EKSPERIMEN DASAR
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK FARMAKOLOGI
PENDAHULUAN
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan
oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan
metabolisme dapat menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan
metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan
kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja
obat, dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme
akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi
tidak efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
antara lain faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis
kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim
metabolisme dan faktor-faktor lain.
1. Praktikan dapat mengenal dan mengamati berbagai faktor yang memodifikasi obat.
Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada
tiap-tiap individu disebabkan karena adanya variasi biologi dan variasi kelamin yang
mempengaruhi respons tubuh terhadap obat.
BAB II
DASAR TEORI
Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim
N-asetil transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh
lebih besar dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat
tergantung pada kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat
diekskresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat
mempunyai masa kerja pendek dan memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.
Pada asetilator lambat, kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki
lebih besar, misalnya neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan Dapson juga
menunjukkan asetilasi yang berbeda secara genetik. Factor genetik juga berpengaruh
ternadap kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin.
2. Perbedaan Spesies dan Galur
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang
cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies
dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi
metabolik atau pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan
kuantitatif.
Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati
menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata
berhubungan dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek
androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat.
Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.
4. Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka
terhadap obat. Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital,
bila diberikan pada tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan,
menyebabkan tikus tertidur selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang
sama pada tikus dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari lima menit.
Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang
pada orang dewasa delapan jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk
metabolisme oksidatif masih rendah. Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru
lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung
enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan
memetabolisis kloramfenikol rendah, akibatnya terjadi penumpukan obat pada
jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Bayi yang baru lahir
mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relative sedikit.
Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan klorpromazin dapat menimbulkan
neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi
pada proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan
hemoglobin dengan obat-obat di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis
terkumpul pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
7. Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet
makanan, keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan,
pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan
patologis hati, misal kanker hati. (Siswandono, 1995)
Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting
secara klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif
terhadap suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan
menurun atau meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada mayoritas
individu-individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai akibat dari
pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu keadaan toleran
yang relative pada efek-efek obat.
Faktor-faktor lain
Interaksi obat
Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.
Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena
obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer),
misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi
selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus
menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai
reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat,
benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.
Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi
pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.
Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi)
yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi
terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk
penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara 10-
20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.
Pengaruh lingkungan
Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah
pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang
diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang
mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien
apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu
tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan
seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat dan
dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga
mengoptimalkan proses penyembuhan.
PERCOBAAN
III.1 Alat dan Bahan
Alat
1) Kawat kandang
2) Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
3) Timbangan
4) Stopwatch
5) Spidol
6) Koran
7) Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
8) Sarung tangan & Masker
9) Beaker Glass
Bahan
1) Kapas
2) Diazepam
3) Mencit jantan 2 ekor, Mencit betin 2 ekor
Setelah penyuntikan obat, masing-masing mencit ditempatkan dalam kadang dan amati
efeknya setelah 45 menit, catat waktu timbul setiap efek.
Data percobaan :
36
= 20 X 0,0026 X 5 mg
=0,0234 mg
0,023𝑚𝑔
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 𝑚𝑔
= 0,00468 X 20
= 0,09 ml
43
= 20 X 0,0026 X 5 mg
=0,02795mg
0,02795𝑚𝑔
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 𝑚𝑔
= 0,00559 X 20
= 0,1118 ml
=0,01755 mg
0,01755𝑚𝑔
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 𝑚𝑔
= 0,00351 X 20
= 0,0702 ml
26
= 20 X 0,0026 X 5 mg
=0,0169 mg
0,0169𝑚𝑔
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 𝑚𝑔
= 0,00338 X 20
= 0,0676 ml
Hewan percobaan : Mencit jantan(2 ekor), Mencit betina(2 ekor)
PEMBAHASAN
Pada percobaan variasi biologi, dilakukan menggunakan dua mencit jantan dan
dua mencit betina. Obat yang digunakan adalah Diazepam dengan dosis 5mg/kgBB
manusia melalui Interperitonial. Diazepam merupakan golongan obat hipnotik sedative
yang mempengaruhi syaraf pusat.
Pemberian obat secara intraperitoneal yaitu dengan cara Mencit dipegang dan
diposisikan telentang, pada penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum
disuntikkan dari abdomen yaitu, pada daerah yang menepi dari garis tengah, agar jarum
suntik tidak terkena kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena
penyuntikan pada hati.
Variasi biologi akan memberikan efek farmakologi yang berbeda kepada dua atau
lebih individu berbeda dengan usia , jenis kelamin , dan bobot badan yang sama akan
berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Hal ini karena setiap individu
memiliki karakteristik yang berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini pula yang
menyebabkan perbedaan pada respon terhadap suatu obat dengan dosis tertentu.
Perbedaan tersebut disebabkan karena metabolisme obat, jumlah reseptor obat yang ada
pada tubuh pengguna, jumlah enzim yang dimiliki pengguna ,keadaan emosi , dan
perbedaan jenis makanan yang dikonsumsi serta banyak hal lainnya berbeda pada setiap
individu.
BAB VI
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan efek farmakologi yang dipengaruhi oleh variasi biologi dan variasi
kelamin terhadap dosis obat dengan rute pemberian obat yang diberikan kepada beberapa
mencit.
Besarnya respon obat terhadap beberapa mencit berbeda-beda, faktor yang
mempengaruhinya adalah : usia, jenis kelamin, bobot badan, metabolisme tubuh, serta
makanan yang di berikan
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA