Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit
jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan
sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2010).
Amerika Serikat, mengklaim sebuah 325.000 kematian setiap tahun. SCA
membunuh 1.000 orang per hari atau satu orang setiap dua menit. Dan paling
sering terjadi pada pasien dengan penyakit jantung, terutama mereka yang telah
gagal jantung kongestif.Sebanyak 75 persen orang yang meninggal karena tanda-
tanda menunjukkan SCA serangan jantung sebelumnya. Delapan puluh persen
memiliki tanda-tanda penyakit arteri koroner. SCA dicatat 10.460 (75,4 persen)
dari seluruh 13.873 kematian penyakit jantung pada orang berusia 35-44 tahun,
dan proporsi penangkapan jantung yang terjadi out-of-rumah sakit meningkat
dengan usia, dari 5,8 persen pada orang usia 0-4 tahun 61,0 persen pada orang
usia lebih dari 85 years.Orang yang memiliki penyakit jantung akan
meningkatkan risiko untuk SCA. Namun, kebanyakan SCA terjadi pada orang
yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit jantung atau faktor risiko lain
untuk SCA.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian henti jantung ?
2. Apakah etiologi henti jantung ?
3. Bagaimana patofisiologi henti jantung ?
4. Apakah manifestasi klinis yang terjadi pada henti jantung
5. Bagaimana penatalaksanaan henti jantung ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada henti jantung ?
7. Apakah komplikasi yang terjadi pada henti jantung ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada gangguan alam perasaan ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Henti jantung adalah terhentinya kontraksi jantung yang efektif ditandai
dengan pasien tidak sadar, tidak bernafas, tidak ada denyut nadi. Pada keadaan
seperti ini kesepakatan diagnostis harus ditegakkan dalam 3 – 4 menit.
Keterlambatan diagnosis akan menimbulkan kerusakan otak. Harus dilakukan
resusitasi jantung – paru.

Cardiac Arrest adalah terhentinya pompa jantung secara mendadak yang


bersifat reversible, dan dapat bersifat irreversible jika tidak dilakukan intervensi
segera(Robert,2001).
Cardiac Arrest adalah jantung tidak cukup memompa darah ke otak,
Cardiac Output <20%, dan nadi carotis tidak teraba.
Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary
arrest, atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan
tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan
seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi. Gejala dan tanda yang tampak, antara
lain hilangnya kesadaran; napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea
(tidak bernafas); tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut
nadi yang dapat terasa pada arteri; dan tidak denyut jantung.
B. Etiologi
1. Terhentinya system pernafasan secara tiba-tiba yang dapat disebabkan
karena:
 Penyumbatan jalan nafas : aspirasi cairan lambung atau benda
asing.
 Sekresi air yang terdapat dijalan nafas, seperti pada saat tenggelam,
edema paru, lender yang banyak.
 Depresi susunan saraf pusat yang disebabkan karena obat-obatan,
racun, arus listrik tegangan tinggi, hipoksia berat, edema otak.
2. Terhentinya peredaran darah secara tiba-tiba yang disebabkan :
 Hipoksia, asidosis, hiperkapnia karena penyakit paru atau karena
henti perrnafasan secara tiba-tiba.
3. Terganggunya fungsi system saraf, yang terjadi sebagai akibat
terganggunya system pernafasan dan peredaran darah.
Penyebab dari cardiac arrest :
a. Etiologi Primer : fibrilasi ventrikel dan Asystole Fibrilasi ventrikel dan
Asystole terjadi karena :
 Iskemik myocard
 Heart block
 Obat-obatan
 Elektrik shock
b. Etiologi sekunder
 Rapid secondary cardiac arrest
o Asphyxia, oleh karena obstruksi jalan nafas, apnea
o Kehilangan darah yang cepat
o Alveola anoksia, terjadi oleh karena udem paru akut, menghirup
gas yang tidak mengandung oksigen
 Slow secondary cardiac arrest
o Severe hipoksemia
o Edema paru
o Konsolidasi paru
o Kardiogenik shock

Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai


risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a. Adanya jejas di jantung
Karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain,jantung yang terjejas atau
mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk mengalami aritmia
ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang
mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac
arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerosis
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy)
Karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub
jantung) membuat seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung
Karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti
aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac
arrest.Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang
bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam darah
(misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang
mengancam jiwa dan cardiac arrest.
d. Kelistrikan yang tidak normal
Beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-Parkinson-White-
Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan
cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.
e. Pembuluh darah yang tidak normal
Jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan aorta) sering menyebabkan
kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga
atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac
arrest apabila dijumpai kelainan tadi.
f. Penyalahgunaan obat
Merupakan faktor utama terjadinya cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya
tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia (Diklat
Ambulans Gawat Darurat 118, 2010) :
a. Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak,pada
keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya,jantung hanya
mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah
CPR dan DC shock atau defibrilasi.
b. Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena adanya
gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan
konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel
kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah keventrikel juga berkurang
sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil,
pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VTdengan
gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian
terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.

c. Pulseless Electrical Activity(PEA)


Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan
kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah
tindakan yang harus segera dilakukan.
d. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan
pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini
tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

C. Patofisiologi
Henti jantung terjadi bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, akibat
terjadinya penghentian sirkulasi efektif. Semua kerja jantung berhenti atau terjadi
kedutan otot yang tidak seirama ( fibrasi ventrikel ).
Terjadi kehilangan kesadaran mendadak, tidak ada denyutan dan bunyi
jantung tidak terdengar. Pupil mata mulai berdilatasi dalam 45 detik. Bias atau
tidak terjadi kejang.
Terdapat interval waktu sekitar 4 menit antara berhentinya sirkulasi
dengan terjadinya kerusakan otak menetap. Intervalnya dpat bervariasi tergantung
usia pasien.
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Beberapa sebab dapat menyebabkan ritme denyut jantung menjadi tidak normal,
dan keadaan ini sering disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat berdenyut
terlalu cepat atau terlalu lambat atau berhenti berdenyut. Empat macam ritme
yang dapat menyebabkan pulseless cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation
(VF), Rapid Ventricular Tachycardia (VT), Pulseless Electrical Activity (PEA)
dan asistol (American Heart Association (AHA), 2005). Kematian akibat henti
jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular fibrilasi dimana terjadi pola
eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan menyebabkan jantung kehilangan
kemampuan untuk memompa darah secara adekuat. Volume sekuncup jantung
(cardiac output) akan mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencukupi
kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital lain termasuk miokardium jantung
(Mariil dan Kazii, 2008). Ventrikular takikardia (VT) adalah takidisritmia yang
disebabkan oleh kontraksi ventrikel simana jantung berdenyut > 120 denyut/menit
dengan GRS kompleks yang memanjang. VT dapat monomorfik (ditemukan QRS
kompleks tunggal) atau polimorfik (ritme irregular dengan QRS yang bervariasi
baik amplitudo dan bentuknya) (deSouza dan Wart, 2009).

Adapun asistol dapat juga menyebabkan SCA. Asistol adalah keadaan


dimana tidak terdapatnya depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki
cardiac output. Asistol dapat dibagi menjadi 2 yaitu asistol primer (ketika sistem
elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi ventrikel) dan asistol sekunder
(ketika sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi seluruh bagian
jantung). Asistol primer dapat disebabkan iskemia atau degenerasi (sklerosis) dari
nodus sinoatrial (Nodus SA) atau sistem konduksi atrioventrikular (AV system)
(Caggiano, 2009).
Sedangkan ritme lain yang dapat menyebabkan SCA adalah Pulseless
Electrical Activity(PEA). Kondisi jantung yang mengalami ritme disritmia
heterogen tanpa diikuti oleh denyut nadi yang terdeteksi. Ritme bradiasistol
adalah ritme lambat, dimana pada kondisi tersebut dapat ditemukan kompleks
yang meluas atau menyempit, dengan atau tanpa nadi juga dikatakan sebagai
asistol (Caggiano, 2009).
Walaupun patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang
mendasarinya. Namun pada umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah
sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.
Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.
Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai
oksigen, termasuk otak. Hipoksia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.
Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5
menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Kaplan, 2007).

D. Manifestasi Klinis
 Kehilangan kesadaran mendadak.
 Tidak adanya denyut karotis dan femoralis.
 Henti nafas segera timbul setelahnya.
 Pupil dilatasi (setelah 45 detik).
 Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)
 Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang
dewasa atau brakialis pada bayi)
 Henti nafas atau mengap-megap (gasping)
 Terlihat seperti mati (death like appearance)
 Warna kulit pucat sampai kelabu
 Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak
adanya suplai oksigen termasuk otak
 Hypoxia cerebral atau tidak adanya oksigen ke otak menyebabkan
kehilangan kesadaran (collapse)
 Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani
dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10
menit
 Nafas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas)
 Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut
nadi yang dapat terasa pada arteri
 Tidak ada denyut jantung
 Dilatasi pupil jika terjadi kerusakan otak irreversible 50%

E. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas gejala klinis sebagai berikut:
 Gerakan pernafasan dan angin pernafasan yang menghilang atau sangat
lemah.
 Denyut nadi dan bunyi jantung menghilang atau sangat lemah, bradikardia
/ takikardia yang sangat menjolok.
 Hilangnya kesadaran : dilatasi pupil.

F. Penatalaksanaan
Penanganan henti jantung dilakukan untuk membantu menyelamatkan
pasien / mengembalikan fungsi cardiovascular. Adapun prinsip-prinsipnya yaitu
sebagai berikut:
Tahap I
 Berikan bantuan hidup dasar
 Bebaskan jalan nafas, seterusnya angkat leher / topang dagu.
 Bantuan nafas, mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke alat bantuan
nafas.
 Jika nadi tidak teraba :
Satu penolong : tiup paru kali diselingi kompres dada 30 kali.
Dua penolong : tiup paru setiap 2 kali kompresi dada 30 kali.

Tahap II :

 Bantuan hidup lanjut.


 Jangan hentikan kompresi jantung dan Venulasi paru.
 Langkah berikutnya :
o Berikan adrenalin 0,5 – 1 mg (IV), ulangi dengan dosis yang lebih
besar jika diperlukan. Dapat diberikan Bic – Nat 1 mg/kg BB (IV)
jika perlu. Jika henti jantung lebih dari 2 menit, ulangi dosis ini
setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi.
o Pasang monitor EKG, apakah ada fibrilasi, asistol komplek yang
aneh : Defibrilasi : DC Shock.
o Pada fibrilasi ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2
mg/kg BB.
o Jika Asistol berikan vasopresor kaliumklorida 10% 3-5 cc selama 3
menit.
o Petugas IGD mencatat hasil kegiatan dalam buku catatan pasien.
o Pasien yang tidak dapat ditangani di IGD akan di rujuk ke Rumah
Sakit yang mempunyai fasilitas lebih lengkap.

Pengobatan
 Epinephrine.
Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan cardiac arrest,
utamanya karena memiliki efek α-adrenergic reseptor-stimulating
(vasokonstriktor). Efek α-adrenergik dari epinephrine dapat meningkatkan CPP
(coronary perfusion pressure/aortic relaxation “diastolic” pressure minus right
atrial relaxation “diastolic” pressure) dan tekanan perfusi cerebral selama RJP.
Untuk efek β-adrenergik dari epinephrine, masih kontoversi karena berefek
meningkatkan kerja miokardium dan mengurangi perfusi
subendokardial.Berdasarkan kerjanya tersebut, jadi cukup beralasan jika
pemberian 1 mg epinephrine IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada cardiac arrest.
Dosis lebih tinggi hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti pada
overdosis β-blocker atau calcium channel blocker. Jika akses vena (IV) terlambat
atau tidak ditemukan, epinephrine dapat diberikan endotrakeal dengan dosis 2 mg
sampai 2,5 mg.
 Dapat diberikan adrenalin 0,5 – 1 mg (IV),
Ulangi dengan dosis yang lebih besar jika diperlukan. Dapat diberikan Bic
– Nat 1 mg/kg BB (IV) jika perlu. Jika henti jantung lebih dari 2 menit, ulangi
dosis ini setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi.
 Pada fibrilasi ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2 mg/kg BB.
 Jika Asistol berikan vasopresor kaliumklorida 10% 3-5 cc selama 3 menit.
 Antiaritmia
Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan kalsium dan
juga memiliki efek α- and β-adrenergic blocking. Amiodarone dapat
dipertimbangkan untuk terapi VF (fibrilsi ventrikel) atau Pulseless VT (takikardi
ventrikel) yang tidak memberikan respon terhadap shock, RJP dan vasopressor.
Dosis pertama dapat diberikan 300 mg IV, diikuti dosis tunggal 150 mg IV. Pada
blinded-RCTs didapatkan pemberian amiodarone 300 mg atau 5 mg/KgBB secara
bermakna dapat memperbaiki keadaan pasien VF atau Pulseless VT dirumah
sakit, dibandingkan pemberian placebo atau lidocaine 1,5 mg/KgBB.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika
dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh
lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase
listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena
cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa
menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola
listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko
kematian mendadak.
2. Tes darah
a. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena
serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest.
Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah
benar-benar terjadi serangan jantung.
b. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada
pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral
dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik.
Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden
cardiac arrest.
c. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi
aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan
terlarang.
d. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu
cardiac arrest.
3. Imaging tes
a. Pemeriksaan Foto Thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal
ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
b. Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi
masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti
thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat
mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c. Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung.
Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung telah
rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas
puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung belum ditemukan.
Dengan jenis tes ini, mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia,Tes ini dapat
membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter
dihubungkan dengan electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke
berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan
penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat
menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan
penyebab yang mungkin memicu atau menghentikan – aritmia. Hal ini
memungkinkan untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah
seberapa baik jantung mampu memompa darah.Ini dapat menentukan kapasitas
pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini
mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel setiap detak
jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi
kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest.Ini dapat
mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan
dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang
tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur,
pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan
tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam
jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan
rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan,mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan
memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HENTI JANTUNG

PENGKAJIAN
a. Kaji respon klien
Periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau menggoyangkan pasien
sambil bersuara keras “Apakah anda baik-baik saja?”.Jika tidak berespon berikan
rangsangan nyeri.
Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi
pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan
segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian.
b. Periksa arteri carotis,jika tidak ada denyutan segera lakukan RJP/CPR.Cek
kembali arteri carotis,jika sudah berdenyut.
c. Periksa pernafasan pasien
Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan. Cara ini
dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan.
Setelah memastikan jalan nafas bebas, penolong segera melakukan cek
pernafasan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan cek
pernafasan antara lain:
Cek pernafasan dilakukan dengan cara look (melihat pergerakan
pengembangan dada), listen (mendengarkan nafas), dan feel (merasakan
hembusan nafas) selama 10 detik.
Apabila dalam 10 detik usaha nafas tidak adekuat (misalnya terjadi
respirasi gasping pada SCA) atau tidak ditemukan tanda-tanda pernafasan, maka
berikan 2 kali nafas buatan (masing-masing 1 detik dengan volume yang cukup
untuk membuat dada mengembang).
d. Jika pasien bernafas,maka lakukan posisikan korban ke posisi recovery
(posisi tengkurap, kepala menoleh ke samping).

1) .Penanganan Awal Henti Jantung (Cardiac Arrest)


Empat jenis ritme jantung yang menyebabkan henti jantung yaitu
ventricular fibrilasi (VF), ventricular takikardia yang sangat cepat (VT), pulseless
electrical activity (PEA), dan asistol. Untuk bertahan dari empat ritme ini
memerlukan bantuan hidup dasar/ Basic Life Support dan bantuan hidup lanjutan/
Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS) (American Heart Association
(AHA), 2005).
Ventrikel fibrilasi merupakan sebab paling sering yang menyebabkan
kematian mendadak akibat SCA. The American Heart Association (AHA)
menggunakan 4 mata rantai penting untuk mempertahankan hidup korban untuk
mengilustrasikan 4 tindakan penting dalam menolong korban SCA akibat
ventrikel fibrilasi.
Empat mata rantai tersebut adalah:
a. Sesegera mungkin memanggil bantuan Emergency Medical Service
(EMS) atau tenaga medis terdekat.
b. Sesegera mungkin melakukan RJP
c. Sesegera mungkin melakukan defibrilasi
d. Sesegera mungkin dilakukan Advanced Life Support diikuti oleh
perawatan postresusitasi.
Sebagaimana kondisi VF, kondisi aritmia lain yang dapat menyebabkan
SCA juga memerlukan tindakan resusitasi jantung dan paru (RJP) yang sebaiknya
segera dilakukan.
Prinsip penangan RJP ada 3 langkah yaitu ABC (Airway/pembebasan
jalan nafas, Breathing/ usaha nafas, Circulation/ membantu memperbaiki
sirkulasi). Namun sebelum melakukan 3 prinsip penanganan penting dalam RJP
tersebut, penolong harus melakukan persiapan sebelumnya yaitu memastikan
kondisi aman dan memungkinkan dilakukan RJP. Setelah memastikan kondisi
aman, penolong akan menilai respon korban dengan cara: memanggil korban atau
menanyakan kondisi korban secara langsung, contoh: “kamu tidak apa-apa?”; atau
dengan memberikan stimulus nyeri. Jika pasien merespon tapi lemah atau pasien
merespon tetapi terluka atau tidak merespon sama sekali segera panggil bantuan
dengan menelepon nomor emergency terdekat.
b) AIRWAY (Pembebasan jalan nafas)
Persiapan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan RJP adalah
meletakan korban pada permukaan yang keras dan memposisikan pasien dalam
kondisi terlentang. Beberapa point penting dalam melakukan pembebasan jalan
nafas:
 Gunakan triple maneuver (head tilt-chin lift maneuver untuk membuka
jalan nafas bagi korban yang tidak memiliki tanda-tanda trauma leher dan
kepala).
 Apabila terdapat kecurigaan trauma vertebra cervicalis, pembebasan jalan
nafas menggunakan teknik Jaw-thrust tanpa ekstensi leher.
 Bebaskan jalan nafas dengan membersihkan hal-hal yang menyumbat
jalan nafas dengan finger swab atau suction jika ada.

c) BREATHING (Cek pernafasan)

Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan.


Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan. Setelah
memastikan jalan nafas bebas, penolong segera melakukan cek pernafasan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan cek pernafasan antara
lain:

 Cek pernafasan dilakukan dengan cara look (melihat pergerakan


pengembangan dada), listen (mendengarkan nafas), dan feel (merasakan
hembusan nafas) selama 10 detik.
 Apabila dalam 10 detik usaha nafas tidak adekuat (misalnya terjadi
respirasi gasping pada SCA) atau tidak ditemukan tanda-tanda pernafasan,
maka berikan 2 kali nafas buatan (masing-masing 1 detik dengan volume
yang cukup untuk membuat dada mengembang).
 Volume tidal paling rendah yang membuat dada terlihat naik harus
diberikan, pada sebagian besar dewasa sekitar 10 ml/kg (700 sampai 1000
ml).
 Rekomendasi dalam melakukan nafas buatan ini antara lain:
o Pada menit awal saat terjadi henti jantung, nafas buatan tidak lebih
penting dibandingkan dengan kompresi dada karena pada menit
pertama kadar oksigen dalam darah masih mencukupi kebutuhan
sistemik. Selain itu pada awal terjadi henti jantung, masalah lebih
terletak pada penurunan cardiac output sehingga kompresi lebih
efektif. Oleh karena inilah alasan rekomendasi untuk
meminimalisir interupsi saat kompresi dada
o Ventilasi dan kompresi menjadi sama-sama penting saat prolonged
VF SCA
o Hindari hiperventilasi (baik pernapasan mulut-mulut/ masker/
ambubag) dengan memberikan volume pernapasan normal (tidak
terlalu kuat dan cepat)
o Ketika pasien sudah menggunakan alat bantuan nafas (ET. LMA,
dll) frekuensi nafas diberikan 8-10 nafas/menit tanpa usaha
mensinkronkan nafas dan kompresi dada.
o Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk memberikan nafas
buatan (misalnya korban memiliki riwayat penyakit tertentu
sehingga penolong tidak aman/resiko tertular) maka lakukan
kompresi dada.
o Setelah pemberian pernafasan buatan, segera lakukan pengecekan
sirkulasi dengan mendeteksi pulsasi arteri carotis (terletak dilateral
jakun/tulang krikoid).
o Pada pasien dengan sirkulasi spontan (pulsasi teraba) memerlukan
ventilasi dengan rata-rata 10-12 nafas/menit dengan 1 nafas
memerlukan 5-6 detik dan setiap kali nafas harus dapat
mengembangkan dada.
d) CIRCULATION

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan sirkulasi


pada saat melakukan resusitasi jantung dan paru:

 Kompresi yang “efektif” diperlukan untuk mempertahankan aliran darah


selama resusitasi dilakukan.
 Kompresi akan maksimal jika pasien diletakan terlentang pada alas yang
keras dan penolong berada disisi dada korban.
 Kompresi yang efektif dapat dilakukan dengan melakukan kompresi yang
kuat dan cepat (untuk dewasa + 100 kali kompresi/menit dengan kedalam
kompresi 2 inchi/4-5 cm; berikan waktu untuk dada mengembang
sempurna setelah kompresi; kompresi yang dilakukan sebaiknya ritmik
dan rileks).
 Kompresi dada yang harus dilakukan bersama dengan ventilasi apabila
pernafasan dan sirkulasi tidak adekuat. Adapun rasio yang digunakan
dalam kompresi dada dengan ventilasi yaitu 30:2 adalah berdasarkan
konsensus dari para ahli. Adapun prinsip kombinasi antara kompresi dada
dengan ventilasi antara lain; peningkatan frekuensi kompresi dada dapat
menurunkan hiperventilasi dan lakukan ventilasi dengan minimal interupsi
terhadap kompresi. Sebaiknya lakukan masing-masing tindakan (kompresi
dada dan ventilasi) secara independen dengan kompresi dada 100x/menit
dan ventilasi 8-10 kali nafas per menit dan kompresi jangan membuat
ventilasi berhenti dan sebaliknya, hal ini khususnya untuk 2 orang
penolong).
 Pada pencarian literature ditemukan lima sitation: satu LOE (Level Of
Evidence) 4, dan Empat LOE 6. Frekuensi tinggi (lebih dari 100 kompresi
permenit) manual CPR telah dipelajari sebagai teknik meningkatkan
resusitasi dari cardiac arrest. Pada kebanyakan studi pada binatang,
frekuensi CPR yang tinggi meningkatkan hemodinamik, dan tanpa
meningkatkan trauma (LOE6, Swart 1994, Maier 1984, Kern 1986). Pada
satu tambahan studi pada binatang, CPR frekuensi tinggi tidak
meningkatkan hemodinamik melebihi yang dilakukan CPR standar (cit
Tucker, 1994).
 Studi klinis dalam pegguaan CPR frekuensi tinggi masih terbatas. Pada
sebuah uji klinis kecil (dengan jumlah sampel 9), CPR frekuensi tinggi
meningkatkan hemodinamik melebihi CPR standar (cit Swensen 1988).
Lalu, CPR frekuensi tinggi terlihat lebih menjanjikan untuk peningkatan
CPR. Hasil dari studi pada manusia diperlukan untuk menentukan
keefektifan dari teknik ini dalam manajemen pasien dengan cardiac arrest.
Selain bantuan hidup dasar/ Basic Life Support, dalam penanganan cardiac
arrest juga memerlukan bantuan hidup lanjutan/ Advanced Cardiovascular Life
Support (ACLS) untuk meningkatkan harapan hidup korban. Adapun algoritma
penanganan bantuan hidup lanjutan/ Advanced Cardiovascular Life Support
(ACLS) untuk pulseless arrest:

Asuhan pasca resusitasi


Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat
responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah
dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain
dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan.
Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau
diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang
terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel
sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi
predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya
resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka
rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan
hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan
untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan
elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan
peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil
dan kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang
menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang
berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit
yang mendasari serangan henti jantung tersebut. Pasien dengan kanker, gagal
ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu
kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah
henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir
henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan
dan gangguan metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai
harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan cepat dan
dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.

G. DIAGNOSA

Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke otak


Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen tidak adekuat
Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung
menurun
Pola nafas tidak efektif b.d paralisis otot pernafasan
Resiko bersihan tidak efektif jalan nafas b.d penurunan kesadaran
Penurunan curah jantung b.d berhentinya fungsi jantung
Gangguan perfusi jaringan b.d hipoksia ditandai dengan perubahan tingkat
kesadaran
H. IMPLEMENTASI

Implementasi (pelaksanaan) keperawatan disesuaikan dengan rencana


keperawatan (intervensi), menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan
dengan pedoman atau prosedur teknis yang telah ditentukan

I. EVALUASI

Evaluasi yang diharapkan :

 Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 kembali lancar


 Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung
 Kemampuan pompa jantung meningkat dan kebutuhan oksigen ke otak
terpenuhi
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara
mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi
kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk
berkontraksi secara efektif yang paling sering disebabkan oleh fibrilasi ventrikel
dan takikardi ventrikel.Penanganan awal henti jantung dengan metode CAB.
SARAN
Diharapkan mahasiswa agar dapat meningkatkan pemahamannya terhadap
asuhan keperawatan pada pasien henti jantung.
Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan sebagai
pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Mustafa I, dkk. 1996. Bantuan Hidup Dasar. RS Jantung Harapan Kita. Jakarta.
Sunatrio S, dkk. 1989. Resusitasi Jantung Paru. dalam Anesteiologi. Editor
Muhardi
Muhiman, dkk, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Sjamsuhidajat R, Jong Wd. 1997. Resusitasi. Hal : 124-129. dalam Buku Ajar
Ilmu
Bedah. Edisi Revisi. EGC. Jakarta

____. 2009. “Cardiac Arrest”. http://pekerjaankesehatan.blogspot.com. 03/2009l.


Anakkomik. 2009. ” Cardiac Arrest”. http://anakkomik.blogspot.com. 11/2009.
Article Source: http://EzineArticles.com/5317479
Chan, Ayummee. 2009. ” Forensic Cardiac Arrest ”. http://ayumee-
chan.blog.friendster.com. 01/2009.
____. 2010. “ Curah Jantung”. http://id.shvoong.com.medicine-and-
health/1958048. 10/2010.
____. 2010. “ Henti Jantung dan Resusitasi Jantung Paru”.http://www.scribd.com.
09/2010.

E. Patways

Anda mungkin juga menyukai