Anda di halaman 1dari 2

PERANG MELAWAN KOLONIALISME (PERANG DIPONEGORO)

Kompetensi Dasar dari KI 3

3.2 Menganalisis strategi perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan bangsa Eropa
(Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris) sampai dengan abad ke-20

Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK) dari KD 3.2

3.2.4 Menganalisis perang Diponegoro terhadap Kolonial Belanda

Materi Pembelajaran

A. Latar Belakang Terjadinya Perang Diponegoro

Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro terhadap bangsa barat terutama Belanda
disebabkan oleh beberapa faktor.

1. Kekuatan kolonial sejak awal 1800an berusaha menanamkan pengaruh di Jawa. Terutama di
tubuh Keraton Yogyakarta. Perilaku orang Barat berusaha mengubah peraturan-peraturan,
serta hukum yang berlaku di lingkungan keraton yang mendapat banyak ditentang oleh
bangsawan keraton. Selain itu, kekuasaan para pangeran dan bangsawan administratif
pribumi dikurangi dari berbagai kebijakan yang tidak menguntungkan. Padahal sebelumnya
para pangeran dan bangsawan administratif diberi wewenang untuk mengelola wilayah,
selanjutnya akan ditarik pajak untuk raja (Yamin, 1952: 16)
2. Beban rakyat terhadap pajak yang diberlakukan mengakibatkan rakyat semakin tertekan dan
menderita. Terlebih ketika Nahuijs diangkat sebagai Residen Yogyakarta derita rakyat semakin
besar. Nahuijs yang beraliran liberal menjadikan tanah-tanah apanage sebagai sumber
keuangan pemerintah dengan disewakan. Tanah disewakan kepada pemilik modal. Ada 34
jenis pajak yang dipungut oleh penguasa pribumi dari rakyat. Namun, keuntungan yang
diharapkan berbalik dengan realitas yang ada, persewaan tanah berdampak pada
kesenjangan antara penguasa dan rakyat biasa. Bangsawan memperoleh kekayaan secara
mendadak. Sementara petani dirugikan dengan diusirnya dari tanah garapan atau mereka
dijadikan budak oleh tuan tanah penyewa. Keadaan yang seperti ini di protes oleh Komisaris
Jenderal van der Capellen. Pada bulan Mei 1823 Komisaris Jenderal membatalkan keputusan
persewaan tanah.
3. Konflik yang terjadi didalam keraton semakin lama semakin meruncing setelah
Hamengkubuwono III meninggal. Kedudukan digantikan oleh R.M. Ambyah dengan gelar
Sultan Hamengkubuwono IV. Saat itu usia Hamengkubuwono IV masih 18 tahun, sehingga ia
dikendalikan oleh mertuanya Patih Danurejo IV. Dalam pemerintahannya banyak melakukan
kebijakan yang salah guna menambah pemasukan keuangan Kesultanan. Pemungutan pajak
dilakukan besar-besaran. Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal
secara mendadak setelah makan. Peristiwa itu membuat keadaan semakin memanas. Apalagi
pengangkatan Sultan Hamengkubuwono V yang bernama asli R.M Menol yang masi berusi
dua tahun. Diponegoro berpendapat bahwa R.M. Menol masih terlalu belia untuk mempimpin
dan menggantikan ayahnya. Meskipun begitu R.M. Menol tetap diangkat menjadi sultan,
sementara Pangeran Diponegoro menjadi walinya. Saat penobatan R.M. Menol insiden besar
terjadi. Pangeran Diponegoro dipermalukan di depan umum karena tidak bisa membaca dan
menulis, sementara ia diharuskan menandatangani kontrak. Setelah peristiwa itu, Diponegoro
jarang hadir dalam upacara resmi keraton. Hingga menimbulkan anggapan bahwa Diponegoro
sakit hati karena harus menyembah seseorang yang baru berusia dua tahun. Perasaan
malunya itu, ditulis dalam memoarnya. Keempat, pada pertengahan tahun 1825, Belanda
melalui Smissaert dan Patih Danurejo IV memerintahkan memasang anjir (pancang) sebagai
tanda akan pembangunan jalan yang melewati tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo
tanpa meminta izin terlebih dahulu. Diponegoro memerintahkan anak buahnya untuk
mencabuti pancang- pancang tersebut. Kemudian, Danurejo memerintahkan kembali untuk
memasang pancang pancang dengan dikawal oleh pasukan Macanan. Karena merasa jengkel
pengikut Diponegoro mencabut pancang tersebut dan mengganti dengan tombak-tombak.
Hal ini kemudian memicu serangan Belanda ke Tegalrejo pada 20 Juli 1825, sebagai awal dari
dimulainya Perang Jawa atau Perang Diponegoro.

B. Perlawanan Diponegoro Terhadap Bangsa Barat

Pemerintah kolonial melakukan provokasi dengan membuat jalan yang menerobos makam
leluhur Pangeran Diponegoro. Hal itulah yang membuat Pangeran Diponegoro marah dan
menganggapnya sebagai suatu penghinaan. Untuk memperkuat kekuasaannya beliau membangun
pusat pertahanan di Selarong. Dukungan pada pangeran Diponegoro datang dari mana-mana,
sehingga pasukan Diponegoro semakin kuat. Taktik Belanda untuk melawan pasukan Diponegoro
sangatlah banyak, salah satunya Benteng Stelsel. Sampai dengan pertengahan tahun 1826, pasukan
Diponegoro memperolah berbagai kemenangan. Untuk mengatasinya, Belanda menempuh berbagai
cara. Beberapa pemimpin pasukan Diponegoro dikirimi surat berisi ajakan untuk menghentikan
perlawanan. Usaha itu tidak berhasil. Karena perlawanan melalui ultimatum tidak mendapat respon
dari Pangeran Diponegoro, akhirnya Belanda membangun benteng-benteng di tempat-tempat yang
diduduki Belanda. Benteng yang satu dan benteng yang lain dihubungkan dengan jalan, sehingga
pasukan mudah bergerak. Akibatnya, gerak pasukan Diponegoro terhalang. Sejak tahun 1829
kekuatan Diponegoro mulai berkurang. Beberapa orang pemimpin pasukan gugur dalam pertempuran
atau menghentikan perlawanan.

C. Akibat Perang Diponegoro

Pasca terjadinya perang tersebut banyak terjadi fenomena yang tidak mengenakkan,
diantaranya pasukan dari Diponegoro mulai melemah karena 200.000 pasukannya tewas dalam
pertempuran. Pada tanggal 9 Februari 1830, pihak Belanda mengutus bekas orang kepercayaan
Diponegoro untuk membawa Diponegoro dan mengajak damai dalam perang, dimana kedua orang
tersebut adalah Penghulu Pake Ibrahim dan Kaji Baddarudin. Akhirnya Diponegoro pun setuju dan
menemui pihak Belanda yang diwakili oleh Jenderal De Kock. Pertemuan tersebut diadakan di
Magelang Pertemuan dengan Jenderal De Kock berbuah penyesalan. Diponegoro merasa tertipu dan
merasa bersalah telah menyetujui pertemuan dengan pihak Belanda tersebut. Namun, dengan gagah
Pangeran Diponegoro menolak perintah tersebut, menolak menyerah dan beliau memilih mati
denggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Lalu Pangeran Diponegoro memberi pesan terakhir
kepada Jenderal De Kock untuk dimakamkan di Jimatan (Imogiri) agar berdampingan dengan istrinya

Anda mungkin juga menyukai