T1 - 262011885 - Bab Ii
T1 - 262011885 - Bab Ii
T1 - 262011885 - Bab Ii
KAJIAN PUSTAKA
1
3. Guru menyampaikan aturan main (rule of game) serta semua hal, tahapan atau
langkah yang harus dilaksanakan dalam kegiatan perdebatan nanti.
4. Guru membagi 2 (dua) kelompok siswa yang saling berhadapan, yakni pro
(setuju) dan pihak kontra (tidak setuju) dengan jumlah anggota yang sama.
5. Guru mengingatkan kembali cara-cara berkomunikasi dan berpendapat yang
efektif dan benar serta poin-poin utama yang harus siswa pegang dari kegiatan
debat.
6. Setelah itu guru menunjuk salah satu anggota kelompok untuk
berbicara/menyampaikan pemikirannya kemudian ditanggapi/dibahas oleh
kelompok yang lawan, demikian seterusnya sampai diharapkan seluruh siswa
bisa mengemukakan pendapatnya.
7. Sementara siswa menyampaikan gagasannya guru menulis pointer/inti ide-ide
dari setiap siswa di lembar/catatan guru yang ditempel di tembok, baik yang pro
ataupun yang kontra. Dari catatan ini guru dapat melihat distribusi siswa yang
aktif dan yang kurang/tidak aktif.
8. Untuk mempermudah proses pencatatan ide dan nama-nama siswa selama
perdebatan berlangsung guru memberikan semacam Kartu pengenal bernomor
yang berbeda warna pada 2 kelompok tersebut.
2
6. Perdebatan membawa siswa untuk belajar mengenali unsur-unsur
argumen yang baik dan mengembangkan kemampuan berbicara sehingga
mereka lebih percaya diri.
Metode debate itu kelebihannya adalah (Roestiyah, 2008:148-149):
1. Metode ini dapat menyajikan kedua segi permasalahan,
2. Mendorong adanya analisis dari kelompok,
3. Menyampaikan fakta dari dua sisi masalah,
4. Membangkitkan motivasi siswa,
5. Dapat dipakai pada kelompok besar.
3
Tujuan pembelajaran yang merupakan wujud hasil belajar
menggambarkan bentuk tingkah laku atau kemampuan yang diharapkan dapat
dimiliki siswa setelah proses pembelajaran (Hakiim, 2009:100). Rumusan tujuan
pembelajaran dapat dibuat dalam berbagai macam cara. Seringkali terjadi rumusan
tujuan itu menggambarkan apa yang akan dilakukan guru dalam proses
pembelajaran. Jika rumusan semacam ini dibuat, tidak memberi tuntutan kepada
siswa untuk belajar sehingga memperoleh hasil tertentu. Dengan singkat kata dapat
dikemukakan bahwa rumusan tujuan harus menggambarkan bentuk hasil belajar
yang ingin dicapai siswa melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Bentuk perilaku sebagai tujuan digolongkan ke dalam tiga klasifikasi.
Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan menamakan cara mengklasifikasikan itu
dengan taksonomi Bloom. Yang teridiri dari: (1) tercapainya tujuan pembelajaran,
(2) minat siswa, aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika, (3) berhitung
dengan cepat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil belajar mengacu pada segala sesuatu yang menjadi milik siswa
sebagai akibat dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan (Hernawan, 2007;10.20).
Jenis-jenis hasil belajar menurut Bloom (dalam Hernawan, 2007;10.29) antara lain:
1. kognitif, yaitu hasil belajar yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan
otak dan penalaran siswa,
2. afektif, yaitu hasil belajar mengacu pada sikap dan nilai yang diharapkan
dikuasai siswa setelah mengikuti pembelajaran
3. psikomotor, yaitu hasil belajar yang mengacu pada kemampuan bertindak.
Adapun dalam penelitian ini fokus hasil belajar pada aspek kognitif.
4
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar adalah berbagai kondisi yang
berkaitan dengan proses belajar yakni kondisi eksternal dan kondisi internal.
Kondisi eksternal adalah faktor di luar diri siswa seperti: (1) lingkungan
sekolah, (2) guru, (3) teman sekolah, (4) orang tua, (5) masyarakat.
Kondisi eksternal terdiri dari 3 prinsip belajar yaitu: (1) memberikan situasi
atau materi yang sesuai dengan respons yang diharapkan, (2) pengulangan agar
belajar lebih sempurna dan lebih lama diingat, (3) penguatan respons yang tepat
untuk mempertahankan dan menguatkan respons itu.
Kondisi internal adalah faktor dalam diri siswa yang terdiri atas: (1)
motivasi yang positif dan rasa percaya diri dalam belajar, (2) tersedia materi yang
memadai untuk memancing aktivitas siswa, (3) adanya strategi dan aspek-aspek
jiwa siswa.
Faktor eksternal lebih banyak ditangani pendidik sedangkan faktoe
internal dikembangkan sendiri oleh siswa dengan bimbingan guru. Dalam belajar
Bahasa kedua faktor ini harus diperhatikan.
5
ataupun terbatas/khusus. Dalam pengertian luas, belajar dapat diartikan sebagai
kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam
arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu
pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian
seutuhnya. Relevan dengan ini ada pengertian bahwa belajar adala penambahan
pengetahuan. Definisi ini dalam konsp praktiknya banyak dianut di sekolah-sekolah.
Para guru berusaha memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan siswa
giat untuk mengumpulkan/menerimanya. Dalam kasus yang demikian guru hanya
berperan sebagai pengajar. Sebagai konsekuensi dari pengertian yang terbatas ini
kemudian muncul banyak pendapat yang mengatakan bahwa belajar itu menghafal.
Hal itu terbukti misalnya kalau siswa (subjek belajar) itu akan ujian, mereka akan
menghafal terlebih dahulu. Sudah barang tentu pengertian seperti ini secara esensial
belum memadai.
Selanjutnya ada yang mendefinisikan belajar adalah berubah. Dalam hal ini
yang dimaksudkan belajar berarti usaha mengubah tingkah laku. Jadi belajar akan
membawa suatu perubahan pada individu-individu yang belajar. Perubahan tidak
hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk
kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, penyesuaian
diri. Jelasnya menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor (Sardiman, 2011:21).
Ada beberapa teori yang berpendapat bahwa proses belajar pada
prinsipnya bertumpu pada struktur kognitif, yakni penataan fakta, konsep serta
prinsip-prinsip, sehingga membentuk satu kesatuan yang memiliki makna bagi subjek
didik. Teori semacam ini boleh jadi diterima, dengan suatu alasan bahwa dari strujtur
kognitif itu dapat memengaruhi perkembangan afeksi ataupun penampilan seseorang.
Dari konsep ini, pada perkembangan berikutakan melahirkan teori belajar yang
bertumpu pada konsep pembentukan super ego, yakni suatu proses belajar melalui
suatu peniruan, proses interaksi antara pribadi seseorang dengan pihak lain.
Yang perlu ditegaskan adalah siapapun yang menjadi figur untuk ditiru, bagi
si peniru akan mendapatkan pengalaman yang berguna bagi dirinya. Semakin banyak
orang itu belajar melalui peniruan tokoh, semakin banyak pula pengalaman yang
diperoleh. Sesuai dengan konsep super ego, maka pengalaman yang diperoleh
6
subjek didik akan banyak menyangkut segi moral. Hal ini sesuai dengan penegasan
Brend bahwa struktur kepribadian individu manusia itu terdiri dari tiga komponen yang
dinamakan id, ego dan super ego. Id lebih menekankan pemenuhan nafsu, super ego
lebih bersifat sosial dan moral, sedang ego akan menjembatani antara keduannya,
terutama kalau berkembang menghadapi lingkungannya, atau dalam aktivitas belajar.
Menurut konsep super ego, bagaimana seorang belajar itu dapat membina moralitas
dirinya, yang mungkin melalui interaksi dengan pribadi-pribadi manusia yang lain.
Secara umum, belajar boleh dikatakan juga sebagai suatu proses interaksi
antara diri manusia (id-ego-super ego) dengan lingkungannya, yang mungkin
berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori. Dalam hal ini terkandung suatu maksud
bahwa proses interaksi itu adalah proses internalisasi dari sesuatu ke dalam diri yang
belajar dan dilakukan secara aktif dengan segenap panca indera ikut berperan
(Sardiman, 2011:22).
Proses internalisasi dan dilakukan secara aktif dengan segenap panca
indera perlu follow upnya yakni proses sosialisasi. Proses sosialisasi dalam hal ini
dimaksudkan mensosialisasikan atau menginteraksikan atau menularkan kepada
pihak lain. Dalam proses sosialisasi, karena berinteraksi dengan pihak lain sudah
barang tentu melahirkan suatu pengalaman. Dari pengalaman yang satu ke
pengalaman yang lain, akan menyebabkan proses perubahan pada diri seseorang.
Belajar adalah perubahan tingkah laku. Orang yang tadinya tidak tahu setelah belajar
menjadi tahu. Jelasnya proses belajar senantiasa merupakan perubahan tingkah laku
dan terjadi karena hasil pengalaman. Oleh karena itu dapat dikatakan terjadi proses
belajar apabila seseorang menunjukkan tingkah laku yangberbeda. Sebagai contoh
misalnya seorang yang belajar itu dapat membuktikan pengetahuan tentang fakta-
fakta baru atau dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya ia tidak dapat
melakukannya. Jadi belajar menempatkan seseorang dari status abilitas yang satu ke
tingkat abilitas yang lain.
7
berdebat bersama temannya siswa akan mampu menguasai materi pembelajaran yang
ingin dicapai dalam pembelajaran.sehingga hasil belajar dapat maksimal.
Untuk membangkitkan analisa, siswa dilatih untuk menganalisa sesuatu masalah
dalam mencari kemungkinan-kemungkinan jalan keluar dari masalah yang dihadapi itu.
Mengingat pula adanya pendapat yang berbeda-beda perlu disampaikan pada siswa serta
kesediaan siswa untuk mendengarkan kedua segi permasalahan, sehingga dari
pandangan yang betbeda-beda itu mereka dapat menyerap hasilnya untuk dirumuskan
sebagai hasil perdebatan merupakan kesimpulan/keputusan.
Menurut Roestiyah metode debate memiliki keunggulan: (1) dengan perdebatan
yang sengit akan mempertajam hasil pembicaraan, (2) kedua segi masalah dapat
disajikan, yang memiliki ide dan yang mendebat/menyanggah sama-sama berdebat untuk
menemukan hasil yang lebih tepat mengenai sesuatu masalah, (3) siswa dapat terangsang
untuk menganalisa masalah di dalam kelompok, asal terpimpin sehingga analisa itu
terarah pada pokok permasalahan yang dikehendaki bersama, (4) dalam pertemuan debat
itu siswa dapat menyampaikan fakta dari kedua sisi masalah, kemudian diteliti fakta mana
yang benar/valid dan bias dipertanggungjawabkan, (5) karena terjadi pembicaraan aktif
antara penyampai dan penyanggah maka akan membangkitkan daya tarik untuk turut
berbicara, turut berpartisipasi mengeluarkan pendapat, (6) bila masalah yang
diperdebatkan menarik, maka pembicaraan itu mampu mempertahankan minat anak untuk
terus mengikuti perdebatan itu, (7) untungnya pula metode ini dapat dipergunakan pada
kelompok besar.
8
Dari proses latihan ke proses bermakna dan dilanjutkan proses berpikir intuitif
dan analitik merupakan usaha yang luar biasa untuk selalu meningkatkan mutu
pembelajaran. Reaksi-reaksi positif untuk perubahan mempunyai dampak perkembangan
kurikulum sekolah yang dinamis.
Metode debate adalah model belajar dengan sintaks siswa menjadi 2 kelompok
kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh
masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu
kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu seterusnya secara
bergantian, guru membimbing, membuat kesimpulan dan menambahkannya bila perlu.
Dengan demikian siswa diajak untuk belajar mandiri dan mengujinya secara mandiri pula
dengan dibimbing guru. Pola pembelajaran seperti ini akan memberikan kebermaknaan.
Berdasarkan kenyataan di atas maka diduga metode debate dapat
meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas VI SDN 1 Gondangmanis
Kecamatan Bae Kabupaten Kudus Semester 1 Tahun Pelajaran 2012/2013.
Secara rinci tercermin pada skema di bawah ini:
Gambar 2.1
Skema Kerangka Berpikir Penelitian
Pra Siklus
Guru menggunakan metode
pembelajaran konvensional
hasil belajar matematika siswa
rendah
Siklus I
Guru menggunakan metode
debate hasil belajar matematika
siswa sedikit meningkat
Siklus II
Guru menggunakan metode
debate hasil belajar matematika
siswa meningkat