Anda di halaman 1dari 38

Case Report Session

Morbus Hansen

Oleh:
Aisya Gustiana 1740312301
Sufhi Hamdan 1740312287

PRESEPTOR:
Dr.dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
dr Tutty Ariani, SpDV

BAGIAN ILMU KESEHATANKULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Morbus Hansen atau kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang menular,
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae. kusta merupakan salah satu penyakit
menular yang menimbulkan masalah yang kompleks, meliputi segi medis hingga
masalah sosial, ekonomi, budaya, kemanan, dan ketahanan nasional.1
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk
sebagian petugas kesehatan karena kecacatan yang dapat ditimbulkannnya. Penyakit
kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang termasuk salah
satu negara tersebut Indonesia.1
Kasus kusta selama periode 2008-2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru
kusta tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk.
Mengalami penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3.167 jiwa. sedangkan angka kasus
baru kusta di dunia pada tahun 2011 berjumlah 219.075 kasus dan paling banyak
ditemukan di regional Asia Tenggara (160.132). Jumlah kasus baru kusta yang
ditemukan di Indonesia berdasarkan data WHO tahun 2011 adalah sebesar 20.023 kasus
dengan prevalensi awal tahun 2012 sebesar 23.169 kasus. Angka kejadian kusta di
Indonesia dari tahun 2006 hingga 2011 senantiasa mengalami peningkatan.3 Kasus kusta
selama periode 2008-2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta tahun 2013
merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Mengalami
penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3.167 jiwa. pada tahun 2011-2013 terlihat bahwa
sebanyak 14 provinsi (42,4%) termasuk dalam bebas kusta tinggi. sedangkan 19 provinsi
lainnya (57,6%) termasuk dalam beban kusta rendah. hampir seluruh provinsi di bagian
timur indonesia merupakan daerah dengan beban kusta tinggi. Penyakit kusta dapat
mengenai hampir semua kelompok usia, dari bayi hingga usia lanjut. Selain itu, penyakit
ini juga dapat mengenai laki-laki maupun perempuan serta memiliki kaitan dengan
status sosial ekonomi seseorang.2,3
Permasalahan kusta tidak hanya sekedar menyembuhkan penyakit kusta namun lebih
kepada penyebaran penyakit dan kejadian kecacatan yang terjadi pada penderita kusta.
Oleh karena itu, pemerintah telah merancang program-program nasional untuk
penatalaksanaan kusta di Indonesia dengan dibantu oleh WHO.3
Masih tingginya kasus kusta di Indonesia serta adanya peningkatan kasus baru setiap
tahunnya, termasuk Sumatera Barat belum bebas kusta sehingga kusta salah satu
permasalahan yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
diperlukan pemahaman yang baik mengenai penyakit ini, baik mengenai patogenesis dan
penatalaksanaannya, serta masalah penularan dan pencegahan penularan serta
kecacatannya. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengangkatkan kasus kusta dalam
penulisan laporan kasus kali ini.

1.2. Batasan Masalah


Case report ini akan membahas mengenai kasus Morbus Hansen dari definisi,
epidemiologi, etiologi, patogenesis, klasifikasi dan manifestasi klinis, diagnosis,
pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, tatalaksana, prognosis, komplikasi,
pencegahan

1.3. Tujuan Penulisan


Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk memahami dan menambah
pengetahuan tentang Morbus Hansen.

1.4. Metode Penulisan


Penulisan Case Report Session ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu kepada berbagai literatur dan kepustakaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta atau Morbus Hansen yang dikenal juga dengan istilah Lepra / Leprosy adalah
penyakit infeksi kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat
intraselular obligat. saraf perifer merupakan finitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.1

2.2 Epidemiologi
Kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 berjumlah 219.075 kasus. Jumlah
tersebut paling banyak ditemukan di regional Asia Tenggara (160.132) diikuti regional
Amerika (36.832), regional Afrika (12.673), dan sisanya tersebar di regional lain di
dunia.3 Jumlah kasus baru kusta yang ditemukan di Indonesia berdasarkan data WHO
tahun 2011 adalah sebesar 20.023 kasus dengan prevalensi awal tahun 2012 sebesar
23.169 kasus. Angka kejadian kusta di Indonesia dari tahun 2006 hingga 2011
senantiasa mengalami peningkatan.3
Perkembangan kusta di Indonesia dilihat dari periode 2008-2013, angka penemuan
kasus baru pada tahun 2013 merupakan temuan yang terendah yaitu 6,79 per 100.000
penduduk. Angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79-0,96 per 10.000 penduduk. Data
untuk kasus pada anak dari tahun 2008-2013, pada tahun 2012 merupakan angka
tertinggi yaitu 11,40 per 100.000 penduduk. Berdasarkan gambar 2.1 di antara tahun
2011-2013 terlihat sebanyak 14 provinsi termasuk kedalam beban kusta tinggi, dan 19
provinsi termasuk beban kusta rendah.2
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa dalam satu negara atau wilayah yang sama
kondisi lingkungannya, didapatkan bahwa ada pengaruh etnik dalam distribusi tipe
kusta. Misalnya, di Myanmar, kejadian kusta tipe lepromatosa lebih sering terjadi pada
etnik Burma dibandingkan etnik India. Begitu pula di Malaysia, dimana kejadian kusta
tipe lepromatosa lebih banyak terjadi pada etnik Cina dibandingkan etnik Melayu atau
India.3 Faktor sosial ekonomi juga berperan dalam kejadian kusta. Adanya peningkatan
sosial ekonomi, akan menurunkan bahkan menghilangkan kejadian kusta.3

Tabel 2.1. Data Kasus Kusta di Indonesia2

Penyakit kusta dapat mengenai semua kelompok usia, berkisar antara bayi sampai
usia lanjut (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun) dengan kejadian terbanyak pada usia
produktif.3 Jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, dapat terkena kusta, dengan
perbandingan laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan perempuan (kecuali di
beberapa negara di Afrika).3
2.3 Etiologi
Kusta disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae dimana kuman ini bersifat
gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, tahan asam, berbentuk batang, dengan
ukuran 1-8µm, lebar 0,2-0,5 µm, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu.
Bakteri ini yang terutama berkembang biak dalam sel Schwann saraf, makrofag kulit,
dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Distribusi lesi yang secara klinik
predominan pada kulit, mukosa hidung, dan saraf perifer superfisial menunjukkan
pertumbuhan basil ini cenderung menyukai temperatur kurang dari 37ºC. Masa belah
diri kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain
yaitu 12-21 hari, oleh karena itu masa tunas menjadi lama yaitu rata-rata 2-5 tahun.
penyakit kusta dapat ditularkan langsung oleh penderita kusta kepada orang lain, cara
penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa
penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan konrak kulit yang erat
dan lama.

.
Gambar 2.1 Mata rantai penularan kusta.3
2.4 Patogenesis
Patogenesis cara masuk M.Leprae ke dalam tubuh massif belum diketahui dengan
pasti, Penelitian menunjukkan bahwa kuman M.leprae paling sering masuk ke tubuh
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa
nasal. Pengaruh kuman tersebut terhadap kulit akan ditentukan oleh faktor imunitas
seseorang, kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi
yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.4
Kuman ini merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat di sel
makrofag sekitar pembuluh darah superficial pada dermis atau di sel Schwann jaringan
saraf. Sel Schwann yang merupakan sel target pertumbuhan M.leprae memiliki fungsi
sebagai demielinisasi dan sedikit fungsi sebagai fagositosis. Oleh karena itu, apabila
terjadi gangguan imunitas dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.
Sehingga aktifitas regenerasi saraf berkurang dan timbul kerusakan saraf yang
progresif.Saat kuman masuk kedalam tubuh, tubuh akan bereaksi dengan mengeluarkan
makrofag (berasal dari monosit darah, sel mononuclear, histiosit) untuk memfagosit
kuman tersebut.4
Kusta tipe LL terjadi apabila terdapat kelumpuhan sistem imunitas seluler yang
menyebabkan makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
bermultiplikasi dengan bebas dan kemudian merusak jaringan.4
Sementara, pada kusta tipe TT, tubuh memiliki sistem imunitas seluler yang tinggi
sehingga kuman dapat dihancurkan oleh makrofag. Akan tetapi, setelah semua kuman di
fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan
terkadang bersatu membentuk sel datia Lenghans. Jika tidak segera diatasi, akan terjadi
reaksi berlebihan dan kerusakan saraf serta jaringan sekitarnya akibat massa epiteloid.4
M. Leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang rendah, sebab penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,
bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggunggah
timbulanya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif.4
Seseorang yang terinfeksi M.leprae gejala klinis yang akan timbul tergantung dari
respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas seluler orang tersebut
bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila
imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe lepramatosa.5

Patogenesis MH tipe tuberkuloid


Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit penderita atau
melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfa dan darah kemudian
mencapai target dari basal antara lain :3
1. Sel Schwann saraf tepi
2. Sel endotel pembuluh darah
3. Sel pericytes pembuluh darah
4. Sel monosit dan makrofag
Apabila imunitas seluler penderita tersebut tinggi ditandai dengan uji lepromin yang
positif maka dalam waktu yang singkat sel-sel radang akan datang ke sekitar makrofag
atau sel Schwann tersebut. Tujuan sel radang tersebut adalah memfagosit kuman-kuman
dan mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan kuman M. leprae. Namun, efek
samping dari peradangan tersebut akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga
proses anestesinya terjadi lebih cepat dan berat. Peradangan yang terjadi hanya sekitar
sel Schwann yang terbatas pada saraf kulit saja, tidak masuk ke pembuluh darah
sehingga lesinya sedikit dan asimetris, berbatas tegas karena dibatasi oleh sel radang,
kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan yang menyebabkan keringat berkurang,
kulit kering dan rambut kulit tidak ada.3

Patogenesis MH tipe lepramatosa


Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negatif, maka
proses fagositasis yang terjadi lemah, sehingga kuman akan bermultiplikasi lebih banyak
di dalam sel makrofag atau sel Schwann. Makrofag akan berubah menjadi sel Virchow
atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil. Apabila kuman basil sudah
terlalu banyak Foam cell akan pecah sehingga kuman basil akan keluar, lalu di tangkap
oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran sesuai dengan jaras saraf tepi.
Kemudian kuman basil akan masuk kedalam aliran darah dan menimbulkan lesi pada
kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan anestesi yang lama terjadi.3

Patogenesis MH tipe Borderline


Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa.3

Sel Schwann yang merupakan sel target pertumbuhan M.leprae memiliki fungsi
sebagai demielinisasi dan sedikit fungsi sebagai fagositosis. Oleh karena itu, apabila
terjadi gangguan imunitas dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.
Sehingga aktifitas regenerasi saraf berkurang dan timbul kerusakan saraf yang
progresif.4

2.5 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


Penyakit kusta dibagi atas beberapa jenis menurut klasifikasi dari para ahli.
Klasifikasi ini bertujuan untuk:2
1. Menentukan regimen pengobatan, prognosis, dan komplikasi
2. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menular sebagai
target utama pengobatan
3. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat
Adapun klasifikasi yang umum pada penyakit kusta adalah:1,2,3
1. Klasifikasi internasional : Klasifikasi Madrid (1953)
a. Inderteminate (I)
b. Tuberkuloid (T)
c. Borderline-Dimorphous (B)
d. Lepromatosa (L)
2. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
a. Tuberkuloid (TT)
b. Borderline tuberkuloid (BT)
c. Mid-borderline (BB)
d. Borderline lepromatous (BL)
e. Lepromatosa (LL)
3. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta : Klasifikasi WHO (1988)
a. Pausibasiler (PB)
Kusta tipe I. TT, dan sebagian besar BT dengan BTA negative menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
b. Multibasiler (MB)
Kusta tipe LL, BL, BB, dan sebagian BT menurut Ridley dan Jopling atau B
dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Pasien yang sedang dalam masa pengobatan, diklasifikan sebagai berikut:2
1. Jika pada awalnya pasien didiagnosis dengan tipe MB, tetap diobati sebgai
MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini.
2. Jika pada awalnya pasien di diagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru
berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Tabel 2.2. Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 1995

PB PB

1.Lesi kulit  1-5 lesi  > 5 lesi


(makula yang datar, papul  Hipopigmentasi/eritema  Distribusi simetris
yang meninggi, infiltrat,  Distribusi tidak simetris
plak eritem, nodus)

2.Kerusakan saraf  Hilangnya sensasi yang  Hilangnya sensasi


(menyebabkan hilangnya jelas kurang jelas
sensasi/kelemahan otot  Hanya satu cabang  Banyak cabang saraf
yang dipersarafi oleh saraf saraf
yang terkena)

Adapun gambaran klinis dari masing-masing tipe kusta dapat dilihat pada tabel
dibawa ini:
Tabel 2.3. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta multibasiler1

Multibasiler

Sifat LL BL BB
Lesi
- Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shaped
Papul Papul Punched-out
Nodus

- Jumlah Tidak terhitung, tidak Sukar dihitung, Dapat dihitung,


ada kulit sehat masih ada kulit kulit sehat jelas
sehat ada

- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris


- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Tidak ada sampai tidak Tidak jelas Lebih jelas
jelas

BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif

Tes Lepromin negatif negatif Biasanya negatif

Tabel 2.4 Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta pausibasiler 1

Pausibasiler

Sifat TT BT I
Lesi
- Bentuk Makula saja; makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat; infiltrat saja

- Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris variasi
- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
- Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai
tidak jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau hanya Biasanya negatif
+1

Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif


lemah atau negatif

1. Tipe Tuberkuloid (TT)


Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik
dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea
sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan
otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
MH.1
2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid.
Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.1
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit
MH. Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltratif, permukaan
lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT
dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini. 1
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris
dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam infiltrat lebih jelas
dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched
out.1
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat-tempat penebalan saraf.1
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian yang dingin, lengan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. 1
Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, garis muka menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang
dapat disertai dengan madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi
deformitas hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang
selanjutnya dapat terjadi atrofi testis.1
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anaesthesia.
Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru sedangkan lesi lama
menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer
mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan
pengecilan otot tangan dan kaki.1
Gambaran klinis organ tubuh lain yang dapat diserang :
1. Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan.
2. hidung : Epitasis, hidung pelana
3. tulang dan sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
4. lidah : ulkus, nodus
5. laring : suara parau
6. kelenjar limfe : limfadenitis
7. rambut : alopecia, madarosis
8. ginjal : glomerulonefritis.4

2.6 Diagnosis
Diagnosis kusta ditegakkan apabila terdapat satu dari tanda-tanda utama (cardinal
sign) yakni:3,4
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berupa bercak hipopigmentasi atau eritemastosa, mendatar
(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa dapat terjadi secara total atau sebagian
saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf
Penebalan saraf dapat disertai rasa nyeri dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yakni:
a. gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, gangguan pertumbuhan
rambut
3. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear)
Lokasi pengambilan kerokan jaringan kulit adalah kulit cuping telinga dan lesi
kulit pada bagian yang aktif. Bahan kadang-kadang diperoleh dari biopsi kulit atau
saraf.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal,. bila tidak maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu
diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan
atau disingkirkan.4
Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis dengan pemeriksaan
klinis. Jika hanya ditemukan tanda cardinal kedua, perlu dirujuk ke ahli kusta. Jika
masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai (suspek).3
Adapun tanda-tanda tersangka kusta adalah:3
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak kulit yang merah atau putih (gambaran yang paling sering ditemukan)
dan atau plakat pada kulit, terutama di wajah dan di telinga
b. Bercak kurang/mati rasa
c. Bercak yang tidak gatal
d. Kulit mengkilap atau kulit bersisik
e. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan tidak berambut
f. Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf
b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
c. Adanya cacat (deformitas)
d. Kelemahan anggota gerak dan atau wajah
e. Luka (ulkus) yang sulit sembuh
3. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai kelainan kulit yang
tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf
tepi.
Pada penegakkan diagnosis kusta yang harus diperhatikan dalam prosesnya adalah
pemeriksaan pasien. Pemeriksaan pasien dilakukan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik pasien dengan poin-poin tertentu yang jadi perhatian.

Pemeriksaan fisik
Inspeksi
- Pengamatan terhadap lesi kulit dan kerusakan kulit dengan penerangan yang baik
Palpasi
- Kelainan kulit: nodus, infiltrate, jaringan parut, ulkus, terutama pada tangan dan kaki
- Kelainan saraf
Saraf yang biasanya diperiksa adalah N. aurikularis magnus, N. ulnaris, N. peroneus,
N. tibialis posterior, dan N. radialis.2 Pada pemeriksaan akan dinilai hal-hal sebagai
berikut:
 bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
 ada pembesaran saraf atau tidak
 bentuk pembesaran apakan regular (smooth) atau irregular, bergumpal
 perabaan keras atau kenyal
 nyeri atau tidak
Adapun cara pemeriksaan saraf adalah sebagai berikut:2
1. Palpasi
a. N. aurikularis magnus
Pasien disuruh menoleh kesamping semaksimal mungking, sehingga saraf yang
terlibat akan didorong oleh otot dibawahnya sehingga sering terlihat apabila
telah mengalami pembesaran. Letakkan dua jari pemeriksa diatas persilangan
jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Lakukan perabaan dan bandingkan
antara kiri dan kanan.
b. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa dalam posisi santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Kemudian, tangan pemeriksa meraba
lekukan dibawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan menilai ada penebalan atau
tidak. Selain itu, bandingkan antara nervus kiri dan kanan untuk melihat ada
perbedaan atau tidak
c. N. paroneus lateralis
Pasien duduk dengan kaki menggantung dan diraba di bagian lateral dari
capitum fibulae, sedikit kearah posterior.
2. Tes Fungsi Saraf
a. Tes sensoris
Tabel 2.5. Pemeriksaan sensoris

Rasa Raba Rasa Nyeri Rasa Suhu

Alat Kapas, ujungnya telah Jarum 2 tabung reaksi;


dan dilancipkan masing-masing diisi air
bahan dingin (sebaiknya
sekitar 20C) dan air
panas (sebaiknya sekitar
40C)
Prinsip Memeriksa perasaan Memeriksa rangsang Memberikan ransang
Kerja rangsang raba dengan nyeri dengan suhu panas dan dingin
menyinggung kulit dan memberikan sensasi dan membandingkan
membandingkan antara tajam dan tumpul dan antara kulit sehat dan
kulit sehat dan lesi membandingkan antara lesi
kedua ransangan dan
antara kulit sehat dan
lesi

Gambar 2.2 Pemeriksaan Sensasi Raba5 Gambar 2.3 Pemeriksaan Nyeri5

Gambar 2.4 Pemeriksaan Sensasi terhadap Suhu5


Gambar 2.5 Pemeriksaan N.Medianus5

Gambar 2.6 Pemeriksaan N.tibialis posterior dan N. aurikularis magnus5

Gambar 2.7 Pemeriksaan N.peroneus lateralis5


b. Tes otonom
Pemeriksaan fungsi otonom pada lesi kusta dapat dilakukan dengan melakukan
tes anhidrosis sebagai berikut:
- Tes dengan pensil tinta hitam (tes Gunawan)
Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai hingga
ke daerah kulit normal
- Tes pilocarpin
Suntikkan pilokarpin subkutan pada makula dan perbatasannya dan nilai
setelah beberapa menit. Pada daerah kulit normal akan berkeringat
sementara daerah lesi tetap kering
c. Tes motoris
Tes motoris dilakukan dengan prosedur voluntary muscle test (VMT). Tes ini
akan menilai fungsi motoris dari saraf yang mungkin terlibat dalam penyakit
kusta. Adapun cara pemeriksaannya sebagai berikut:
- Pemeriksaan fungsi N.ulnaris

▪ Pegang jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien dengan lurus.

▪ Instruksikan pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya.

▪ Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, letakkan kartu diantara jari
kelingking dan jari manis pasien, minta pasien untuk berusaha menahan kartu
tersebut.

▪ Terik kartu tersebut secara perlahan untuk mengetahui ketahanan otot pasien.
- Pemeriksaan fungsi N.medianus

▪ Tekuk pergelangan tangan pasien sedikit kearah belakang selama pemeriksaan

▪ Minta pasien untuk mengangkat ibu jarinya keatas. Perhatikan pangkal ibu jari,
apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus

▪ Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan/dorong ibu jarinya pada


bagian telapak
- Pemeriksaan fungsi N.radialis

▪ Pegang pergelangan tangan pasien

▪ Minta pasien untuk mengangkat pergelangan tangan ke belakang sepenuhnya

▪ Dorong punggung tangan pasien secara perlahan untuk menguji ketahanan


ototnya
- Pemeriksaan fungsi N.peroneal communis

▪ Pegang belakang pergelangan kaki pasien

▪ Minta pasien untuk mengankat kaki sepenuhnya

▪ Tekan punggung kaki untuk memeriksa ketahanan ototnya

▪ Minta pasien untuk memutar kakinya keluar

▪ Dorong kakinya dari sebelah luar untuk memeriksa ketahanan ototnya.4

2.8 Diagnosis Banding


Penyakit kusta dikenal sebagai the great imitator karena penyakit ini banyak
merupai lesi dari penyakit lainnya. Beberapa penyakit kulit yang menyerupai kusta
ditunjukkan pada Tabel 2.4.3
Tabel 2.6 Beberapa diagnosis banding kusta3

Jenis Lesi

Bercak merah Bercak putih Nodul


Psoriasis Vitiligo Neurofibromatosis
Bercak merah, batas tegas Pigmen kulit hilang total Bercak café au lait (bercak
dengan sisik berlapis-lapis warna kulit amat putih coklat muda berbatas
tegas) yang sering timbul
sejak lahir; nodus dan
tumor bertangkai pada usia
lanjut, tersebar luas, tanpa
rasa baal,BTA (-)
Tinea circinata Pitiriasis versicolor Sarkoma Kaposi
Bercak meninggi, sering Punggung tampak lesi Nodus lunak berwarna biru
meradang, mengandung berupa plak keunguan, lokalisata
vesikel/krusta hipopigmentasi dengan (terutama pada kaki), BTA
skuama halus & berbatas (-)
tegas
Dermatitis seboroik Pitiriasis alba Veruka vulgaris
Lesi di daerah sebore Makula berbentuk Papul-papul diatas dengan
(berminyak) dengan sisik bulat/oval dengan sisik, permukaan kasar
kuning berminyak, gatal, rasa raba normal
kronis, residif, tidak ada
rasa baal

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan bakterioskopik1
 Pemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen
Bahan pemeriksaan diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2 atau 4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif.
 Indeks Morfologi
Untuk menentukan persentasi BTA hidup atau mati
Rumus:
Jumlah BTA solid x 100 % = X %
Jumlah BTA solid + non solid
Guna: Untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, dan
melihat infeksiositas penyakit
 Indeks Bakteri
Untuk menentukan klasifikasi penyakit Lepra, dengan melihat kepadatan BTA
tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/ granular).
Tabel 2.7. Indeks Bakteri1

BTA
1 – 10/ 100 L.P +1
1 – 10/ 10 L.P +2
1 – 10/ 1 L.P +3
10 – 100/ 1 L.P +4
100 – 1000/ 1 L.P +5
> 1000/ 1 L.P +6

2. Pemeriksaan histopatologik1
Untuk membedakan tipe TT & LL
 Pada tipe TT ditemukan Tuberkel (Giant cell, limfosit) yang akan menekan saraf
di kulit dan saraf tepi.
 Pada tipe LL ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) di histiosit dimana di
dalamnya BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk gelembung.
Ditemukan lini tenang (subepidermal clear zone).
3. Pemeriksaan serologik1
• Tes ELISA
• Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination)
• ML dipstick

2.10 Pengobatan
Regimen pengobatan MDT
Kombinasi obat dapson (DDS), rifampisin, dan klofazimin (lampren), yang
bertujuan untuk mengurangi resistensi dapson, memperpendek masa pengobatan,
mempercepat memutus mata rantai penularan, serta mengurangi ketidak-taatan pasien
dan menurunkan angka putus obat.1
Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe

Gambar 2.8 Regimen MDT8

Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang


direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.8. Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler

Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keteranga


n
Minum
Rifampisin 300mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas
Berdasarka
Minum di
n berat
25 mg/bln 50mg/bln 100 mg/bln depan
badan
DDS petugas

Minum di
25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari
rumah

Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)

▪ 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)

▪ 1 tablet dapson/DDS 100mg


Pengobatan harian: hari ke 2-28

▪ 1 tablet dapson/DDS100 mg

Tabel 2.9. Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler

Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan

Minum
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepan
petugas

Berdasarkan Minum
berat badan 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln didepan
Dapson petugas

Minum
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln
dirumah
Minum
100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln didepan
Lampren petugas

50 mg 2x 50 mg setiap Minum
50 mg perhari
seminggu 2 hari dirumah

Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)

▪ 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)

▪ 3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)

▪ 1 tablet dapson/DDS 100 mg


Pengobatan harian: hari ke 2-28

▪ 1 tablet lampren50 mg

▪ 1 tablet dapson/DDS 100 mg

2.12 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
 Nama : Ny. K
 Tanggal Lahir : 27 Juni 1998
 Umur : 20 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 No MR : 01.0369.74
 Alamat : Jl. Seranti nomor 1, Tunggul Hitam, Padang
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Pegawai rumah makan
 Suku : Minang
 Pendidikan : Tamat SMA
 Status Perkawinan : Belum Menikah

II. Anamnesis
Seorang pasien wanita berumur 20 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP M. Djamil Padang pada tanggal 22 Maret 2019 dengan:
Keluhan Utama :
Bercak merah yang mati rasa di wajah, leher, punggung, lengan kiri,tungkai
bawah kanan dan kiri yang mati rasa dan semakin menebal sejak kurang lebih 3 tahun
sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
 Bercak merah yang mati rasa di wajah, leher, punggung, lengan kiri,tungkai bawah
kanan dan kiri yang mati rasa dan semakin menebal sejak kurang lebih 3 tahun
sebelum masuk rumah sakit
 Awalnya bercak merah muncul di punggung sebesar koin, dalam 1 bulan semakin
lama semakin membesar dan menyebar ke wajah, dada, leher, tungkai atas dan
tungkai bawah. Bercak merah mati rasa.
 Kedua tangan dan kedua kaki mati rasa sejak 3 tahun yang lalu. Pasien tanpa sadar
sering memegang kuali panas terutama dengan tangan bagian kiri
 Tangan kiri dirasakan tampak semakin mengecil dan bengkok sejak 3 tahun
sebelum masuk rumah sakit
 Nyeri pada sendi-sendi besar dirasakan setiap muncul bercak merah
 Alis dan rambut rontok sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit
 Penglihatan berkurang sejak 3 tahun sebelum masuk rumah sakit
 Riwayat demam sebelumnya ada saat bercak merah muncul, tidak tinggi dan tidak
menggigil, saat ini pasien tidak demam.
 Keluhan yang sama pada tempat lain tidak ada
 Riwayat luka di daerah bercak sebelumnya disangkal
 Riwayat timbul bengkak-bengkak merah yang nyeri tidak ada
 Kesemutan disangkal
 Riwayat menderita borok tidak ada
 Riwayat kelopak mata tidak dapat menutup sempurna tidak ada
 Pasien tidak pernah pindah tempat tinggal atau tinggal lama didaerah lain
 Pasien berasal dari Lubuk Linggau, sudah 6 bulan ini tinggal di Padang.
 Riwayat tetangga yang mempunyai keluhan yang sama tidak diketahui
Riwayat Pengobatan
 Pasien berobat dengan dukun kampung sejak 3 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Peasien mendapatkan obat-obatan herbal yang dioleskan di bercak merah dan obat
minum, terakhir 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Setelah diberikan obat
kampung bercak mengecil namun muncul kembali, semakin lama timbul keluhan
lain pada tangan , kaki dan mata. Pasien dibawa ke RSUP M djamil padang pertama
kali satu bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat anggota keluarga mengalami keluhan yang sama disangkal.

Riwayat Penyakit Atopi


 Pasien tidak ada riwayat galigata setiap udara dingin
 Pasien tidak ada riwayat alergi makanan/ obat
 Pasien tidak ada riwayat bersin-bersin pagi hari
 Pasien tidak ada riwayat alergi serbuk sari
 Pasien tidak ada riwayat mata gatal dan berair
 Pasien tidak ada riwayat biring susu
 Pasien tidak ada riwayat nafas sesak bunyi menciut

III. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
 Keadaan umum : Tidak tampak sakit
 Kesadaran : Komposmentif kooperatif
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
 Berat badan : 55 kg
 Tinggi badan : 157cm
 Status gizi : normal (IMT 22,31)
 KGB : Tidak ada pembesaran KGB
 Pemeriksaan toraks : tidak ditemukan kelainan
 Pemeriksaan Abdomen : tidak ditemukan kelainan
Status Dermatologikus
 Lokasi : dahi bagian tengah hingga hidung, pipi kiri, dagu, leher bagian
depan, dada bagian kiri dan tengah, lengan kiri bawah medial, jari tengah kanan,
punggung bagian bawah, paha kiri bagian depan hingga lutut, lutut kanan, betis
kanan bagian depan dan punggung kaki kiri dan kanan
 Distribusi : terlokalisir
 Bentuk : tidak khas
 Susunan : anular - tidak khas
 Batas : tegas- tidak tegas
 Ukuran : plakat
 Effloresensi : Plak eritem, dan plak eritem dengan hiperpigmentasi di betis kanan
 Jumlah lesi : 12
 Permukaan : seperti kulit yang sehat
Gangguan sensibilitas:
Rasa tusuk : hipoestesi pada wajah, dada, punggung tangan kanan,punggung kaki
kanan dan kiri anestesi pada lengan kiri bawah punggung, paha-lutut kiri dan tungkai
bawah kanan.
Rasa raba : hipoestesi pada wajah, dada, punggung tangan kanan,punggung kaki
kanan dan kiri anestesi pada lengan kiri bawah punggung, paha-lutut kiri dan tungkai
bawah kanan.
Pembesaran saraf perifer:
 N. Aurikularis magnus dextra dan sinistra : tidak ada pembesaran, nyeri (-)
 N. Ulnaris dextra dan sinistra : tidak ada pembesaran, nyeri (-)
 N. Peroneus lateral dextra dan sinistra : tidak ada pembesaran dan nyeri (-) pada
dextra . terdapat pembesaran dan nyeri (+) pada sinistra.
 N. Tibialis posterior : tidak ada pembesaran dan nyeri (-) pada
dextra . terdapat pembesaran dan nyeri (+) pada sinistra
Tes Kekuatan Otot
 M.orbikularis okuli : 5|5  M.abduktor pollicis brevis : 5|5
 M.abduktor digitiminimi : 4|2  M. Tibialis anterior : 4|4
 M.interosseus dorsalis : 5|4
Kelainan Lainnya
 Kontraktur : jari I tangan kiri  Lagophtalmus : tidak ada
 Mutilasi : tidak ada  Claw hand : jari II, III, IV, V
 Atrofi otot : otot thenar dan tangan kiri
hipothenar tangan kiri  Ape hand : tidak ada
 Xerosis kutis : tidak ada  Wrist drop : tidak ada
 Absorbsi : tidak ada  Dropped foot : tidak ada
 Ulkus trofik : tidak ada  Facies leonina : tidak ada
 Madarosis : tidak ada

Resume
Seorang pasien wanita berumur 20 tahun dengan keluhan utama Bercak merah
yang mati rasa di wajah, leher, punggung, lengan kiri,tungkai bawah kanan dan kiri
yang mati rasa dan semakin menebal sejak kurang lebih 3 tahun sebelum masuk rumah
sakit. Awalnya bercak merah muncul di punggung sebesar koin, dalam 1 bulan semakin
lama semakin membesar dan menyebar ke wajah, dada, leher, tungkai atas dan tungkai
bawah. Rambut dan alis rontok ada sejak 3 tahun yang lalu dan penglihatan berkurang
ada sejak 3 tahun yang lalu. Riwayat demam sebelumnya ada saat bercak merah
muncul, tidak tinggi dan tidak menggigil, saat ini pasien tidak demam.Kesemutan dan
nyeri pada sendi ada. Pasien mengaku menggunakan obat tradisional yang dioles pada
bercak dan diminum sejak 3 tahun yang lalu, rutin digunakan, pasien mengaku gejala
sedikit berkurang, tetapi terdapat bercak baru muncul, terakhir digunakan 6 bulan yang
lalu. Pasien ada riwayat galigata.
Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan pada dahi bagian tengah hingga
hidung, pipi kiri, dagu, leher bagian depan, dada bagian kiri dan tengah, lengan kiri
bawah medial, jari tengah kanan, punggung bagian bawah, paha kiri bagian depan
hingga lutut, lutut kanan, betis kanan bagian depan dan punggung kaki kiri dan kanan,
distribus terlokalisir, bentuk tidak khas, susunan anular sampai tidak khas, batas tegas
sampai tidak tegas, ukuran plakat dengan effloresensi plak eritem, jumlah lesi 12dan
permukaan sama seperti kulit yang sehat. Terdapat Gangguan sensibilitas rasa raba dan
tusuk, berupa hipoestesi pada wajah, dada, punggung tangan kanan,punggung kaki
kanan dan kiri anestesi pada lengan kiri bawah punggung, paha-lutut kiri dan tungkai
bawah kanan. Kekuatan otot berkurang terutama pada ekstrimitas atas kiri serta
kontraktur pada jari I tangan kiri, atrofi otot pada otot thenar dan hipothenar tangan kiri
serta Claw hand pada jari II, III, IV, V tangan kiri.

Diagnosis Kerja
Morbus Hansen tipe BL dengan kecacatan derajat II

Diagnosis Banding
Morbus Hansen tipe LL
Urtikaria Kronik

Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan Bakterioskopik BTA dengan +4

Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan Histopatologik
Pemeriksaan Serologik

Diagnosa Utama
Morbus Hansen tipe BL dengan kecacatan derajat II

Tatalaksana
Terapi Umum
 Penjelasan mengenai penyakit (penyebab, penularan dan komplikasi) dan
pengobatan pada pasien dan keluarga, serta kontrol rutin tiap bulan ke poli klinik
Kulit dan Kelamin, berobat teratur sampai dinyatakan sembuh.
 Menjelaskan pada pasien bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat resiko
terjadinya luka, dan daerah yang luka merupakan tempat masuk bakteri, sehingga
hindari luka.
 Memberitahukan pada pasien bahwa penggunaan Rifampicin menyebabkan
warna buang air kecil berwarna merah sehingga pasien tidak perlu khawatir.
 Menjelaskan pada pasien bahwa penggunaan obat MDT dapat menyebabkan
kulit lebih gelap, namun setelah pengobatan selesai maka kulit pasien akan
kembali seperti semula.
 Menerangkan kepada pasien untuk menganjurkan anggota keluarga lain untuk
diperiksa

Terapi Khusus
MDT-MB 1x1
 Hari 1 : Rifampicin 600mg
Dapson 100 mg
Lampren 300 mg
 Hari 2-28 : Dapson 100 mg
Lampren 50 mg

Prognosis
 Quo ad sanationam : bonam
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad kosmetikum : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia
RESEP

PRAKTIK UMUM
dr. Bersama
SIP. 003/07/25125
Praktik Senin-Jumat
16.00-20.00
Jalan Cemara No 5 Padang
Telp. 0751-75312
Padang, 22 Maret 2019

R/ Rifampicin cap 300 mg No.II


S1dd tab II φ

R/ Dapsone tab 100 mg No. XXVIII


S1dd tab I φ

R/ Lampren cap 50 mg No. XXIX


S1dd tab I

Pro : Nn K
Umur : 20 tahun
Alamat : Jl. Seranti no. 1, Tunggul Hitam, Kota Padang
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien wanita berumur 20 tahun dengan keluhan utama Bercak merah
yang mati rasa di wajah, kedua lengan, punggung, dan kedua tungkai yang semakin
menebal sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu. Awalnya bercak merah muncul di
punggung sebesar koin, dalam 1 bulan semakin lama semakin membesar dan menyebar
ke wajah, dada, leher, tungkai atas dan tungkai bawah. Rambut dan alis rontok ada sejak
3 tahun yang lalu dan penglihatan berkurang ada sejak 3 tahun yang lalu. Riwayat
demam sebelumnya ada saat bercak merah muncul, tidak tinggi dan tidak menggigil,
saat ini pasien tidak demam.Kesemutan dan nyeri pada sendi ada. Pasien mengaku
menggunakan obat tradisional yang dioles pada bercak dan diminum sejak 3 tahun yang
lalu, rutin digunakan, pasien mengaku gejala sedikit berkurang, tetapi terdapat bercak
baru muncul, terakhir digunakan 6 bulan yang lalu. Pasien ada riwayat galigata.
Kusta atau disebut juga dengan lepra (Morbus Hansen) merupakan infeksi kronik
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer merupakan lokasi pertama yang diserang, kemudian lanjut mengenai kulit hingga
menyebabkan gejala berupa kulit yang mati rasa, dan dapat menyerang organ lain
kecuali susunan saraf pusat.1 Sel Schwann yang merupakan sel target pertumbuhan
M.leprae memiliki fungsi sebagai demielinisasi dan sedikit fungsi sebagai fagositosis.
Oleh karena itu, apabila terjadi gangguan imunitas dalam sel Schwann, kuman dapat
bermigrasi dan beraktivasi. Sehingga aktifitas regenerasi saraf berkurang dan timbul
kerusakan saraf yang progresif. Saat kuman masuk kedalam tubuh, tubuh akan bereaksi
dengan mengeluarkan makrofag (berasal dari monosit darah, sel mononuclear, histiosit)
untuk memfagosit kuman tersebut.4 Kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan yang
menyebabkan keringat berkurang, kulit kering dan rambut kulit tidak ada.
Sumber infeksi diidentifikasi berdasarkan anamnesis. Pada pasien ini tidak
ditemukan keluarga yang menderita keluhan seperti tukak atau kulit yang mati rasa
ataupun didiagnosis dengan kusta. Riwayat tetangga yang mempunyai keluhan yang
sama tidak diketahui. Pasien merupakan seorang keryawan rumah makan. Masa inkubasi
dari kusta sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun dan rata-rata 3-5 tahun. Cara
penularannya bisa berupa kontak langsung antar kulit yang lama dan erat, serta secara
inhalasi karena Mycobacterium leprae dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Kemungkinan proses infeksi pada pasien adalah melalui orang-orang disekitar yang
sering berkontak dengan pasien dengan cukup lama yang tidak diketahui apakah terkena
kusta atau tidak.1
Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan pada dahi bagian tengah hingga
hidung, pipi kiri, dagu, leher bagian depan, dada bagian kiri dan tengah, lengan kiri
bawah medial, jari tengah kanan, punggung bagian bawah, paha kiri bagian depan
hingga lutut, lutut kanan, betis kanan bagian depan dan punggung kaki kiri dan kanan,
distribus terlokalisir, bentuk tidak khas, susunan anular sampai tidak khas, batas tegas
sampai tidak tegas, ukuran plakat dengan effloresensi plak eritem, jumlah lesi 12 dan
permukaan sama dengan kulit yang sehat, dan masih adanya kulit yang sehat. Terdapat
gangguan sensibilitas pada semua lesi, baik dari sensasi raba maupun sensasi tusuk.
Kekuatan otot menurun terutama pada muskulus digitiminimi sinistra. kontraktur pada
jari I tangan kiri, atrofi otot pada otot thenar dan hipothenar tangan kiri serta Claw hand
pada jari II, III, IV, V tangan kiri. Pada pasien ditemukan nilai BTA +4 pada kerokan
jaringan kulit. Hal ini telah mencakup 3 dari 3 buah Cardinal Sign (kulit mati rasa,
pembesaran saraf tepi, dan BTA (+)) dari diagnosis kusta. Berdasarkan hal tersebut juga
dapat diarahkan diagnosis ke MH tipe BL.Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi,
pembesaran serabut saraf serta pengecilan otot tangan dan kaki.
Terapi umum yang diberikan adalah menjelaskan tentang penyakit (penyebab,
penularan, dan komplikasi) dan pengobatan pada pasien dan keluarga serta kontrol rutin
tiap bulan ke poli Kulit dan kelamin dan berobat teratur sampai dinyatakan sembuh.
Selain itu dijelaskan juga efek samping obat sehingga pasien tidak perlu khawatir
terhadap efek samping tersebut. Pasien juga dianjurkan untuk mengajak anggota
keluarga lain untuk diperiksa. Terapi khusus berupa MDT MB selama 24 bulan.
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas) terdiri dari kapsul
rifampisin 600mg, dapson 100 mg dan lampren 300 mg, sedangkan untuk hari ke 2-28
adalah dapson 100 mg, lampren 50 mg
Prognosis pada pasien ini adalah Quo Ad Vitam Bonam karena penyakit ini tidak
mengancam jiwa. Secara quo ad sanationam dubia karena penyakit ini dapat sembuh jika
patuh berobat. Secara quo ad kosmetikum dubia ad bonam karena bekas bercak yang
lama hilang, secara quo ad functionam dubia karena terdapat anestesi pada kedua lesi
dan terdapat kontraktur pada jari I tangan kiri, atrofi otot pada otot thenar dan hipothenar
tangan kiri serta claw hand pada jari II, III, IV, V tangan kiri. Pengobatan untuk penyakit
kusta harus cepat dan tepat untuk mencegah terjadinya kecacatan
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al, 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
edisi 6. Jakarta: badan Penerbit fakultas Kedokteran universitas Indonesia, hal
73-83.
2. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2015
3. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2012
4. Daili ESS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI. 2003
5. Anum Q, Asri E, Gustia R, Lestari S, Yenny SW, Isramiharti, Akhyar G.
Panduan Praktek Klinik SMF Kulit dan Kelamin RS.Dr.M.Djamil Padang.
Padang: Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS.Dr.M. Djamil. 2013.
6. World Health Organization, 2015. Leprosy. Diakses dari
http://www.who.int/lep/en/

Anda mungkin juga menyukai