PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit
jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan
sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2010).
Amerika Serikat, mengklaim sebuah 325.000 kematian setiap tahun. SCA
membunuh 1.000 orang per hari atau satu orang setiap dua menit. Dan paling
sering terjadi pada pasien dengan penyakit jantung, terutama mereka yang telah
gagal jantung kongestif.Sebanyak 75 persen orang yang meninggal karena tanda-
tanda menunjukkan SCA serangan jantung sebelumnya. Delapan puluh persen
memiliki tanda-tanda penyakit arteri koroner. SCA dicatat 10.460 (75,4 persen)
dari seluruh 13.873 kematian penyakit jantung pada orang berusia 35-44 tahun,
dan proporsi penangkapan jantung yang terjadi out-of-rumah sakit meningkat
dengan usia, dari 5,8 persen pada orang usia 0-4 tahun 61,0 persen pada orang
usia lebih dari 85 years.Orang yang memiliki penyakit jantung akan
meningkatkan risiko untuk SCA. Namun, kebanyakan SCA terjadi pada orang
yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit jantung atau faktor risiko lain
untuk SCA.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian henti jantung ?
2. Apakah etiologi henti jantung ?
3. Bagaimana patofisiologi henti jantung ?
4. Apakah manifestasi klinis yang terjadi pada henti jantung
5. Bagaimana penatalaksanaan henti jantung ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada henti jantung ?
7. Apakah komplikasi yang terjadi pada henti jantung ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada gangguan alam perasaan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Henti jantung adalah terhentinya kontraksi jantung yang efektif ditandai
dengan pasien tidak sadar, tidak bernafas, tidak ada denyut nadi. Pada keadaan
seperti ini kesepakatan diagnostis harus ditegakkan dalam 3 – 4 menit.
Keterlambatan diagnosis akan menimbulkan kerusakan otak. Harus dilakukan
resusitasi jantung – paru.
C. Patofisiologi
Henti jantung terjadi bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, akibat
terjadinya penghentian sirkulasi efektif. Semua kerja jantung berhenti atau terjadi
kedutan otot yang tidak seirama ( fibrasi ventrikel ).
Terjadi kehilangan kesadaran mendadak, tidak ada denyutan dan bunyi
jantung tidak terdengar. Pupil mata mulai berdilatasi dalam 45 detik. Bias atau
tidak terjadi kejang.
Terdapat interval waktu sekitar 4 menit antara berhentinya sirkulasi
dengan terjadinya kerusakan otak menetap. Intervalnya dpat bervariasi tergantung
usia pasien.
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Beberapa sebab dapat menyebabkan ritme denyut jantung menjadi tidak normal,
dan keadaan ini sering disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat berdenyut
terlalu cepat atau terlalu lambat atau berhenti berdenyut. Empat macam ritme
yang dapat menyebabkan pulseless cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation
(VF), Rapid Ventricular Tachycardia (VT), Pulseless Electrical Activity (PEA)
dan asistol (American Heart Association (AHA), 2005). Kematian akibat henti
jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular fibrilasi dimana terjadi pola
eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan menyebabkan jantung kehilangan
kemampuan untuk memompa darah secara adekuat. Volume sekuncup jantung
(cardiac output) akan mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencukupi
kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital lain termasuk miokardium jantung
(Mariil dan Kazii, 2008). Ventrikular takikardia (VT) adalah takidisritmia yang
disebabkan oleh kontraksi ventrikel simana jantung berdenyut > 120 denyut/menit
dengan GRS kompleks yang memanjang. VT dapat monomorfik (ditemukan QRS
kompleks tunggal) atau polimorfik (ritme irregular dengan QRS yang bervariasi
baik amplitudo dan bentuknya) (deSouza dan Wart, 2009).
D. Manifestasi Klinis
Kehilangan kesadaran mendadak.
Tidak adanya denyut karotis dan femoralis.
Henti nafas segera timbul setelahnya.
Pupil dilatasi (setelah 45 detik).
Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)
Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang
dewasa atau brakialis pada bayi)
Henti nafas atau mengap-megap (gasping)
Terlihat seperti mati (death like appearance)
Warna kulit pucat sampai kelabu
Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak
adanya suplai oksigen termasuk otak
Hypoxia cerebral atau tidak adanya oksigen ke otak menyebabkan
kehilangan kesadaran (collapse)
Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani
dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10
menit
Nafas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas)
Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut
nadi yang dapat terasa pada arteri
Tidak ada denyut jantung
Dilatasi pupil jika terjadi kerusakan otak irreversible 50%
E. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas gejala klinis sebagai berikut:
Gerakan pernafasan dan angin pernafasan yang menghilang atau sangat
lemah.
Denyut nadi dan bunyi jantung menghilang atau sangat lemah, bradikardia
/ takikardia yang sangat menjolok.
Hilangnya kesadaran : dilatasi pupil.
F. Penatalaksanaan
Penanganan henti jantung dilakukan untuk membantu menyelamatkan
pasien / mengembalikan fungsi cardiovascular. Adapun prinsip-prinsipnya yaitu
sebagai berikut:
Tahap I
Berikan bantuan hidup dasar
Bebaskan jalan nafas, seterusnya angkat leher / topang dagu.
Bantuan nafas, mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke alat bantuan
nafas.
Jika nadi tidak teraba :
Satu penolong : tiup paru kali diselingi kompres dada 30 kali.
Dua penolong : tiup paru setiap 2 kali kompresi dada 30 kali.
Tahap II :
Pengobatan
Epinephrine.
Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan cardiac arrest,
utamanya karena memiliki efek α-adrenergic reseptor-stimulating
(vasokonstriktor). Efek α-adrenergik dari epinephrine dapat meningkatkan CPP
(coronary perfusion pressure/aortic relaxation “diastolic” pressure minus right
atrial relaxation “diastolic” pressure) dan tekanan perfusi cerebral selama RJP.
Untuk efek β-adrenergik dari epinephrine, masih kontoversi karena berefek
meningkatkan kerja miokardium dan mengurangi perfusi
subendokardial.Berdasarkan kerjanya tersebut, jadi cukup beralasan jika
pemberian 1 mg epinephrine IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada cardiac arrest.
Dosis lebih tinggi hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti pada
overdosis β-blocker atau calcium channel blocker. Jika akses vena (IV) terlambat
atau tidak ditemukan, epinephrine dapat diberikan endotrakeal dengan dosis 2 mg
sampai 2,5 mg.
Dapat diberikan adrenalin 0,5 – 1 mg (IV),
Ulangi dengan dosis yang lebih besar jika diperlukan. Dapat diberikan Bic
– Nat 1 mg/kg BB (IV) jika perlu. Jika henti jantung lebih dari 2 menit, ulangi
dosis ini setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi.
Pada fibrilasi ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2 mg/kg BB.
Jika Asistol berikan vasopresor kaliumklorida 10% 3-5 cc selama 3 menit.
Antiaritmia
Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan kalsium dan
juga memiliki efek α- and β-adrenergic blocking. Amiodarone dapat
dipertimbangkan untuk terapi VF (fibrilsi ventrikel) atau Pulseless VT (takikardi
ventrikel) yang tidak memberikan respon terhadap shock, RJP dan vasopressor.
Dosis pertama dapat diberikan 300 mg IV, diikuti dosis tunggal 150 mg IV. Pada
blinded-RCTs didapatkan pemberian amiodarone 300 mg atau 5 mg/KgBB secara
bermakna dapat memperbaiki keadaan pasien VF atau Pulseless VT dirumah
sakit, dibandingkan pemberian placebo atau lidocaine 1,5 mg/KgBB.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika
dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh
lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase
listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena
cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa
menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola
listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko
kematian mendadak.
2. Tes darah
a. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena
serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest.
Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah
benar-benar terjadi serangan jantung.
b. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada
pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral
dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik.
Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden
cardiac arrest.
c. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi
aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan
terlarang.
d. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu
cardiac arrest.
3. Imaging tes
a. Pemeriksaan Foto Thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal
ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
b. Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi
masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti
thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat
mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung.
Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung telah
rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas
puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung belum ditemukan.
Dengan jenis tes ini, mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia,Tes ini dapat
membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter
dihubungkan dengan electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke
berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan
penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat
menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan
penyebab yang mungkin memicu atau menghentikan – aritmia. Hal ini
memungkinkan untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah
seberapa baik jantung mampu memompa darah.Ini dapat menentukan kapasitas
pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini
mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel setiap detak
jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi
kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.Ini dapat
mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan
dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang
tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur,
pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan
tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam
jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan
rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan,mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan
memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HENTI JANTUNG
PENGKAJIAN
a. Kaji respon klien
Periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau menggoyangkan pasien
sambil bersuara keras “Apakah anda baik-baik saja?”.Jika tidak berespon berikan
rangsangan nyeri.
Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi
pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan
segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian.
b. Periksa arteri carotis,jika tidak ada denyutan segera lakukan RJP/CPR.Cek
kembali arteri carotis,jika sudah berdenyut.
c. Periksa pernafasan pasien
Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan. Cara ini
dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan.
Setelah memastikan jalan nafas bebas, penolong segera melakukan cek
pernafasan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan cek
pernafasan antara lain:
Cek pernafasan dilakukan dengan cara look (melihat pergerakan
pengembangan dada), listen (mendengarkan nafas), dan feel (merasakan
hembusan nafas) selama 10 detik.
Apabila dalam 10 detik usaha nafas tidak adekuat (misalnya terjadi
respirasi gasping pada SCA) atau tidak ditemukan tanda-tanda pernafasan, maka
berikan 2 kali nafas buatan (masing-masing 1 detik dengan volume yang cukup
untuk membuat dada mengembang).
d. Jika pasien bernafas,maka lakukan posisikan korban ke posisi recovery
(posisi tengkurap, kepala menoleh ke samping).
G. DIAGNOSA
I. EVALUASI
Mustafa I, dkk. 1996. Bantuan Hidup Dasar. RS Jantung Harapan Kita. Jakarta.
Sunatrio S, dkk. 1989. Resusitasi Jantung Paru. dalam Anesteiologi. Editor
Muhardi
Muhiman, dkk, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Sjamsuhidajat R, Jong Wd. 1997. Resusitasi. Hal : 124-129. dalam Buku Ajar
Ilmu
Bedah. Edisi Revisi. EGC. Jakarta
E. Patways