, bagaimana mereka akan dievaluasi

dan apa saja nantinya konsekuensi keberhasilannya.

b) Memberikan umpan balik langsung. Umpan balik yang diberikan secara

langsung sangat penting, karena akan meningkatkan motivasi, apabila umpan

balik tidak diberikan maka nilai informasi dan motivasi akan berkurang.

c) Sering memberikan umpan balik. Umpan balik seharusnya sering disampaikan

kepada siswa untuk mempertahankan upaya terbaik mereka.

d) Meningkatkan nilai dan ketersediaan sarana motivasi ekstrinsik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi motivasi belajar antara lain: 1) Faktor eksternal: pemberian

angka/hadiah, adanya saingan/kompetisi, keterlibatan diri, pemberian ulangan,

mengetahui hasil, adanya pujian/umpan balik, adanya hukuman. 2) Faktor

internal : hasrat untuk belajar, minat, tujuan yang diakui.

C. Belajar

1. Pengertian Belajar

Bagi kebanyakan siswa, belajar berarti menggaris bawahi buku pelajaran

dengan stabilo kuning sambil mendengarkan alunan musik dari ruang lain. Atau,

bila menghadapi ujian akhir semester esok hari, belajar berarti minum kopi

sebanyak mungkin atau minum pil anti ngantuk dan menghabiskan sepanjang
43

malam untuk berusaha menjejali otaknya dengan semua bahan mata pelajaran

yang, sebetulnya, mesti dipelajari selama kurang lebih dua belas minggu

sebelumnya.

Kebiasaan belajar semacam itu, menurut pengamatan sepintas, biasanya

menghasilkan pemahaman yang cukup untuk bisa lepas dari masa percobaan

disekolah. Dan, karena kebiasaan itu diperkuat dengan cara tersebut, ada

kecenderungan untuk tetap terpelihara ( Fox dalam sardiman, 2014:78 ). Namun,

menurut Calhoun & Acocella (Alex, 2011: 181), “ The constitute the least

efficient way of learning,” kebiasaan itu merupakan cara yang paling tidak efisien

dalam belajar.

Belajar, menurut anggapan sementera orang, adalah proses yang terjadi

dalam otak manusia. Saraf dan sel – sel otak yang bekerja mengumpulkan semua

yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan lain – lain, lantas disusun oleh

otak sebagai hasil belajar. Itulah sebabnya, orang tidak bisa belajar jika fungsi

otaknya terganggu.

Belajar memang merupakan peristiwa yang terjadi dalam diri manusia.

Hingga kini, para ahli tidak mengetahui seratus persen bagaimana persis

terjadinya peristiwa itu. Pada masa lalu, ada ahli ada yang percaya bahwa

peristiwa belajar semata – mata merupakan proses kimia yang terjadi dalam sel –

sel, terutama dalam sel dan saraf otak. Pendapat ini kadang – kadang dirumuskan

terlalu ekstrem, seakan – akan manusia itu hanya kumpulan jasad kebendaan saja.

Ini adalah pengaruh pandangan hidup yang materialistik, yang artinya tidak

percaya adanya jiwa atau roh. Memang, ilmu pengetahuan sudah menemukan
44

bahwa terdapat bagian – bagian tubuh diotak maupun di berbagai kelenjar tubuh

yang sangat mempengaruhi daya ingat kita. Walau pun demikian, pendapat yang

metarialistik sudah ditinggalkan oleh karena tidak terbukti kebenarannya. Belajar

bukanlah semata – mata proses jasmaniah.

Sesungguhnya masalah belajar itu demikian kompleksnya, sehingga

apabila orang mengangap beberapa macam perilaku yang berbeda dapat

diistilakan secara umum sebagai belajar, tampak bahwa pendefinisian belajar

menjadi sangat kabur, karena didalamnya tercakup semua perilaku tersebut.

Bandingkan, misalnya, antara “belajar merasakan (sesuatu) “ dengan belajar “

pengantar psikologi “ sebelum ujian; kegiatan yang disebut terakhir ini melibatkan

konsentrasi, penerapan, dedikasi, dan frustrasi; sedangkan pada kegiatan yang

disebutkan pertama, kita tidak perlu duduk dan mempelajari prinsip – prinsip

persepsi dari berbagai buku. Meskipun begitu, untuk kedua kasus tersebut, sama –

sama menggunakan kata “ belajar “.

Secara singkat dan secara umum, belajar dapat diartikan sebagai “

perubahan prilaku yang relatif tetap sebagai hasil adanya pengalaman”. Disini,

tidak termasuk perubahan perilaku yang diakibatkan oleh kerusakan atau cacat

fisik, penyakit, obat – obatan, atau perubahan karena proses pematangan.

Pengertian belajar memang selalu berkaitan dengan perubahan, baik yang

meliputi keseluruhan tingkah laku individu maupun yang hanya terjadi pada

beberapa aspek dari kepribadian individu. Perubahan ini dengan sendirinya

dialami tiap – tiap individu atau manusia, terutama hanya sekali sejak manusia

dilahirkan. Sejak saat itu, terjadi perubahan – perubahan dalam arti perkembangan
45

melalui fase – fasenya. Dan karena itu pula, sejak saat itu berlangsung proses –

proses.

2. Berbagai Rumusan tentang Belajar

Para ahli berusaha merumuskan tentang belajar. Dibawah ini dikemukakan

beberapa perumusannya.

a. Dalam bukunya Conditioning and Instrumental Learning (Firman Somantri

2010:34), Walker mengemukakan arti belajar dengan kata – kata singkat,

yakni “perubahan perbuatan sebagai akibat dari pengalaman “. Definisi yang

singkat dan sederhana ini tampaknya mencakup segala sesuatu yang

diinginkaan dalam pengertian belajar. Ini jelas mencakup pengertian dari

variabilitas – variabilitas yang merupakan syarat mutlak bagi tiap – tiap

perubahan dari perbuatan. Selain itu, Walker menggunakan susunan kata “

perubahan perbuatan” berlawanan dengan “perbaikan perbuatan” yang lebih

banyak digunakan, sebab dalam belajar, orang dapat memperoleh, baik

kebiasaan – kebiasaan yang buruk maupun kebiasaan – kebiasaan yang baik.

Beranjak dari definisi yang dikemukakannya, itu ia menjelaskan, perkataan

“perbaikan” akan menghilangkan banyak problem yang menarik dan sulit dari

penyelidikan belajar. Kesulitan utama dari definisi ini, menurut Walker,

adalah terkadang “perubahan perbuatan yang terjadi sebagai akibat dari

pengalaman “ disebabkan berbagai faktor lain dari belajar. Dikatakan, sebelum

mencoba membuat definisi yang lebih saksama, kita akan meninjau beberapa

dari faktor ini kemasakan (kematangan), kelelahan, motivasi, dan perubahan –

perubahan dalam stimulus.


46

b. C. T. Morgan, dalam Introduction to Psychology merumuskan belajar sebagai

“ suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau

hasil dari pengalaman yang lalu”. Menurut Morgan, berbagai perubahan

tingkah laku yang bisa diamati pada perkembangan seseorang sejak bayi

hingga dewasa, terdapat tiga hal, yaitu :

1) Perubahan yang terjadi karena adanya proses-proses fisiologis,


misalnya sakit, penyakit.
2) Perubahan yang terjadi karena adanya proses-proses pematangan
(maturation).
3) Perubahan yang terjadi karena adanya proses-proses belajar.

Bertitik tolak dari definisi ini, mereka selanjutnya menjelaskan bahwa

belajar merupakan proses yang benar-benar bersifat intenal. Belajar, menurut

Good & Bophy, adalah suatu proses yang tidak bisa dilihat dengan nyata. Proses

itu terjadi dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar.

Jadi yang dimaksud dengan belajar, menurut pandangan mereka, bukanlah

suatu tingkah lakuyang tampak, tetapi terutama prosesnya yang terjadi secara

internal pada individu dalam usaha memperoleh berbagai hubungan baru.

Hubungan – hubungan baru itu bisa berupa : hubungan antar perangsang antara

reaksi, atau antara perangsang dan reaksi.

c. Crow & Crow, dalam buku Education Psychology (Soepartinah pakasi

2010:4) menyatakan:

learning is acquisition of habits, knowledge, and attitude, Belajar adalah


memperoleh kebiasaan – kebiasaan, pengetahuan, dan sikap. Menurut
mereka, hal – hal yang dirumuskan diatas meliputi cara – cara yang baru
guna melakukan suatu upaya memperoleh penyesuaian diri terhadap
situasi yang baru. Belajar, dalam pandangan Crow & Crow, menunjuk
adanya perubahan yang progresif dari tingkah laku. Belajar dapat
memusatkan minat individu untuk mencapai tujuan.
47

d. Dalam bukunya The Psychology of learning and Memory (Soepartinah pakasi

2010:5 ) Hintzman berpendapat:

learning is a change in organisis due to experience which can affect the


organism’s behavior , belajar ialah suatu perubahan yang terjadi dalam
diri organisme disebabkan pengalaman tersebut yang bisa memengaruhi
tingkah laku organisme itu”.

Dengan demikian, menurut Hintzman, perubahan yang disebabkan

pengalaman tersebut baru bisa disebut belajar jika memengaruhi organisme.

Hintzman lebih lanjut menjelaskan bahwa pengalaman hidup sehari – hari, dalam

bentuk apa pun, amat memungkinkan untuk diartikan sebagai belajar. Mengapa ?

sebab, menurutnya, samapi batas tertentu, pengalaman hidup juga mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan.

e. Dalam bukunya Introduction to Psychology, Atkinson dan kawan – kawan

mendefinisikan belajar sebagai “Perubahan yang relatif permanen pada prilaku

yang terjadi akibat latihan”. Atkinson tidak memasukan perubahan prilaku

yang terjadi karena maturasi (bukannya latihan), atau pengondisian sementara

sesuatu organisme (seperti kelelahan atau akibat obat). Mereka berpendapat

bahwa semua kasus belajar tidaklah sama.

f. Hilgard & Bower dalam dalam Theories of learning, seperti dikutip Purwanto

(2008:8), mengemukakan :

Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap


situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang –
ulang dalam situasi itu, dan perubahan tingkah laku tersebut tidak dapat
dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau
keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, atau pengaruh obat ).
48

Berdasarkan beberapa rumusan definisi diatas, bisa dikemukakan beberapa

unsur penting yang menjadi ciri – ciri diatas pengertian mengenai belajar, yaitu

berikut ini:

1) Situasi belajar mesti bertujuan, dan tujuan – tujuan tersebut diterima, baik oleh

individu maupun masyarakat.

2) Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, dan perubahan itu

bisa mengarah pada tingkah laku yang lebih baik, akan tetapi juga ada

kemungkinan mengarah pada tingkah laku yang lebih buruk.

3) Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan

pengalaman, dalam arti, perubahan – perubahan yang disebabkan oleh

pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar.

4) Untuk bisa disebut belajar, perubahan itu harus relatif mantap, harus

merupakan akhir dari pada priode waktu yang cukup panjang. Seberapa lama

priode waktu itu berlangsung, sulit ditentukan dengan pasti, namun perubahan

itu hendaknya merupakan akhir dari suatu priode yang mungkin berlangsung

berhari – hari, berbulan – bulan, atau pun bertahun – tahun. Ini berarti kita

harus mengenyampingkan perubahan – perubahan tingkah laku yang

disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau

kepekaan seseorang yang biasanya hanya berlangsung sementar.

5) Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspek –

aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti : perubahan dalam

pengertian, pemecahan suatu masalah, keterampilan, kecakapan, sikap,

ataupun kebiasaan.
49

3. Belajar sebagai Suatu Proses

Apakah yang dimaksud dengan proses itu? Proses,yang sering kita

gunakan dalam percakapan sehari – hari, adalah kata yang berasal dari bahasa

latin “processus”, yang artinya “berjalan kedepan”. Kamus Besar Bahasa

Indonesia mengartikan proses sebagai :

1) Runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu.


2) Rangkaian tindakan, pembuatan, atau pengolahan yang menghasilkan
produk.
3) Perkara dipengadilan.

Dalam konteks belajar, tentu saja yang dimaksud proses disini jika kita

mengacu pada kamus diatas adalah pada pengertian yang pertama. Kata ini, kalau

kita cermati, mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan yang mengarah

pada suatu sasaran atau tujuan. Chaplin dalam Dictionary of psychology nya

menjelaskan proses itu sebagai “Any change in any object or organism,

particularly a behavioral or psychologycal change”. Jadi proses ialah suatu

perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan. Selanjutnya, yang

dimaksud istilah “proses belajar” adalah “cara – cara atau langkah – langkah yang

memungkinkan timbulnya beberapa perubahan serta tercapainya hasil – hasil

tertentu.

Dengan demikian, jelas bahwa belajar pada dasarnya bukanlah suatu

tujuan atau benda, tetapi merupakan suatu proses kegiatan untuk mencapai tujuan.

Pengertian proses disini lebih merupakan “cara” mencapai tujuan atau benda.

Inilah langkah – langkah atau prosedur yang ditempuh. Dalam belajar, setiap

kegiatan saling berinteraksi atau saling mempengaruhi.


50

Pada hakikatnya, belajar adalah suatu proses kejiwaan atau peristiwa

pribadi yang terjadi didalam diri setiap individu. Proses belajar itu sendiri, apabila

berjalan dengan baik, kelak akan memberi hasil, yang kita sebut “hasil belajar”.

Hasil belajar itu tidak akan bisa kita capai jika dalam diri kita sendiri tidak terjadi

proses belajar. Jadi, kita tidak usah heran apabila kita merasa tidak mencapai hasil

apa – apa jika memang dalam diri kita tidak pernah terjadi proses belajar itu.

Kalau proses itu berlangsung kurang mantap, hasilnya pun tidak akan

memuaskan.

Proses dalam belajar merupakan faktor yang paling penting. Proses

sebetulnya menekankan kreativitas. Pada umumnya, proses berkenaan dengan

cara belajar berkembang, bagaimana siswa bergaul dengan guru, bagaimana siswa

terlibat dalam proses itu.

Soepartinah Pakasi dalam bukunya Anak dan Perkembangannya

(Soepartinah pakasi 2010:27) menguraikan beberapa sifat proses belajar sebagai

berikut:

1) Belajar merupakan suatu interaksi antara anak dan lingkungan. Dari


lingkungannya, si anak memilih apa yang ia butuhkan dan apa yang
dapat ia pergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Menyediakan suatu lingkungan belajar yang kaya dengan stimulus
(perangsangan – perangsangan) berarti membutuhkan anak dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Lagi pula, kesanggupan memilih
apa yang ia butuhkan dan perlukan, sesuai dengan minat dan
kesanggupannya, membawa anak kearah kesanggupan untuk
menggarahkan diri. Dikatakan bahwa lingkungan yang tidak dapat
mengadakan stimulus, menghambat perkembangan anak.
2) Belajar berarti berbuat. Belajar adalah suatu kegiatan. Dengan
bermain, berbuat, bekerja dengan alat – alat, banyak hal menjadi jelas.
Sebab, dengan berbuat, anak menghayati sesuatu dengan seluruh indra
jiwanya. Konsep – konsep menjadi terang dan dipahami oleh anak,
sehingga betul – betul menjadi milik anak. Di sini menjadi jelas arti
perlengkapan yang ada didalam dan diluar kelas.
51

3) Belajar berarti “mengalami”. Dengan mengalami berulang – ulang,


perbuatan menjadi makin efektif, teknik menjadi makin lancar, konsep
makin lama makin terang, dan generalisasi makin mudah disimpulkan.
Belajar adalah pertumbuhan dan pertumbuhan memerlukan waktu dan
pengalaman.
4) Belajar adalah suatu aktivitas yang bertujuan. Belajar adalah suatu
aktivitas yang dilakukan anak karena adanya dorongan akan
kesibukan. Dorongan ini membawa anak ketingkat perkembangan
yang dibutuhkan untuk memahami lingkungannya, agar ia dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan itu. Nyatalah disini bahwa
belajar adalah suatu aktivitas yang bertujuan, suatu kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan.
5) Belajar memerlukan motivasi. Pemenuhan kebutuhan merupakan
motivasi untuk melakukan suatu kegiatan. Banyak jenis kebutuhan,
antara lain kebutuhan untuk mengetahui dan menyelidiki, kebutuhan
untuk memperbaiki prestasi, kebutuhan untuk mendapat kepuasan atas
hasil pekerjaan. Hal ini berarti untuk merangsang motivasi, kita
hendaknya: a) merencanakan kegiatan belajar dengan
memperhitungkan kebutuhan, minat, dan kesanggupan murid; b)
menggunakan perencanaan bersama dengan anak – anak.
6) Belajar memerlukan kesiapan pada pihak anak. Kesiapan ini
merupakan suatu keadaan rohania (emosional, intelektual, dan sosial).
Dalam keadaan ini, anak merasa siap dan sanggup untuk menerima
tugas perkembangan atau pelajaran baru. Kesiapannya menyatakan
bahwa ia sudah “matang”, sudah menguasai apa yang diperlukan untuk
menerima tugas perkembangan atau pelajaran (pengalaman) baru.
Dengan kata lain, ia sudah siap, karena telah menguasai tingkat
pelajaran yang diperlukan untuk menerima tingkat berikutnya.
Kesiapan ini adalah ayarat penting untuk kelancaran berikutnya.
Kesiapan ini adalah syarat penting untuk kelancaran jalannya proses
belajar.
7) Belajar memerlukan kesiapan pada pihak anak. Belajar merupakan
aktivitas yang membawa anak dari tingkat berpikir konkret menjadi
tingkat berpikir abstrak. Pada suatu saat dalam perkembangannya,
anak harus berpikir secara abstrak. Apabila menetap pada tingkat
kogkret, proses berpikir anak akan terhambat. Lingkungan hidupnya
yang makin meluas, memaksanya meninggalkan taraf konkret itu. Lagi
pula, pengertian dan konsep adalah hal – hal yang abstrak. Misalnya,
tidak mungkin anak terus – menerus memerlukan benda – benda dalam
konsepnya tentang bilangan 5. Satu kali bilang itu harus dilepaskan
dari keterikatnya pada benda. Demikian pula dengan pengertian lain.
8) Belajar bersifat integratif. Sejak dilahirkan, anak merupakan suatu
totalitas dalam perkembangannya. Secara total, ia mengadakan
interaksi dengan lingkungannya dan segala sesuatu mempengaruhinya
secara total. Demikian juga hanya dengan hasil – hasil belajarnya.
Hasil yang diperolehnya itu tidak “ditambahkan” pada apa yang telah
52

ada didalam dirinya. Tidak demikian, pengalaman baru itu dijalankan


dalam rangka pengalaman – pengalaman yang sudah ada padanya,
pengertian – pengertianya, kecakapan – kecakapannya, sikapnya, dan
tingkah lakunya. Dijalinkan artinya disatukan dengan yang sudah ada
sehingga menjadi bagian yang organis dari kepribadiannya.

4. Faktar – Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Secara garis besar, faktor – faktor yang mempengaruhi belajar anak atau

individu dapat dibagi dalam dua bagian:

1) Faktor endogen atau disebut juga faktor internal, yakni semua faktor yang

berada dalam diri individu. Faktor endogen atau faktor yang berada dalam diri

individu meliputi dua faktor, yakni faktor fisik dan faktor psikis.

a) Faktor Fisik

Faktor fisik ini bisa kita kelompokan lagi menjadi beberapa kelompok,

antara lain faktor kesehatan. Umumnya anak yang kurang sehat atau kurang gizi,

daya tangkap dan kemampuan belajarnya akan kurang dibandingkan dengan anak

yang sehat.

Selain faktor kesehatan, ada faktor lain yang penting, yaitu cacat – cacat

yang dibawa sejak anak berada dalam kandungan. Keadaan cacat ini juga bisa

menghambat keberhasilan seseorang. Misalnya orang tersebut bisu, tuli sejak lahir

atau menderita epilepsi bawaan dan gegar otak karena jatuh.

Untuk mengatasi kemungkinan timbulnya masalah pendengaran atau

penglihatan, pihak guru seyogiannya bekerja sama dengan pihak sekolah untuk

memperoleh bantuan pemeriksaan rutin dari dinas – dinas kesehatan setempat.

Bagaimana pun, daya pendengaran dan penglihatan anak yang rendah akan

menyulitkan sensory register dalam penyerap item – item informasi yang bersifat
53

echoic dan econic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah

terhambatnya information processing yang dilakukan oleh sistem memori anak

tersebut.

b) Faktor Psikis

Banyak faktor termasuk aspek psikis yang bisa memengaruhi kuantitas

dan kualitas perolehan pembelajaran. Diantara begitu banyak faktor psikis, yang

paling banyak atau paling sering disoroti pada saat ini adalah faktor – faktor

berikut:

(1) Faktor inteligensi atau kemampuan

Pada dasarnya, manusia itu berbeda satu sama lain. Salah satu perbedaan

itu adalah dalam hal kemampuan atau inteligensi. Kenyataan menunjukan, ada

orang yang dikaruniai kemampuan tinggi, sehingga mudah mempelajari sesuatu.

Dan, sebaliknya, ada orang yang kemampuannya kurang, sehingga mengalami

kesulitan untuk mempelajari sesuatu. Dengan demikian, perbedaan dalam

mempelajari sesuatu disebabkan, antara lain, oleh perbedaan pada taraf

kemampuannya. Kemampuan ini penting untuk mempelajari sesuatu.

(2) Faktor perhatian dan minat

Bagi seorang anak, mempelajari satu hal yang menarik perhatian akan

lebih muda diterima dari pada pembelajaran hal yang tidak menarik perhatian.

Dalam penyajian pelajaran pun, hal ini tidak bisa diabaikan, terutama anak kecil.

Anak – anak akan tertarik pada hal – hal yang baru dan menyenangkan. Dalam hal

minat, tentu saja seseorang yang menaruh minat pada suatu bidang akan lebih

mudah mempelajari bidang tersebut. Keinginan atau minat dan kemauan sangat
54

memengaruhi corak perbuatan yang akan diperlihatkan seseorang. Sekalipun

seseorang itu mampu mempelajari sesuatu, tetapi bila tidak mempunyai minat,

tidak mau, atau tidak ada kehendak untuk mempelajari, ia tidak akan bisa

mengikuti proses belajar.

(3) Faktor bakat

Pada dasarnya bakat itu mirip dengan inteligensi. Itulah sebabnya

seseorang anak yang memiliki inteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar

biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat.

Bakat setiap orang berbeda – beda. Orang tua terkadang kurang memperhatikan

faktor bakat ini, sehingga mereka memaksakan kehendaknya untuk

menyekolahkan anaknya pada bidang keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih

dahulu bakat yang dimiliki anaknya itu. Pemaksaan kehendak terhadap anak tentu

saja akan berpengaruh buruk terhadap prestasi anak yang bersangkutan.

(4) Faktor motivasi

Motivasi adalah keadaan internal organisme yang mendorongnya untuk

berbuat sesuatu. Karena belajar merupakan suatu proses yang timbul dari dalam,

faktor motivasi memegang peran pula. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik

yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang

bersemangatnya akan dalam melakukan proses pembelajaran materi – materi

pelajaran, baik disekolah maupun dirumah.

(5) Faktor kematangan

Kematangan adalah tingkat perkembangan pada individu atau organ –

organnya sehingga sudah berfungsi sebagaimana semestinya. Dalam proses


55

belajar, kematangan atau kesiapan ini sangat menentukan. Oleh karena itu, setiap

usaha belajar akan lebih berhasil bila dilakukan bersama dengan tingkat

kematangan individu. Kematangan ini erat sekali hubungannya dengan masalah

minat dan kebutuhan anak.

(6) Faktor kepribadian

Faktor kepribadian seseorng turut memegang peranan dalam belajar.

Orang tua terkadang melupakan faktor ini, yaitu bahwa anak adalah makhluk kecil

yang memiliki kepribadian sendiri. Dalam proses pembentukan kepribadian ini,

ada beberapa fase yang harus dilalui. Seseorang anak yang belum mencapai fase

tertentu akan mengalami kesulitan jika ia dipaksa melakukan hal – hal yang

terjadi pada fase berikutnya. Anak yang memasuki fase sekolah sudah mulai

tertarik pada hal – hal yang baru dan dapat melepaskan diri dari orang tua dalam

waktu yang terbatas tanpa menyebabkan ketegangan bagi sianak. fase ini makin

berkembang dan anak memasuki masa sekolah, dalam arti kata anak mulai belajar

membaca dan berhitung, pada fase ini, anak sudah tidak terlalu egosentrik dalam

pemikirannya. Semangkin berkembang kepribadiannya, semangkin membantu

dalam mengatasi hambatan – hambatan yang dialaminya.

2) Faktor eksogen atau disebut juga faktor eksternal, yakni semua faktor yang

berada di luar diri individu, misalnya orang tua dan guru, atau kondisi

lingkungan disekitar individu.

Kedua faktor diatas, dalam banyak hal, acap kali saling berkaitan dan

memengaruhi satu sama lain. Seperti sudah dijelaskan, faktor eksogen berasal dari

luar diri anak. Faktor eksogen sebetulnya meliputi banyak hal, namun secara garis
56

besar kita bisa membaginya dalam tiga faktor, yakni: a) faktor keluarga, b) faktor

sekolah, dan c) faktor lingkungan lain, di luar keluarga dan sekolah.

a. Faktor keluarga

Menurut pandangan sosiologis, keluarga adalah lembaga sosial terkecil

dari masyarakat. Pengertian keluarga ini menunjukan bahwa keluarga merupakan

bagian dari masyarakat; bagian ini menuntutkan keseluruh masyarakat.

Pada setiap masyarakat, keluarga merupakan prantara sosial yang sangat

penting artinya bagi kehidupan sosial. Keluarga merupakan kelompok sosial

pertama – tama dalam kehidupan manusia tempat ia belajar dan menyatakan diri

sebagai manusia sosial didalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Dalam

keluarganya, yang interaksi sosialnya berdasarkan simpat, seorang anak pertama –

tama belajar memperhatikan keinginan – keinginan orang lain, belajar bekerja

sama, bantu – membantu; dengan kata lain, anak pertama – tama belajar

memegang peranan sebagai makhluk sosial yang mempunyai norma – norma dan

kecakapan – kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain.

Faktor keluarga sebagai salah satu penentu yang berpengaruh dalam

belajar, dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni: a) kondisi ekonomi keluarga, b)

hubungan emosional orang tua dan anak, serta c) cara – cara orang tua mendidik

anak.

b. Faktor sekolah

Faktor lingkungan sosial sekolah seperti para guru, pegawai administrasi,

dan teman – teman sekolah, dapat memengaruhi semangat belajar seorang anak.

Dalam belajar disekolah, faktor guru dan cara mengajarnya merupakan faktor
57

yang penting pula. Bagaimana sikap dan kepribadian guru, tinggi rendahnya

pengetahuan yang dimiliki guru, dan bagaimana cara guru mengajarkan

pengetahuan kepada anak didiknya, bisa turut menentukan hasil belajar yang

dapat dicapai anak.

Faktor lain yang membantu kesungguhan belajar anak disekolah

adalah faktor disiplin, sudah tentu anak – anak tidak akan serius dalam belajar,

sehingga mutu pelajarannya akan menurun.

c. Faktor lingkungan lain

Anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang baik, memiliki

inteligensi yang baik, bersekolah disuatu sekolah yang keadaan guru – gurunya

serta alat – alat pelajarannya baik, belum tentu pula menjamin anak belajar dengan

baik. Masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya. Misalnya,

karena jarak antara rumah dan sekolah itu terlalu jauh, sehingga memerlukan

kendaraan untuk keperluan perjalanan yang relatif cukup lama, dan ini melelahkan

anak yang bisa berakibat pada proses dan hasil belajar anak.

Selain itu, faktor teman bergaul dan aktivitas dalam masyarakat dapat pula

mempengaruhi kegiatan belajar anak. Aktivitas diluar sekolah memang baik untuk

membantu perkembangan seorang anak. Namun, tidak semua aktivitas dapat

membantu anak. Jika seorang anak terlalu banyak melakukan aktivitas diluar

rumah dan diluar sekolah, sementara ia kurang mampu membagi waktu belajar,

dengan sendirinya aktivitas tersebut akan merugikan anak karena kegiatan

belajarnya menjadi terganggu.

Anda mungkin juga menyukai