Anda di halaman 1dari 9

Makalah Etika Pemasaran

Manajemen Pemasaran

Mufqi Mulia
1806268093
Statement of Authorship

“Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir


adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang
saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk


makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas
bahwa saya/kami menggunakannya.

Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak
dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”

Nama : Mufqi Mulia


NPM : 1806268093
Tandatangan :
Mata Ajaran : Manajemen Pemasaran
Judul Makalah/Tugas : Makalah Etika Pemasaran: Perang Tarif Antar Tiga Operator
Besar
Tanggal : 19 Oktober 2018
Dosen : Arga Hananto, S.E., M.Bus.
Perang Tarif Antar Tiga Operator Besar

I. Introduction
Kasus perang tarif dalam industri telekomunikasi Indonesia bukan pertama kali terjadi,
perang tarif juga pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya antara beberapa operator
telekomunikasi besar dan mengakibatkan terganggunya profitabilitas industri telekomunikasi.
Beberapa operator besar tentu saja menjadi pemenang dari perang tarif ini dan meraih pangsa
pasar yang lebih besar dari sebelumnya dengan mengorbankan operator lain. perang tarif
kemudian terjadi lagi di tahun 2016-2017 dengan melibatkan tiga operator besar yaitu Indosat
, Xl dan Telkomsel. Hal ini terjadi karena margin keuntungan Indosat naik sehingga dapat
memanfaatkan keadaan untuk melakukan perang tarif untuk meningkatkan pangsa pasarnya di
luar Jawa. Hal ini juga disebabkan oleh peralihan konsumsi dari konsumsi telpon dan sms ke
konsumsi paket data, dengan adanya tarif Rp 1/detik maka diharapkan konsumen yang masih
mengonsumsi telpon tanpa melalui internet mengganti alternatif operator layanan
telekomunikasinya dengan Indosat. Seperti yang biasa terjadi dalam perang harga atau tarif
maka perusahaan dalam industri yang sama akan merespons dengan mengeluarkan kebijakan
serupa, maka XL sebagai kompetitor merespons dengan memberlakukan tarif Rp yang kurang
lebih sama dengan diskriminasi harga untuk area yang berbeda. Selain itu Indosat juga
berusaha untuk mengambil pangsa pasar operator telekomunikasi di luar Jawa karena
Telkomsel sudah memonopoli pangsa pasar untuk luar Jawa dengan melakukan promosi yang
memicu perang tarif seperti “Cuma IM3 Ooredo nelpon Rp1/detik, Telkomsel? gak mungkin”
dan “Saya sudah buktikan nelpon ke Telkomsel Rp1/detik”. Iklan tersebut juga secara jelas
merendahkan kompetitor sehingga terbukti bahwa etika pariwara dan promosi diacuhkan oleh
Indosat untuk melakukan akuisisi pelanggan di beberapa event di luar Jawa.

Di sisi lain terdapat isu yang menyebar luas bahwa Telkomsel memborong sim card Indosat
di luar Jawa dan kasus tersebut sudah dilakukan investigasi oleh KPPU karena pangsa pasar di
atas 50% atau monopoli diperbolehkan asalkan tidak ada usaha untuk menghalangi kompetitor
untuk masuk ke pasar maupun meraih pangsa pasar, sedangkan isu tersebut jika terbukti
dilakukan oleh Telkomsel maka melanggar undang-undang persaingan usaha dan KPPU dapat
mengguggat Telkomsel. Walaupun sampai makalah ini ditulis belum terbukti bahwa
Telkomsel melakukan pelanggaran tersebut. Perang tarif sendiri dilakukan oleh Indosat dan
direspons oleh XL saja, sedangkan Telkomsel tidak berminat untuk melakukan predatory
pricing untuk mempertahankan dominasinya di luar Pulau Jawa. Hal ini disampaikan oleh
Direktur Telkomsel bahwa fokus Telkomsel adalah memperbaiki kualitas dan terbukti bahwa
paket talkmania dan beberapa paket promosi lain telah bertahun-tahun menjuarai penjualan di
luar Pulau Jawa karena telah basis penjualan SMS dan telepon berada di luar Pulau Jawa
sedangkan penjualan di Pulau Jawa sendiri didominasi oleh penjualan paket data dan sangat
kompetitif.

Penjualan paket data sendiri mengalami perang tarif karena kompetisi di Pulau Jawa sangat
tinggi dengan jangkauan wilayah yang tentunya lebih besar dan semua operator menerapkan
promosi yang sangat ketat untuk harga dan kualitas. Jumlah operator yang melakukan
persaingan juga lebih besar dan dipengaruhi oleh peningkatan pemasangan internet rumah dan
bisnis yang tentunya mengganggu persaingan antar operator mobile. Permasalahan yang sangat
besar dapat ditimbulkan dari persaingan harga ini karena penjualan paket data sedang tumbuh
sedangkan switching cost untuk paket data sangat rendah sehingga pangsa pasar dapat dengan
mudah turun sedangkan paket promosi dapat mengurangi margin operator.

Analis mengatakan bahwa perang tarif antar operator ini sangat berbahaya, belajar dari
pengalaman perang tarif 2007-2008 terdapat beberapa operator yang akhirnya merger dan
dinyatakan bangkrut. Seperti Esia (Bakrie Telecom) dan Axis yang kini bergabung menjadi
XL Axiata. Keduanya kalah dalam perang tarif yang secara besar dilakukan oleh beberapa
operator termasuk operator besar. Pada perang tarif telepon 2016-2017 dikhawatirkan
Telkomsel terpancing untuk ikut dalam perang tarif tersebut sehingga di antara XL maupun
Indosat dapat mengalami pailit seperti yang sudah pernah terjadi di beberapa tahun
sebelumnya. Kini persoalan perang tarif telepon sudah selesai dan era perang tarif berganti ke
perang tarif data per GB (Gigabyte) dan tentunya dapat merugikan operator karena pendapatan
terbesar sekarang hanyalah paket data. Beberapa analis menilai bahwa jika predatory pricing
dalam tarif data berlanjut akan mengakibatkan satu atau lebih operator yang gulung tikar.
Direktur Indosat sendiri sudah mengirimkan surat resmi kepada menkominfo sebagai regulator
untuk mengatur batas tarif data untuk operator seluler. Menkominfo sendiri mengimbau bahwa
operator jangan hanya menawarkan harga murah tapi juga menawarkan kualitas jaringan,
karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain itu menkominfo juga
mengimbau agar operator memberikan konten yang berkualitas. Direktur Keuangan XL,
Mohammed Adlan, juga telah memberikan pernyataan bahwa perang tarif telah usai, sebagian
besar operator meningkatkan harga paket data sekitar 50% sehingga diharapkan margin
pendapatan operator dapat meningkat dan tidak ada operator yang mengalami gulung tikar.

Dalam kasus perang tarif ini banyak yang terjadi di antaranya kecenderungan persaingan
usaha tidak sehat yang tentunya dapat melanggar UU persaingan usaha, etika pariwara maupun
pemasaran yang kaidahnya tidak dipenuhi dan tentunya predatory pricing yang menyalahi etika
pemasaran dan mengganggu performa industri secara keseluruhan. Selanjutnya akan penulis
analisis di bagian II (dua) sesuai dengan undang-undang yang berlaku, etika pariwara baik
Internasional maupun nasional dan beberapa teori yang berkaitan dengan kasus di atas.

II. Discussion

Dalam pendahuluan di atas sudah disampaikan bahwa banyak sekali pelanggaran atau
potensi pelanggaran baik undang-undang maupun etika pariwara dan pemasaran. Pertama,
walaupun belum terbukti isu bahwa Telkomsel sebagai penguasa pangsa pasar di luar Jawa
tetapi potensi terjadinya pelanggaran memang dapat terjadi. Dalam UU 1999 No. 50 tentang
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat khususnya BAB V posisi dominan ,dalam
kasus ini Telkomsel sebagai pemegang posisi dominan dalam pangsa pasar produk telpon di
luar Jawa, dalam pasal 25 ayat 1 (satu) pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan
baik secara langsung maupung tidak langsung untuk:

a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau


menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga maupun kualitas; atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki
pasar bersangkutan.

berkembangnya isu dan investigasi KPPU atas praktik menghalangi kompetitor dalam hal ini
memborong sim card Indosat di luar Jawa jelas salah dan dapat digugat oleh KPPU maupun
kompetitor sesuai dengan kerugian yang ditimbulkan. Jika hal ini dapat dibuktikan terjadi
berarti regulasi yang dibuat oleh pemerintah tidak membuat pelaku usaha melakukan
persaingan sehat yang sesuai aturan. Pelaku usaha akan berusaha mempertahankan posisi
dominannya di pasar bahkan dengan melanggar aturan. Hal ini menunjukkan bahwa
penegakkan aturan dalam KPPU belum dirasakan berarti bagi pelaku usaha.

Kemudian dalam pelanggaran etika pariwara maupun pemasaran yang telah diatur oleh
badan internasional seperti AMA (American Marketing Association) dan nasional seperti
Dewan Periklanan Indonesia sebagai pembuat Etika Pariwara Indonesia membuktikan bahwa
etika pemasaran di Indonesia belum diterapkan terutama oleh beberapa industri seperti operator
seluler. Indosat secara langsung melanggar fairness dalam Statement of Ethics AMA dengan
melakukan predatory pricing untuk meningkatkan pangsa pasar dan memaksa pemain lain
keluar dari pasar. Memang persaingan harga adalah wajar di dalam dunia usaha, namun dalam
bentuk predatory pricing adalah tidak etis. Pricing memang menjadi senjata untuk
berkompetisi, alat tawar dan komunikator antara perusahaan dan konsumen seperti
disampaikan oleh Brassington dan Pettit (2003,p. 391):

Price not only directly generates revenues that allow organizations to create and retain
customers at a profit, but can also be used as a communicator, as a bargaining tool and as a
competitive weapon.
Pernyataan tersebut menguatkan bahwa pricing adalah hal penting dalam melakukan
pemasaran karena banyak sekali fungsi dari pricing. Tujuan dalam melakukan berbagai macam
bentuk pricing sangat beragam seperti yang disampaikan oleh Avlonitis dan Indounas (2005),
terutama dalam meningkatkan pangsa pasar dengan menarik konsumen baru dan menahan
konsumen lama agar tetap setia menggunakan produk. Tetapi penetapan pricing juga dapat
membuat perusahaan melakukan tindakan non etis, salah satunya menetapkan harga di bawah
biaya , disampaikan oleh Nagle dan Holden (2008), seperti yang dilakukan oleh Indosat yang
menetapkan predatory pricing merupakan indikasi bahwa persaingan tidak sehat sedang terjadi
di industri telekomunikasi. Predatory pricing juga dilarang oleh pemerintah dalam pasal 7 UU
1999 no. 5 walaupun tidak ada kartel/perjanjian antara Indosat dengan kompetitornya tetapi
Indosat memberi sinyal untuk perang harga yang nantinya akan menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat. Analis juga telah memperkirakan bahwa kerugian akan diderita oleh industri
telekomunikasi secara keseluruhan, jika pemain dominan seperti Telkomsel ikut dalam perang
harga maka Indosat dan XL dapat mengalami kebangkrutan. Menkominfo juga sebagai
regulator mengimbau agar peningkatan kualitas lebih diutamakan dibandingkan dengan harga
murah tetapi kualitas buruk. Dapat diambil kesimpulan bahwa pelanggaran etika pemasaran,
etika pariwara dan aturan pemerintah ini menimbulkan potensi kerugian lebih besar daripada
keuntungan yang didapatkan. Terutama dalam industri operator seluler di Indonesia yang
satisfaction dan rata-rata loyalitas pelanggannya belum cukup tinggi sehingga switching cost
kecil dan konsumer masih sensitif terhadap harga, Astini R. (2008) perang harga masih
mungkin terjadi sehingga beberapa perusahaan tidak berusaha membangun loyalitas pelanggan
tetapi berusaha merebut pelanggan baru dari pangsa pasar yang ada. Kemudian dalam metode
akuisisi pelanggan, Indosat juga melanggar etika pariwara secara langsung merendahkan
kompetitor dalam promosinya dengan menuliskan bahwa Telkomsel sebagai kompetitornya
tidak mampu memberikan harga yang murah seperti Indosat seperti dapat dilihat di Appendix
tampilan promosi dari Indosat dalam perang harga. Promosi seperti ini melanggar etika
pariwara 1.20 (perbandingan harga) dan 1.21 (merendahkan). Pelanggaran etika pariwara ini
dapat menimbulkan citra bahwa perusahaan tidak etis dalam melakukan promosi dan dapat
berpengaruh terhadap brand loyalty.

III. Conclusion and Recommendation

Kesimpulan

Pelanggaran etika pemasaran, etika pariwara dan aturan persaingan tidak sehat yang
dilakukan Indosat terhadap kompetitornya Telkomsel dan direspons oleh XL sebenarnya hal
yang tidak perlu, karena menimbulkan lebih banyak kerugian bagi Indosat maupun industri
operator seluler. Perang harga yang pernah terjadi sebelumnya seharusnya dapat diambil
pelajaran bahwa untuk industri tidak ada keuntungan yang dihasilkan dalam jangka panjang.
Walaupun pangsa pasar dapat meningkat sementara tetapi tidak meningkatkan kepuasan
konsumer, stabilitas harga, convinience juga kesejahteraan pelanggan, Can Uslay , Naresh K.
Malhotra & Fred C. Allvine (2006). Selain itu dengan penerapan etika pemasaran juga dapat
meningkatkan nilai karena sejalan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, Palmer dan Hartley
(2002, p. 148). Etika juga dimulai dari perusahaan sendiri bukan hanya menurut aturan
pemerintah sebagai peningkatan citra di mata pelanggan dan pengelolaan perusahaan dengan
baik.

Saran

Sebaiknya persaingan usaha dalam suatu industri dilakukan dengan sehat dan etis karena
tindakan yang melanggar aturan dan etika hanyalah menyebabkan kerugian, penerapan ini
harus dimulai dari pelaku usaha dan manajer sendiri tanpa harus diberlakukan aturan sebagai
usaha untuk menerapkan pemasaran di era sekarang dengan meningkatkan kepuasan konsumen
dan brand loyalty bukan sekedar harga murah yang nantinya akan menurunkan kualitas produk
dan menurunkan kesejahteraan konsumen dalam jangka panjang. Promosi juga harus dilakukan
dengan penetapan harga yang rasional dan peningkatan kualitas, dapat dilakukan sebagai
stimulus agar konsumer mencoba produk dan melakukan switching karena kualitas yang
ditawarkan sehingga usaha promosi dari perusahaan dapat sustainable. Promosi juga dapat
dilakukan dengan paket-paket tertentu termasuk paket bundling dan berbagai paket pricing
lainnya yang lebih etis.

Appendix

Reference
https://telko.id/7693/operator-besar-perang-tarif-siapa-yang-dirugikan/

https://kominfo.go.id/content/detail/4683/menkominfo-kritik-operator-yang-perang-
tarif/0/sorotan_media

https://inet.detik.com/telecommunication/d-3502322/operator-perang-tarif-ini-dampaknya-
menurut-analis

http://industri.bisnis.com/read/20170515/105/653828/perang-tarif-buat-industri-
telekomunikasi-tidak-sehat

https://investasi.kontan.co.id/news/perang-tarif-usai-xl-axiata-excl-pastikan-dulang-laba-
tahun-ini

https://www.ama.org/AboutAMA/Pages/Statement-of-Ethics.aspx

https://satucitra.co.id/unduh/Etika-Pariwara-Indonesia.pdf
UU 1999 No. 5 tentang persaingan usaha tidak sehat
Kostis Indounas, (2008) "The relationship between pricing and ethics in two industrial service
industries", Journal of Business & Industrial Marketing, Vol. 23 Issue: 3, pp.161-169,
https://doi.org/10.1108/08858620810858427
Avlonitis, G. and Indounas, K. (2005), “Pricing objectives and pricing methods in the
services sector”, Journal of Services Marketing, Vol. 19 No. 1, pp. 47-57.
Brassington, F. and Pettitt, S. (2003), Principles of Marketing, 3rd ed., Pearson Education,
Harlow.
Nagle, T.T. and Holden, R.K. (1995), The Strategy and Tactics of Pricing, Prentice-Hall,
Upper Saddle River, NJ.
Palmer, A. and Hartley, B. (2002), The Business Environment, 4th ed., McGraw-Hill,
Maidenhead.
Can Uslay , Naresh K. Malhotra & Fred C. Allvine (2006) Predatory Pricing and Marketing
Theory: Applications in Business-to-Business Context and Beyond, Journal of Business- to-
Business Marketing, 13:3, 65-116, DOI: 10.1300/J033v13n03_03
Astini R. (2008) Mediasi dan Pengaruh Switching cost Terhadap Loyalitas Pelanggan GSM,
Journal The WINNERS, Vol. 9 No. 2, September 2008: 161-179

Anda mungkin juga menyukai