Anda di halaman 1dari 9

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi cardiorespiratory arrest tergantung dari etiologi yang


mendasarinya. Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah
sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.
Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ
tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke
otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas
normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam
5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac
death) (Torpy, 2006).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi
yang mendasari terjadinya cardiac arrest dan respiratory arrest.:
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya
dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu
penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner
yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit
akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin
meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya,
otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi
untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi
infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan
parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung,
meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest. (Medscape, 2014)
2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal
berfungsi, diantaranya (Torpy, 2006)
 perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
 sengatan listrik
 kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun
serangan asma yang berat
 Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
 Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien
yang memiliki gangguan jantung
 Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal
reflex akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota
keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest.
Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat
mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan Struktur Jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya
dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi
pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung
kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari
jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia.
Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis
pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical
record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel
urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan
diagnosis.
6. Tamponade Jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung
sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan
sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension Pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura.
Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan
tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum.
Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar
(terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke
jantung.
8. Airway Obstruksi
Vomiting, benda asing, darah, sekret, mucus yang bergumpal, laring atau
spasme bronkus,
9. Depresi SSP
Stroke, trauma kepala, hiperkapni, barbiturate, narkotika, obat penenang
atau anastesi.
10. Neuromuskular failure
Secondary dari poliomyelitis, distrofi otot, myestenia atau relaxan otot.

PENATALAKSANAAN

Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah


suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti
nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah
kematian biologis. Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan
arteri femoralis, terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan
dan terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran. Kematian biologis dimana
kerusakan otak tak dapat diperbaiki lagi, dapat terjadi dalam 4 menit setelah
kematian klinis. Oleh Karena itu, berhasil atau tidaknya tindakan RJP tergantung
cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang dilakukan.
a. Indikasi
1) Henti Nafas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh
banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam,
inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing,
tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang
epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya (Latief, 2007).
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih
teraba nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih
cukup sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat
pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan
sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung (Alkatiri,
2007; Latief, 2007).
2) Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan
curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ
vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau
dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian
atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau
penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung (Alkatiri, 2007;
Latief, 2007).
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul
oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-
mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit
ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi
ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba
(karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat
sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi
pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar
(Alkatiri, 2007; Latief, 2007).
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan.
Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan
kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat
jantung berdenyut kembali (Alkatiri, 2007; Latief, 2007)
b. Fase RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya (Alkatiri,
2007):
1) Fase 1
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan
henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru.
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
2) Fase 2
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu
tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah
dimulai PJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole
atau agonal ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3) Fase 3
Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim
saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung,
sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang
permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi
susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan
hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan
sirkulasi, mengendalikan kejang (Alkatiri, 2007)
c. Pembaharuan pada BLS Guidelines 2015
Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2015, berbanding
dengan 2010. Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti
berikut (Hazinski et al, 2015)
1) Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan
pernafasan.
2) “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS
3) Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang
tidak terlatih
4) Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum
breathing.
5) Health care providers memberi chest compression yang efektif
sehingga terdapat sirkulasi spontan.
6) Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7) Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care
providers.
8) Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.

d.Bantuan Hidup Lanjut


Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
1.Penting
1) adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang
diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang
perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi,
fibrilasi ventrikel (Latief, 2007).
2) Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv
dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus
setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu
sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena
bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum
ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang
sama (Alkatiri, 2007).
3) Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi
atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus
bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus
bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis
yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval
5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh
melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan
dosis lebih besar.
4) Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia
dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama
diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari
kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut.
Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya
fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol
denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel.
Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang
bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya
tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1
mg/ml) (Alkatiri, 2007).
2.Berguna
1) Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi
hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah
2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose
5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60
kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil
diatasi dengan Atropine (Alkatiri, 2007).
2) Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti
berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi
ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine.
Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan
pengawasan yang ketat (Alkatiri, 2007).
3) Kortikosteroid: Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB
methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat)
untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila
ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl
prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada
komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan
dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam (Alkatiri, 2007)

(EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan


monitoring.
F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak
teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.

e.Bantuan Hidup Terus Menerus


G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-menerus
terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang
permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat
yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang
mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH,
pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.

Keputusan untuk mengakhiri resusitasi


Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah
medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler
penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil,
tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak
sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit,
biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya
biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada
aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau
lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat (Alkatiri, 2007).

REFERENSI
Alkatiri J (2007). Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Torpy JM (2006). Cardiac arrest. The Journal of the American Medical Assosiation,
295(1).

Anda mungkin juga menyukai