Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Diseases (GOLD) tahun 2001 dan di update tahun 2005, Chronic Obstructive Pulmonary
Diseases (COPD) atau penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) didefinisikan sebagai
penyakit yang dikarakterisir oleh adanya obstruksi saluran pernapasan yang tidak reversible
sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.
Pada akhir-akhir ini, PPOK merupakan penyakit terbesar penyebab morbiditas
dan mortalitas di beberapa negara, dan prevalensi ini nampak jelas semakin
meningkat. Di Amerika Serikat pada tahun 1991, PPOK merupakan penyebab
keempat kematian setelah penyakit jantung, kanker, dan penyakit serebrobskular,
dimana angka mortalitas meningkat 33% dibanding pada tahun 1979. Antara 1979-
1993, kematian akibat PPOK naik hingga 50%. Diperkirakan jumlah penderita
PPOK hampir 14 juta orang, dimana 12,5 juta diantaranya karena bronkitis kronis,
dan 1,65 juta karena emfisema. Pada 2000, kasus kunjungan pasien PPOK di
instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan
rumah sakit dan 119.000 orang meninggal.
Di Indonesia morbiditas PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat
ke enam berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan RI
1992. Prevalensi PPOK di Indonesia saat ini masih cukup banyak, dan diperkirakan
meningkat di waktu yang akan dating dengan makin tingginya angka harapan hidup
dan faktor risiko yang cukup luas. Sebagai contoh, menurut data Surkenas tahun
2001, penyakit pernapasan termasuk PPOK merupakan penyebab kematian ke-2 di
Indonesia.
Oleh hal-hal tersebut, maka diperlukan pengenalan dan diagnosis PPOK
lebih lanjut khusunya pada kasus-kasus yang belum menunjukan keluhan sehingga
menekan angka morbiditas dan mortalitas yang tidak diinginkan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian
Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Diseases (GOLD) tahun 2001 dan di update tahun 2005, Chronic
Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) atau penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)
didefinisikan sebagai penyakit yang dikarakterisir oleh adanya obstruksi saluran
pernapasan yang tidak reversible sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya
bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya.
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
disaluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.
Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

Gambar Hubungan PPOK dengan asma, bronchitis kronis dan emfisema

2
2.2. Epidemiologi
Menurut data surkenas tahun 2001, penyakit pernapfasan termasuk PPOK
merupakan penyebab kematian ke-2 di Indonesia. Prevalensi PPOK meningkat dengan
meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi pada pria daripada wanita.
Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara dimana merokok merupakan gaya
hidup, yang menunjukan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama.

2.3. Faktor Risiko


 Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih
besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari
85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK.
 Pekerjaan
Para pekerja tambang emas dan batu bara, industry gelas dan keramik yang terpapar
debu silika atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene
diisosianat, dan asbes mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja
ditempat selain yang disebutkan diatas.
 Polusi Udara

Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host antara lain:


 Usia
Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan
genetic berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami < 1% pasien
PPOK.
 Jenis Kelamin
Laki-laki berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan
merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada
wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
 Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi.
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK, misalnya
defisiensi immunoglobulin A (igA/hypogamaglobulin) atau infeksi pada masa kanak-
kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru
mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada yang
3
fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK.
Termasuk di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena
lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia
sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
a. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama.
b. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata
dan terbanyak pada paru bagian bawah
c. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat
pleura.
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

4
2.5 Manifestasi Klinis
- Batuk
- Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen
- Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk bernapas
- Cachexia: hilangnya massa lemak bebas
- Pengurangan massa otot: apoptosis, disuse atrophy
- Osteoporosis
- Depresi
- Anemia normokromik normositik
- Peningkatan risiko penyakit kardiovaskular: berhubungan dengan
peningkatan CRP

5
2.6 Klasifikasi PPOK
Bronkitis ("Blue Bloater" ) Emfisema ("Pink Puffer")

Gejala Sesak nafas timbul setelah Sesak nafas lebih dahulu


batuk-batuk produktif bertahun- diikuti batuk-batuk dengan /
tahun. tanpa sputum.

Tubuh Gemuk Kurus

Penampakan Sianotik (biru) Kemerahan

Pemeriksaan Dada normal Dada gembung


fisik Pekak jantung dan hepar jelas. Pekak jantung dan hepar
Suara nafas kasar. hilang oleh over-distensi.
Rhonchi basah/kering pada Suara nafas lemah dengan
ekspirasi & inspirasi yang ekspirasi yang memanjang.
berubah dengan batuk. Umumnya tidak ada suara
nafas tambahan.
Jantung Gagal jantung kanan sering Gagal jantung kanan jarang,
terdapat dan penyebab kematian karena gagal
kematian. pernafasan.

Polisitemia sekunder. Polisitemia jarang.


Darah Analisa gas darah arteri P02 normal atau rendah
P02 rendah, "CO2 tinggi PCO2 rendah.

Jantung membesar disertai Jantung memanjang,


Rontgen tanda-tanda bendungan paru; diafragma rendah dan
hiperinflasi.

E. K. G. Hipertrofi ventikel kanan P. Mungkin terdapat P.


pulmonal. pulmonal.

Uji Faal Spirometri : Obstruksi jalan Obstruksi jalan nafas


Paru nafas yang reversible sebagian. irreversibel.
Kapasitas paru total normal Kapasitas paru total
atau sedikit meningkat. meningkat.
Kapasitas difusi meningkat Kapasitas difusi menurun.

6
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan :
 Mengurangi gejala
 Mencegah eksaserbasi berulang
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1) Edukasi
2) Obat – obatan
3) Terapi oksigen
4) Ventilasi mekanik
5) Nutrisi
6) Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga


penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

a) Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan
asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara


berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.
Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat
7
ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi
atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat
peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK,
memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian
aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup
pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok:
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat – obatan
a. Macam obat dan jenisnya
b. Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
c. Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau
kalau perlu saja )
d. Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
a. Kapan oksigen harus digunakan
b. Berapa dosisnya
c. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
4. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya.
Tanda eksaserbasi :
a. Batuk atau sesak bertambah
8
b. Sputum bertambah
c. Sputum berubah warna (menjadi purulen)
Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga:
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala diatas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala diatas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala diatas ditambang infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa penyebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan >20% baseline, atau frekuensi nadi >20% baseline.
5. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
6. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian
edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan
penyakit kronik progresif yang ireversibel
Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain
berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah

b) Obat - obatan
Bronkodilator

9
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
 Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
 Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
 Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

10
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

Tabel 8. Pemberian Bronkodilator Berdasarkan Gejala

11
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit : (dapat dipilih)
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi

Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

12
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan
sebagai pemberian rutin.

Antitusif
Harus dipergunakan dengan hati-hati karena efek pada sistem saraf pusat akan
menekan mekanisme pembuangan sputum yang dapat berakibat peningkatan
obstruksi jalan napas.

c) Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal
yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup

13
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.


Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat
dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan


stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap
hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada
waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita
tidur.
Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang pada Pasien PPOK
Indikasi Pencapaian
PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88% PaO2 ≥ 60 mmHg atau SaO2 ≥ 90%
Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
saat tidur dan latihan
Pasien dengan kor-pulmonal PaO2 ≥ 60 mmHg atau SaO2 ≥ 90%
PaO2 55-59 mmHg atau SaO2 ≥ Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
89% saat tidur dan latihan
Adanya P pulmonal pada EKG, Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
hematokrit > 55% dan gagal saat tidur dan latihan
jantung kongestif.
Indikasi khusus (Nocturnal Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan
hypoxemia) saat tidur dan latihan

Tidak ada hipoksemia saat istirahat,


tetapi saturasi menurun selama
latihan atau tidur

Algoritma Penatalaksanaan PPOK :


d) Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukan
kedalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai:
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang UGD
- Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu
tim multi disiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratoris terapi, dan
psikolog. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu: latihan fisik,
psikososial dan latihan pernapasan.
 Latihan Fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi
oksigen. Latihan fisik yang baik menghasilkan:
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobic maupun anaerobic
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekan waktu yang diperlukan untuk recorvery
Latihan jasmani pada PPOK terdiri dari dua kelompok:
- Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
- Endurance exercise
Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita
dapat diperkecil. Walaupun demikian latihan jasmani secara potensial akan
dapat berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemia jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan:
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan
koordinasi atau pusing, latihan segera dihentikan
 Psikososial
Suatu psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila
diperlukan dapat diberikan obat.
 Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.
Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lip breathing
guna memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan
toraks.
e) Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkian karena
bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnia menyebabkan terjadinya
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena
berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas
darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin yang rendah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan
otot pipi)
- Hasil metabolism (hiperkapnia dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresif tidak
akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolism karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapt diberikan secara terus-menerus (nocturnal feedings) dengan
NGT.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak-rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit, oksigen consumption dan respon ventilasi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas
kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit dapat terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari
gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah:
- Hipofosfatemia
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemia
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan
pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu
pemberian yang lebih sering.

2.8 Prognosis
Masa hidup (survival) penderita PPOM faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis:
1. Gangguan fungsionil inisial, VEP1.0 sering dijadikan parameter untuk
menilai prognosis, umumnya prognosis buruk, bila VEP1.0 mencapai 1.5
liter atau kurang, dengan survival kurang lebih 10 tahun, menjadi 4 tahun
pada VEP 1.0 1 liter dan 2 tahun pada VEP1.0 0,5 liter (Petty).
2. Adanya Cor pulmonale yang umumnya disertai dengan hipoksemia dan
hiperkapnia.
3. Kurang berat, lebih dari 20% (Rodman & Sterling). Penyebab kematian
utama (Rodman & Sterling)
 Cor pulmonale (53%)
 Kegagalan pernafasan akut (sub akut 30%)
 aritemia Jantung.
 60 % orang meninggal pada umur 20 tahun,dan 95 % meninggal pada
umur 55 tahun
 CPOD tahap mild dan moderate dapat dikontrol dengan baik melalui
pengobatan dan rehabilitasi pulmonal sedangkan untuk yang tahap berat
pengobatan akan lebih sulit
Diagnosis dini dan berhenti merokok akan memberikan prognosis yang
jauh lebih baik
BAB III
KESIMPULAN

Untuk penatalaksanaan penderita PPOK perlu dilakukan penilaian awal


yang teliti mengenai tingkat perjalanan penyakit, lamanya gejala, adanya
gangguan faal obstruksi jalan nafas dan derajat obstruksi. Penatalaksanaan selalu
mencakup suatu pengobatan yang terarah dan rasional, bukan semata-mata
pengobatan medika mentosa. Mengusahakan penghentian merokok harus
diusahakan semaksimal mungkin dan secara terus-menerus.
Prinsip pengobatan terdiri dari usaha pencegahan, mobilisasi dahak yang
lancar, memberantas infeksi yang ada, mengatasi obstruksi jalan nafas, mengatasi
hipoksemia pada keadaan dengan gangguan faal yang berat, fisioterapi dan
rehabilitasi dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang lama
hidup.
DAFTAR PUSTAKA
American Thoracic Society, Medical Section of the American Lung Association.
Standard for diagnostic and care of patients with chronic obstructive pulmonary
disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir. 1987; 136-43.

Anthorisen NR, Wright EC, Hodgkin JE et al. Prognosis in Chronic Obstructive


Pulmonary Disease. Am Rev Respir Dis 1986; 133: 14-20.

Faisal Yunus. Peranan Faal Paru pada Penyakit Pam Obstruktif Menahun. Dalam:
Penyakit Paru Obstruktif Menahun. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1989: 33-44.

GOLD - The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Available at
www.goldcopd.com.

[Guideline] Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Guideline Clearinghouse. 2008.

Hodgkin JE. Diagnosis and differentiation. Dalam: Chronic Obstructive Pulmonary


Disease. Park Ridge: The American College of Chest Physicians. 1979: 5-34

Linus Santo Tomas, Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Kochar's Clinical Medicine for
Students, 5th Edition. Translated by Husnul Mubarak,S.Ked

Rasyid, Ahmad. Etiopatogenesisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam Naskah


Lengkap Work-Shop Pulmonology – Pertemuan Ilmiah Tahunan IV (PIT-4) Ilmu
Penyakit Dalam PAPDI Sumbagsel. Palembang, Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2002; 43-88.

Tanuwijaya BY. Sindrom Obstruktif Difus pada Tuberkulosis Paru. Kumpulan Makalah
Ilmiah Simposium Penyakit Paru Obstruktif Menahun. 2000

Traver GA, Clience MG, Burrows B. Predictors of Mortality in Chronic Obstructive


Pulmonary Disease, Am Rev Respir Dis 1979; 119: 529-32.
Vargha G, Bruckner P. Study of relationship between cavity and obstructive ventilatory
syndrome in tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1964; 89: 8304

Anda mungkin juga menyukai