Anda di halaman 1dari 22

1

PRESENTASI KASUS

UNSPECIFIED JAUNDICE

Pembimbing:
dr. Joyo Santoso, Sp. PD

Disusun oleh :
Nur Khalifah 1620221197

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
JAKARTA

2017

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

UNSPECIFIED JAUNDICE

Disusun Oleh :
Nur Khalifah 1620221197
2

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal : 21 Juli 2017

Dokter Pembimbing,

dr. Joyo Santoso, Sp. PD


3

STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. C
Usia : 52 tahun
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : Swasta mandiri
Alamat : Limbangan 03/09 Wanareja, Kab. Cilacap, Jawa
Tengah
Tanggal/Jam Masuk : 22 Juli 2017 Pukul 11.15 WIB
Tanggal Pemeriksaan : 23 Juli 2017

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Badan terasa lemah
Keluhan Tambahan
Mual, nyeri kepala
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSMS dengan badan terasa lemas, lelah, letih dan sejak 1
bulan yang lalu. Selain itu pasien. Pasien juga mengeluh nafsu makan
menurun, cepat kenyang dan mual.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat di diagnosis dengan leukemia di RS Margono Soekarjo
- Riwayat keluhan yang sama disangkal
- Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
- Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluhan yang sama disangkal
- Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
- Riwayat kencing manis disangkal
- Riwayat alergi disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
a. Pekerjaan
Pasien mengaku pekerjaannya sebagai buruh, memberikannya cukup
waktu untuk beristirahat.
b. Diet
Pasien mengosumsi makanan sayur-sayuran serta buah-buahan dengan
jumlah yang cukup.
4

c. Habit
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik Umum
a. Keadaan umum: Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda vital :
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 96 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu badan (axila) : 36 ºC
d. Pemeriksaan kepala
- Bentuk kepala : simetris, mesochepal
- Rambut : distribusi merata
- Venektasi temporal : tidak ada
e. Pemeriksaan Mata :
- Konjungtiva anemis : +/+
- Sklera ikterik : -/-
- Palpebra edem : -/-
f. Pemeriksaan Telinga :
- Simetris :+
- Kelainan bentuk :-
- Discharge :-
g. Pemeriksaan Hidung :
- Discharge :-
- Nafas cuping hidung :-
h. Pemeriksaan Mulut :
- Bibir sianosis :-
- Lidah sianosis :-
- Lidah kotor :-
i. Pemeriksaan Leher :
- Deviasi trakea :-
5

- Pembesaran kel. Tiroid :-


- Pembesaran nnll :-
- Peningkatan JVP :-

Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, tidak ada ketinggalan gerak
Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi basah
kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada
kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari
medial LMCS
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan
gallop.
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, tidak tampak benjolan, striae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Palpasi : supel, tidak teraba masa, nyeri tekan di regio epigastrik.
Hepar : Teraba 4 jari BACD, tepi tumpul, konsistensi kenyal,
permukaan rata, NT (+)
Lien : Schuffner 3-4, konsistensi padat, berbatas tegas
6

Pemeriksaan ekstrimitas
1) Superior dextra/sinistra : edem -/-, ikterik -/-, sianosis -/-
2) Inferior dextra/sinistra : edem -/-, ikterik -/-, sianosis -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (14/06/17):
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 8.8 g/dL (L) 11.2-17.3 gr/dl
Leukosit 154.000 /uL 3.800 –10.600/µL
Hematokrit 29 % (L) 40 - 52%
Eritrosit 3.4 x 10ˆ6/uL (L) 4.4 - 5.9 juta/µL
Trombosit 427.000 /uL 150.000-440.000/µL
MCV 85 80 - 100 fL
MCH 26 pg 26 – 34 pg
MCHC 30% 32 – 36 gr/dL
RDW 16.8 % (H) 9.4 – 12.4 %
Hitung Jenis
Basofil 1.9 % (H) 0–1%
Eosinofil 0.3 %(L) 1–3%
Batang 17 % (H) 2–6%
Segmen 37.4 % (L) 50 – 70 %
Limfosit 15 % (L) 20 – 40 %
Monosit 3.5 % 2 -8 %

Ureum Darah 38.8 (H) 14.98 – 38.52 mg/dl


Kreatinin Darah 0.82 0,8 – 1,3 mg/dl

Gambaran Darah Tepi


Kesan : Anemia, leukositosis, trombositosis  suspek keganasan
hematologi (CML)

E. Diagnosis kerja
CML (Chronic Myelogenous Leukemia)

F. Terapi
IVFD NaCl 0.9% 10 tpm
Inj. ceftriaxon 2 x 1 gr
Inj.Metochlorpramid 1 amp/12 jam
Transfusi PRC 3 Koff

G. Prognosis
a. Ad vitam : dubia ad malam
b. Ad fungsionam : dubia ad malam
7

c. Ad sanationam : dubia ad malam


8

BAB I
PENDAHULUAN

Chronic Myelogenous Leukemia (CML), dikenal juga dengan nama leukemia


granulositik kronik merupakan suatu jenis kanker dari leukosit. CML adalah
bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak
terkendali dari sel myeloid pada sumsum tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di
sirkulasi darah. CML merupakan gangguan stem sel sumsum tulang klonal,
dimana ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan
basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit
myeloproliferatif dengan translokasi kromosom Philadelphia (Sawyers, 1999).
Kejadian leukemia mielositik kronik mencapai 20% dari semua leukemia
pada dewasa, kedua terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. pada umumnya
menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan
biasanya lebih progresif. Di Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom
atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor
Chernobyl meledak (Druker et al., 2001).
Dalam perjalanan penyakitnya, leukemia mielositik kronik dibagi menjadi 3
fase, yaitu: fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blast. Pada umumnya, saat
pertama kali diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase kronik, bahkan
seringkali diagnosis leukemia mielositik kronik ditemukan secara kebetulan,
misalnya saat persiapan pra-operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa
gejala infeksi (Kantarijan et al., 2002). Selanjutnya untuk penegakan diagnosis
memerlukan pemeriksaan hapusan darah tepi, serta pemeriksaan sumsum tulang
(Kantarijan et al., 2002). Oleh karena pentingnya diagnosis penyakit ini, penulis
memilih kasus presentasi leukemia mielositik kronik ini.
9

BAB II
ISI

I. DEFINISI
Leukemia granulositik kronik atau Chronic Myelogenous Leukemia
(CML) merupakan kelainan myeloproliferative yang ditandai dengan
peningkatan proliferasi dari seri sel granulosit tanpa disertai gangguan
diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat ditemukan berbagai
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan
mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit (Druker et al., 2001).
II. EPIDEMIOLOGI
Secara epidemiologi, seluruh lapisan umur dapat terkena CML. Insidensi
CML sekitar 1-2 per 100.000 populasi. CML jarang mengenai anak kecil
tetapi 15% pasien leukemia dewasa terdiagnosis CML. Pasien yang
terdiagnosis CML, biasanya berumur antara 60-65 tahun. Tahun 2009, 5050
pasien telah didiagnosis CML dan 470 pasien dinyatakan meninggal di
Amerika Serikat (Fadjari dan Sukrisman, 2009).
Di Asia, insidensi chronic myeloid leukemia lebih rendah dibandingkan
negara barat. Di negara barat, sebagian besar laki-laki memiliki resiko yang
lebih tinggi dibandingkan wanita (Fadjari dan Sukrisman, 2009).
III. ETIOLOGI
Etiologi CML (chronic myeloid leukemia) tidak diketahui secara pasti.
Sedikit sekali evidence base mengenai keterkaitan faktor genetik pada pasien
CML. Sebaliknya, pasien CML lebih merupakan penyakit yang datang secara
tiba-tiba dibandingkan keturunan. Paparan radiasi dan nuklir termasuk
radioterapi juga dapat meningkatkan angka kejadian CML. Seperti halnya di
Jepang, kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan
Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor Chernobil meledak
(Fadjari dan Sukrisman, 2009).
IV. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala dari CML tergantung pada fase yang kita jumpai pada
penyakit tersebut, yaitu (Fadjari & Sukrisman, 2009) :
a. Fase kronik terdiri atas :
10

1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,


berkeringat pada malam hari.
2. Splenomegali hampir selalu ada, dan sering masif.
3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia
akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan
masalah.
5. Gangguan penglihatan dan priapismus.
6. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran
pucat, dispneu dan takikardi.
7. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat
check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
b. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6
bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain :
demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons
terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit
menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di
berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).
c. Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak,
tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast
crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2
bulan.

V. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Pada pasien CML hampir selalu ditemukan adanya kromosom abnormal
yang disebut kromosom Philadelphia (Ph), yaitu kromosom 22q atau
kromosom 22 yang kehilangan sebagian lengan panjang. Kromosom Ph
terbentuk karena adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang
kromosom 9 dan 22. Pemendekan lengan kromosom 22 disebabkan karena
gen yang ada pada lengan panjang kromosom 9 (9q34) yaitu ABL (Abelson)
11

dan gen BCR (break cluster region) yang terletak di lengan panjang
kromosom 22 (22q11) (Aster, 2007).

Gambar 1. Translokasi Kromosom 9 dan 22.

Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang


berlebihan dari sel induk pluripotent pada sistem hematopoiesis. Proliferasi
berlebihan ini disertai dengan waktu hidup yang lebih lama, karena gen BCR-
AVL bersifat anti apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah
terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem
hematopoiesis lainnya (Fadjari & Sukrisman, 2009).
Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi beberapa fase, yaitu (I Made,
2006):
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel
premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini
ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil
segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik
terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,
mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini
leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil
dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari
satu (selain Philadelphia kromosom).
12

3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30%
sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke
jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini
berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik
Akut.

Gambar 2. Peran BCR-ABL terhadap mutasi HSC.

VI. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Manifestasi klinis leukemia myelogenous kronis (CML) adalah
membahayakan. Penyakit ini sering ditemukan secara kebetulan dalam
fase kronis, ketika didapatkan hitung leukosit meningkat pada pemeriksaan
darah rutin atau adanya splenomegali pada pemeriksaan fisik umum.
Gejala nonspesifik meliputi kelelahan dan penurunan berat badan dapat
terjadi lama setelah timbulnya penyakit. Kehilangan energi dan penurunan
toleransi latihan dapat terjadi selama fase kronis setelah beberapa bulan.
Pasien sering memiliki gejala yang berkaitan dengan pembesaran
limpa, hati, atau keduanya. Limpa besar dapat mengganggu pada lambung
dan menyebabkan cepat kenyang sehingga asupan makanan berkurang.
13

Nyeri perut kuadran kiri atas digambarkan sebagai nyeri dengan kualitas
"mencengkeram" mungkin terjadi akibat infark limpa. Limpa yang
membesar juga dapat dikaitkan dengan keadaan hipermetabolik, demam,
penurunan berat badan, dan kelelahan kronis. Hati yang membesar dapat
menyebabkan penurunan berat badan pasien. Beberapa pasien dengan
CML memiliki demam ringan dan berkeringat berlebihan terkait dengan
hipermetabolisme.
Pada beberapa pasien yang ada dalam fase akselerasi, atau fase
akut dari penyakit (melewatkan fase kronis), perdarahan, petechiae,
ekimosis dan mungkin merupakan gejala menonjol. Dalam situasi ini,
demam biasanya berhubungan dengan infeksi. Nyeri tulang dan demam,
serta peningkatan fibrosis sumsum tulang, merupakan pertanda dari fase
blast.
b. Pemeriksaan fisik
Splenomegali adalah penemuan fisik yang paling umum pada
pasien dengan leukemia myelogenous kronis (CML). Dalam lebih dari
50% pasien dengan CML, limpa berukuran lebih dari 5 cm di bawah batas
kosta kiri pada saat penemuan. Ukuran limpa berkorelasi dengan hitungan
granulocyte darah perifer, dengan limpa terbesar yang diamati pada pasien
dengan jumlah leukosit yang tinggi. Sebuah limpa sangat besar biasanya
pertanda transformasi menjadi bentuk krisis blast akut dari penyakit.
Hepatomegali juga terjadi, meskipun kurang umum daripada
splenomegali. Hepatomegali biasanya bagian dari hematopoiesis
extramedullary terjadi di limpa. Temuan fisik leukostasis dan
hiperviskositas dapat terjadi pada beberapa pasien, dengan ketinggian luar
biasa leukosit mereka penting, lebih dari 300,000-600,000 sel/uL. Setelah
funduscopy, retina dapat menunjukkan papilledema, obstruksi vena, dan
perdarahan.
Krisis blast ditandai oleh peningkatan dalam sumsum tulang atau
ledakan jumlah darah perifer atau oleh perkembangan leukemia infiltrat
jaringan lunak atau kulit. Gejala khas adalah karena trombositopenia,
anemia, basophilia, limpa cepat memperbesar, dan kegagalan obat yang
biasa untuk mengontrol leukositosis dan splenomegali.
14

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk leukemia myelogenous kronis (CML) terdiri
dari jumlah darah lengkap dengan hitung diferensial, apusan darah tepi,
dan analisis sumsum tulang. Meskipun khas hepatomegali dan
splenomegali dapat dicitrakan dengan menggunakan scan hati/limpa,
kelainan ini sering begitu jelas secara klinis sehingga pencitraan radiologis
tidak diperlukan. Diagnosis CML didasarkan pada temuan histopatologi
dalam darah perifer dan Philadelphia (Ph) kromosom dalam sel sumsum
tulang.
Kelainan laboratorium lainnya termasuk hiperurisemia, yang
merupakan refleksi dari peningkatan selularitas sumsum tulang, dan
peningkatan nyata serum vitamin B-12-binding protein (TC-I). Yang
terakhir ini disintesis oleh granulosit dan mencerminkan tingkat
leukositosis.
Tabel 2.1 Klasifikasi CML Berdasarkan WHO
Fase Definisi WHO
CML
Fase Jumlah sel blast darah perifer kurang dari 10% pada darah
Kronik dan sumsum tulang
Stabil
Fase Jumlah sel blasts 10-19% dari jumlah leukosit pada sel
Akselerasi sumsum tulang nucleated dan atau perifer; trombositopenia
persisten (< 100 × 109/L) tidak terkait dengan terapi atau
trombositosis persisten (> 1000 × 109/L) tidak responsive
terhadap terapi; peningkatan jumlah leukosit dan ukuran
limpa tidak responsive terhadap terapi; bukti sitogenetik
adanya clonal evolution
Krisis Jumlah sel blast perifer ≥ 20% dari leukosit darah tepi atau
Blast sel sumsum tulang nucleated; proliferasi blast ekstrameduler;
dan focus atau kluster besar blast pada biopsy sumsum
tulang

1. Hapusan Darah Tepi


15

Pada CML, peningkatan granulosit matang dan jumlah limfosit


normal (persentase rendah karena dilusi dalam hitungan diferensial)
menghasilkan jumlah leukosit total 20,000-60,000 sel/uL. Kenaikan
ringan pada basofil dan eosinofil terjadi dan menjadi lebih menonjol
selama masa transisi ke leukemia akut.
Proses apoptosis neutrofil matang/granulosit mengalami penurunan
(kematian sel terprogram), mengakibatkan akumulasi sel berumur
panjang dengan enzim yang rendah atau tidak ada, seperti alkalin
fosfatase (ALP). Akibatnya, pada pengecatan alkali fosfatase leukosit
sangat rendah bahkan tidak ada pada sebagian besar sel, menghasilkan
skor rendah.
Darah perifer pada pasien dengan CML menunjukkan gambaran
darah khas leukoeritroblastik, dengan sirkulasi sel dewasa dari sumsum
tulang (Gambar 3).

Gambar 3 Hapusan Darah Tepi Pasien CML. Apusan darah pada


perbesaran 400x menunjukkan leukositosis dengan kehadiran sel-sel
prekursor dari garis keturunan myeloid. Selain itu basophilia,
eosinofilia, dan trombositosis dapat dilihat.

Fase transisi atau akselerasi CML ditandai dengan penurunan


respon terhadap terapi obat myelosuppressive, munculnya sel-sel blast
perifer (≥ 15%), promyelocytes (≥ 30%), basofil (≥ 20%), dan
penurunan trombosit jumlah sampai kurang dari 100.000 sel/uL.
Promyelocytes dan basofil ditunjukkan pada Gambar 4.
16

Gambar 4. Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Transisi. Film Blood
pada perbesaran 1000X menunjukkan promyelocyte, eosinofil, dan
basofil.

Gambar 5. Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Blast. Film Blood
pada perbesaran 1000X menunjukkan garis keturunan granulocytic
keseluruhan, termasuk eosinofil dan basofil.

Tanda-tanda transformasi atau fase akselerasi pada pasien dengan


CML adalah penurunan respon terhadap obat-obatan myelosupresi atau
interferon, meningkatnya sel blast dalam darah tepi dengan basophilia
dan trombositopenia tidak berhubungan dengan terapi, kelainan
sitogenetika baru, dan meningkatnya splenomegali dan myelofibrosis.
Di sekitar dua pertiga kasus, sel blast yang ditemukan adalah
myeloid. Namun, pada sepertiga kasus sisanya, sel blast yang
ditemukan memperlihatkan fenotipe limfoid, bukti lebih lanjut dari sifat
sel induk penyakit asli. Kelainan kromosom tambahan biasanya
ditemukan pada saat fase blast krisis, termasuk tambahan Ph translokasi
kromosom atau lainnya.
Sel myeloid awal seperti myeloblasts, mielosit, metamyelocytes,
dan berinti sel darah merah yang biasa hadir dalam hapusan darah,
meniru temuan di sumsum tulang. Kehadiran sel-sel progenitor yang
17

berbeda midstage membedakan CML dari leukemia myelogenous akut,


di mana leukemic gap (maturation arrest) atau hiatus ada dan
menunjukkan adanya sel-sel ini.
Anemia ringan sampai anemia sedang sangat umum pada saat
diagnosis dan biasanya normokromik normositik dan. Jumlah trombosit
pada diagnosis bisa rendah, normal, atau bahkan meningkat pada
beberapa pasien (> 1 juta pada beberapa).
2. Analisis Sumsum Tulang
Sumsum tulang bersifat hypercellular, dengan perluasan lini sel
myeloid (misalnya, neutrofil, eosinofil, basofil) dan sel progenitornya.
Megakaryocytes (lihat gambar di bawah) yang menonjol dan dapat
ditingkatkan. Fibrosis ringan sering terlihat pada pengecatan reticulin.

Gambar 6. Hapusan Sumsum Tulang Pasien CML. Sumsum tulang Film


pada perbesaran 400x menunjukkan dominasi jelas granulopoiesis.
Jumlah eosinofil dan megakaryocytes meningkat.

Pemeriksaan sitogenetik pada sel sumsum tulang, dan darah


bahkan perifer, harus mengungkapkan kromosom khas Ph1, yang
merupakan translokasi resiprokal antara kromosom dari bahan
kromosom 9 dan 22 (lihat gambar di bawah). Ini adalah ciri khas CML,
ditemukan di hampir semua pasien dengan penyakit dan terdapat
sepanjang perjalanan klinis seluruh CML.
18

Gambar 7. Kromosom Philadelphia, yang merupakan kelainan


karyotypic diagnostik untuk leukemia myelogenous kronis, akan
ditampilkan dalam gambar ini dari kromosom banded 9 dan 22. Yang
ditampilkan adalah hasil dari translokasi resiprokal 22q ke lengan
bawah 9 dan 9q (c-ABL pada wilayah klaster breakpoint tertentu [bcr]
kromosom 22 ditandai dengan panah).

Selain itu, BCR chimeric / ABL messenger RNA (mRNA) yang


menjadi ciri khas CML dapat dideteksi oleh polymerase chain reaction
(PCR). Ini adalah tes sensitif yang hanya memerlukan beberapa sel dan
berguna dalam memantau penyakit sisa minimal (MRD) untuk
menentukan efektivitas terapi. BCR-ABL transkrip mRNA juga dapat
diukur dalam darah perifer.
Analisis karyotypic sel sumsum tulang memerlukan keberadaan sel
yang membelah tanpa kehilangan viabilitas karena bahan mensyaratkan
bahwa sel masuk ke mitosis untuk mendapatkan kromosom individu untuk
identifikasi setelah banding. Proses pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang memerlukan keahlian analis.
Teknik baru fluoresensi hibridisasi in situ (IKAN) menggunakan
probe yang berlabel hibridisasi baik kromosom metafase atau inti
interfase, dan probe hibridisasi terdeteksi dengan fluorochromes. Teknik
ini merupakan cara yang cepat dan sensitif untuk mendeteksi kelainan
struktural numerik dan berulang

Gambar 2.8 Fluoresensi hibridisasi in situ menggunakan unik-urutan, DNA probe


ganda fusi untuk bcr (22q11.2) dengan warna merah dan c-ABL (9q34) gen
19

daerah di hijau. Para bcr normal / ABL fusi hadir di Philadelphia kromosom-
positif sel-sel dalam kuning (kanan panel) dibandingkan dengan kontrol (panel
kiri).

Dua bentuk mutasi BCR / ABL telah diidentifikasi. Ini bervariasi


sesuai dengan lokasi dari daerah mereka bergabung pada domain bcr 3 '.
Sekitar 70% pasien yang memiliki 5 'breakpoint DNA memiliki pesan
RNA b2a2, dan 30% pasien memiliki 3' breakpoint DNA dan pesan RNA
b3a2. Yang terakhir ini dikaitkan dengan fase kronis lebih pendek,
kelangsungan hidup lebih pendek, dan trombositosis.
CML harus dibedakan dari Ph1-negatif dengan hasil PCR negatif
untuk BCR / ABL mRNA. Penyakit ini termasuk gangguan
myeloproliferative lain dan leukemia myelomonocytic kronis, yang
sekarang diklasifikasikan dengan sindrom myelodysplastic. Kelainan
kromosom tambahan, seperti kromosom Ph1-positif tambahan atau ganda
atau trisomi 8, 9, 19, atau 21, 17 isochromosome, atau penghapusan
kromosom Y, telah digambarkan sebagai pasien memasuki sebuah bentuk
transisi atau fase percepatan krisis blast.
Pasien dengan kondisi selain CML, seperti yang baru didiagnosis
leukemia limfositik akut (ALL) atau leukemia nonlymphocytic, mungkin
juga mempunyai kromosom Ph1. Beberapa menganggap pasien ini ada
dalam fase blastic CML tanpa fase kronis. Kromosom ini jarang ditemukan
pada pasien dengan gangguan myeloproliferative lain, seperti polisitemia
vera atau thrombocythemia esensial, tetapi ini mungkin kondisi
misdiagnosis leukemia myelogenous kronis (CML). Hal ini jarang diamati
dalam sindrom myelodysplastic.

VII. PENATALAKSANAAN
1. Fase Kronik
a. Imatinib (Glivec)
Imatinib merupakan inhibitor spesifik tirosin kinase yang dikode
20

oleh BCR-ACL. Imatinib mengontrol jumlah darah dan


menyebabkan sumsum menjadi negatif Ph pada sebagian besar
kasus, meskipun hampir semua RNA- messenger fusi BCR-ABL
tetap positif bila diuji dengan PCR. Imatinib akan menyebabkan
fase kronik memanjang dan kecepatan transformasi akut berkurang.
Dosis dapat diberikan 400mg/ hari setelah makan, dan dapat
ditingkatkan menjadi 600mg/hari jika tidak mencapai respon
hematologic setelah 3 bulan pemberian. Efek samping obat ini
meliputi mual, ruam kulit, dan nyeri otot. Imatinib dalam kombinasi
dengan obat lain juga dapat mempengaruhi terapi Ph+ ALL dan
transformasi blas CML (Atul & Victor, 2005)
b. Hidroksiurea
Memiliki efek mielosupresif sehingga akan mengontrol
peningkatan jumlah sel darah putih, tetapi tidak menimbulkan
anemia aplastic. Dosis yang dapat diberikan 30mg/kgBB/hari
diberikan dalam dosis tunggal atau dibagi menjadi 2-3 dosis. Jika
leukosit >300.000/mm3, maka dosis dapat ditingkatkan hingga
maksimal 2.5 mg/hari. Pengobatan dihentikan jika leukosit <8000
mm3 atau trombosit <100.000 mm3. Interaksi dengan 5-FU dapat
menyebabkan terjadinya neurotoksisitas (Fadjari & Sukrisman,
2009).
c. Busulfan
Termasuk golongan alkil yang sangat kuat. Dosis yang diberikan
4-8 mg/hari dan dapat dinaikkan hingga 12 mg/hari. Harus
dihentikan jika leukosit antara 10-20.000/mm3 dan baru dimulai
kembali jika leukosit >50.000/mm3. Pemberian busulfan
dikontraindikasikan pada wanita hamil. Pemberian bersama
asteaminofen, siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan
efek kerja, sedangkan pemberian dengan fenitoin akan
menurunkan efek. Jika leukosit sangat tinggi maka dapat diberikan
bersama allopurinol. Pemberian busulfan dapat menyebabkan
terjadinya fibrosis paru (Fadjari & Sukrisman, 2009).
21

d. Interferon alfa.
Interferon (IFN) alfa juga dapat mengontrol jumlah sel darah
putih dan dapat menunda onset transformasi akut, serta
memperpanjang harapan hidup keseluruhan menjadi 1-2 tahun.
Dosis yang diberikan 5\3 juta IU/m2/hari secara subkutan sampai
tercapai remisi sitogenetik, dan biasanya setelah 12 bulan terapi.
Respon terbaik adalah menjadi negative Ph, meskipun BCR-ABL
tetap positif, dan memiliki prognosis paling baik (Fadjari
&Sukrisman, 2009).
e. Transplantasi Sumsum Tulang
Terapi definitif untuk CML, dan dapat memperpanjang masa
remisi hingga >9 tahun. Tidak dilakukan pada CML dengan
kromosom Ph negative atau BCR-ABL negative. Indikasi
transplantasi sumsum tulang antara lain (Fadjari & Sukrisman,
2009):
1) Usia tidak lebih dari 60 tahun
2) Ada donor yang cocok
3) Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal.
2. Fase Akut
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti
leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan Imetinib dapat
diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar
pengobatan yang dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat
memperlambat perkembangan penyakit. (Atul & Victor, 2005).
22

DAFTAR PUSTAKA

Aster J. 2007. Penyakit Organ: Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Dalam:


Kumar V, Cotran RS, Robbins SL (eds). Buku Ajar Patologi Robbins Edisi
7. Diterjemahkan oleh Pendt BU et al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Atul M & Victor H. 2005. At A Glance: Hematology. London: Blackwell
Publishing.

Fadjari H, Sukrisman L. 2009. Limfoma Granulositik Kronis. Dalam: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

Sawyers CL, Hochhaus A, Feldman E, et al. Imatinib induces hematologic and


cytogenetic responses in patients with chronic myelogenous leukemia in
myeloid blast crisis: results of a phase II study. Blood. May 15
2002;99(10):3530-9.

Kantarjian H, Sawyers C, Hochhaus A, et al, for the International STI571 CML


Study Group. Hematologic and cytogenetic responses to imatinib mesylate
in chronic myelogenous leukemia. N Engl J Med. Feb 28 2002;346(9):645-
52.

Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific inhibitor of the
BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of chronic myeloid leukemia
and acute lymphoblastic leukemia with the Philadelphia chromosome. N
Engl J Med. Apr 5 2001;344(14):1038-42.

Anda mungkin juga menyukai