Anda di halaman 1dari 11

Jalur Transmisi Kebijakan Moneter

1. Suku Bunga Acuan (BI Rate)

BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan
moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate
diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan
dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui
pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran
operasional kebijakan moneter.

Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga


Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini
diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku
bunga kredit perbankan. Dengan menurunkan BI Rate maka Bank Indonesia telah
menerapkan kebijakan moneter yang agak longgar. Tujuan akhir kebijakan moneter adalah
menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat
inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku
bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas
kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut terjadi


melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil.
Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, setidaknya melalui 4 jalur,
yaitu jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan
suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank
Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga untuk
mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga
kredit akan direspon oleh dunia usaha dan rumah tangga melalui meningkatnya permintaan
kredit perbankan. Dengan peningkatan tersebut maka investasi oleh dunia usaha dan
konsumsi oleh rumah tangga akan meningkat, ceteris paribus. Penurunan suku bunga kredit
juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan
meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin
bergairah.

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini
sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan menjadikan suku
bunga di Indonesia lebih tinggi dibandingkan suku bunga di luar negeri. Kondisi ini akan
mendorong investor asing untuk menanamkan modal dengan membeli surat-surat berharga ke
dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan
mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi, ceteris paribus. Aliran modal masuk
asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Meningkatnya kurs
rupiah akan menjadikan harga produk impor lebih murah dan produk ekspor lebih mahal,
sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Gilirannya nilai impor akan lebih
tinggi dari nilai ekspor. Menurunnya selisih bersih ekspor dan impor (net-ekspor) tersebut
akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.
Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga
aset. Jika BI Rate turun dan menjadikan suku bunga perbankan menurun maka penurunan
tersebut akan menaikkan harga asset, misalnya saham dan surat-surat berharga lainnya.
Kondisi tersebut akan mendorong kemampuan pemilik asset untuk melakukan kegiatan
investasi dan konsumsi. Selanjutnya kegiatan tersebut akan mendorong pertumbuhan
ekonomi.

Perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi jalur ekspektasi
masyarakat akan inflasi. Perubahan BI Rate yang berdampak perubahan suku bunga
perbankan akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian. Penurunan
suku bunga akan mendorong investasi dan konsumsi. Meningkatnya kegiatan ekonomi
tersebut cenderung mendorong terjadinya inflasi. Masyarakat, dalam hal ini pekerja, akan
mengantisipasi meningkatnya inflasi tersebut dengan meminta kenaikan upah, ceteris paribus.
Kenaikan upah tersebut oleh pengusaha dapat dibebankan kepada konsumen melalui
kenaikan harga jual produk.

Upaya Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate dengan harapan agar suku bunga
kredit turun dan pada gilirannya akan menggairahkan investasi merupakan hal yang
diperlukan (necessary condition). Hal tersebut tidak cukup, harus diikuti dengan kebijakan-
kebijakan lain yang dapat mendorong peningkatan investasi (sufficient condition). Kebijakan
termaksud antara lain iklim investasi yang sehat dan kompetitif, birokrasi yang pro investasi,
serta dukungan infrastruktur ekonomi baik dari aspek kuantitas dan kualitas. Dengan
demikian kebijakan moneter melalui instrumen BI Rate harus dibarengi secara simultan
dengan kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi yang lain oleh pemerintah agar dapat
mencapai sasaran yang optimal

2. Suku Bunga Perbankan

Suku bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank, yang
berdasarkan prinsip konvesional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
Penurunan suku bunga acuan (BI Rate) secara bertahap akan segera diikuti turunnya suku
bunga kredit perbankan. Hal tersebut dilakukan karena terjadi pelambatan ekonomi yang
dikhawatirkan akan berimbas pada pelemahan nilai mata uang rupiah (fuktuasi nilai
rupiah). Sehingga diharapkan sektor riil dalam perekonomian Indonesia akan kembali
bergerak lebih cepat untuk meningkatkan investasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi.

Penurunan BI Rate secara terukur diharapkan pula dapat memperkuat pelonggaran


kebijakan makro prudensial dan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang telah
dilakukan sebelumnya (16 Maret 2016) sebesar 7,50% menjadi 6,50% untuk mendukung
upaya memacu penyaluran kredit. Sebagaimana diketahui, Giro Wajib Minimum (GWM)
merupakan instrumen moneter BI untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar di
masyarakat. GWM merupakan likuiditas minimum yang wajib dijaga dan dipelihara oleh
setiap bank. penurunan GWM akan menambah likuiditas perbankan. Tujuannya agar bank
dapat memenuhi kewajibannya terhadap penarikan simpanan masyarakat sewaktu-waktu.
Dengan begitu, penurunan BI rate bisa efektif mendorong penyaluran kredit perbankan.

Bank juga menurunkan suku bunga adalah langkah yang dapat menyelamatkan kegiatan
perbankan dan perekonomian secara menyeluruh. Di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini,
kebijakan suku bunga tinggi justru memperburuk perbankan dan perekonomian. Dalam
kondisi krisis yang seperti ini, suku bunga yang tinggi justru membahayakan kegiatan
perbankan karena perkreditan bermasalah juga membesar. Keputusan tersebut sejalan dengan
ruang pelonggaran kebijakan moneter yang semakin terbuka dengan kian terjaganya stabilitas
makroekonomi, yaitu menurunnya tekanan inflasi dan meredanya ketidakpastian di pasar
keuangan global pada awal tahun ini. Penurunan BI rate dan GWM Primer dalam rupiah
diharapkan memperkuat upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.

3. Saluran Nilai Tukar

Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran nilai tukar, sama
seperti saluran suku bunga, menekankan pentingnya aspek perubahan harga aset finansial
terhadap berbagai aktivitas perekonomian. Dalam kaitan ini, pentingnya saluran nilai tukar
dalam transmisi kebijakan moneter terletak pada pengaruh aset finansial dalam valuta asing
yang berasal dari hubungan kegiatan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Pengaruhnya
bukan saja terjadi pada perubahan nilai tukar, tetapi juga pada aliran dana yang masuk dan
keluar suatu negara yang terjadi antara lain karena aktivitas perdagangan antarnegara dan
aliran modal investasi, seperti tercermin pada neraca pembayaran. Selanjutnya, perubahan
nilai tukar dan aliran dana dari dan ke luar negeri akan memengaruhi kegiatan ekonomi rill di
negara yang bersangkutan. Semakin terbuka perekonomian suatu negara yang disertai dengan
sistem nilai tukar mengambang dan sistem devisa bebas, semakin besar pula pengaruh nilai
tukar dan aliran dana luar negeri terhadap perekonomian dalam negeri.

Mengenai interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi dalam
proses perputaran uang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap awal, operasi moneter
oleh bank sentral akan memengaruhi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung
terhadap perkembangan nilai tukar. Pengaruh langsung terjadi sehubungan dengan operasi
moneter melalui intervensi, jual atau beli, valuta asing dalam rangka stabilisasi nilai tukar.
Sementara itu, pengaruh tidak langsung terjadi karena operasi moneter yang dilakukan oleh
bank sentral memengaruhi perkembangan suku bunga di pasar uang dalam negeri sehingga
memengaruhi perbedaan suku bunga di dalam negeri dan suku bunga di luar negeri (interest
rate differential), yang selanjutnya akan memengaruhi besarnya aliran dam dari dan ke luar
negeri.

Pada tahap berikutnya, perubahan nilai tukar berpengaruh, baik langsung maupun tidak
langsung terhadap perkembangan harga-harga barang dan jasa di dalam negeri. Pengaruh
langsung (direct exchange rate pass-through) terjadi karena perubahan nilai tukar
memengaruhi, pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi oleh
masyarakat, khususnya terhadap barang impor. Sementara itu, pengaruh tidak langsung
(indirect exchange rate pass-through) terjadi karena perubahan nilai tukar memengaruhi
kegiatan ekspor dan impor, yang pada gilirannya berdampak pada output dan perkembangan
harga-harga barang dan jasa.

4. Jalur kredit

Selain faktor suku bunga, perilaku penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh
persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi internal perbankan itu sendiri
seperti tercermin pada permodalan atau Capital Adequacy Ratio (CAR), jumlah kredit macet
atau Non-Performing Loans (NPL), dan Loan to Deposit Ratio (LDR). Selain itu, tidak semua
permintaan kredit debitur dapat dipenuhi oleh bank-bank, khususnya karena kondisi dan
prospek keuangan debitur yang dinilai oleh bank tidak layak, antara lain karena tingginya
rasio utang terhadap modal (leverage), risiko kredit macet, moral hazard, dan sebagainya.
Adanya informasi yang tidak simetris (assymetric information) antara bank dan debitur
seperti ini dapat menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan.

Pendekatan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit didasarkan


pada asumsi bahwa tidak semua simpanan masyarakat dalam bentuk uang (M1, M,)
disalurkan oleh perbankan ke masyarakat dalam bentuk kredit. Dengan kata lain, fungsi
intermediasi perbankan tidak selalu berjalan sempurna, dalam arti bahwa kenaikan simpanan
masyarakat tidak selalu diikuti dengan kenaikan secara proporsional kredit yang disalurkan
ke masyarakat. Yang lebih berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan, bukan
simpanan masyarakat.

Mengenai interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi,
dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap awal, interaksi antara bank sentral dengan
perbankan terjadi di pasar uang domestik. Seperti dijelaskan sebelumnya, interaksi ini terjadi
karena di satu sisi bank sentral melakukan operasi moneter sesuai dengan sasaran operasional
yang ingin dicapai, apakah berupa uang primer ataupun suku bunga jangka pendek,
sementara di sisi lain, bank-bank melakukan transaksi di pasar uang untuk pengelolaan
likuiditasnya. Interaksi ini memengaruhi tidak saja perkembangan suku bunga jangka pendek
di pasar uang, tetapi juga besarnya dana yang dialokasikan bank-bank dalam bentuk
instrumen likuiditas dan dalam pemberian kredit.

Tahapan berikutnya transmisi kebijakan moneter dari perbankan ke sektor riil melalui
pemberian kredit yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal bank maupun
faktor eksternal seperti yang telah dijelaskan di muka. Perkembangan kredit perbankan
selanjutnya akan berpengaruh pada sektor riil, seperti kegiatan konsumsi, investasi dan
produksi, serta pada gilirannya pada harga-harga barang dan jasa.
1,600,000
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
2000 2002 2004

dari grafik M1
terlihat bahwa
selama periode
pengamatan M1
mengalami kenaikan
dengan tren naik.Hal
ini berarti nilai rata-
rata M1 mengalami
perubahan sepanjang
waktu.Jadi dapat
disimpulkan bahwa
data time series M1
tidak stasioner

ADF Unit Root Test


Null Hypothesis: M1 has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=3)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic 3.269749 1.0000


Test critical values: 1% level -3.959148
5% level -3.081002
10% level -2.681330

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations
and may not be accurate for a sample size of 15

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(M1)
Method: Least Squares
Date: 10/31/18 Time: 23:12
Sample (adjusted): 2003 2017
Included observations: 15 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

M1(-1) 0.148481 0.045410 3.269749 0.0075


D(M1(-1)) 0.141076 0.263888 0.534607 0.6036
D(M1(-2)) -0.725772 0.288086 -2.519292 0.0285
C 24059.53 18639.86 1.290757 0.2233

R-squared 0.667590 Mean dependent var 79924.53


Adjusted R-squared 0.576933 S.D. dependent var 51279.13
S.E. of regression 33353.78 Akaike info criterion 23.89091
Sum squared resid 1.22E+10 Schwarz criterion 24.07972
Log likelihood -175.1818 Hannan-Quinn criter. 23.88890
F-statistic 7.363904 Durbin-Watson stat 2.417643
Prob(F-statistic) 0.005596

Hasil uji ADF di atas menunjukkan hipotesisi nol bahwa M1 mempunyai sebuah akar unit
(M1 has a unit root) atau data tidak stationer ,dapat ditolak ditunjukkan dengan t sebesar
3.269749 lebih besar dari nilai kritis pada alpha 1 %,5% dan bahkan 10 %.Selain itu nilai
probability sebesar 1.0000 lebih besar dari 0,05 .Hasil uji ADF memperkuat analisis grafik
dan correlogram bahwa data M1 belum stationer pada derajat (level) nol.

Berdasarkan correlogram data M1 di atas ,terlihat bahwa gambar yang dihasilkan sudah
sangat berbeda dari gambar pada level nol.Dari diagram tersebut ,kemungkinan bahwa data
adalah stationer dapat diamati dari blok diagram masing-masing lag berada di sekitar garis
nol.Tampilan diagram correlogram di atas menunjukkan bahwa sekarang koefisien
autocorrelation mendekati nol,hanya ada tiga lag yaitu 1,8,dan 12 yang mempunyai koefisien
autocorrelation masih tinggi.Hal ini mengindikasikan bahwa data M1 stationer pada level 1 .
Null Hypothesis: D(M1) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=3)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.675937 0.4237


Test critical values: 1% level -3.920350
5% level -3.065585
10% level -2.673459

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations
and may not be accurate for a sample size of 16

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(M1,2)
Method: Least Squares
Date: 10/31/18 Time: 23:16
Sample (adjusted): 2002 2017
Included observations: 16 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(M1(-1)) -0.376243 0.224497 -1.675937 0.1159


C 33890.74 18581.86 1.823861 0.0896

R-squared 0.167101 Mean dependent var 8601.188


Adjusted R-squared 0.107608 S.D. dependent var 45915.12
S.E. of regression 43374.40 Akaike info criterion 24.30959
Sum squared resid 2.63E+10 Schwarz criterion 24.40617
Log likelihood -192.4768 Hannan-Quinn criter. 24.31454
F-statistic 2.808765 Durbin-Watson stat 1.839815
Prob(F-statistic) 0.115930

hasil Uji ADF di atas menunjukkan bahwa nilai t-statistics ADF -1,675937 lebih besar (absolut) dari nilai kritis dan
signifikan dengan nilai p sebesar 0,4237.Oleh karena itu,dapat disimpulkan bahwa data M1 tersebut stationer
pada derajat 1 (d=1).Artinya ,data M1 yang dapat digunakan dalam peramalan (estimasi ARIMA) adalah derajat
(level) 1.
DM1
200,000

160,000

120,000

80,000

40,000

0
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016
Gambar di atas menunjukkan bahwa data M1 level 1 (DM1) tidak lagi menunjukkan pola tren atau sudah
stationer .
Date: 10/31/18 Time: 23:22
Series: KURS_USD CREDIT_LOAN
Sample: 2000 2017
Included observations: 18
Null hypothesis: Series are not cointegrated
Cointegrating equation deterministics: C
Automatic lags specification based on Schwarz criterion (maxlag=3)

Dependent tau-statistic Prob.* z-statistic Prob.*


KURS_USD -1.629229 0.7129 -5.501716 0.6419
CREDIT_LOAN -2.894086 0.1873 -10.82385 0.1946

*MacKinnon (1996) p-values.


Warning: p-values may not be accurate for fewer than 20 observations.

Intermediate Results:
CREDIT_LOA
KURS_USD N
Rho - 1 -0.323630 -0.636697
Rho S.E. 0.198640 0.219999
Residual variance 1602982. 886.6018
Long-run residual variance 1602982. 886.6018
Number of lags 0 0
Number of observations 17 17
Number of stochastic trends** 2 2

**Number of stochastic trends in asymptotic distribution


Hasil Uji Engle-Granger di atas menunjukkan hipotesis nol bahwa kedua variabel tidak
berkointegrasi (series are not cointegrated) tidak dapat ditolak dengan nilai p lebih besar dari
0,05.Hasil ini menunjukkan adanya cointegrating regression sehingga regresi tersebut tidak
semu (spurious) meskipun secara individu kedua variabel (Kurs_USD dan Credit_loan)
adalah nonstationer.

Dependent Variable: KURS_USD


Method: Least Squares
Date: 10/31/18 Time: 23:24
Sample: 2000 2017
Included observations: 18

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 14497.44 2494.334 5.812147 0.0000


CREDIT_LOAN -19.06366 11.64980 -1.636394 0.1213

R-squared 0.143367 Mean dependent var 10469.22


Adjusted R-squared 0.089828 S.D. dependent var 1790.031
S.E. of regression 1707.743 Akaike info criterion 17.82817
Sum squared resid 46662161 Schwarz criterion 17.92710
Log likelihood -158.4535 Hannan-Quinn criter. 17.84181
F-statistic 2.677784 Durbin-Watson stat 0.640833
Prob(F-statistic) 0.121273

Dependent Variable: D(KURS_USD)


Method: Least Squares
Date: 10/31/18 Time: 23:32
Sample (adjusted): 2001 2017
Included observations: 17 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 205.9562 257.0009 0.801383 0.4363


D(CREDIT_LOAN) 4.241176 7.993932 0.530549 0.6040
RESID_KURS_USD(-1) -0.178178 0.172446 -1.033240 0.3190

R-squared 0.112033 Mean dependent var 232.5294


Adjusted R-squared -0.014819 S.D. dependent var 1047.064
S.E. of regression 1054.793 Akaike info criterion 16.91886
Sum squared resid 15576248 Schwarz criterion 17.06590
Log likelihood -140.8103 Hannan-Quinn criter. 16.93348
F-statistic 0.883177 Durbin-Watson stat 1.674505
Prob(F-statistic) 0.435289

hasil di atas menunjukkan bahwa nilai absolut t-hitung (-1,033240) lebih kecil dari nilai
tabel engle-granger (sebesar -2,5899) maka koefisien resid_kurs_USD tidak signifikan yang
berarti bahwa nilai residual dari regresi cointegrasi adalah tidak stationer.
Vector Autoregression Estimates
Date: 10/31/18 Time: 23:34
Sample (adjusted): 2002 2017
Included observations: 16 after
adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

M1

M1(-1) 1.141873
(0.25519)
[ 4.47468]

M1(-2) 0.042143
(0.28974)
[ 0.14545]

C 271902.4
(124614.)
[ 2.18195]

KURS_USD -19.00020
(10.5246)
[-1.80532]

CREDIT_LOAN -474.4080
(398.769)
[-1.18968]

R-squared 0.993570
Adj. R-squared 0.991231
Sum sq. resids 1.37E+10
S.E. equation 35230.28
F-statistic 424.9146
Log likelihood -187.2200
Akaike AIC 24.02751
Schwarz SC 24.26894
Mean dependent 649601.6
S.D. dependent 376228.8

data di atas menunjukkan variabel eksogen karena lebih besar dari 0,05

data dari BPS

kurs Credit
tahun M1 USD loan
2000 162186 9595 175,4
2001 177731 10400 295,9
2002 191939 8940 289,2
2003 223799 8465 257,6
2004 253818 9290 232,59
2005 271140 9830 206,57
2006 347013 9020 202,19
2007 450056 9419 183,69
2008 456787 10950 200
2009 515824 9400 187
2010 605411 8991 210,65
2011 722991 9068 206,74
2012 841652 9670 196,55
2013 887084 12189 204,39
2014 942221 12440 204,59
2015 1055440 13795 192,98
2016 1237643 13436 178,73
2017 1390807 13548 178,69
Daftar Pustaka

https://dosen.perbanas.id/penurunan-bi-rate-dan-suku-bunga-perbankan/

https://www.bi.go.id/id/moneter/transmisi-kebijakan/Contents/Default.aspx

https://www.bps.go.id/

Ghozali,I dan Ratmono, D.2017.Analisis Multivariat dan Ekonometrika.Edisi


Kedua.UNDIP:Badan Penerbit UNDIP

Anda mungkin juga menyukai