Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

EKSPERIMEN DASAR
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK FARMAKOLOGI

(VARIASI BIOLOGI DAN VARIASI KELAMIN)


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja
obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme
akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi
tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim
metabolisme dan faktor-faktor lain.

I.2 Tujuan Percobaan

1. Praktikan dapat mengenal dan mengamati berbagai faktor yang memodifikasi obat.

2. Praktikan dapat mengajukan hal-hal yang melandasi pengaruh faktor-faktor tersebut


secara teoritis dan praktis.
3. Praktikan dapat mengetahui pengaruh jenis biologi dan jenis kelamin terhadap dosis
obat yang diberikan kepada hewan percobaan.
4. Praktikan mampu membedakan terjadinya efek antara hewan coba yang berkelamin
berbeda antara hewan jantan dan betina sebagai dasar pertimbangan percobaan dengan
memakai hewan coba
I.3 Prinsip Percobaan

Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada
tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi biologi dan variasi kelamin yang
mempengaruhi respons tubuh terhadap obat.
BAB II

DASAR TEORI

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat

1. Faktor Genetik atau Keturunan

Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang


terjadi dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan
ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.

Contoh : Metabolisme isoniazid, suatu bentuk antituberkulosis, terutama melalui


n-asetilasi. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan bahwa ada
perbedaan kemampuan asetilasi dari individu-individu. Orang Jepang dan Eskimo
merupakan asetilator cepat, sedang orang Eropa Timur dan Mesir adalah asetilator
lambat. Waktu paruh isoniazid pada asetilator cepat bervariasi antara 45-80 menit,
dan pada asetilator lambat antara 140-200 menit.

Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim
N-asetil transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh
lebih besar dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat
tergantung pada kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat
diekskresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat
mempunyai masa kerja pendek dan memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.
Pada asetilator lambat, kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki
lebih besar, misalnya neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan Dapson juga
menunjukkan asetilasi yang berbeda secara genetik. Factor genetik juga berpengaruh
ternadap kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin.
2. Perbedaan Spesies dan Galur

Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang
cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies
dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi
metabolik atau pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan
kuantitatif.

Contoh : Fenilasetat, pada manusia terkonjugasi dengan glisin dan glutamine,


sedang pada kelinci dan tikus terkonjugasi pada glisin saja. Asam benzoate, pada
bebek diekskresikan sebagai asam orniturat, sedangkan pada anjing diekskresikan
sebagai asam hipurat. Amfetamin, pada manusia, kelinci dan marmot mengalami
deaminasi oksidatif, sedangkan pada tikus mengalami hidroksilasi aromatik. Fenol,
pada kucing terkonjugasi dengan sulfat, sedangkan pada babi terkonjugasi dengan
asam glukuronat, karena kucing mengandung lebih sedikit enzim glukuronil
transferase. Fenitoin, pada manusia mengalami oksidasi aromatik menghasilkan S(-)-
orto-hidroksifenitoin.

3. Perbedaan Jenis Kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin


terhadap kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan
yang sama baik pada tikus betina maupun tikus jantan. Tikus betina dewasa ternyata
memetabolisis beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding tikus
jantan. Contoh : N-demetilasi aminopirin, oksidasi heksobarbital, dan glukuronidasi
O-aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa selain perbedaan jenis kelamin,
metabolisme juga tergantung pada macam substrat.

Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati
menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata
berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek
androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat.
Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.

4. Perbedaan Umur

Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka
terhadap obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital,
bila diberikan pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan,
menyebabkan tikus tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang
sama pada tikus dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari lima menit.
Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang
pada orang dewasa delapan jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk
metabolisme oksidatif masih rendah. Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru
lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung
enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan
memetabolisis kloramfenikol rendah, akibatnya terjadi penumpukan obat pada
jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Bayi yang baru lahir
mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relative sedikit.
Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan klorpromazin dapat menimbulkan
neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi
pada proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan
hemoglobin dengan obat-obat di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis
terkumpul pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan.

5. Penghambatan enzim Metabolisme

Kadang-kadang, pemberian terlebih dahulu atau secara bersam-sama suatu


senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan
intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga
meningkatkan efek samping dan toksisitas.

Contoh : Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat


menghambat enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid,
sehingga menyebabkan kenaikan respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan
isonizid, dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida,
sikloserin, dan para-amino salisilat, sehingga kadar obat dalam serum darah
meningkat dan meningkat pula toksisitasnya. Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat
menghambat metabolisme (S)-warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas
antikoagulannya (hipoprotrombonemi). Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat.

6. Induksi enzim metabolism

Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu


senyawa obat dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme dan
bukan karena perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi
penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau
prases induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat
bebas dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya
menjadi lebih singkat. Contoh : Fenobarbital, dapat menginduksi enzim mikrosom
sehingga meningkatkan metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya.
Oleh karena itu, penderita yang diobati dengan warfarin dan akan diberi fenobarbital,
maka dosis warfarin harus disesuaikan (diperbesar). Rokok mengandung polisiklik
aromatik hidrokarbon, seperti benzo(a)piren, yang dapat menginduksi enzim
mikrosom, yaitu sitokrom P-450, sehingga meningkatkan oksidasi dari beberapa obat
seperti teofilin, fenasetin, pentazosin, dan profoksifen. Contoh : waktu paruh teofilin
pada perokok = 4,1 jam, sedang pada orang yang tidak merokok = 7,2 jam.
Fenobarbital, dapat meningkatkan metabolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin,
hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen, dan obat kontrasepsi oral.
Fenitoin, dapat meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol, nortriptilin, dan obat
kontrasepsi oral. Fenilbutazon, dapat meningkatkan metabolisme aminopirin dan
kortisol. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat
meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif. Contoh induksi
enzim sitokrom P-450 oleh fenobarbital akan meningkatkan oksidasi asetaminofen,
sehingga pembentukan metabolit reaktif imidokuinon meningkat dan efek
hepatotoksisitasnya menjadi lebih besar.

7. Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet
makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan,
pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan
patologis hati, misal kanker hati. (Siswandono, 1995)

Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat

Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons


suatu obat. Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk suatu
obat. Sesungguhnya, respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat yang
sama diberikan pada saat yang berbeda selama masa pengobatan. Kadang-kadang,
individu menunjukkan respons obat yang tidak umum atau respons idiosinkratik obat,
suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar pasien. Respon-respon idiosinkratik
biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik dalam metabolisme obat atau oleh
mekanisme imunologik, termasuk reaksi-reaksi alergik.

Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting
secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif
terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan
menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada mayoritas
individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai akibat dari
pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu keadaan toleran
yang relative pada efek-efek obat.

Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan


terhadap kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam ondividu
seorang pasien pada waktu yang berbeda.

a. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor

Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang


relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan
mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat diprediksi
berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit, fungsi hati dan
ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari perbedaan-
perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri
yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.

b. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen

Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons


terhadap antagonis-antagonis farmakologik.

c. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor

Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-


perubahan dalam kemampuan memberi respons obat yang disebabkan oleh
peningkatan atau penurunan jumlah situs reseptor atau oleh perubahan-perubahan
efisiensi mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor distal. Dalam
beberapa hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu
sel atau jaringan yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan
oleh agonis endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang
meningkat dapat menimbulkan respon yang berlebih-lebihan pada konsentrasi-
konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah reseptor yang
diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis
endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.

d. Perubahan-Perubahan dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari Reseptor


Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-reseptor,
respon yang tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional
proses-proses biokimia di dalam sel yang merespons dan meregulasi secara
fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)

Faktor-faktor lain

 Interaksi obat
Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.

 Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena
obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer),
misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi
selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus
menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai
reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat,
benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.

Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi
pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.

 Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi)
yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi
terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk
penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara 10-
20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.

 Pengaruh lingkungan

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap


obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya
(makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam
asap rokok meninduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu (misalnya
teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan dengan
demikian mengurangi respons penderita.( Tanu, 2007;hal 828-829 )

 Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah
pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang
diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang
mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien
apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu
tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan
seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat dan
dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga
mengoptimalkan proses penyembuhan.

Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi


genting seperti pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika
berlangsungnya pertempuran, hanya untuk penglaman sakit parah pada
keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok, yang disebabkan oleh
tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).
BAB III

PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan

 Alat
1) Kawat kandang
2) Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
3) Timbangan
4) Stopwatch
5) Spidol
6) Koran
7) Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
8) Sarung tangan & Masker
9) Beaker Glass
 Bahan
1) Kapas
2) Diazepam
3) Mencit jantan 2 ekor, Mencit betin 2 ekor

III.2 Prosedur Kerja


1. Mencit jantan dan betina putih ditimbang Sebelum di suntik masing-masing
mencit diamati selama 10 menit kelakuan normal nya.
2. Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
3. Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokkan) sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala
4. Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
5. Diamati kelakuan mencit setelah disuntikkan, catat waktu nya saat timbul efek
dan hilang efek. Lakukan hal yang sama pada tikus ke II,III dan IV.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

 Setelah penyuntikan obat, masing-masing mencit ditempatkan dalam kadang dan amati
efeknya setelah 45 menit, catat waktu timbul setiap efek.

Data percobaan :

 Bobot mencit jantan (1)= 36 g

36
= 20 X 0,0026 X 5 mg

=0,0234 mg

0,023𝑚𝑔
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 𝑚𝑔

= 0,00468 X 20

= 0,09 ml

 Bobot mencit jantan (2) = 43 g

43
= 20 X 0,0026 X 5 mg

=0,02795mg

0,02795𝑚𝑔
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 𝑚𝑔

= 0,00559 X 20

= 0,1118 ml

 Bobot mencit betina (1)= 27g


27
= 20 X 0,0026 X 5 mg

=0,01755 mg

0,01755𝑚𝑔
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 𝑚𝑔

= 0,00351 X 20

= 0,0702 ml

 Bobot mencit betin (2)= 26 g

26
= 20 X 0,0026 X 5 mg

=0,0169 mg

0,0169𝑚𝑔
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 𝑚𝑔

= 0,00338 X 20

= 0,0676 ml
Hewan percobaan : Mencit jantan(2 ekor), Mencit betina(2 ekor)

Obat : Diazepam 5mg/70kgBB manusia

Hewan Cara Dosis Waktu Waktu


Pemberian Pemberian Timbul Efek
Mencit IP 0,09ml 09.44 10.57
jantan ke-1
Mencit IP 0,1118ml 09.36 10.57
jantan ke-2
Mencit IP 0,0702ml 09.47 10.57
betina ke-1
Mencit IP 0,0676ml 09.49 10.57
betina ke-2

Pengamatan ( waktu timbul efek )


Cara Hewan Waktu Waktu Waktu Onset Durasi
Pemberian pemberian obat hilang kembali kerja obat kerja obat
(menit) Righting Righting (menit) (menit)
Reflex Reflex
(menit) (menit)
Mencit jantan (1) 09.44 10.06 10.57 22 menit ±1jam 13
IP
menit
Mencit jantan (2) 09.36 09.57 10.57 21 menit ±1 jam 21
IP
menit
Mencit betina (1) 09.47 10.20 10.57 33 menit ± 1 jam 10
IP
menit
Mencit betina (2) 09.49 09.49 10.57 36 menit ± 1 jam 8
IP
menit
BAB V

PEMBAHASAN

Pada percobaan variasi biologi, dilakukan menggunakan dua mencit jantan dan
dua mencit betina. Obat yang digunakan adalah Diazepam dengan dosis 5mg/kgBB
manusia melalui Interperitonial. Diazepam merupakan golongan obat hipnotik sedative
yang mempengaruhi syaraf pusat.

Pemberian obat secara intraperitoneal yaitu dengan cara Mencit dipegang dan
diposisikan telentang, pada penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum
disuntikkan dari abdomen yaitu, pada daerah yang menepi dari garis tengah, agar jarum
suntik tidak terkena kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena
penyuntikan pada hati.

Berdasarkan hasil percobaan, terdapat perbedaan efek farmakologi pada beberapa


mencit yang diberikan obat dengan dosis yang sama. Pada mencit yang diberikan
diazepam melalui rute inteperitonial memberikan efek yang lebih cepat dibandingkan
pemberian diazepam melalui intramuscular dan rektal.

Pengamatan selama 45 menit dapat di jelaskan bahwa pada percobaan mencit


jantan 1 dengan dengan berat badan 36gram dan menyuntikan diazepam 0,09ml dengan
cara intraperitonial, adalah memberikan onset kerja obat 22 menit. Pada percobaan
mencit jantan 2 dengan berat badan 43gram dan menyuntikan diazepam 0,1118ml
dengan cara IP adalah memberikan onset kerja obat 21 menit reaksinya begitu cepat.
Pada percobaan mencit betina 1 dengan berat badan 27gram dan menyuntikan diazepam
0,0702ml dengan cara IP adalah memberikan onset kerja obat 33 menit. Pada percobaan
mencit betina 2 dengan berat badan 26gram dan menyuntikan diazepam 0,0676ml dengan
cara IP adalah memberikan onset kerja obat 36 menit. Hal ini disebabkan karena bobot
mencit jantan lebih besar dari betina, serta luas permukaan tubuh juga bisa menjadi
faktor.
Variasi biologi menyatakan perbedaan besarnya respon diantara individu berbeda
dalam suatu populasi yang diberi obat dengan dosis sama. Efek obat pada individu yang
berlainan tidak pernah sama, demikian juga efek obat yang diberikan pada individu yang
sama pada waktu yang berlainan. Variasi biologi juga menunjukan bahwa untuk
mendapatkan suatu intensitas efek yang sama pada individu-individu yang berlainan ,
diperlukan dosis obat yang berbeda-beda.

Variasi biologi akan memberikan efek farmakologi yang berbeda kepada dua atau
lebih individu berbeda dengan usia , jenis kelamin , dan bobot badan yang sama akan
berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Hal ini karena setiap individu
memiliki karakteristik yang berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini pula yang
menyebabkan perbedaan pada respon terhadap suatu obat dengan dosis tertentu.
Perbedaan tersebut disebabkan karena metabolisme obat, jumlah reseptor obat yang ada
pada tubuh pengguna, jumlah enzim yang dimiliki pengguna ,keadaan emosi , dan
perbedaan jenis makanan yang dikonsumsi serta banyak hal lainnya berbeda pada setiap
individu.
BAB VI

KESIMPULAN

 Terdapat perbedaan efek farmakologi yang dipengaruhi oleh variasi biologi dan variasi
kelamin terhadap dosis obat dengan rute pemberian obat yang diberikan kepada beberapa
mencit.
 Besarnya respon obat terhadap beberapa mencit berbeda-beda, faktor yang
mempengaruhinya adalah : usia, jenis kelamin, bobot badan, metabolisme tubuh, serta
makanan yang di berikan
BAB VII

DAFTAR PUSTAKA

1. Ganis (1980)’’Farmakologi dan Terapi’’edisi II, Penerbit buku bagian Farmakologi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta.
2. Anonim, 1979, Farmakope indonesia edisi III, Jakarta:Depkes Republik
Indonesia,hal 211.
3. Kaizung, G Bearam (2002)”Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VII, Penerbit Buku
Salemba Medika,Jakarta.
4. Nurmelis,dkk.2009,Penuntun Praktikum Farmakologi,Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan,Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah,Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai

  • Sitokin
    Sitokin
    Dokumen25 halaman
    Sitokin
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Antigen Antibody
    Antigen Antibody
    Dokumen24 halaman
    Antigen Antibody
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Antigen Antibody
    Antigen Antibody
    Dokumen24 halaman
    Antigen Antibody
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Suspensi
    Suspensi
    Dokumen15 halaman
    Suspensi
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Sitokin
    Sitokin
    Dokumen25 halaman
    Sitokin
    RINI
    Belum ada peringkat
  • 32 21 1 PB
    32 21 1 PB
    Dokumen9 halaman
    32 21 1 PB
    Indri Noor Hidayati
    Belum ada peringkat
  • B
    B
    Dokumen4 halaman
    B
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen101 halaman
    Bab V
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Men Iran
    Men Iran
    Dokumen4 halaman
    Men Iran
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Simplisia
    Simplisia
    Dokumen1 halaman
    Simplisia
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen16 halaman
    Bab I
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen16 halaman
    Bab I
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen101 halaman
    Bab V
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Fakol Sedatif-Hipnotik
    Fakol Sedatif-Hipnotik
    Dokumen12 halaman
    Fakol Sedatif-Hipnotik
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Isi Teori
    Isi Teori
    Dokumen6 halaman
    Isi Teori
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Makalah
    Makalah
    Dokumen2 halaman
    Makalah
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Rute Pemberian Obat
    Rute Pemberian Obat
    Dokumen6 halaman
    Rute Pemberian Obat
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Nanas
    Nanas
    Dokumen107 halaman
    Nanas
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Makalah
    Makalah
    Dokumen26 halaman
    Makalah
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Mikrobiologi
    Mikrobiologi
    Dokumen21 halaman
    Mikrobiologi
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Makalah
    Makalah
    Dokumen26 halaman
    Makalah
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Emulsi Parafin
    Emulsi Parafin
    Dokumen27 halaman
    Emulsi Parafin
    kinan
    75% (4)
  • Makalah Kosmetologi
    Makalah Kosmetologi
    Dokumen16 halaman
    Makalah Kosmetologi
    Udayana Dwi Permana
    Belum ada peringkat
  • Makala H
    Makala H
    Dokumen22 halaman
    Makala H
    EndangWulanSari
    Belum ada peringkat
  • Identifikasi Senyawa Flavonoid
    Identifikasi Senyawa Flavonoid
    Dokumen12 halaman
    Identifikasi Senyawa Flavonoid
    SyahputraAji
    Belum ada peringkat
  • Makalah Virus
    Makalah Virus
    Dokumen30 halaman
    Makalah Virus
    Nuuy Mmoochichi William
    100% (6)
  • Cologne
    Cologne
    Dokumen21 halaman
    Cologne
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Mix Suspensi Dan Lotion
    Mix Suspensi Dan Lotion
    Dokumen45 halaman
    Mix Suspensi Dan Lotion
    RINI
    Belum ada peringkat
  • Makalah Virus
    Makalah Virus
    Dokumen30 halaman
    Makalah Virus
    Nuuy Mmoochichi William
    100% (6)
  • Kelompok 9 - Parfum
    Kelompok 9 - Parfum
    Dokumen33 halaman
    Kelompok 9 - Parfum
    AryMasDewiWiantini
    50% (6)