Oleh
Ryka Widyaningtyas
NIM. 180070300111044
Kelompok 2A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh :
Ryka Widyaningtyas
NIM. 180070300111044
( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah.
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau
melakukan fungsi regulasinya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk
dalam cairan tubuh akibat gangguan eksresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi
endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa. ginjal (Arif Muttaqin, 2011)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992). CKD adalah abnormalitas
fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada
kesehatan yang ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda kerusakan ginjal.
Pasien menderita CKD apabila terdapat salah satu kriteria dibawah ini:
B. Etiologi
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler
(nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen
nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). (Doenges, 1999).
Penyebab GGK menurut Price, 1992, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis
tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis.
7. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal.
Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
8. Penyakit ginjal obstruktif seperti pembesaran prostat, batu saluran kemih, dan refluks
ureter.
C. Faktor resiko
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
Riwayat Keluarga Penyakit Ginjal : Jika ada anggota keluarga menderita GGK,
atau yang sedang menjalani dialisis, atau transplantasi ginjal, memiliki risiko
mengalami penyakit ini. Salah satu jenis penyakit yang bersifat diturunkan adalah
penyakit ginjal polikistik, yaitu penyakit ketika jaringan normal ginjal secara perlahan
digantikan oleh kista-kista berisi cairan.
Kelahiran Premature : Bayi prematur (lahir kurang dari 32 minggu kehamilan)
berisiko memiliki penumpukan endapan kalsium di bagian nefron ginjal, yang dikenal
dengan nefrokalsinosis. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan
menghambat proses penggumpalan kristal akibat beban kalsium yang disaring
meningkat dan ekskresi sitrat berkurang. Bila tidak diatasi, bayi yang memiliki
kondisi seperti ini memiliki risiko untuk menderita gangguan fungsi ginjal di
kemudian hari.
Usia : Seiring dengan pertambahan usia, fungsi ginjal pun dapat menurun. Usia
penderita gagal ginjal berkisar antara 40-50 tahun, tetapi hampir semua usia dapat
terkena penyakit ini. Menurut penelitian D.W. Bates penyakit gagal ginjal paling
banyak pada penderita yang berumur 45 tahun.
Jenis kelamin : Kejadian pada laki-laki dan wanita hampir sama. Menurut penelitian
Orfeas Liangas dkk (2001), dari 558.032 penderita gagal ginjal 51,8% adalah laki-
laki, sedangkan perempuan sebesar 48,2%.
Trauma atau Kecelakaan : Kecelakaan, cedera, beberapa jenis operasi, juga dapat
mengganggu atau merusak ginjal.
Jenis Penyakit Tertentu dapat meningkatkan risiko terjadinya GGK. Penyakit ini
antara lain penyakit lupus, anemia sel sabit (sickle cell anemia), kanker, AIDS,
hepatitis C dan gagal jantung berat. (Bahan dari Koesh-Bandung).
D. Epidemiologi
Jumlah penderita Chronic Kidney Disease (CKD) tiap tahun semakin meningkat.
Pada tahun 2001, lebih dari 27.000 pasien mendapatkan renal replacement therapy di
Inggris.
Pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 116.395 orang penderita CKD baru. Lebih
dari 380000 penderita CKD tersebut menjalani hemodialisis (HD) reguler di USA. Pada
tahun 2011, terdapat 15.353 pasien yang baru menjalani HD dan pada tahun 2012 terjadi
peningkatan pasien yang menjalani HD sebanyak 4.268 orang di Indonesia.
E. Patofisiologi (terlampir)
F. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronik tampak dalam tabel berikut di bawah :
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap
berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen,
sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam
stadium.
Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik.
Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah
yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
• Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
• Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
• Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampurdengan
darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita
sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
• Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal beradandapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik
dan infeksi.
• Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu
dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia
biasanya muncul pada stadium ini.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit
tidur
Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
• Kehilangan napsu makan
• Nausea.
• Sakit kepala.
• Merasa lelah.
• Tidak mampu berkonsentrasi.
• Gatal – gatal.
• Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
• Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
• Keram otot
• Perubahan warna kulit
G. Manifestasi Klinis
1. Menurut Long (1996):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi.
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak
nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis
mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Menurut Smeltzer (2001) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium
dari aktivitas sistem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan
udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan
perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3. Menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
• Hipertensi • Pembesaran vena leher
• Pitting edema • Friction sub pericardial
• Edema periorbital
b. Sistem Pulmoner
• Krekel • Kusmaull
• Nafas dangkal • Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
Anoreksia, mual dan • Ulserasi dan pardarahan
muntah mulut
• Perdarahan saluran GI • Nafas berbau ammonia
d. Sistem musculoskeletal
• Kram otot
• Kehilangan kekuatan otot
Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
Warna kulit abu-abu
mengkilat
• Pruritis
• Kulit kering bersisik
• Ekimosis
• Kuku tipis dan rapuh
• Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
• Amenore
• Atrofi testis
Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya asimtomatik dan gejala klinis
biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5. Kerusakan ginjal yang progresif dapat
menyebabkan:
Peningkatan tekanan darah aibat overload cairan dan produksi hormon vasoaktif
(hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif)
Gejala uremia (letargis, perikarditis hingga ensefalopati)
Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu aritmia
Gejala anemia akibat sintesis eritropoietin yang menurun
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3)
Asidosis metabolik akibat penumpuan sulfat, fosfat, dan asam urat
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem dan membantu
menetapkan etiologi.
2. Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui
beberapa pembesaran ginjal. : modalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal
obstruktif.
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia
dan gangguan elektrolit
4. CT Scan: pemeriksaan paling sensitif untuk mengidentifikasi batu ginjal.
5. MRI: alternatif CT scan dg kontras, mendeteksi adanya trombosis vena renalis.
6. Radionukleotida: deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan
radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinicacid (DMSA).
7. Voiding cystourethrography: dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
8. Retrogade atau anterogade pyelography: dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius.
Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium darah: BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi
(Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan
immunoglobulin).
Pemeriksaan urin
Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin (anuria)
Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh zat yang tidak
terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen
kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin.
Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
Klirens kreatinin : mungkin menurun.
Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan kerusakan
glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1
Pemeriksaan radiologi
USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostat.
IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya: usia lanjut, DM dan nefropati Asam urat.
Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu
atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan tomogram memberikan hasil
keterangan yang lebih baik.Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab
itu penderita diharapkan tidak puasa.
Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan kanan, tanda-
tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.
Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan ekstravaskularisasi serta
adanya masa.
Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema paru.
I. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diit berlebih.
Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik
dan dialisis yang tidak adekuat.
Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.
Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah,
metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer, Hiperuremia
(Smeltzer & Bare, 2005)
J. Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).
Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuatn dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi.
Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan
harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang
hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan
parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung
dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.
Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhanutama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan
yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan
astenia berat (Sukandar, 2006).
Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah
yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah.
b. Kualitas hidup normal kembali
c. Masa hidup (survival rate) lebih lama
d. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
Masalah Keperawatan
Kelebihan volume cairan
Resiko ketidakseimbangan elektrolit
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Intoleran aktivitas
Ketidakefektifan pertukaran gas
Nyeri akut/kronis
Distres spiritual
b. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Hemodialisa
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d edema paru, asites, lung uremia,
asidosis metabolik
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
c. Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit
ginjal (CKD)
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alrveolar kapiler (edema paru)
e. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
(peningkatan usaha nafas)
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2
dan kebutuhan
g. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
h. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na
dan H2O)
i. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
j. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta
kadar asam basa dalam tubuh.
2. Intra Hemodialisa
a. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
saat dan setelah pemasangan AV shunt
b. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa
yang mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
d. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
3. Post Hemodialisa
a. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
b. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberian heparin
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisis
DAFTAR PUSTAKA
Davies, E., & Higginson, I. J. (Eds.). (2004). The Solid Facts Palliative Care: World
Health Organization
Herdman, T. H. (Ed.). (2014). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014. Jakarta: EGC.
Indonesian Renal Registry (IRR). 2013. 5th Report of Indonesian Renal Registry
2011.
K/DOQI. 2006. Clinical Practice Guidelines on Hypertension and
Antihypertensive Agent in Chronic Kidney Disease. In Guideline 2 In:Evaluation
of Patient with CKD or Hypertension. CKD 2006: 1-18.
KDIGO. 2013. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kid Int Supplements(3); 18-27.
Murray, S. A., & Osman, H. (2012). Primary palliative care: the potential of primary
care physicians as providers of palliative care in the community in the Eastern
Mediterranean Region. Eastern Mediterran Health Journal, 18(2).
Price, S., Wilson, L. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Saydah S, et al. Prevalence of Chronic Kidney Disease and Associated Risk Factors --
- United States, 1999—2004. MMWR March 2, 2007;56(08):161-165.
United States Renal Data System (USRDS). 2011. Annual Data Report: Atlas of
Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the United States.
Basuki B. Dasar-dasar urologi.Malang: Sagung seto; 2015.hlm.93-100.
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6. Jakarta
: EGC
Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black H.R., CushmanW.C., Green L.A., Izzo J.L., Jr.,
et al, 2003. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report.
JAMA;289:2560-72.
Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.
David S. Goldfarb,MD.In the clinic nephrolithiasis.American College of Physicians
[internet]. 2009 [6 Agustus 2017]. Tersedia dari:
https://www.med.unc.edu/medselect/res ources/course%20reading/ITC%20nephrol
ithiasis.full.pdf
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000 . Nursing Care Plans :
Guidelines For Planning And Documenting Patients Care. Alih bahasa:Kariasa,I.M.
Jakarta: EGC
Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-
UI.
Gareth Beevers. Para patofisiologi hipertensi. British Medical Journal.
FindArticles.com.
Hanley JM, Saigal CS, Scales CD, Smith AC. Prevalences of kidney stone in the
United States. Journal European Association of Urology[internet]. 2012[diakses
tanggal 6 Agustus 2017]; 62(1):160-5.Tersedia dari:
http://journal.unnes.ac.id/index.php/kem as
Hopper D.P, dan William S.L. 2007. Understanding Medical Surgical Nursing Third
Edition. Philadelphia: FA Davis Company
Hughes AD, Schachter M. Hypertension and blood vessels. Hughes AD, Schachter M.
Hipertensi dan pembuluh darah. Br Med Bull 1994;50:356-70. Br Med Bull 1994;
50:356-70.
Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi
3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse
(NKUDIC). the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases
(NIDDK). (http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung
Seto
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Renal Services & Urology Directorate. 2005. Nephrotic Syndrome. a patients’ guide.
(http://www.kidney.org.uk).
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.
Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EG
Smeltzer C.S. dan Bare Brenda. 2003. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical
Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia: Lippincott.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer,S.C,. Bare,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2008 ). Textbook Of Medical –
Surgical Nursing. Ed 12. Philadelpia: Lippincott William & Wilkins.Zhou, Y.L.,
Liu, H.L., Duan, X.F., Yao, Y., Sun, Y., & Liu, Q. (2006). Impact Of Sodium And
Ultrafiltration Profiling On Haemodialysis Related Hypotension. Nephrol Dial
Transplant. 21(11).3231-7.
Soeparman & Waspadji . 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jld.I. Jakarta: BP FKU
Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI. 2006.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
581-584.
Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.