Bintang Kejora
Bintang Kejora
Papua masih menyisakan masalah dugaan pelanggaran HAM yang tak berujung. Warga
papua maupun komunitas internasional berharap Jokowi melakukan perubahan. (ANTARA
FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan tahanan politik Filep Karma menjelaskan mengapa 1
Desember demikian sakral bagi sebagian masyarakat Papua.
“Kami dulu punya kedaulatan sejak 1 Desember 1961. Tapi direbut lewat pendudukan
Indonesia,” ujar Filep saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (30/11).
Tanggal ini adalah tanggal yang dikenang sebagai hari kemerdekaan orang-orang Papua—
saat bendera Bintang Kejora pertama kali dikibarkan pada 1961.
Walaupun demikian, Filep menilai tak ada yang berubah. Dia menyatakan pemerintahan
Jokowi relatif tak berbeda dengan saat itu, karena tak ada penegakan urusan hak asasi
manusia (HAM) hingga kini.
Lihat juga:
Filep adalah bekas tahanan politik yang menyuarakan Papua merdeka. Usianya kini 58 tahun.
Dia sempat memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di Biak pada 1998 dan akhirnya
dipenjara. Namun dua tahun kemudian dia dibebaskan.
Pada 2004, dia kembali melakukan aksi serupa sehingga dituduh makar. Filep dihukum 15
tahun penjara namun akhirnya dibebaskan pada 19 November 2015.
Lihat juga:
Singkat kata, Filep menilai pembungkaman dan penangkapan aktivis-aktivis yang menuntut
pembebasan Papua masih terjadi.
Ia tidak menampik memang perhatian Jokowi terhadap Papua akhir-akhir ini sering dilakukan
dengan pembangunan infrastruktur. Namun menurutnya, bukan itu yang diinginkan dan
dibutuhkan rakyat Papua.
Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memberikan penghargaan kepada anggota TNI yang dinilai
berhasil membebaskan sandera dari kelompok kriminal bersenjata. (Foto: Dok. Puspen TNI)
Filep menyampaikan, kebebasan berpendapat menjadi barang langka di Papua. Setiap ada
pihak-pihak yang menyampaikan aspirasi, menurutnya, langsung ada pembungkaman dari
aparat.
“Dari sisi HAM, Jokowi tidak berbuat apa-apa. Malah yang terjadi penangkapan dan
pembungkaman meningkat. Orang-orang yang menyampaikan aspirasi, langsung
dibungkam,” ujarnya.
Dia mencontohkan sedianya ada aksi damai yang akan dilakukan orang-orang muda Papua
pada Jumat (1/12), yang berisi ibadah bersama. Namun menurut Felip, sampai Kamis, pihak
kepolisian belum memberikan izin acara tersebut. Padahal sudah diajukan sejak dua minggu
lalu.
Lihat juga:
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat tren yang
meningkat pada jumlah kekerasan terhadap orang-orang Papua sepanjang 2014 hingga 2016.
Pada 2014, tercatat ada 19 kasus, lalu ada 21 kasus pada 2015, dan sampai Juli 2016 tercatat
ada 28 kasus.
Selain itu, ada juga peningkatan tajam pada angka aktivis yang ditangkap aparat. Pada 2014
ada 150 orang, lalu 540 orang di tahun berikutnya, dan melonjak ke angka 2.628 orang pada
2016.
Tudingan terhadap kepolisian itu direspons oleh Polda Papua. Namun Kapolda Papua Irjen
Boy Rafli Amar menolak memberikan detailnya.
“Periode tersebut saya belum dinas di Papua,” jawab Boy kepada CNNIndonesia.com,
melalui pesan singkat.
Terkait dengan dugaan pelanggaran HAM di Papua, sejumlah akademisi internasional yang
tergabung dalam International Academics for West Papua (IAWP) mengirim surat terbuka
untuk Pemerintah Indonesia.
Lihat juga:
Noam Chomsky, ahli linguistik dari Massachusetts Institute of Technology, dan sejumlah
akademisi internasional IAWP menuntut Pemerintah Indonesia menarik militer dari Papua.
Mereka menilai ada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia di Papua.
Mereka juga menyoroti ada ketidakadilan sejarah yang dilakukan Pemerintah Indonesia
kepada warga Papua selama ini.
"Kami meminta pemerintah Indonesia dan negara kami masing-masing untuk mengambil
tindakan urgen dan efektif untuk memastikan militer Indonesia segera ditarik dari Papua
Barat,” kata Chomsky dan akademisi lainnya.
Mereka menilai penarikan militer merupakan langkah awal untuk penyelesaian konflik di
Papua secara damai.
"Keberadaan militer yang sangat besar, dikombinasikan dengan rasisme dan diskriminasi
ekonomi sruktural terhadap populasi lokal Papua, hanya akan berakibat pada konflik dan
pelecehan,” tegas mereka. (asa)