Anda di halaman 1dari 59

REFRESHING

“PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI”

Disusun oleh :

Tiara Andarini

2014730090

Pembimbing :

dr. Ricky Gusanto K, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2018

1
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan

hidayahnya penulis dapat menyelesaikan refreshing tentang “Pemeriksaan Fisik Neurologi”

Laporan ini disusun sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik stase Ilmu Penyakit Saraf.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada dr. Ricky Gusanto K, Sp.S

yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari

segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik

dan saran yang sifatnya membangun, guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami

untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Jakarta, September 2018

Penyusun

Tiara Andarini

2
PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI

ANAMNESIS

Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting.
Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya. Biasanya
penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan kadang-kadang saat
penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu, ada
juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu tertentu; jadi, dalam bentuk serangan. Di
luar serangan, penderitanya berada dalam keadaan sehat. Jika penderita datang ke dokter di luar
serangan, sulit bagi dokter untuk menegakkan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan
laporan yang dikemukakan oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (allo-
anamnesis).

Tidak jarang pula suatu penyakit mempunyai perjalanan tertentu. Oleh karena perjalanan
penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis kita perlu menggali
data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat disebabkan oleh bermacam penyakit.
Dengan mengetahui perjalanan penyakit, kita dapat mendekati diagnosisnya, dan pemeriksaan
laboratorium yang tidak perlu dapat dihindari. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa:
“Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke ara diagnosa yang tepat”.

Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan penuh
perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat
tersendiri, supaya tidak didengar orang lain. Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola
umum, yaitu:

1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang
dideritanya.
2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau kelainannya
dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju.

3
Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut diatas.

Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan,
alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang
berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri:

1. Sejak kapan mulai


2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, sehabis makan
dan lain sebagainya)
5. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang dalam
bentuk serangan, dan lain sebagainya

Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau
kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya, dalam bentuk
serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin
berat atau makin sering? Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari?
2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak,
seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)?
3. Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau anda
merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya
dengan perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus
(telinga berdenging, berdesis)?
4. Gangguan pemglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu
atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)?

4
5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus (bunyi
berdenging/berdesis pada telinga)?
6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi (pengeluaran
air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah? Adakah kelemahan
pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah suara anda berubah, jadi
serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang (afonia)? Apakah bicara jadi cadel
dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan (disfagia)?
7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda
menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau memahami
pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan kemampuan
membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami apa yang anda baca?
Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah kemampuan menulis berubah, bentuk
tulisan berubah?
8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang
terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan seperti mau pingsan
(sinkop)?
9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan, lengan,
kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau berkurang? Apakah
gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada bagian tubuh atau ekstremitas
badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan (khorea, tremor, tik)?
10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau
ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Dimana
tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar?
11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi), dan nafsu
seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau alvi?

Disamping data yang bersifat saraf ini, perlu juga dujajaki adanya keluhan lain, yang bukan
merupakan keluhan saraf dalam arti kata sempit, namun mungkin ada hubungannya dengan
kelainan saraf yang sedang diderita. Misalnya, kelianan jantung, paru, tekanan darah tinggi dan
diabetes mellitus.

5
KESADARAN

Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Orang normal dapat
berada dalam keadaan : sadar, mengantuk, atau tidur. Bila tidur maka dapat dibangunkan oleh
rangsang, misalnya nyeri, bunyi atau gerak.

Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi, dan
bila perlu memberikan rangsang nyeri.

 Inspeksi, perhatikan apakah pasien berespons secara wajar terhadap stimulus visual,
auditoar, dan taktil yang ada disekitarnya.
 Konversasi, Apakah pasien memberikan reaksi wajar terhadap suara konversasi, atau dapat
dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan suara yang kuat?
 Nyeri, bagaimana respons pasien terhadap rangsang nyeri?

Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa yaitu:

 Normal : kompos mentis


 Somnolen : keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya
pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
 Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang
yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan
yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri pasien tidak dapat
dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat
diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri
masih baik.
 Koma : Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri
yang bagaimanapun kuatnya.

Delirium, Penderita delirium menunjukkan penurunan kesadaran disertai peningkatan yang


abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur – bangun yang terganggu. Pada keadaan ini
pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktifitas motorik meningkat, meronta-

6
ronta. Penyebab delirium beragam, diantaranya ialah kurang tidur, oleh berbagai obat, dan
gangguan metabolic toksik. Pada manula, delirium kadang didapatkan waktu malam hari.
Penghentian obat anti depresan yang telah lama digunakan dapat menyebabkan delirium-tremens.
Demikian juga bila pecandu alcohol mendadak menghentikan minum alcohol.

Skala Koma Glasgow

Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow
yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada
respon tersebut. Tanggapan/respon penderita yang perlu diperhatikan adalah:

Membuka mata

 Spontan 4
 Terhadap bicara 3
 Dengan rangsang nyeri 2
 Tidak ada reaksi 1

Respon verbal (bicara)

 Baik dan tidak ada disorientasi 5


 Kacau (“confused”) 4
 Tidak tepat 3
 Mengerang 2
 Tidak ada jawaban 1

Respon motorik (gerakan)

 Menurut perintah 6
 Mengetahui lokasi nyeri 5
 Reaksi menghindar 4
 Refleks fleksi (dekortikasi) 3
 Refleks ekstensi (deserebrasi) 2

7
 Tidak ada reaksi 1

Bila kita gunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma, maka koma = tidak didapatkan
respons membuka mata, bicara dan gerakan dengan jumlah nilai = 3, nilai 3-5 dapat sesuai dengan
keadaan koma, 6-7 soporokoma, 8-9 sopor. Nilai tertinggi 15 yang berarti sadar.

PEMERIKSAAN UMUM

Pemeriksaan harus mencakup :

a. Gejala vital, Periksa jalan nafas, keadaan respirasi dan sirkulasi. Pastikan bahwa jalan nafas
terbuka dan pasien dapat bernafas. Otak membutuhkan pasokan oksigen yang kontinu,
demikian juga glukosa. Tanpa oksigen sel-sel otak akan mati dalam waktu lima menit,
karena itu, harus ada sirkulasi darah untuk menyampailkan oksigen dan glukosa ke otak.
Jadi waktu untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah adalah singkat, dan keadaan
kadar dextrose yang diberikan harus cukup untuk nutrisi otak,
b. Kulit, perhatikan tanda trauma, stigmata penyakit hati, bekas suntikan, kulit basah karena
keringat misalnya pada hipoglikemi dan syok, kulit kering misalnya pada koma diabetic,
perdarahan misalnya pada demam berdarah dengue dan DIC.
c. Kepala, Perhatikan tanda trauma, hematoma dikulit kepala, hematoma disekitar mata,
perdarahan di liang telinga dan hidung.
d. Thoraks, jantung, parum abdomen dan ekstremitas.

PEMERIKSAAN NEUROLOGI

TANDA RANGSANG MENINGEAL

Kaku kuduk

Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sbb: Tangan pemeriksa ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan
agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku
kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat
ringan atau berat.
8
Kernig sign

Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian
panggul sampai membuat sudut 90°. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut
sampai membentuk sudut lebih dari 135° terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri
sebelum atau kurang dari sudut 135°, maka dikatakan Kernig sign positif.

Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada
pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu
menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi
di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

9
Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)

Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut,
kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik
berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.

Brudzinski II

Brudzinski III

Penekanan pada simfisis pubis akan disusul oleh timbulnya gerakan fleksi secara
reflektorik pada kedua tungkai disendi lutut dan panggul.

10
Lasegue sign

Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua tungkai diluruskan
(diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian
panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada
keadaan normal dapat dicapai sudut 70° sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul
rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70° maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada
pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60°.

Lasegue Sign

PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS

N I = N. Olfaktorius

Fungsi: untuk indera penciuman


Syarat pemeriksaan:
1. Bahan yang digunakan bersifat aromatik, tidak merangsang mukosa hidung, dan mudah
dikenal.
Misalnya: teh, kopi, tembakau, sabun, vanili, dll.
2. Bahan yang mudah menguap dan merangsang mukosa hidung tidak dapat dipakai karena akan
merangsang juga N.V. misalnya: alkohol, amonia.

11
3. Sebelum pemeriksaan terlebih dulu jalan lintas pernapasan melalui hidung harus baik, bersih,
dan lancar. Jadi tidak ada corpus alineum, rhinitis, atau polip.
4. Mata penderita sebaiknya ditutup atau dapat tetap terbuka tetapi bahan yang digunakan
dimasukkan dalam botol kecil berwarna gelap.
Cara pemeriksaan:
1. Penderita diberitahu terlebih dahulu bahwa daya penciumannya akan diperiksa. Kemudian
diminta untuk mengidentifikasi apa yang tercium olehnya jika suatu botol didekatkan pada
lubang hidungnya.
2. Pemeriksaan dilakukan terhadap kedua lubang hidung.
3. Pemeriksaan dimulai dengan menyuruh penderita menutup satu lubang hidung. Kemudian
bahan pemeriksaan kita dekatkan pada lubang hidung sebelahnya dan penderita diminta untuk
menghirup/menciumnya. Setelah itu penderita diminta menyebutkan nama bahan tersebut.
Selesai pemeriksaan lubang hidung yang satu dilanjutkan dengan memeriksa lubang hidung
sebelahnya.
4. Terciumnya bau-bauan secara tepat berarti fungsi penciuman (N.1) kedua belah sisi adalah
baik.
Kelainan penciuman:
Anosmia ⇒ hilangnya daya penciuman
Hiposmia ⇒ daya penciuman berkurang
Hiperosmia ⇒ daya penciuman lebih tajam dari normal
Parosmia ⇒ rangsangan bau ada tetapi identifikasinya salah
Halusinasi olfactorik ⇒ mencium bau sesuatu tanpa adanya rangsangan

Terganggunya fungsi nervus VII antara lain dapat disebabkan oleh :


 Tumor yang menekan traktus olfaktorius, paling sering berupa meningioma
 Trauma kapitis, terputusnya serabut-serabut olfaktorius pada fraktur basis kranii fossa
anterior
 Infeksi, misalnya pada meningitis basal yang mengenai traktus atau serabut olfaktorius
Pada keadaan parosmia, hiperosmia, dan halusinasi olfaktorik biasanya ditemukan pada
keadaan histeria dan epilepsi.

12
N.II = N. Optikus

Fungsi: untuk penglihatan


Pemeriksaan meliputi:
Ketajaman penglihatan (visual acuity)
Syarat pemeriksaan:
- Ruangan harus cukup terang
- Tidak ada gangguan/kelainan lensa, kornea, iris
- Tanyakan apakah penderita buta huruf atau tidak. Jika ya maka dipakai kartu snellen
khusus: yaitu huruf E dengan berbagai ukuran dan posisi yang berubah-ubah.
Tes ketajaman penglihatan:
a. Tes kartu Snellen
- Penderita duduk di kursi
- Gantungkan kartu snellen setinggi kedudukan mata penderita pada jarak 6 m (5 m).
- Mata kanan dan kiri diperiksa bergantian dengan menutup sebelah mata dengan tangan
penderita sendiri.
- Kemudian penderita disuruh membaca huruf-huruf mulai dari atas ke bawah yang ditunjuk
oleh pemeriksa pada kartu snellen
- Kartu snellen yang tersedia di Indonesia mempunyai catatan di samping kanan-kirinya.
Catatan di kiri untuk visus yang diperiksa pada jarak 6 m sedangkan yang di kanan untuk
jarak 5 m. Pada tiap bagan dicantumkan visus yang sesuai dengan barisan huruf itu
sehingga dengan demikian penentuan visus secara kasar mudah dilaksanakan.
- Nilai ketajaman penglihatan normal adalah 6/6 E. Jika penderita hanya dapat membaca
huruf barisan ketiga saja maka visus adalah 6/20 (30%). Bila visus menurun sampai 6/60
(10%) berarti penderita tidak bisa membaca huruf barisan pertama. Maka visus sebaiknya
diperiksa dengan menggunakan cara kedua.

13
Snellen chart

2. Tes hitung jari


Penderita diminta menghitung jari-jari tangan pemeriksa yang diperlihatkan padanya. Jika
penderita hanya dapat menghitung jari dengan benar pada jarak 3 m, berarti visusnya 3/60.
Angka 60 menunjukkan jarak orang normal dapat menghitung jari dengan benar.
3. Tes gerakan jari
Pada penderita dengan visus yang lebih buruk lagi dimana pada jarak 1 m masih belum
dapat menghitung jari maka penentuan visus dengan cara meminta penderita melihat gerakan
jari tangan pemeriksa.
Visus normal dapat melihat gerakan jari pada jarak 300 m. bila penderita hanya dapat
menentukan gerakan jari pada jarak 4 m berarti visusnya adalah 4/300.
4. Tes cahaya
Tes ini dilakukan pada penderita dengan visus sangat buruk dimana pemeriksaan
menggunakan lampu senter. Penderita hanya dapat membedakan cahaya gelap dan terang.
Orang normal dapat mengenali cahaya hingga jarak tak terhingga ⇒ visus 1/~. Visus dikatakan
0 (nol) jika penderita tidak mampu lagi membedakan cahaya terang dan gelap (buta total)

14
Lapangan penglihatan (kampus visii)
1. Tes konfrontasi
Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa dengan posisi lutut ketemu lutut (jarak
antara keduanya 60-100 cm) dan mata ketemu mata. Sebagai objek bisa dipergunakan jam
telunjuk pemeriksa. Untuk pemeriksaan kampus mata kanan, maka mata kiri penderita dan mata
kanan pemeriksa harus ditutup, demikian pula sebaliknya. Objek sebelum digerakkan harus
berada dalam bidang yang sama jaraknya antara mata penderita dan pemeriksa. Pemeriksaan
dimulai dengan menggerakkan objek perlahan dari luar lapangan pandangan ke arah dalam
(lateral ke medial) sarnpai penderita melihat objek dengan menyebut "ya".
Medan penglihatan pemeriksa digunakan sebagai patokan normal. Jika penderita dan
pemeriksa sama-sama dapat melihat jari telunjuk pemeriksa yang bergerak pada jarak yang
sama maka lapangan penglihatan penderita dikatakan normal.
Pada lesi tertentu lapangan penglihatan ini dapat menyempit atau hanya dapat melihat
setengah/seperempat dari lapangan penglihatan atau bahkan menghilang. Keadaan ini dikenal
sebagai hemianopsia, quadrant anopsia, atau anopsia.

1. Monokuar blindness, lesi pada nervus optikus


2. Hemianopsia bitemporal/binasal, lesi pada kiasma optikus
3. Hemianopsia homonim, lesi pada traktus optikus

15
4. Dan 5. Anopsia quadrant, lesi pada radiasi optikus

2. Tes kampimetri/perimetri
Jika dengan tes konfrontasi lapangan penglihatan dinilai secara kasar, maka dengan
kampimetri dan perimetri hasil yang diperoleh akan lebih terperinci dan akurat. Pemeriksaan
ini juga dipakai untuk mencari adanya skotoma.
Biasanya alat ini terdapat di bagian mata dan hasil pemeriksaannya diproyeksikan dalam
bentuk gambar di sebuah kartu.

Fundus oculi (funduskopi)


- Pemeriksaan dilakukan dengan bantuan oftalmoskop.
- Yang diperiksa adalah keadaan retina dan diskus optikus atau papila nervi optici.
- Cara pemeriksaan: Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang telah digelapkan atau ruangan
remang-remang.
- Penderita dalam posisi duduk/berbaring memandang lurus ke depan.
- Mata penderita diperiksa satu-satu dimana mata kanan penderita diamati oleh mata kanan
pemeriksa dan mata kiri penderita diarnati oleh mata kiri pemeriksa.
- Melalui lubang oftalmoskop yang didekatkan pada mata penderita, pemeriksa mengarahkan
sinar lampu oftalmoskop ke pupil penderita sehingga terlihat jelas gambaran retina dan papil
N.II
- Kelainan refraksi dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa yang ada pada oftalmoskop
Tersebut.
- Penilaian:
Gambaran fundus oculi normal:
Retina berwarna merah-oranye
Pembuluh darah: vena lebih tebal dari arteri dan berpangkal pada pusat papil dan
memancarkan cabang-cabangnya keseluruh retina dengan perbandingan a:v = 2:3

16
Funduskopi normal

Papil N.II: berwarna kuning kemerahan, bentuk bulat, batas tegas dengan sekelilingnya,
mempunyai cekungan fisiologis (cupping).
Kelainan papil N.II :
a. Papil edema, ditandai:
 Warna: kemerahan (lebih tua clan normal)
 Batas: tidak tegas/kabur
 Cekungan fisiologis: datar, kadang sampai menonjol
 Gambaran pembuluh darah bertambah, melebar, berkelok-kelok (hiperemis), a:v =
2:5
 Biasanya ditemukan pada peningkatan tekanan intra krainal dan papilitis

Papil edema

b. Papil atrofi, dibedakan 2 macam:


- Papil atrofi primer, akibat tekanan langsung pada N.II
- Papil atrofi sekunder, yang terjadi melalui papil edema lebih dulu
Papil atrofi ditandai:
- Warna: pucat (kuning muda sampai putih)

17
- Batas: menjadi lebih tegas
- Cekungan fisiologis: tampak lebih cekung
- Gambaran pembuluh darah tampak mengecil dan jumlahnya berkurang.
- Biasanya ditemukan pada, axial miopia

Atrofi papil primer

Atrofi papil sekunder

Tes Warna (color vision testing)


Tes ini untuk mengetahui adanya buta warna. Cara periksa: penderita disuruh
melihat dan mengenali warna-warna yang ditunjukkan dalam kartu tes.
Stilling dan Ishihara.
Gangguan pengenalan warna ini sering ditemukan pada kasus neuritis optik, lesi N.II atau
lesi khiasma optikum.

N.III, N.IV, N.VI = N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducen.

Ketiga saraf ini dinamakan Nn. Occulares karena bersama-sama mengurus gerakan kedua
bola mata. Itulah sebabnya di dalam klinik diperiksa secara bersama-sama. Semua otot bola mata
eksterna termasuk Mm. Levator palpebrae dan Mm. Konstriktor pupilae (parasimpatis) dipersarafi

18
oleh N.III, kecuali M. Obliquus superior (untuk gerakan bola mata ke medial bawah) oleh N.IV
dan M. Rectus lateralis (untuk aerakan bola mata ke lateral) oleh N.VI.

M. Oblique inf
M. Rectus
(N III)
superior (N III)

M. Rectus
med M. Rectus
N III lat
(N VI

M. Rectus inf
M. Oblique N III
sup
N IV

Pemeriksaan N.III, N.IV, dan N.VI meliputi:


1. Celah mata (fissura palpebrae)
Pada keadaan istirahat dan mats terbuka lebar dilihat apakah simetris atau sama dan
sebangun.
2. Ptosis
Keadaan dimana kelopak mata atas jatuh/menurun karena kelumpuhan M. Palpebra
superiornya. Dapat diperiksa dengan menyuruh penderita membuka matanya lebar-lebar atau
mengangkat kelopak mata atasnya secara volunter.
3. Keadaan bola mata
Penderita disuruh melihat jauh ke depan, kemudian dilperhatikan celah mata dan keadaan
bola mata dilihat dari samping. Pada exophtalmus mata lebih menonjol dan celah mata tampak
melebar, sedangkan enophtalmus mata masuk ke dalam, celah mata tampak menyempit.
4. Sikap bola mata
Bola mata yang lumpuh memperlihatkan sikap yang tidak wajar. Sikap bola mata yang
menyimpang ke arah hidung disebut strabismus konvergens sedangkan sikap bola mata yang
menyimpang ke arah temporal disebut strabismus divergens.
5. Gerakan bola mata
Kepala penderita difiksir lurus ke depan. Kemudian bola mata penderita diminta mengikuti
gerakan objek (pensil) ke enam arah yaitu lateral, medial, lateral atas, medial atas, medial

19
bawah, lateral bawah, atas, dan bawah dan diperhatikan bila penderita tidak mampu melihat ke
arah tertentu.

Paralisis N. VI kiri

6. Gerakan bola mata konjugat


Yaitu kemampuan ke dua bola mata untuk bergerak dan melihat ke satu arah secara
bersamaan. Gerakan bola mata konjugat diatur oleh: sentrum kortikal (area 8 lobus frontalis) ⇒
deviation conjugae cortikalis sentrum pontinal (sebelah medial nucleus N.VI) ⇒ deviation
conjugae pontinal. Kelainannya Disebut juga deviation conjugae yaitu gerakan kedua bola mata
involunter ke satu jurusan/arah terus-menerus dan tidak dapat dikembalikan baik secara sadar
maupun refleks.

Deviasi konjugat kiri

7. Nystagmus
Adalah gerakan bola mata bolak-balik involunter yang timbul secara spontan.
Nystagmus ini mempunyai arah dan kecepatan. Arah gerakan dapat: horizontal, vertikal,
rotatoir (berputar), atau kombinasi.
Pemeriksaan: nystagmus dapat terlihat bila penderita diminta melirik ke samping, ke atas,

20
dan ke bawah. Tapi kadang-kadang dapat dilihat tanpa peragaan (spontan).
Kecepatan osilasi/getaran bola mata dapat sama/tidak sama cepat, dimana ada komponen
cepat dan komponen tidak cepat/lambat. Pada getaran bola mata tidak sama cepat ini julukan
nystagmus menurut komponen cepatnya.
Secara klinik nystagmus dikenal:
1. Nystagmus fisiologis 4 dijumpai pada orang sehat, bersifat pendek hanya 1-2 detik saja.
2. Nystagmus patologis - dijumpai pada orang dengan kelainan di SSP seperti disfungsi batang
otal, cerebellum, dan verstibuler.
8. Pupil
Yang diperiksa adalah:
- Bentuk pupil
Normal bentuknya bulat, batas rata, dan licin.
- Ukuran pupil
Dapat berubah-ubah setiap saat tergantung pada penerangan ruang periksa. Umumnya
dianggap normal bila diameter 2-6 mm (±3,5 mm). Diameter <2 mm disebut miosis dan
bila sangat kecil sekali disebut pin point pupil. Diameter >6 mm disebut midriasis.
Normalnya ukuran kedua pupil kanan kiri adalah sama, yang disebut isokor. Sedangkan
bila tidak sama besar disebut anisokor.
- Refleks pupil
Refleks cahaya langsung
Pemeriksaan dilakukan satu persatu dengan cara menyinari salah satu pupil mata
dengan senter, usahakan mata yang lainnya tidak ikut terangsang (tutup atau penyinaran
dilakukan dari samping lateral). Reaksi yang tampak adalah kontraksi pupil (miosis)
homolateral.
Refleks cahaya tidak langsung
Disebut juga refleks konsensuil atau crossed light reflex. Cara periksa: antara kedua
mata penderita diberi batas penutup dengan tangan/kertas. Kemudian salah satu mata
secara bergantian disinari dengan lampu senter. Reaksi yang tampak adalah kontraksi pupil
(miosis) mata yang tidak disinari.

21
Refleks pupil akomodasi dan konvergensi
Penderita diminta melihat jauh lurus ke depan, kemudian disuruh melihat dan
mengikuti jari tangan pemeriksa yang diletakkan ±30 cm di depan hidung penderita.
Selanjutnya jari tangan penderita bergerak secara konvergens (ke arah nasal) disertai pupil
akomodasi.
Pupil Argyll Robertson. Dapat dijumpai pada salah satu atau kedua mata. Ciri-cirinya
sebagai berikut:
- Refleks cahaya langsung dan konsensuil negatif, Refleks akomodasi dan konvergensi
positif
- Pupil miosis (<2,5 mm)
- Dijumpai pada neurosifilis.

Gangguan pada nervus III antara lain menyebabkan :


 Ptosis, lumpuhnya M. levator palpebrae
 Pupil midriasis, dan tidak bereaksi terhadap cahaya dan konvergensi karna lumpuhnya
persarafan parasimpatis.
 Paralisis pada otot-otot gerak bola mata yang dipersarafi.
Gangguan pada nervus IV :
 Diplopia, melihat ganda pada sisi saraf yang terkena

22
 Sulit melihat kebawah dan keluar
Gangguan pada nervus VI :
 Sulit melihat kearah sisi yang sakit
 Diplopia horizontal
Gangguan-gangguan ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan :
 Infark, aneurisma a.basilaris
 Trauma, fraktur os petrosum
 Peningkatan intra cranial
 Meningitis

N.V = N. Trigeminus

N. Trigeminus terdiri dari:


1. Saraf motorik, yang mempersarafi otot pengunyah yaitu M. Masseter, M. Temporalis, M.
Pterigoideus.
2. Saraf sensorik, yang mempersarafi wajah dalam 3 cabang yaitu N. ophtalmicus, N. Maxillaris,
N.Mandibularis.

Dermatom N V

Pemeriksaan meliputi : motorik, sensorik dan reflek Motorik

23
Motorik
- M. Masseter dan M. Temporalis diperiksa dengan menyuruh penderita MENGGIGIT kuat-
kuat atau menggunakan spatel lidah dari kayu dan di gigit dengan kuat. kemudian dengan
palpasi dibandingkan kekuatan/keregangan kontraksi kedua otot tersebut sisi kanan dan
kiri. Adanya parese akan terasa kontraksinya tidak sama pada palpasi yaitu sisi yang satu
lebih lemah daripada yang lain. Adakalanya tampak otot-otot pengunyah dalam keadaan
spastis sehingga mulut penderita tidak dapat dibuka atau hanya dapat dibuka sedikit sekali.
Keadaan ini disebut trismus.

- M. Pterigoideus diperiksa dengan menyuruh penderita MEMBUKA MULUT pelan-pelan.


Kemudian diperhatikan apakah rahang bawah berdeviasi ke salah satu sisi ataukah tetap
lurus. Pada lesi LMN rahang bawah akan berdeviasi ke arah lesi homolateral. Sedangkan
pada lesi UMN ke arah kontralateral, tetapi umumnya jarang terlihat karena dalam
beberapa hari kelemahan otot kontralateral tersebut akan dilayani oleh serabut
kortikobulbaris homolateral sebagai kompensasinya.
Sensorik
Ada 3 cabang sensorik untuk wajah:
- N. Ophtalmicus untuk dahi
- N. Maxillaris untuk pipi
- N. Mandibularis untuk dagu
Pemeriksaan:
- Di sini kita membandingkan sensasi kulit satu sisi dengan sisi lain pada daerah muka (dahi, pipi,
dagu) baik untuk sensasi nyeri (dengan jarum) maupun raba (dengan kapas). Sebaiknya penderita
disuruh menutup mata dulu kemudian tusukkan jatum tajam atau goreskan dengan kapas kulit
muka kiri dan kanan pada daerah (dahi-pipi-dagu) yang simetris. Lalu tanyakan apakah sensasi

24
rasa nyeri/rasa raba yang dirasakan pada sebelah kiri sama dengan sebelah kanan. Bila tidak sama
penderita diminta memberitahukan mana yang lebih sakit.

Pemeriksaan sensorik N.V

Refleks
Ada 3 refleks yang diperiksa, yaitu:
1. Refleks kornea
Refleks kornea langsung
Penderita diminta melirik ke salah satu sisi (lateral kanan kemudian lateral kiri). Misalnya ke
lateral kanan dulu, maka dari sini kontralateralnya (sisi lateral kiri penderita) kornea mata kiri
disentuh dengan kapas yang dipuntir halus. Di sini yang diperhatikan adalah refleks mata yang
korneanya disentuh. Meskipun respon refleks yang sesungguhnya berupa kedipan kedua mata
(bilateral). Kemudian hasilnya ini dibandingkan dengan hasil pemeriksaan mats sebelahnya.
Refleks kornea tidak langsung (konsensuil)
Cara periksa sama dengan refleks kornea langsung. Hanya saja yang diperhatikan di sini adalah
respon refleks (kedipan) mats yang korneanya tidak disentuh/dirangsang. Kegunaan
pemeriksaan refleks kornea konsensuil ini sama dengan refleks cahaya konsensuil, yaitu untuk
melihat lintasan mana yang rusak (aferen N.V atau eferen N.VII). Pada parese N.V perifer
dimana mata tidak dapat dipejamkan, maka pemeriksaan refleks kornea langsung pada sisi lesi
adalah negatif, tetapi refleks kornea konsensuil pada sisi itu positif.

25
Pemeriksaan reflex kornea

2. Refleks masseter (jaw jerk reflex)


Penderita diminta membuka mulutnya sedikit (jangan terlalu lebar), kemudian letakkan
Jari telunjuk kiri pemeriksa di atas dagu penderita secara horizontal. Selanjutnya telunjuk tadi
diketuk dengan pale refleks. Respon normal akan negatif (tidak ada penutupan mulut) atau
positif lemah (adanya penutupan mulut ringan).
Kegunaannya adalah untuk melihat adanya lesi UMN (serabut kortikobulbaris) dimana
setelah pengetukkan terlihat penutupan mulut terjadi secara dan kuat (hiperrefleks/meningkat)

Jaw jerk reflex

3. Refleks bersin
Dengan merangsang mukosa hidung penderita secara mengitik-ngitik timbullah bersin
yang spontan/reflektoris.

N.VII = N. Facialis

Pemeriksaan N. Facialis ini meliputi fungsi:


1. Motorik, yang mempersarafi semua otot wajah kecuali M. Levator palpebra superior
2. Sensorik khas, pengecap 2/3 anterior lidah
3. Visceromotorik, mengatur sekresi kelenjar lakrimalis, lingualis, dan submandibularis

26
4. Somatosensorik, merasakan nyeri pada palatum, meatus akustikus eksternus, bagian luar
gendang telinga

Motorik
1. Otot wajah
- Perhatikan lipatan nasolabialis simetris atau tidak. Pada sisi parese lipatan tersebut datar atau
hampir datar.
- Sudut mulut simetris atau tidak. Hasil pemeriksaan akan tampak lebih jelas pada saat penderita
diajak berbicara.
- Gerakan abnormal: ada tidaknya tic facialis.
2. Otot dahi
- Penderita disuruh MENGERUTKAN DAHINYA, mengangkat kedua alis mata atau melihat ke
Atas tanpa menggerakkan kepalanya. Kemudian perhatikan apakah kerutan dahinya simetris
atau tidak.

3. M. Orbicularis oculi
- Perhatikan apakah ada LAGOPHTALMUS atau tidak dengan menyuruh penderita menutup
matanya pelan-pelan. Adanya lagophtalmus bila celah mata masih tetap terbuka. Didapat pada
lesi N.VII tipe perifer.

- Kemudian penderita disuruh MEMEJAMKAN MATANYA kuat-kuat dan pemeriksa mencoba


membuka kedua mata tersebut. Pemeriksa membandingkan kekuatan mata tersebut. Bila sama
kuat kanan dan kiri berarti normal, tapi bila salah satu lebih mudah dibuka maka berarti M.
Orbicularis oculi mata tersebut parese.

27
-

4. M. Orbicularis oris
- Penderita disuruh MENUNJUKKAN GIGINYA/MERINGIS, lalu perhatikan sudut mulut
Kanan dan kiri. Bila salah satu sudut mulut tertinggal pada pergerakkan tersebut berarti terdapat
parese di sisi tersebut.

Sensorik khas
- Untuk memeriksa pengecapan 2/3 depan lidah ini dapat cligunakan rasa manis, asin, asam,
dll dalam bentuk larutan sebagai objek bahan. Cara periksa: penderita diminta menjulurkan
lidahnya. Lalu pada salah satu sisi lidah disentuh dengan kapas lidi yang telah dibasahi
lebih dulu dengan larutan (bahan objek).
- Kemudian penderita diminta mengidentifikasi dengan bahasa isyarat (boleh dengan
tulisantangan atau menunjuk bahan objek di depan penderita yang telah dijelaskan lebih
dulu bahan-bahan apa tersebut).

28
- Saat dilakukan pemeriksaan penderita tidak diperkenankan bersuara/berbicara sebab ada
kemungkinan bahan larutan tersebut berpindah ke sisi lidah satu sisi lidah, dilakukan pula
pemeriksaan terhadap sisi lidah sebelahnya.
- Hilangnya atau berkurangnya daya pengecap disebut ageusia atau hipogeusia.

N. VIII = VESTIBULOKOKLEARIS

Untuk memeriksa fingsi pendengaran dan Keseimbangan


Pemeriksaan Pendengaran :
Tes Bisik
Tes bisik adalah melakukan pemeriksaan dengan mengucapkan suara Yng lirih seperti
berbisik-bisik kepada orang yang diperiksa ( orang normal maupun orang dengan gangguan
pendengaran) dengan berbagai penekanan dengan menggunakan huruf tertentu. Pemeriksa berada
dibelakang pasien agar pasien tidak dapat melihat bibir pemeriksa, kemudian pemeriksa
mengucapkan kata yang terdiri dari huruf-huruf dengan suara halus dan kasar, penekanan dan
desisan misalnya “Bakso”, kemudian pasien diminta untuk mengulangi kata yang didengarnya.

Tes Weber
Normalnya getaran terdengar sama kuat kanan kiri atau tidak ada laeralisasi. Tetapi bila
salah satu telinga ditutup, maka getaran akan terdegar lebih kuat pada telinga yang ditutup daripada
telinga yang terbuka. Bila getaran terdengar lebih keras pada telinga yang terbuka berarti ada
kelainan pada telinga tersebut (penyakit telinga tengah). Pada penyakit telinga tengah (tuli
konduksi) maka lateralisasi terjadi ke arah sisi yang sakit. Sebaliknya pada lesi N. Cochlearis (tuli
persepsi) lateralisasi terjadi ke arah sisi yang sehat.

29
Tes Rinne
Garpu tala yang telah digetarkan segera diletakkan pada tulang mastoid. Bila suara getaran
tidak terdengar lagi oleh penderita segera pindahkan ke depan liang telinga luar. Normalnya
getaran garpu tala tersebut masih bisa didengar. Tapi pada orang dengan tuli konduksi getaran
tidak akan terdengar lagi.

Tes Schwabach
Penderita diminta mendengarkan garpu tala yang digetarkan, kemiudian bandingkan
dengan pemeriksa. Mula-mula dengan konduksi tulang lalu konduksi udara Caranya: untuk
konduksi tulang garpu tala yang digetarkan diletakkan di processus mastoideus penderita sampai
is tidak mendengar lagi segera pindahkan ke proccessus mastoideus pemeriksa. Untuk konduksi
udara garpu tala yang digetarkan diletakkan di depan liang telinga luar penderita sampai os tidak

30
mendengar lagi segera pindahkan ke depan liang telinga luar pemeriksa. Bila pemeriksa masih
dapat mendengar getaran garpu tala maka pendengaran penderita dikatakan berkurang.

Tes Audiometri

Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level pendengaran seseorang.
Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran
seseorang dapat dinilai. Tes audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan
pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu bidang yang memerlukan ketajaman
pendengaran.

Tes BAER (Brain auditory evoked response)

Brain Evoked Response Audiometry atau BERA merupakan alat yang bisa digunakan untuk
mendeteksi dini adanya gangguan pendengaran, bahkan sejak bayi baru saja dilahirkan. Istilah lain
yang sering digunakan yakni Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP) atau Brainstem
Auditory Evoked Response Audiometry (BAER). Alat ini efektif untuk mengevaluasi saluran atau
organ pendengaran mulai dari perifer sampai batang otak.

Pemeriksaan Keseimbangan
Pada pemeriksaan diperhatikan:
1. Keseimbangan penderita dengan mengamati sikap tubuh waktu berdiri dan waktu
berjalan/bergerak. Dijumpai pacla penderita vertigo dengan ciri-ciri: Merasa benda-benda
sekitarnya berputar atau tubuhnya berputar Sikapnya kaku oleh karena kepalanya terfiksir
di leher dengan sengaja agar tidak timbul serangan. Gaya berjalannya agak lambat, tegak,
dan berhati-hati. Kedua lengan dalam keadaan siap siaga untuk memegang sesuatu kalau-
kalau os jatuh. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan berikut:
a. Romberg’s dan sharpened Romberg’s test
Pada Romberg tes, pasien diminta untuk berdiri tegak dan menutup mata, kedua
tangan berada di samping tubuh dan kaki dirapatkan, dan pada sharpened
Romberg’s tes Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan

31
kaki yang lainnya. Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya,
lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang yang normal mampu
berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih.
jika pasien menutup mata kemudian jatuh, hal ini mengindikasikan adanya
kelemahan pada proprioseptif atau vestibular.

Sharpened romberg’s test

b. Stepping tes
Pasien disuruh berjalan ditempat, dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah
dengan kecepatan seperti jalan biasa. Selama test ini pasien diminta untuk berusaha
agar tetap ditempat dan tidak beranjak dari tempatnya selama test berlangsung.
Dikatakan abnormal bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari 1 meter dari
tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat
c. Past pointing tes
Pasien diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari telunjuknya, kemudian
dengan mata tertutup pasien diminta untuk mengulangi. Normalnya pasien harus
dapat melakukannya.

32
Past pointing test

d. Tes jari hidung


Tahan jari anda sepanjang kira-kira satu lengan dari pasien. Instruksikan pasien
anda untuk menyentuh jari anda dengan menggunakan jari telunjuk kemudian
menyentuh hidungnya kembali. Gerakan ini diulangi beberapa kali. Pasien
mungkin saja tidak dapat menyentuh jari anda atau terjadi tremor intensi.
bila terganggu dapat suatu disfungsi serebellar.

e. Pemeriksaan Jalan tandem


penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari
kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler perjalanannya akan
menyimpang, dan pada kelainan serebelum penderita akan cenderung jatuh.

33
2. Nystagmus, Nystagmus vestibuler ini mengarah dengan komponen cepatnya ke sisi
kontralateral lesi. Pemeriksaan yang lebih teliti dengan tes kalori Barany. Tes ini dilakukan
di bagian THT.
a. Manuver Nylen-Barany atau Hallpike
Pada tes ini pasien disuruh duduk di tempat-tidur-periksa. Kemudian ia
direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30 derajat
di bawah horison. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian diulangi
dengan kepala melihat lurus dan diulangi lag! dengan kepala menoleh ke kanan.
Penderita disuruh tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat melihat sekitarnya
muncul nistagmus. Perhatikan kapan nistagmus mulai muncul, berapa lama
berlangsung serta jenis nistagmus. Kemudian kepada penderita ditanyakan apa
yang dirasakannya. Apakah ada vertigo dan apakah vertigo yang dialaminya pada
tes ini serupa dengan vertigo yang pernah dialaminya. Pada lesi perifer, vertigo
lebih berat dan didapatkan masa laten selama sekitar 2-30 detik. Yang dimaksud
dengan masa laten di sini ialah nistagmus tidak segera timbul begitu kepala
mengambil posisi yang kita berikan; nistagmus baru muncul setelah beberapa detik
berlalu, yaitu sekitar 2-30 detik. Dalam hal ini, kita katakan masa laten untuk
terjadinya nistagmus ialah 2-30 detik.
b. Tes kalori.
Tes kalori mudah dilakukan dan mudah diduplikasi. Tes ini membutuhkan
peralatan yang sederhana, dan dapat diperiksa pada kedua telinga. Kepekaan
penderita terhadap rangang kalori bervariasi, karenanya lebih baik dimulai dengan

34
stimulasi yang ringan; dengan harapan bahwa stimulasi ringan telah menginduksi
nistagmus dengan rasa vertigo yang ringan dan tidak disertai nausea atau muntah.
Stimulasi yang lebih kuat selalu dapat diberikan bila penderita ternyata kurang
sensitif. Cara melakukan tes kalori: Kepala penderita diangkat ke beiakang
(menengadah) sebanyak 60 derajat (tujuannya ialah agar bejana lateral di labirin
berada dalam posisi vertikal, dengan demikian dapat dipengaruhi secara maksimal
oleh aliran konveksi yang diakibatkan oleh aliran endolimf). Tabung suntik
berukuran 20 cc dengan jarum ukuran nomor 15 yang ujungnya dilindungi karet
diisi dengan air bersuhu 30°C (kira-kira 7 derajat di bawah suhu badan). Air
disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1 cc per detik. Dengan demikian
gendangan telinga tersiram air selama kira-kira 20 detik. Kemudian, bola mata
penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak nistagmus ialah
ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang diairi (karena air yang disuntikkan
lebih dingin dari suhu badan). Arah gerak nistagmus dicatat, demikian juga
frekuensinya (biasanya 3-5 kali per detik) dan lamanya nistagmus berlangsung
dicatat. Lamanya nistagmus berlangsung berbeda pada tiap penderita, namun
biasanya berlangsung antara 1/2-2 menit. Setelah beristirahat selama 5 menit,
telinga ke dua dites. Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan lamanya
nistagmus pada kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir serupa. Pada sekitar
5% orang normal, stimulasi minimal tidak akan mencetuskan nistagmus. Pada
penderita demikian, 5 ml air es diinjeksikan ke telinga, secara lambat, sehingga
lamanya injeksi berlangsung ialah 20 detik. Pada keadaan normal hal ini akan
mencetuskan nistagmus yang berlangsung 2 - 21/2 menit. Bila masih tidak timbul
nistagmus, kemudian dapat disuntikkan 20 ml air es selama 30 detik. Bila telinga
kiri didinginkan (diberi air dingin) timbul nistagmus ke kanan. Bila telinga kiri
dipanaskan ( diberi air panas ) timbul nistagmus ke kiri. Nistagmus ini disebut
sesuai dengan fasenya yaitu : fase cepat dan fase pelan, misalnya nistagmus ke kiri
berarti fase cepat kekiri. Bila ada gangguan keseimbangan maka perubahan
temperatur dingin dan panas memberikan reaksi.

35
N.IX dan N.X = N. Glossopharyncieus dan N. Vagus

Pemeriksaan
Penderita diminta membuka mulutnya selebar-lebarnya dengan lidah dijulurkan keluar,
kemudian amati ARCUS PHARYNX apakah simetris atau tidak. Untuk dapat mengamati lebih
jelas penderita diminta menyebutkan huruf A. Bila asimetris berarti ada parese dan arcus pharynx
tampak lebih rendah. Setelah itu perhatikan apakah UVULA penderita terletak di tengah-tengah
(normal). Penderita diajak bicara dan dengarkan adanya: SUARA SENGAU (lesi N.IX) dan
SUARA PARAU/DISFONI atau AFONI (lesi N.X), Dilihat ada tidaknya GANGGUAN
MENELAN. Penderita disuruh menelan air lalu dilihat apakah air tersebut keluar lagi melalui
hidungnya atau tidak. Pada kelainan bulbar paralisis penderita tidak dapat minum sama sekali.

Pemeriksaan DENYUT JANTUNG. Dengan cara menghitung frekuensi denyut jantung


secara auskultasi atau nadi secara palpasi. Pada lesi iritatif N.X terjadi bradikardi, sedangkan pada
lesi paralitik terjadi takikardi.

Pemeriksaan refleks:
 Refleks batuk, Dapat dibangkitkan dengan cara merangsang liang telinga diklitik-klitik
 Refleks muntah, Dapat dibangkitkan dengan menyentuhkan spatel lidah pada dinding
belakang pharynx.
 Refleks oculo cardiac, Hitung lebih dulu denyut jantung/nadi selama 1 menit penuh.
Kemudian penderita disuruh menutup matanya lalu kedua bola matanya ditekan. Setelah
itu hitung lagi denyut jantung dan nadinya. Normal terjadi bradikardi.

36
 Refleks sinus carotis, Caranya sama dengan refleks oculo cardiac, hanya saja di sini yang
ditekan adalah sinus caroticus di daerah leher setinggi cervical VI bagian medial M.
Sternocleidomastoideus. Normal terjadi bradikardi.

Pemeriksaan sensorik
Pemeriksaan daya pengecap 1/3 posterior lidah secara praktis sukar/tidak dapat diperiksa.

N.XI = N. Accesorius

Hanya mempunyai komponen motorik yang mempersarafi


a. M. Trapezius
b. M. Sternocleidomastoideus
Pemeriksaan:
- M. Trapezius
Penderita disuruh mengangkat kedua bahunya serentak kanan kiri dengan sekuat-kuatnya.
Kedua tangan pemeriksa menekan bahu tersebut. Bandingkan kekuatannya kanan dan kiri.

- M. Sternocleidomastoideus
Tangan pemeriksa diletakkan pada pipi rahang penderita (tangan kanan pemeriksa untuk
pipi kiri penderita dan sebaliknya). Kemudian penderita disuruh menoleh/menggerakkan
kepalanya ke arah tangan pemeriksa, sedangkan pemeriksa berusaha menahannya.
Bandingkan kanan dan kiri.
37
N.XII = N. Hypoglossus

Bersifat motorik yang mempersarafi otot-otot penggerak lidah


Cara pemeriksaan:
Penderita diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya lurus ke depan. Perhatikan: Deviasi
lidah (lidah membelok ke arah mana) Fasikulasi (gerakan kecil-kecil pada otot lidah secara terus-
menerus) Papil lidah: ada atrofi atau tidak (pada atrofi lidah tampak licin) Selanjutnya penderita
diajak bicara atau disuruh mengucapkan kata-kata yang banyak mengandung huruf R dan L.
Misalnya: ular loreng-loreng lari di lorong-lorong. Tujuannya adalah untuk mengetahui disartria
atau tidak.

PEMERIKSAAN MOTORIK

Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk
menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan.

38
Pengamatan:

 Gaya berjalan dan tingkah laku


 Simetri tubuh dan ektremitas
 Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll

Gerakan volunteer

Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya:

 Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu


 Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti
 Mengepal dan membuka jari-jari tangan
 Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul
 Fleksi dan ekstensi artikulus genu
 Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki
 Gerakan jari- jari kaki

Palpasi otot

 Pengukuran besar otot


 Nyeri tekan
 Kontraktur
 Konsistensi
 Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:
- Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP
- Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas)
- Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas)
- Kontraktur otot
 Konsistensi otot yang menurun terdapat pada:
- Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot
- Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di “motor end plate”

39
Perkusi otot

 Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan berlangsung
hanya 1 atau 2 detik saja
 Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat pada pasien
mixedema, pasien dengan gizi buruk)
 Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh karena
kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa.

Tonus otot

 Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian ekstremitas


tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Pada orang
normal terdapat tahanan yang wajar
 Flaksid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN)
 Hipotoni : tahanan berkurang
 Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai pada
kelumpuhan UMN
 Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.

Kekuatan otot

 Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara:
o Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa
menahan gerakan ini
o Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh
menahan

 Cara menilai kekuatan otot:


o 0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total
o 1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendiaan
yang harus digerakkan oleh otot tersebut

40
o 2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya berat (gravitasi)
o 3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat
o 4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang
diberikan
o 5 : Tidak ada kelumpuhan (normal)
 Sindrom Lower Motor Neuron, gejala :
o Flaksid
o Atoni
o Atrofi disertai fasikulasi
o Klonus (-)
o Reflek patologis (-)
o Reflek fisiologis: hiporefleksia/arefleksi (tidak adanya reflex)
o Ada gangguan sensoris, tropik, autonom
 Sindrom Upper Motor Neuron, gejala :
o Spastik
o Hipertonia
o Atrofi (-), fasikulasi (-)
o Klonus/kontraksi & relaksasi otot bergantian dengan cepat (+)
o Refleks patologis (+)
o Hiperreflexia
o Tak ada gangguan sensoris, tropik, autonom

Kelumpuhan bukanlah merupakan kelainan yang harus ada pada tiap gangguan gerak. Pada
gangguan gerak oleh kelainan di sistem ekstrapiramidal dan serebelar, kita tidak mendapatkan
kelumpuhan.

 Gangguan yang ditimbulkan sistem ekstrapiramidal


o Gangguan pada tonus otot
o Gerakan otot abnormal yang tdk dpt dikendalikan
o Gangguan pada kelancaran gerakan otot volunter
o Gangguan gerak-otot asosiatif

41
 Gangguan yang ditimbulkan serebelum :
o Gangguan sikap dan tonus
o Ataksia/gangguan koordinasi gerakan
o Dismetria/gerakan yang tidak mampu dihentikan tepat pada waktunya/tepat pada
tempat yang dituju
o Tremor intensi. tremor yang timbul waktu melakukan gerakan volunter dan menjadi
lebih nyata ketika gerakan hampir mencapai tujuannya
o Tiga fungsi penting dari serebelum adalah keseimbangan pengatur tonus otot dan
pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunteer

Gait

 Hemiplegik gait (gaya jalan dengan kaki yang lumpuh digerakkan secara sirkumduksi)
 Spastik/ Scissors gait (gaya jalan dengan sirkumduksi kedua tungkai)
 Tabetic gait (gaya jalan pada pasien tabes dorsalis)
 Steppage gait (gaya jalan seperti ayam jago, pada paraparese flaccid/paralisis n. peroneus)
 Waddling gait (gaya berjalan dengan pantat & pinggang bergoyang berlebihan khas untuk
kelemahan otot tungkai proximal misal otot gluteus)
 Parkinsonian gait (gaya berjalan dengan sikap tubuh agak membungkuk, kedua tungkai
berfleksi sedikit pada sendi lutut & panggul. Langkah dilakukan setengah diseret dengan
jangkauan yang pendek-pendek)

42
Refleks

Refleks fisiologis

1. Biseps
Stimulus : ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m. biseps
brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku

Respons : fleksi lengan pada sendi siku.

Afferent : n. musculucutaneus (C5-6)

Efferenst : n. musculucutaneus (C5-6)

2. Triseps
Stimulus : ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi pada sendi siku
dan sedikit pronasi.
Respons : extensi lengan bawah disendi siku
Afferent : n. radialis (C 6-7-8)
Efferenst : n. radialis (C 6-7-8)

3. KPR
Stimulus : ketukan pada tendon patella
Respons : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m. quadriceps emoris.
Efferent : n. femoralis (L 2-3-4)
Afferent : n. femoralis (L 2-3-4)

4. APR
Stimulus : ketukan pada tendon Achilles
Respons : plantar fleksi kaki karena kontraksi m. gastrocnemius
Efferent : n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 )
Afferent : n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 )

43
5. Periosto-radialis

Stimulus : ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan setengah fleksi
dan sedikit pronasi

Respons : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena kontraksi m.
Brachioradialis

Afferent : n. radialis (C 5-6)

Efferenst : n. radialis (C 5-6)

6. Periosto-ulnaris
Stimulus : ketukan pada periosteum proc. styloigeus ulnea, posisi lengan setengah fleksi
& antara pronasi – supinasi.
Respons : pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadrates
Afferent : n. ulnaris (C8-T1)
Efferent : n. ulnaris (C8-T1)

Refleks Patologis

Banyak macam rangsang yang dapat digunakan untuk membangkitkannya,


misalnya menggores telapak kaki bagian lateral, menusuk atau menggores dorsum
kaki atau sisi lateralnya, memberi rangsang panas atau rangsang listrik pada kaki,
menekan pada daerah interossei kaki, mencubit tendon Achilles, menekan tibia,
fibula, otot betis, menggerakkan patela ke arah distal, malah pada keadaan yang hebat,
refleks dapat dibangkitkan dengan jalan menggoyangkan kaki, menggerakkan kepala
dan juga bila menguap.

Refleks Babinski. Untuk membangkitkan refleks Babinski, penderita disuruh


berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan.Kita pegang pergelangan kaki supaya kaki
tetap pada tempatnya.Untuk merangsang dapat digunakan kayu geretan atau benda yang agak
runcing. Goresan harus dilakukan perlahan, jangan sampai mengakibatkan rasa nyeri, sebab
hal ini akan menimbulkan refleks menarik kaki (flight reflex). Goresan dilakukan pada telapak

44
kaki bagian lateral, mulai dari tumit menuju pangkal jari. Jika reaksi positif, kita dapatkan
gerakan dorso fleksi ibu jari, yang dapat disertai gerak mekarnya jari-jari lainnya .

Tadi telah dikemukakan bahwa cara membangkitkan refleks patologis ini bermacam-
macam, di antaranya dapat disebut:

 Cara Chaddock : rangsang diberikan dengan jalan menggoreskan bagian lateral


maleolus
 Cara Gordon : memencet (mencubit) otot betis
 Cara Oppenheim : mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior, Arah
mengurut ke bawah (distal).
 Cara Gonda : memencet (menekan) satu jari kaki dan kemudian melepaskannya
sekonyong-konyong
 Schaefer : memencet (mencubit) tendon Achilles

Klonus

Kita telah mempelajari bahwa salah satu gejala kerusakan pyramidal ialah adanya
hiperfleksi.Bila hiperfleksi ini hebat dapat terjadi klonus.Klonus ialah kontraksi ritmik dari otot,
yang timbul bils otot diregangkan secara pasif. Klonus merupakan reflex regang otot yang
meninggi dan dapat dijumpai pada lesi supranuklir(UMN , pyramidal ). Ada orang normal yang
mempunyai hiperfleksi fisiologis ; pada mereka ini dapat terjadi klonus, tetapi klonusnya
berlangsung singkat dan disebut klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama ,hal ini dianggap
patologis. Klonus dapat dianggap sebagai rentetan reflex regang otot, yang dapat disebabkan oleh
lesi pyramidal.

Pada lesi piramidal (UMN (uppermotorneuron) supranuklir) kita sering


mendapatkan klonus di pergelangan kaki, lutut dan pergelangan tangan.

Klonus kaki.
Klonus ini dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot gastroknemius. Pemeriksa
menempatkan tangannya di telapak kaki penderita, kemudian telapak kaki ini didorong

45
dengan cepat (dikejutkan) sehingga terjadi dorso fleksi sambil seterusnya diberikan
tahanan enteng.Hal mengakibatkan teregangnya otot betis.Bila ada klonus, maka terlihat
gerakan ritmik (bolak-balik) dari kaki, yaitu berupa plantar fleksi dan dorso ieksi secara
bergantian.

Klonus patela.

Klonus ini dibangkitkan dengan jaian meregangkan otot kuadriseps femoris.Kita


pegang patela penderita, kemudian didorong dengan kejutan (dengan cepat) ke arah distal
sambil diberikan tahanan enteng. Biia terdapat klonus, akan terlihat kontraksi ritmik otot
kuadriseps yang mengakibatkan gerakan bolak-balik dari patela. Pada pemeriksaan ini tungkai
harus diekstensikan serta dilemaskan.

Refleks dan gejala patoiogis lain yang perlu diketahui.

Refleks Hoffman Tromrner.

Kita telah mendiskusikan refleks fleksor jari-jari.Pada orang normal, refleks ini biasanya
tidak ada atau enteng saja; karena ambang refleks tinggi.Akan tetapi, pada keadaan patologik,
ambang refieks menjadi rendah dan kita dapatkan refleks yang kuat. Refleks inilah yang
merupakan dasar dari refleks Hoffman-Trommer, dan refleks lainnya, misalnya refleks Bechterew.

Dalam beberapa buku, refleks Hoffman-Trommer ini masih dianggap sebagai refleks
patoiogis dan disenafaskan dengan refleks Babinski, padahal mekanisme refleks fleksor jari-jari
sama sekali lain dari reflex Babinski .ia merupakan regleks regang otot, jadi sama seperti reflex
kuadriseps dan reflex regang otot lainnya. Reflex Hoffman-trommer positif dapat disebabkan oleh
lesi pyramidal, tetapi dapat pula disebabkan oleh peningkatan reflex yang melulu fungsional. Akan
tetapi bila reflex pada sisi kanan berbeda dari yang kiri, maka hal ini dapat dianggap sebagai
keadaan patologis.

Simetri penting dalam penyakit saraf.Kita mengetanui bahwa simetri sempurna memang
tidak ada pada tubuh manusia. Akan tetapi, banyak pemeriksaan neurologi didasarkan atas
anggapan, bahwa secara kasar kedua bagian tubuh adalah sama atau simetris. Tiap refleks tendon

46
dapat meninggi secara bilateral, namun hal ini belum tentu berarti adanya lesi piramidal. Lain
halnya kalau peninggian refleks bersifat asimetris !!!

Cara membangkitkan refleks Hoffman-trommer: Tangan penderita kita pegang pada


pergelangan dan jari-jarinya disuruh fleksi-entengkan. Kemudian jari tengah penderita kita jepit
di antara telunjuk dan jari-tengah kita.Dengan ibu-jari kita "gores-kuat" (snap) ujung jari tengah
penderita.Hal ; ini mengakibatkan fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari, bila refleks
positif. Kadang juga disertai fleksi jari lainnya,Reflex massa, reflex automatisme spinal. Kita telah
mengetahui bahwa bila reflex Babinski cukup hebat, kita dapatkan dorso fleksi jari-jari, fleksi
terdapat juga kontraksi tungkai bawah dan atas, dan kadang-kadang terdapat juga kontraksi tungkai
yang satu lagi. Daerah pemberian rangsang pun bertambah luas.Hal dernikian dapat kita jurnpai
pada iesi transversal medula spinalis, dan disebut refleks automatisme spinal Hal mi dapat
ditimbulkan oleh berbagai macam rangsang, misalnya goresan rangsang nyeri dan lain sebagainya.

Bila refleks lebih hebat lagi, didapatkan juga kontraksi otot dinding perut, adanya miksi
dan defekasi, keluarnya keringat, refleks eriterna dan refleks pilomotor.Keadaan dernikian disebut
juga sebagai refleks massa dan Riddoch Hal dernikian didapatkan pada Iesi transversal yang
komplit dan medula spinalis, setelah fase syoknya lampau.

Refleks genggam {grasp reflex).Refleks genggam mempakan hal normal pada bayi sampai
usia kira-kira 4 bulan. Pada orang normal, bila telapak tangan digores kita tidak mendapatkan
gerakan fleksi jari-jari, tetapi kadang-kadang terjadi fleksi enteng (ambang refleks ini tinggi).

Dalam keadaan patologis, misainya pada Iesi di lobus frontalis didapatkan reaksi (fleksi
jari) yang nyata.Penggoresan telapak tangan mengakibatkan tangan digenggamkan, dan
menggenggam alat yang d.gunakan sebagai penggores. Hal ini dinamai refleks genggam Refleks
genggam terdiri dari fleksi ibu jari dan jari lainnya, sebagai jawaban terhadap rangsang taktil,
misalnya bila pemeriksa meraba telapak tangan pasien atau menyentuh atau menggores tangan
pasien di antara ibu jari dan telunjuknya.

Kadang-kadang refleks ini dernikian hebatnya, sehingga bila kita menjauhkan tangan kita
yang tadinya didekatkan, tangan pasien mengikutinya, "seolah-olah kena tenaga maknit".Hal ini
dinamakan refleks menjangkau (groping reflex).

47
Untuk membangkitkan refleks genggam dapat dilakukan ha! berikut Penderita dtsuruh
mem-fleksi-entengkan jari-jari tangannya. Kemudian kita sentuh kulit yang berada di antara
telunjuk dan ibu jari dengan ujung ketok-refieks. Bila refleks menggenggam positif ujung ketok-
refleki ini akan digenggamnya.

Gejala leri

Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :

Kita pegang lengan bawah pasien yang disupinasikan serta difleksikan sedikit. Kemudian
kita tekukan dengan kuat ( fleksi ) jari-jari serta pergelangannya. Pada orang normal, gerakan ini
akan diikuti oleh fleksi lengan bawah dan lengan atas, dan kadang-kadang juga disertai aduksi
lengan atas. Reflex ini akan negative bila terdapat lesi pyramidal. Tidak adanya reflex ini
dinyatakan sebagai gejala leri positif.

Gejala mayer

Pasien disuruh mensupinasikan tangannya, telapak tangan ke atas , dan jari-jari difleksi
kan serta ibu jari difleksikan dan diabduksikan. Tangannya kita pegang , kemudian dengan tangan
yang satu lagi kitatekukkan jari 3 dan 4 pada falang proksimal dan menekannya pada telapak
tangan (fleksi). Pada orang normal, ha! ini mengakibatkan aduksi dan oposisi ibu jari disertai fleksi
pada persendian metakarpofalangeai, dan ekstensi di persendian interfalang ibu jari. Jawaban
demikian tidak didapatkan pada lesi piramidal, dan tidak adanya jawaban ini disebut sebagai gejala
Mayer positif

PEMERIKSAAN SENSORIK

Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit di antara pemeriksaan


neurologik yang lain karena sangat subjektif. Sehubungan dengan pemeriksan fungsi sensorik
maka beberapa hal berikut ini harus dipahami dulu:
 Kesadaran penderita harus penuh dan tajam. Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah,
kelelahan akan mengakibatkan gangguan perhatian serta memperlambat waktu reaksi
 Prosedur pemeriksan harus benar-benar dimengerti oleh penderita, karena pemeriksaan fungsi
sensorik benar-benar memerlukan kerja sama yang sebaik-baiknya antara pemeriksa dan

48
penderita. Dengan demikian cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada penderita
dengan istilah yang mudah dimengerti olehnya
 Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan pemeriksaan anggota
gerak atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya penderita menyeringai, mata berkedip-
kedip serta perubahan sikap tubuh
 Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga meliputi perbedaan-
perbedaan sensasi yang ringan, dengan demikian harus dicatat gradasi atau tingkat
perbedaannya
 Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap individu, pada tiap bagian
tubuh, pada individu yang sama tetapi dalam situasi yang berlainan. Dengan demikian
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulangan pada hari berikutnya.
 Azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu dibandingkan dengan bagian kanan. Hal
ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan.
 Pemeriksaan ini harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa), menggunakan alat yang
sesuai dengan kebutuhan/ tujuan, tanpa menyakiti penderita, dan penderita tidak boleh dalam
keadaan tegang.

1. Prinsip umum
 Mencari defisit sensibilitas (daerah-daerah dengan sensibilitas yang abnormal, bisa
hipestesi, hiperestesi, hipalgesia atau hiperalgesia)
 Mencari gejala-gejala lain di tempat gangguan sensibilitas tersebut, misalnya atrofi,
kelemahan otot, refleks menurun/negative, menurut distribusi dermatom.
 Keluhan-keluhan sensorik memiliki kualitas yang sama, baik mengenai thalamus, spinal,
radix spinalis atau saraf perifer. Jadi untuk membedakannya harus dengan distribusi
gejala/keluhan dan penemuan lain
 Lesi saraf perifer sering disertai berkurang atau hilangnya keringat, kulit kering, perubahan
pada kuku dan hilangnya sebagian jaringan di bawah kulit

Penilaian fungsi sensorik dimulai dari anamnesis karena gejala disfungsi sensorik
kadang-kadang mendahului kelainan objektif pada pemeriksaan klinis.Selain itu, gejala pasien

49
dapat mengarahkan Anda ke bagian tubuh tertentu, atau jenis fungsi sensorik yang memerlukan
perhatian lebih.

Daerah dan modalitas yang akan diuji bergantung pada jenis gangguan sensorik yang
disimpulkan dari gejala dan riwayat pasien. Namun, harus dipikirkan apakah pola penyakit
sesuai dengan suatu distribusi dermatomal atau neuropati perifer, Modalitas sensasi adalah
sentuhan ringan, nyeri, suhu, jetaran, dan propriosepsi.Pertama, periksa apakah pasien dapat
merasakanrangsangan dan memahami prosedur pemeriksaan dengan memeriksa bagian yang
Anda ketahui sensasinya normal. Kemudian, ikuti pola dermatomal , Bila distrtbusi gangguan
sensorik menyerupai sarung tangan atau kaus kaki, mulailah pemeriksaan dari ujung jari tangan
atau kaki, dan terus naik sampaididapatkan batas sensorik.

 Sentuhan ringan; diperiksa dengan ujung kapas yang ditempelkan ke satu titik dengan mata
pasien tertutup. Jangan menggoreskan kapas ke kulit karena sensasi ini dapat dihantarkan
oleh serabut nyeri.
 Nyeri: sebaiknya diuji dengan lidi yang patah atau neuro-tip yang dirancang khusus
(berujung tajam). Pemakaian jarum suntik sebaiknya dihindari karena mudah menembus
kutit dan dapat menimbulkan infeksi.
 Sensasi getaran: biasanya berkurang atau hilang pada usia lanjut; namun, uji Ini bemianfaat
pada pasien yang dicurigai mengidap neuropati sensorik perifer. Uji sensasi getaran terbaik
adalah menggunakan garpu tala C128 Hz di ekstrcmitas atas, ekstremitas bawah, dan
badan.
 Propriosepsi: sensasi posisi sendi harus diperiksa dengan mata pasien tertutup, Sistem
pemeriksaan sensasi posisi sendi di jari tangan dan kaki diperlihatkan di gambar 1.13
dan1.14. Jari harus dipisahkan dari jari di sekitarnya dan sendi yang diperiksa digerakkan
ke atas dan ke bawah, Tanyakan arah gerakan jari kepada pasien.
 Suhu: jarang diperiksa rutin. Bila diindikasikan, cara termudah adalah mengisi botol
sampel darah atau tabung logam dengan air es atau air hangat. Ikuti skema pemeriksaan
persarafan dermatomal dan neuropati perifer.
 Berat, bentuk, ukuran, dan tekstur: koin sangat penting untuk uji ini. Sebuah koin
diletakkan di telapak tangan pasien dengan mata tertutup, dan pasien diminta untuk

50
menjelaskannya. Berat berbagai koin dapat diban-dingkan dengan meletakkan koin yang
berbeda bersamaan di kedua tangan.

PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR

Dengan fungsi luhur memungkinkan seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan atas
segala rangsang/stimulus baik dari luar maupun clan dalam tubuhnya sendiri sehingga dia mampu
mengadakan hubungan intra maupun interpersonal.
Termasuk di dalam fungsi luhur adalah:
1. Fungsi bahasa
2. Fungsi memori (ingatan)
3. Fungsi orientasi (pengenalan)

Pemeriksaan fungsi bahasa


Gangguan fungsi bahasa disebut afasia atau disfasia yaitu kelainan berbahasa akibat kerusakan di
otak, tetapi bukan kerusakan/gangguan persarafan perifer otot-otot bicara, artikulasi maupun
gangguan penurunan inteligensia.

Ada 2 jenis afasia:


1. Afasia motorik
Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak mampu mengeluarkan isi pikirannya.
- Afasia motorik kortikalis : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya baik secara
verbal, tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di cortex cerebri dominan.
- Afasia motorik subkortikalis (afasia motorik murni) : Penderita tidak dapat mengeluarkan
isi pikirannya secara verbal namun masih dapat dengan tulisan maupun isyarat. Letak lesi
di subcortex hemispher dominan.
- Afasia motorik transkortikalis : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya tetapi
masih dapat membeo. Letak lesi ditranskortikalis kartek Broca dan Wernicke.
Cara pemeriksaan:
Mengajak penderita berbicara mulai dari hal yang sederhana sampai hal-hal yang
sukar yang pernah diketahui penderita sebelumnya. Bila tidak bisa disuruh menuliskan
jawaban atau dengan isyarat.

51
Syarat pemeriksaan:
Penderita dalam keadaan sadar penuh dan bahasa yang dipakai saling dimengerti.
2. Afasia sensorik
Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain
walaupun alat bicara dan pendengarannya baik.
- Afasia sensorik kortikalis
Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan balk secara verbal,
tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di area cortex Wernicke (sensorik).
- Afasia sensorik subkortikalis
Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan secara verbal,
sedangkan tulisan dan isyarat dapat dimengerti. Letak lesi di subcortex Wernicke.
- "Buta kata-kata" (word Blindness)
Penderita masih mengerti bahasa verbal namun tidak lagi bahasa visual. Hal ini jarang
terjadi.
Cara pemeriksaan:
Penderita diberi perintah untuk melakukan sesuatu tanpa contoh. Bila tidak bisa baru
diberikan secara tulisan atau isyarat. Syarat pemeriksaan sama dengan afasia motorik.

Gangguan bahasa lainnya


1. Apraksia
Penderita tidak bisa melaksanakan fungsi psikomotor.
Cara: beri perintah untuk melakukan gerakan yang bertujuan misalnya membuka
kancing
baju,dll.
2. Agrafia
Penderita tidak bisa menulis lagi (tadinya bisa).
Cara: beri perintah untuk menuliskan kata-kata yang didiktekan.
3. Alexia
Penderita tidak bisa lagi mengenali tulisan yang pernah dikenalnya.
Cara: beri perintah untuk membaca tulisan atau kata-kata yang pernah dikenalnya.
4. Astereognosia

52
Penderita tidak bisa mengenali bentuk benda dengan cara meraba.
Cara: dengan mata tertutup penderita disuruh menyebutkan benda dengan cara
merabanya.
5. Abarognosia
Penderita tidak mampu menaksir berat benda yang berada di tangannya (perabaan).
Cara: penderita disuruh menaksir berat benda yang berada di tangannya.
6. Agramesthesia
Penderita tidak bisa rnengenal tulisan yang dituliskan di badannya.
Cara: penderita disuruh menyebutkan kata-kata yang dituliskan di badannya dengan mata
tertutup.
7. Asomatognosia
Penderita tidak mampu menunjukkan bagian-bagian tubuhnya kiri atau kanan.

Pemeriksaan fungsi memori


Secara klinis gangguan memori (daya mengingat) ada 3 yaitu:
1. Immediate memory (segera)
2. Short term memory/recent memory (jangka pendek)
3. Long term memory/remote memory (jangka panjang)
Cara pemeriksaan :
1. Immediate memory
Yaitu daya mengingat kembali suatu stimulus yang diterima beberapa detik lalu seperti
mengingat nomor telepon yang baru saja diberikan.
Cara: penderita disuruh mengulang deret nomor yang kita ucapkan. Seperti di bawah ini:
(disebut digit span)
3-7
2-4-9
8-5-2-7
2-8-6-9-3
5-7-1-9-4-6
8-1-5-9-3-6-7
dikatakan masih normal jika seseorang dapat mengulang sebanyak 7 digit.

53
2. Recent memory
Yaitu daya mengingat kembali stimulus yang diterima beberapa menit, jam, hari yang lalu.
Cara: penderita disuruh menceritakan pekerjaan/peristiwa yang dikerjakan/dialami beberapa
menit/jam/hari yang lalu.
3. Remote memory
Yaitu daya mengingat kembali stimulus atau peristiwa yang telah lama berlalu (bertahun-
tahun).
Cara: penderita disuruh menceritakan pengalaman atau teman-teman masa kecilnya.
(Tentunya pemeriksa telah mendapat informasi sebelumnya).

Ketiga pemeriksaan di atas adalah untuk audio memory (yang didengar) sedangkan
memori yang dilihat (visual memory) dapat diperiksa sebagai berikut.
Cara: penderita disuruh mengingat nama-nama benda yang diperlihatkan kepadanya kemudian
benda - benda tersebut disimpan. Beberapa waktu kemudian penderita disuruh mengulang
nama-nama benda tersebut.

Pemeriksaan fungsi orientasi


Secara klinis pemeriksaan orientasi ada 3 yaitu: Personal, tempat, waktu
Cara: penderita disuruh mengenali orang-orang yang berada di sekitarnya yang memang
dikenalnya (seperti istrinya, anak, teman, dll), Penderita juga disuruh mengenali tempat
dimana ia berada atau tempat-tempat lainnya. Penderita juga disuruh menyebutkan
waktu/saat penderita diperiksa seperti siang/malam/sore.
Catatan:
Kesemua pemeriksaan fungsi luhur ini baru dapat diperiksa pada penderita yang
mempunyai kesadaran penuh atau baik dan tidak mengalami gangguan mental,
kemunduran inteligen maupun kerusakan organ-organ atau persarafan perifer yang terkait.
Harus diingat bahwa pemeriksaan fungsi luhur adalah pemeriksan fungsi-fungsi cortex
cerebri yang terkait.

o Pemeriksaan status mental mini (MMSE)

54
MMSE merupakan bagian penting dari setiap pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan
ini meliputi evaluasi kualitas dan kuantitas kesadaran, perilaku, emosi, isi pikir, kemampuan
intelektual dan sensorik. Bagian paling sensitif dan penting adalah orientasi waktu, daya ingat,
dan urutan angka. MMSE diperkenalkan sebagai pemeriksaan standar fungsi kognitif dalam
segi klinis maupun penelitian. Penilaian MMSE sangat mudah, nilai maksimum adalah 30.
Nilai kurang dari 24 ditafsirkan sebagai demensia.

Tabel Pemeriksaan status mini mental (MMSE)

No. Tes Nilai maks

ORIENTASI

1 Sekarang (tahun), (musim),(bulan), (tanggal), hari apa? 5

2 Kita berada dimana? (Negara, propinsi, kota, rumah sakit, lantai/kamar) 5

REGISTRASI

3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin), setiap benda 1 detik, 3
pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap
nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan
benar dan catat jumlah pengulangan

ATENSI DAN KALKULASI

4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan 5
setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata “WAHYU” (nilai
diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw = 2 nilai)

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

5 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3

55
BAHASA

6 Pasien disuruh menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, buku) 2

7 Pasien disuruh mengulang kata-kata “namun”, “tanpa”, “bila” 1

8 Pasien disuruh melakukan perintah: “ambil kertas ini dengan tangan 3


anda,lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”

9 Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah “pejamkanlah mata 1


anda”

10 Pasien disuruh menulis dengan spontan 1

11 Pasien disuruh menggambar bentuk dibawah ini 1

TOTAL 30

Skor Nilai 24-30 = normal

Nilai 17-23 = gangguan kognitif probable

Nilai 0-16 = gangguan kognitif definit

Tabel skor median pada MMSE berdasarkan usia dan tingkat pendidikan

56
PEMERIKSAAN FUNGSI VEGETATIF
Yang terpenting adalah pemeriksaan miksi, yaitu dengan cara: anamnesis dan
pemeriksaan.
Anamnesis :
- Apakah miksi spontan, disadari, bisa ditahan atau tidak, keluar terus-menerus atau sekali
keluar sekali berhenti atau tidak dapat keluar sama sekali.
Pemeriksaan:
- Tekan vesica urinaria untuk menentukan apakah penuh atau tidak
- Observasi ujung urethra eksterna, basah terus atau tidak
- Tekan vesica urinaria apakah terjadi pengosongan urine, lalu lakukan catheterisasi untuk
menentukan rest urine
Macam-macam kelainan miksi:
1. Inkontinensia urine
Suatu keadaan dimana urine keluar terus-menerus secara menetes,
2. Retensio urin

57
Suatu keadaan dimana urine tidak dapat keluar baik secara disadari atau tidak, sedangkan
vesica urinaria penuh.
3. Automatic bladder
Suatu keadaan diman urine dapat dikeluarkan dengan adanya gaya berat atau rangsangan
pada os pubis dan lipatan inguinal.
4. Atonic bladder
Suatu keadaan dimana urine dapat dikeluarkan dengan menekan supra pubis. Residual
urine pada keadaan ini lebih banyak dari automatic bladder.

58
DAFTAR PUSTAKA

Baehr, M. dan M. Frotscher. Diagnosis Topik dan Neurologi DUUS, Anatomi Fisiologi Tanda
Gejala. Jakarta: EGC. 2010.

Bickley, Lynn; Szilagui, Peter (2007). Bates' Guide to Physical Examination and History Taking
(9th ed.). Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 0-7818-6718-0.

Campbell, William W. 2005. DeJong's The Neurologic Examination, 6th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins.

Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2011.

Mulia, Nico Paundra. 2011. Pemeriksaan Neurologi. www.scribd.com [akses 06 agustus 2012].

59

Anda mungkin juga menyukai