Anda di halaman 1dari 28

MATERI

A. Pengertian
Demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever, selanjutnya
disingkat DHF), ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan
gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah
dua hari pertama. Uji tourniquet akan positif denga/tanpa ruam disertai
beberapa atau semua gejala perdarahan seperti petekie spontan yang timbul
serentak, purpura, ekimosis, epitaksis, melena, trombositopenia, masa
perdarahan dan masa protombin memanjang, hematokrit meningkat dan
gangguan maturasi megakariosit. (noer 1996)

B. Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4
serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, keempatnya
ditemukan di Indonesia dengan den-3 serotype terbanyak. Infeksi salah satu
serotype akan menimbulkan antibody terhadap serotype yang bersangkutan,
sedangkan antibody yang terbentuk terhadap serotype lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhada
serotype lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah edemis dengue dapat
terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotype virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.(aru 2009)
Dengue 1 dan 2 ditemukan di irian ketika berlangsungnya perang dunia
ke-II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan wabah di Filipina tahun 1953-
1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap
inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70oC. (noer
1996)

C. Patofisiologis
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami
keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri
otot, pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorokan, timbulnya ruam dan
kelainan yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti
pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DF
disebabkan oleh kongesti pembuluh darah di bawah kulit. (noer 1996)
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan yang
membedakan DF dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding
kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta
aktivasi sistem kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal
ini berakibat mengurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.plasma merembes
selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai
puncaknya pada saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume
plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%. (noer 1996)
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan
ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu rongga peritoneum, pleura
dan perikard yang pada autopsi ternyata melebihi jumlah cairan yang telah
diberikan sebelumnya melalui infus. Renjatan hipovolemik yang terjadi
sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat
anoreksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. (noer 1996)
Renjatan yang terjadi akut dan perbaikan klinis yang drastis setelah
pemberian plasma/ekspander plasma yang efektif, sedangkan pada autopsi
tidak ditemukan kerusakan pada dinding pembuluh darah yang destruktif atau
akibat radang, menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding
pembuluh darah mungkin disebabkan mediator farmakologis yang bekerja
singkat. Sebab lain kematian pada DHF adalah perdarahan hebat , yang
biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak teratasi.
Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi. (noer 1996)
Trombositopenia yang dihubungakan dengan meningkatnya megakariosit
muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit
menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi trombosit. Penyedikan dengan
radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadinya dalam
sistem retikuloendotelial. (noer 1996)
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses
imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran
darah. Kelainan sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati
yang fungsinya memang terbukti terganggu oleh aktivasi sistem koagulasi.
Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/DSS, terutama pada pasien dengan
perdarahan hebat, sejak lama telah menjadi bahan perdebatan. (noer 1996)
Telah dibuktikan bahwa DIC secara potensial dapat terjadi juga pada
pasien DHF tanpa rejatan. Dikatakan pada masa dini DHF, peran DIC tidak
menonjol dibandingkan dengan perembasan plasma, tetapi bila penyakit
memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka renjatan akan
memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol. (noer 1996)

D. Epidemiologi
Di banyak negara tropis, virus dengue sangat endemic. Di Asia, penyakit
ini sering menyerang di Cina Selatan, Pakistan, India, dan semua negara di
Asia Tenggara. Sejak tahun 1981, virus ini ditemukan di Queensland,
Australia. Di sepanjang pantai timur Afrika, penyakit ini juga ditrmukan
dalam berbagai serotype. Penyakit ini juga sering menyebabkan KLB di
Amerika Selatan, Amerika Tengah, bahkan sampai ke Amerika serikat
sampai akhir tahun 1990-an. Epidemi dengue pertama kali di Asia terjadi
pada tahun 1779, di Eropa tahun 1784, di Amerika Selatan tahun 1835-an,
dan di Inggris tahun 1922.(Widoyono 2008)
Demam berdarah dengue (DHF) di Indonesia, pertama kali dicurigai
berjagkit di Surabay pada tahun 1968, tetapi kepastian virologik baru
diperoleh pada tahun 1970. DHF pada orang dewasa dilaporkan pertama kali
oleh Swandana (1970) yang mungkin secara drastic meningkat dan menyebar
ke seluruh Dati I di Indonesia. (noer 1996)

E. Manifestasi klinis
1. Demam Dengue
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari ditandai dengan 2 atau
lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
a. Nyeri kepala
b. Nyeri retro orbital
c. Mialgia/atralgia
d. Ruam kulit
e. Manifestasi perdarahan (petekie/uji bending positif)
f. Leucopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif
(nurarif and kusuma 2016)
2. Demam berdarah dengue
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila hal
dibawah ini dipenuhi :
a. Demam, riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat satu dari manifstasi perdarahan berikut :
1) Uji bending positif
2) Petekie, ekimosis, purpura
3) Perdarahan mukosa.
4) Hematemesis atau melena.
c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/µl)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
1) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar usia dan jenis
kelamin.
2) Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibadingkan dengan nilai ematokrit sebelumnya.
e. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
(nurarif and kusuma 2016)
3. Dengue shock syndrome (DSS)
Sindrom Renjatan Dengue (SRD) atau Dengue Shock Syndrom (DSS)
adalah manifestasi renjatan yang terjadi pada penderita DBD derajat III
ddan IV. Kebanyakan pasien memasuki fase SRD pada saat atau setelah
demamnya turun yaitu antara hari ke 3-7 setelah onset gejala. Pada saat
tersebut penderita dapat mengalami hipovolemi hingga lebih dari 30% dan
dapat berlangsung selama 24-48 jam. ((WHO) 2009)
Disamping ditemukannya demam, manifestasi perdarahan,
trombositipenia, dan tanda perembesan plasma, pada penderita DBD yang
mengalami renjatan juga terdapat tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit
lembab dan digin, sianosis sirkumoral, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
rendah, hipotensi, serta penurunan setatus mental. Pada keadaan ini curah
jantung menurun dan apat menyebabkan iskemia jaringan, sehingga
menimbulkan hipoksia jaringan bersangkutan. Metabolism anaerob yang
terjadi selanjutnya, mengakibatkan akumulasi asam laktat dan berujung
pada keadaan asidosis metabolic. Asidosis yang tidak segera mendapat
koreksi akan segera memicu terjadinya pembekuan intravaskuler
menyeluruh (PIM) atau DIC.((WHO) 2009)

F. Klasifikasi
DD/ Derajat Gejala Laboratorium
DBD
DD Demam disrtai 2 atau Leucopenia, Serologi
lebih tanda : sakit trombusitopenia, dengue
kepala, nyeri retro tidak ditemukan positif
orbital, mialgia, kebocoran
artralgia. plasma.
DBD I Gejala diatas Tromboditopenia Serologi
ditambah uji bending (<100.000/µl), dengue
positif. bukti ada positif
kebocoran plasma
trombositopenia
DBD II Gejala diatas (<100.000/µl), Serologi
ditambah pendarahan bukti ada dengue
sepontan kebocoran plasma positif
trombositopenia
DBD III Gejala diatas (<100.000/µl), Serologi
ditambah kegagalan bukti ada dengue
sirkulasi (kulit dingin, kebocoran plasma positif
lembab serta gelisah) trombositopenia
DBD IV Syok berat disertai (<100.000/µl), Serologi
denga tekanan darah bukti ada dengue
dan nadi tidak teratur. kebocoran plasma positif
((WHO) 2009)

G. Fase DBD
Menurut WHO 2009, dikatakan bahwa DBD memiliki beberapa fase yaitu
fase febris dapat berlangsung sekitar 2-7 hari disertai dengan gejala lainnya,
Fase Kritis dan fase pemulihan, Seperti dibawah ini:
1. Fase demam
Pasien biasanya mengalami demam tinggi yang tiba-tiba. Fase demam
akut biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan kemerahan
pada wajah, eritema kulit, sakit badan, mialgia, arthralgia dan sakit
kepala. Beberapa pasien mungkin memiliki sakit tenggorokan faring,
anoreksia, mual dan muntah. Hal tersebut bisa sulit untuk membedakan
secara klinis dari demam berdarah nondengue penyakit pada fase awal
demam. Tes tourniquet positif dalam fase ini meningkatkan probabilitas
dengue. Selain itu, fitur klinis tidak dapat dibedakan antara kasus demam
berdarah parah dan tidak parah. Oleh karena itu pemantauan untuk
peringatan tanda-tanda dan parameter klinis lainnya adalah penting untuk
mengenali perkembangan ke fase kritis. Mild manifestasi perdarahan
seperti membran petechiae dan perdarahan mukosa (mis. hidung dan
gusi). Massive pendarahan vagina (pada wanita usia subur) dan
perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama tahap ini tetapi tidak
umum terjadi. Hepar sering membesar setelah beberapa hari demam.
Kelainan paling awal dalam jumlah darah lengkap adalah penurunan
progresif dalam sel putih yang harus waspada dokter untuk kemungkinan
demam berdarah tinggi. ((WHO), 2009)
2. Fase Kritis
Terjadi pada saat penurunan suhu badan sampai normal. Saat suhu
turun menjadi 37,5-38 C atau kurang dan tetap di bawah tingkat ini,
biasanya pada hari 3-7 penyakit terjadi peningkatan kapiler permeabilitas
secara paralel dengan tingkat hematokrit meningkat yang menandai awal
fase kritis. Periode kebocoran plasma klinis signifikan biasanya
berlangsung 24-48 jam. leukopenia Progresif diikuti dengan penurunan
cepat dalam jumlah trombosit biasanya mendahului kebocoran plasma.
Pada titik pasien tanpa peningkatan permeabilitas kapiler akan
membaik, sementara dengan peningkatan permeabilitas kapiler dapat
menjadi lebih buruk sebagai Hasil volume plasma yang hilang. Tingkat
kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites mungkin secara
klinis terdeteksi tergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume
terapi cairan. Oleh karena itu dada x-ray dan USG perut bisa bermanfaat
alat untuk diagnosis. Tingkat kenaikan atas dasar hematokrit sering
mencerminkan tingkat keparahan kebocoran plasma. Shock terjadi ketika
volume kritis plasma hilang melalui kebocoran. Hal ini sering didahului
oleh tanda-tanda awal. Suhu tubuh dapat di bawah normal saat shock
terjadi. Dengan shock yang berkepanjangan, hasil organ konsekuensi
hipoperfusi di progresif organ penurunan, asidosis metabolik dan
koagulasi intravascular disebarluaskan. Ini pada gilirannya menyebabkan
perdarahan parah menyebabkan hematokrit turun dan menjadi shock
berat. Leukopenia biasanya terlihat selama fase demam berdarah, total
jumlah sel darah putih dapat meningkat pada pasien dengan pendarahan
hebat. ((WHO), 2009)
3. Fase Pemulihan
Jika pasien bertahan pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi bertahap
kompartemen cairan ekstravaskuler terjadi dalam 48-72 jam berikutnya.
Pada umumnya pasien kembali mempunyai nafsu makan, gejala
gastrointestinal mereda,status hemodinamik stabil dan diuresis terjadi
kemudian. Beberapa pasien mungkin memiliki ruam dari "pulau-pulau
putih di laut merah. Beberapa mungkin mengalami pruritus umum.
Bradikardi dan perubahan elektrokardiografi biasa terjadi selama tahap
ini.
Hematokrit yang stabil atau mungkin lebih rendah karena efek
pengenceran yang diserap cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai
naik segera setelah penurunan suhu badan sampai yg normal tetapi
pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih dari itu dari jumlah sel darah
putih. Distress pernapasan dari efusi pleura masif dan ascites akan terjadi
pada setiap saat jika cairan intravena yang berlebihan telah diberikan.
Selama kritis dan / atau pemulihan fase, terapi cairan yang berlebihan
berhubungan dengan edema paru atau kongestif gagal jantung.

H. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut (noer 1996) pemeriksaan laboratorium untuk pasien DHF yaitu:
1. Darah
Pada DF akan dijumpai leucopenia yang akan terlihat pada hari ke-
2 atau hari ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua
kalinya. Leucopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat
peningkatan suhu pertama kali. (noer 1996)
Pada saat suhu meningkat keduakalinya sel limfosit relative sudah
bertambah. Sel-sel eosinofil sangat berkurang. Pada DHF umumnya
dijumpai trombositopenia dan hemokonsentrasi. Uji tourniquet yang
positif merupakan pemeriksaan penting. (noer 1996)
Massa pembekuan masih dalam batas normal, tetapi masa
perdarahan biasanya memanjang. Pada analisis kuantitatif ditemukan
faktor II,V,VII,IX dan X. Pada pemeriksaan kimia darah tampak
hipoproteinomia, hiponatremia, serta hipokloremia. SOGT, SGPT, ureum
dan pH mungkin meningkat reserve alkali merendah. (noer 1996)
2. Air seni
Mungkin ditemukan albuminuria ringan. (noer 1996)
3. Sumsum tulang
Pada awal sakit biasanya hiposelular, kemudian menjadi hiperseluler pada
hari ke 5 dengan gangguan maturasi sedangkan pada hari ke-10 biasanya
sudah kembali normal untuk semua sistem. (noer 1996)
4. Serologi
Uji serologi untuk infeksi dengue dapat dikategorikan atas dua kelompok
besar, yaitu:
a. Uji serologi memakai serum ganda, yaitu serum yang diambil pada
masa akut dan masa konvalesen. Pada uji ini yang dicari adalah
kenaikan antibody antidengue sebanyak minimal empat kali. Termasuk
dalam uji ini peningkatan komplemen (PK), uji neutralisasi (NT) dan
uji dengue blot.
b. Uji serologi memakai serum tunggal. Pada uji ini yang dicari adalah
adatidaknya atau titer tertentu antibody antidengue. Termasuk dalam
golongan ini adalah uji dengue blot yang mengukur antibody antidegue
tanpa memandang kelas antibodinya; uji IgM antidengue yang
mengukur hanya antibody antidengue dari kelas IgM.

Untuk pemeriksaan serologi cara IH dibutuhkan 2 bahan pemeriksaan


dari pasien agar dibutuhkan hasil yang sama, yaitu ada masa akut/masa
demam dan masa penyembuhan (1-4 minggu setelah onset penyakit).
Untuk praktisnya, biasanya bahan pemeriksaan I diambil saat pasien
masuk ke rumah sakit, sedangkan bahan pemeriksaan II iambil saat gejala
memburuk atau pada waktu pasien akan pulang. Bila mungkin diambil
juga bahan pemeriksaan III, yaitu 1-3 minggusetelah bahanpemerriksaan
II. Pemeriksaan pada hanya satu bahan pemeriksaan, sering tidak ada
gunanya karena menyulitkan penafsiran. Untuk keperluan uji serologi ini
diambil darah vena 2-5 ml atau memakai kertas saring (filter paper disc).
Plasma/serum darah perlu disimpan dan diangkut dalam keadaan dingin
dalam termos es, tetapi kertas saring dapat disimpan dalam suhu kamar
sambil menunggu pengiriman laboratorium.
Pengalaman RSUP Persahabatan (1993) hanya sekitar 50% pasien
yang menunjukkan HI tes yang positif dengan serum gada/masa akut dan
masa penyembuhan, sedangkan penelitian Litbangkes (1989) mengatakan
positif HI berkisar 42-73%. (noer 1996)
5. Isolasi virus
Bahan pemeriksaan adalah darah pasien, jaringan-jaringan baik dari
pasien hidup (melalui biopsy) dari pasien yang meninggal (melalui
autopsy). (noer 1996)
I. Diagnosis
Kriteria klinis demam berdarah (DHF) menurut WHO (1986)
1. Demam akut
Yang tetap tinggi selama 2-7 hari, kemudian turun secara lisis. Demam
disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah nyeri pada punggung,
tulang, persendian dan kepala.
2. Manifestasi perdarahan :
 Uji tourniquet positif
 Patekia, purpura, ekimosis
 Epitaksis, perdarahan gusi
 Hematemesis, melena
 Meningkatnya nilai hematokrit (Ht) merupakan indikator yang peka akan
timbulnya renjatan.
(noer 1996)
Kenaikan nilai Ht lebih dari 20% menunjang diagnosis klinis DHF. Bila
fasilitas pemeriksaan Ht tidak ada, hemokonsentrasi dapat diukur dengan
pemeriksaan hemoglobin (Hb) dengan metode Sahli secara berkala dan
dilakukan oleh pemeriksaan yang sama. Kenaikan kadar Hb lebih dari
20% menunjang diagnosis klinis DHF. (noer 1996)
Derajat beratnya penyakit DHF secara klinis dibagi sebagai berikut:
 Derajat I (ringan)
Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinis lain dengan
manifestasi perdarahan teringan, yaitu uji tourniquet positif.
 Derajat II (sedang)
Ditemukan pula perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan
lain.
 Derajat III
Ditemukan tanda-tanda dini renjatan.
 Derajat IV
Ditemukan DSS dengan tensi dan nadi yang tak terukur
(noer 1996)
J. Penatalaksanaan
Setiap pasien tersangka DF atau DHF sebaiknya dirawat di tempat terpisah
dengan pasien penyakit lain, seyogyanya pada kamar yang bebas nyamuk
(berkelambu). Penatalaksanaan pada DF atau DHF tanpa penyukit adalah:
1. Tirah baring.
2. Makan lunak.
Bila belum ada nafsu makan dianjurkan untuk minum sebanyak 1,5-2 liter
dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau sirop) atau air tawar ditambah
dengan garam saja.
3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis.
Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres es dikepala, ketiak dan
inguinal. Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin atau
dipiron. Hindari pemakaian asetosal karena bahaya perdarahan.
4. Antibotik diberikan bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
Pasien DHF perlu diobservasi teliti terhadap penemuan dini tanda
renjatan, yaitu:
a. Keadaan umum memburuk.
b. Hati makin membesar
c. Masa perdarahan memanjanjang karena trombositopenia
d. Hematokrit meninggi pada pemeriksaan berkala
(noer 1996)

Dalam hal ditemukan tanda-tanda dini tersebut, infuse harus disiapkan dan
terpasang pada pasien. Observasi meliputi pemeriksaan tiap jam terhadap
keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu dan pernafasan; serta Hb dan Ht
setiap 4-6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya tiap 24 jam.
(noer 1996)
Terapi untuk DSS bertujuan utama untuk mengembalikan volume cairan
intravena ke tingkat yang normal, dan hal ini dapat tercapai dengan
pemberian segera cairan intravena. Jenis cairan dapat berupa NaCl faali,
laktat Ringer atau bila terdapat renjatan yang berat dapat dipakai plasma atau
ekspander plasma. Jumlah cairan dan kecepatan pemberian cairan disesuaikan
dengan perkembangan klinis. (noer 1996)
Kecepatan permulaan tetesan ialah 20ml/kg berat badan, dan bila renjatan
telah diatasi, kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10 ml/kg berat badan/jam.
Pada kasus dengan renjatan berat, cairan diberikan dengan diguyur, dan
bila tak tampak perbaikan, diusahakan pemberian plasma atau ekspander
plasma atau dekstran atau preparat hemasel dengan jumlah 15-29 ml/kg berat
badan. Dalam hal ini perlu diperhatikan ke adaan asidosis yang harus
dikoreksi dengan Na-bi-karbonas. Pada umumnya untuk menjaga
keseimbangan volume intravaskuler, pemberian cairan intravena baik dalam
bentuk elektrolit maupun plasma pertahankan 12-48 jam setelah renjatan
teratasi. (noer 1996)
Tranfusi darah dilakukan pada:
1. Pada pasien yang mengalami perdarahan yang berlebihan
(hematemesis dan melena)
2. Pasien DSS yang pada pemeriksaann berkala, menunjukkan penurunan
kadar Hb dan Ht.
(noer 1996)
Pemberian kortikosteroid dilakukan telah terbukti tidak terdapat perbedaan
yang bermakna antara terapi tanpa atau dengan kortikosteroid. Pada pasien
dengan renjatan yang lama (prolonged shock), DIC diperkirakan merupakan
penyebab utama perdarahan. Bila dengan pemeriksaan hemostatis terbukti
adanya DIC, heparin perlu diberikan. (noer 1996)

K. Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada
DHF/DSS mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan
perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dari pada anak-anak.
Dari penelitian tahun 1993 dijumpai keadaan penyakit yang terbukti
bersama-sama muncul dengan DHF yaitu demam tifoid,
bronkopneumonia, anemia dan kehamilan. (noer 1996)
L. Pencegahan
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
paling memadai saat ini. Vektor dengue khususnya A.aegypti sebenarnya
mudah diberantas karena sarang-sarang terbatas di tempat yang berisi air
bersih dan jarak terbangnya maksimum 100 meter. Tetapi karena vektor
terbesar luas, untuk keberhasilan pemberantasan diperlukan total
converage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang
biak lagi. (noer 1996)
Ada 2 cara pemberantasan vektor:
1. Menggunakan inteksida
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam
berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk
dewasa (adultisida) dan temephos (abate) untuk membunuh jentik
(larvasida). cRa penggunaan malathion ialah dengan pengasapan
(thermal fogging) atau pengabutan (cold fogging). (noer 1996)
Untuk pemakaian rumah tangga dapat digunakan berbagai
jenis insektisida yang disemprotkan di dalam kamar/ruangan,
misalnya golongan organofosfat, karbamat atau pyrethoid. (noer
1996)
Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate
(sand granules) ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes, yaitu
bejana penampungan air bersih dosis yang digunakan ialah 1 ppm
atau 1 gram. Abate SG 1℅ per 10 liter air. (noer 1996)

2. Tanpa instektisida
Caranya adalah:
 Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air
minimal 1x seminggu (perkembangan telur ke muk lamanya 7-10
hari.
 Menutup tempat penampungan air rapat-rapat
 Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-
botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk
bersarang.
(noer 1996)

Isolasi pasien agar pasien tak digigit vektor untuk ditularkan


kepada orang lain sulit dilaksanakan lebih awal dari perawatan
rumah sakit karena kesulitan praktis. (noer 1996)

Mencegah gigitan nyamuk dengan cara memakai obat


gosok/repellant maupun pemakaian kelambu memang dapat
mencegah gigitan nyamuk, tetapi cara ini dianggap kurang praktis.
(noer 1996)

Imunisasi maupun pemberian anti-virus dalam usaha


memutuskan rantai penularan, saat ini baru dalam tarif penelitian.
(noer 1996)

M. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan diawali dengan mencari data dasar yang akurat berupa
hasil pengkajian. Setelah pengkajian maka ditegakkan diagosa keperawatan
lalu menyusun rencana tindakan (intervensi) sebagai panduan dalam
melakukan tindakan keperawatan (implementasi). Proses asuhan keperawatan
yang terakhir adalah evaluasi keperawatan untuk menilai keberhasilan dari
asuhan keperawatan yang telah dilakukan.
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, no.
Rekam medis, diagnosa medis.
b. Riwayat Keperawatan
1) Keluhan Utama
Demam tinggi dan mendadak, perdarahan (petekie, ekimosis,
purpura pada ekstremitas atas, dada, epistaksis, perdarahan gusi),
kadang – kadang disertai kejang dan penurunan kesadaran.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Badan panas, suhu tubuh tinggi secara mendadak dalam waktu 2 – 7
hari, terdapat bintik merah pada ektremitas dan dada, selaput mukosa
mulut kering, epistaksis, gusi berdarah, pembesaran hepar, kadang
disertai kejang dan penurunan kesadaran.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pernah menderita DHF, malnutrisi.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada keluarga yang terserang DHF.
5) Riwayat Kesehatan Lingkungan
Apakah lingkungan tempat tinggal sedang terserang wabah DHF.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum dan Tanda – Tanda Vital
Adanya penurunan kesadaran, kejang dan kelemahan; suhu tubuh
tinggi; nadi cepat, lemah, kecil sampai tidak teraba; sesak nafas;
tekanan darah menurun (sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
kurang).
2) Sistem Tubuh
a) Pernapasan
Anamnesa : Pada derajat 1 dan 2 awal jarang terdapat gangguan
pada sistem pernapasan kecuali bila pada derajat 3 dan 4 sering
disertai keluhan sesak napas sehingga memerlukan pemasangan
oksigen.
Pemeriksaan fisik : Pada derajat 1 dan 2 kadang terdapat batuk
dan pharingitis karena demam yang tinggi, terdapat suara napas
tambahan (ronchi; wheezing), pada derajat 3 dan 4 napas dangkal
dan cepat disertai penurunan kesadaran.
b) Kardiovaskuler
Anamnesa : Pada derajat 1dan 2 keluhan mendadak demam tinggi
2 – 7 hari, mengeluh badan terasa lemah, pusing, mual, muntah;
derajat 3 dan 4 orang tua / keluarga melaporkan pasien
mengalami penurunan kesadaran, gelisah dan kejang.
Pemeriksaan fisik : Derajat 1 Uji torniquet positif,merupakan satu
satunya manifestasi perdarahan. Derajat 2 terdapat petekie,
purpura, ekimosis, dan perdarahan konjungtiva. Derajat 3 kulit
dingin pada daerah akral, nadi cepat, hipotensi, sakit kepala,
menurunnya volume plasma, meningginya permeabilitas dinding
pembuluh darah, trombositopenia dan diatesis hemorhagic.
Derajat 4 shock, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diukur.
c) Persarafan
Anamnesa : Pada derajat 1 dan 2 pasien gelisah, cengeng dan
rewel karena demam tinggi dan pada derajat 3 dan 4 terjadi
penurunan tingkat kesadaran.
Pemeriksaan fisik : Pada derajat 1 dan 2 konjungtiva mengalami
perdarahan, dan pada derajat 3 dan 4 terjadi penurunan tingkat
kesadaran, gelisah, GCS menurun, pupil miosis atau midriasis,
reflek fisiologis atau patologis sering terjadi.
d) Perkemihan – Eliminasi Urinaria
Anamnesa : Derajat 3 dan 4 kencing sedikit bahkan tidak ada
kencing.
Pemeriksaan fisik : Produksi urin menurun (oliguria sampai
anuria), warna berubah pekat dan berwarna coklat tua pada
derajat 3 dan 4.
e) Pencernaan – Eliminasi Fekal
Anamnesa : Pada derajat 1 dan 2 mual dan muntah / tidak ada
nafsu makan, haus, sakit menelan, derajat 3 nyeri tekan ulu hati,
konstipasi.
Pemeriksaan fisik : Derajat 1 dan 2 mukosa mulut kering,
hiperemia tenggorokan, derajat 3 dan 4 terdapat pembesaran hati
dan nyeri tekan, sakit menelan, pembesaran limfe, nyeri tekan
epigastrium, hematemisis dan melena.
f) Muskuloskeletal
Anamnesa : pada derajat 1 dan 2 pasien mengeluh nyeri otot,
persendian dan punggung, pegal seluruh tubuh, mengeluh wajah
memerah, pada derajat 3 dan 4 terdapat kekakuan otot /
kelemahan otot dan tulang akibat kejang atau tirah baring lama.
Pemeriksaan fisik : Pada derajat 1 dan 2 Nyeri pada sendi, otot,
punggung dan kepala; kulit terasa panas, wajah tampak merah
dapat disertai tanda kesakitan, sedangkan derajat 3 dan 4 pasien
mengalami parese atau kekakuan bahkan kelumpuhan.
d. Data Penunjang
 Hematokrit normal : PCV/ Hm= 3 X Hb sampai meningkat >20 %.
 Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3. Masa perdarahan
dan protombin memanjang.
 Ig G dengue positif.
 Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia,
hiponatremia, hipokloremia.
 Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, neutropenia,
aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil.
 SGOT / SGPT mungkin meningkat.
 Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
 Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
b. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
c. Ketidakseimbangan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan : mual, muntah,
anoreksia.
d. Resiko / aktual kekurangan volume cairan berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
hipovolemia.
f. Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum, tirah baring.
g. Resiko syok berhubungan dengan hipovolemia.
h. Resiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati inheren:
trombositopenia, trauma.
3. Intervensi Keperawatan
a. Dx 1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
Kriteria evaluasi ( NOC ) :

Pasien akan :
1) Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari
kedinginan.
2) Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri : 1. Pola demam dapat membantu
1. Monitor suhu pasien. dalam diagnosis; kurva demam
lanjut lebih dari 4 hari
menunjukan infeksi yang lain.
2. Anjurkan pasien untuk 2. Peningkatan suhu tubuh
banyak minum ( lebih mengakibatkan penguapan tubuh
kurang 2,5 liter/24 jam ). meningkat sehingga perlu
diimbangi dengan asupan cairan
yang banyak.
3. Berikan kompres hangat. 3. Dengan vasodilatasi dapat
meningkatkan penguapan yang
mempercepat penurunan suhu
tubuh.
4. Anjurkan untuk tidak 4. Pakaian tipis membantu
memakai selimut dan mengurangi penguapan tubuh.
pakaian yang tebal.
Kolaborasi :
1. Berikan terapi cairan 1. Pemberian cairan sangat penting
intravena dan obat-obatan bagi pasien dengan suhu tinggi.
sesuai program dokter.
2. Berikan antipiretik. 2. Digunakan untuk mengurangi
demam dengan aksi sentralnya
pada hipotalamus.

b. DX 2. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.


Kriteria evaluasi ( NOC ) :

Pasien akan :
1) Mengatakan nyeri hilang atau terkontrol.
2) Menunjukan relaksasi, dapat tidur atau istirahat.
3) Menunjukan perilaku mengurangi nyeri.

Intervensi :

Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Kaji tingkat nyeri yang dialami 1. Untuk mengetahui berapa berat
pasien. nyeri yang dialami pasien.
2. Berikan posisi yang nyaman, 2. Posisi nyaman dan lingkungan
usahakan situasi ruangan yang tenang mengurangi rasa nyeri.
tenang.
3. Berikan tindakan kenyamanan 3. Menurunkan tegangan otot,
seperti perubahan posisi dan meningkatkan istirahat dan
dorong penggunaan tehnik relaksasi, memusatkan perhatian,
relaksasi, seperti imajinasi, dapat meningkatkan kontrol dan
visualisasi, latihan nafas kemampuan koping.
dalam.
Kolaborasi :
1. Berikan obat-obat analgetik 1. Analgetik dapat menekan atau
mengurangi nyeri pasien.
c. DX 3. Ketidakseimbangan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan :
mual, muntah, anoreksia.
Kriteria evaluasi ( NOC ) :
Pasien akan :
1) Mempertahankan berat badan dan keseimbangan nitrogen positif.
2) Menunjukkan perilaku untuk meningkatkan/ mempertahankan berat
badan yang sesuai

Intervensi :

Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Kaji keluhan mual, sakit 1. Untuk menetapkan cara
menelan dan muntah yang mengatasinya.
dialami pasien
2. Berikan makanan yang 2. Membantu mengurangi kelelahan
mudah ditelan seperti pasien dan meningkatkan asupan
bubur. makanan .
3. Berikan makanan dalam 3. Untuk menghindari mual.
porsi kecil dan frekuensi
sering.
4. Catat jumlah / porsi 4. Untuk mengetahui pemenuhan
makanan yang dihabiskan kebutuhan nutrisi.
oleh pasien setiap hari.
Kolaborasi :
1. Berikanobat-obatan 1. Antiemetik membantu pasien
antiemetik sesuai program mengurangi rasa mual dan muntah
dokter. dan meningkatkan toleransi pada
makanan.
2. Antasida, contoh Mylanta. 2. Kerja pada asam gaster, dapat
menurunkan iritasi/ resiko
perdarahan
3. Vitamin, contoh B 3. Memperbaiki kekurangan dan
komplek, C, tambahan diet membantu proses penyembuhan.
lain sesuai indikasi

d. DX 4 . Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan


permeabilitas pembuluh darah, perdarahan.
Kriteria evaluasi (NOC ) :

Pasien akan :
1) Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembapan
membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil, dan secara
individual haluaran urine adekuat, capilary refill cepat.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Kaji keadaan umum pasien 1. Menetapkan data dasar pasien
(lemah, pucat, takikardi) untuk mengetahui penyimpangan
serta tanda-tanda vital. dari keadaan normal.
2. Observasi tanda-tanda 2. Agar dapat segera dilakukan
syok. tindakan untuk menangani shock.
3. Anjurkan pasien untuk 3. Asupan cairan sangat diperlukan
banyak minum. untuk menambah volume cairan
tubuh.
4. Catat intake dan output 4. Untuk mengetahui keseimbangan
cairan. cairan.
5. Palpasi nadi perifer, 5. Kondisi yang berkontribusi dalam,
capilary refill, temperatur kekurangan cairan ekstraselular
kulit, kaji kesadaran, tanda yang dapat menyebabkan kolaps
perdarahan. pada sirkulasi/ syok.
6. Monitor adanya nyeri dada 6. hemokonsentrasi dan peningkatan
tibatiba, dispnea, sianosis, platelet agregrasi dapat
kecemasan yang mengakibatkan pembentukan
meningkat,kurang emboli sistemik.
istirahat.
7. Kaji kemampuan menelan 7. Kegagalan refleks menelan,
klien. anoreksia, tidak nyaman dimulut,
perubahan tingkat kesadaran
merupakan faktor yang
mempengaruhi kemampuan klien
untuk mengganti cairan oral.
Kolaborasi :
1. Berikan cairan intravena 1. Hipotonik solution ( NaCl 0,45% )
sesuai program dokter : digunakan untuk memenuhi
NaCl 0,45%, RL solution. kebutuhan elektrolit.

2. Koloid : dextran, 2. Koreksi defisit konsentrasi protein


plasma/albumin, Hespan. plasma, meningkatkan tekanan
osmotik intravaskular, dan
memfasilitasi kembalinya cairan
kedalam kompartemen pembuluh
darah.
3. Tranfusi Whole blood / 3. Mengindikasikan hipovolemia yang
tranfusi PRC berhubungan dengan kehilangan
darah aktif.
4. Plasma beku segar ( FFP ). 4. Mugkin diperlukan untuk
menggantikan faktor pembekuan
pada adanya defek koagulasi.
5. Berikan sodium bicarbonat 5. Diberikan untuk koreksi asidosis
jika diindikasikan. berat saat koreksi keseimbangan
cairan.
6. Berikan makanan melalui 6. Penambahan penggantian cairan
NGT termasuk cairan dan nutrisi ketika terjadi gangguan
sesuai kebutuhan. menelan.
7. Monitor nilai laboratorium 7. Bergantung pada kehilangan cairan
: Hb, Ht, Trombosit, vena, ketidakseimbangan elektrolit
elektrolit, koagulasi. memerlukan koreksi, peningkatan
Ht, penurunan trombosit
meningkatkan resiko perdarahan.

e. DX 5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


hipovolemia.
Kriteria evaluasi :

Pasien akan :
1) Mempertahankan/ memperbaiki perfusi jaringan dengan bukti tanda
vital stabil, kulit hangat, nadi perifer teraba, AGD dalam batas
normal, kesadaran normal, keluaran urine adekuat.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Pantau tanda-tanda vital; 1. Merupakan indikator dari volume
palpasi denyut nadi perifer; sirkulasi dan fungsi organ/ perfusi
catat suhu/ warna kulit dan jaringan yang adekuat.
pengisian kapiler; evaluasi
waktu dan pengeluaran
urine.
2. Kaji adanya perubahan 2. Perubahan dapat menunjukkan
tingkat kesadaran , keluhan ketidakadekuatan perfusi serebral.
pusing atau sakit kepala.
3. Auskultasi nadi apikal. 3. Perubahan disritmia dan iskemia
Awasi irama jantung dengan dapat terjadi sebagai akibat
EKG. hipotenSi, hipoksia, asidosis,
ketidakseimbangan elektrolit.
Kolaborasi :
1. Berikan oksigen tambahan 1. Mengatasi hipoksemia dan
sesuai indikasi. asidosis selama perdarahan.

2. Pemeriksaan AGD/ awasi 2. Mengidentifikasi hipoksemia,


nadi oksimetri. keefektifan/ kebutuhan untuk
terapi.
3. Berikan cairan IV sesuai 3. Mempertahankan volume
indikasi/ produk darah sirkulasi dan perfusi jaringan.
sesuai kebutuhan.

f. DX 6. Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum, tirah


baring.
Kriteria evaluasi ( NOC ) :
Pasien akan :
1) Melaporkan peningkatan intoleran aktifitas ( ADL ).
2) Menunjukan penurunan tanda fisiologis intoleran, misal nadi,
pernafasan, dan
3) TD dalam rentang normal pasien.

Intervensi :

Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Kaji keluhan pasien. 1. Untuk mengidentifikasi masalah
masalah pasien.
2. Kaji hal-hal yang mampu 2. Untuk mengetahui tingkat
atau yang tidak mampu ketergantungan pasien dalam
dilakukan oleh pasien. memenuhi kebutuhannya.
3. Bantu pasien untuk 3. Pemberian bantuan sangat
memenuhi kebutuhan diperlukan oleh pasien pada saat
aktivitasnya sehari-hari kondisinya lemah dan perawat
sesuai tingkat keterbatasan mempunyai tanggung jawab
pasien. dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari pasien tanpa
mengalami ketergantungan pada
perawat.
4. Letakkan barang-barang di 4. Akan membantu pasien untuk
tempat yang mudah memenuhi kebutuhannya sendiri
terjangkau oleh pasien. tanpa bantuan orang lain.

5. Pertahankan tirah baring 5. Mengurangi resiko cedera akibat


bila di indikasikan, penurunan trombosit, dan
tingkatkan tingkat aktifitas memperbaiki tonus otot tanpa
sesuai toleransi. kelemahan.

g. DX 7. Resiko terjadinya syok berhubungan dengan hipovolemia.


Kriteria evaluasi :
Pasien akan :
1) Menunjukkan membran mukosa / kulit lembab, tanda vital stabil,
haluaran urin adekuat, nadi perifer normal.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Monitor keadaan umum 1. Memantau kondisi pasien selama
pasien. masa perawatan terutama pada
saat terjadi perdarahan sehingga
segera diketahui tanda syok dan
dapat segera ditangani.
2. Observasi tanda-tanda vital 2. Tanda vital normal menandakan
tiap 2 sampai 3 jam. keadaan umum baik.
3. Monitor tanda perdarahan. 3. Perdarahan cepat diketahui dan
dapat diatasi sehingga pasien
tidak sampai syok hipovolemik.
4. Palpasi nadi perifer; 4. Kondisi yang berkontribusi dalam
capilary refill, temperatur kekurangan cairan ekstraselular
kulit, kaji kesadaran. yang dapat menyebabkan kolaps
pada sirkulasi/ syok.
5. 5. Lapor dokter bila terdapat 5. Untuk mendapatkan penanganan
tanda syok hipovolemik. lebih lanjut sesegera mungkin.
Kolaborasi :
1. Cek laboratorium : 1. Untuk mengetahui tingkat
haemoglobin, hematokrit, kebocoran pembuluh darah yang
trombosit. dialami pasien sebagai acuan
melakukan tindakan lebih lanjut.
2. Berikan cairan sesuai 2. Koreksi defisit konsentrasi protein
program : Koloid : dextran, plasma, meningkatkan tekanan
plasma/albumin, Hespan. osmotik intravaskular, dan
memfasilitasi kembalinya cairan
kedalam kompartemen pembuluh
darah.
3. Tranfusi Whole blood/ 3. Mengindikasikan hipovolemia
tranfusi PRC. / FFP yang berhubungan dengan
kehilangan darah aktif.

h. DX 8. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan


trombositopenia.
Kriteria evaluasi :
Pasien akan :
1) Mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan.
2) Menunjukan perilaku penurunan resiko perdarahan.

Intervensi:

Intervensi Rasional
Mandiri :
1. Monitor tanda penurunan 1. Penurunan trombosit merupakan
trombosit yang disertai tanda kebocoran pembuluh darah.
gejala klinis.
2. Anjurkan pasien untuk 2. Aktivitas pasien yang tidak
banyak istirahat/bedrest. terkontrol dapat menyebabkan
resiko perdarahan.
3. Beri penjelasan untuk 3. Membantu pasien mendapatkan
segera melapor bila ada penanganan sedini mungkin.
tanda perdarahan lebih
lanjut.
4. Awasi tanda vital 4. Peningkatan nadi dengan
penurunan TD dapat menunjukan
kehilangan volume darah
sirkulasi.
5. Anjurkan meminimalisasi 5. Pada gangguan faktor pembekuan,
penggunaan sikat gigi, trauma minimal dapat
dorong penggunaan menyebabkan perdarahan mukosa.
antiseptik untuk mulut.
6. Gunakan jarum kecil untuk 6. Menurunkan resiko perdarahan /
injeksi atau pengambilan hematoma.
sampel darah.
7. Observasi adanya ptekie, 7. DIC subakut dapat terjadi
epistaksis, perdarahan gusi, sekunder terhadap gangguan
melena. faktor pembekuan.
Kolaborasi :
1. Awasi Hb, Ht, trombosit 1. Indikator adanya perdarahan aktif,
dan faktor pembekuan. hemokonsentrasi, atau terjadinya
komplikasi ( DIC ).
2. Berikan obat sesuai indikasi 2. Meningkatkan sintesis protrombin
: vit K, D,dan C. dan koagulasi. Kekurangan vit C
meningkatkan kerentanan
terjadinya iritasi / perdarahan.

Anda mungkin juga menyukai