Anda di halaman 1dari 29

CASE REPORT

BRONKIEKTASIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Paru
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Riana Sari, Sp. P

Diajukan Oleh :

Corina Fiqilyin, S. Ked J510185040

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

1
CASE REPORT

BRONKIEKTASIS

Disusun Oleh :
Corina Fiqilyin, S. Ked J510185040

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari

Pembimbing:
dr. Riana Sari, Sp. P ( )

dipresentasikan di hadapan
dr. Riana Sari, Sp. P ( )

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS / RSUD KARANGANYAR
2018

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 59 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Menikah
Alamat : Pokoh RT 02/ RW 02 Mantingan Ngawi
No. RM : 068745
Tanggal masuk RS : 03 Desember 2018
Tanggal pemeriksaan : 05 Desember 2018

II. Anamnesis
1. Keluhan Umum
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD BBKPM Surakarta diantar keluarganya dengan
keluhan sesak nafas yang sudah dirasakan sejak satu minggu yang lalu dan
dirasakan terus menerus. Pasien juga mengalami batuk yang dirasakan
sudah bertahun-tahun yang lalu dengan dahak kotor berwarna kuning dan
kental. Pasien mengaku 6 bulan yang lalu pernah mengalami batuk darah.
Pasien juga mengeluhkan nyeri dada di sebelah kanan saat digunakan untuk
batuk. Pasien mengatakan tidak terdapat keringat dingin. Nafsu makan
pasien menurun. Sebelumnya pasien juga mengalami mual, muntah dan
demam. Pasien mengatakan mengalami penurunan berat badan. Pasien
mengatakan tidak ada keluhan pada bagian perut.

3
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit asma : disangkal
c. Riwayat penyakit TB/minum OAT : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat alergi obat : disangkal
f. Riwayat hipertensi : disangkal
g. Riwayat diabetes melitus : disangkal
h. Riwayat mondok : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat sakit serupa : diakui (ibu)
b. Riwayat penyakit asma : disangkal
c. Riwayat penyakit TB : disangkal
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat diabetes melitus : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
g. Riwayat alergi obat : disangkal

5. Riwayat Penyakit di Lingkungan


a. Penyakit Serupa : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan Sosial


a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat kontak dengan penderita TB : disangkal
c. Riwayat penggunaan alkohol : disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : Kurang
BB : 50 Kg

4
a. Vital Sign
 TD : 109/60 mmHg
 HR : 104 x/menit
 RR : 32 x/menit
 T : 36.6 oC
 SpO2 : 93%
b. Status Generalis
 Kulit
ikterik (-), ptekie (-), purpura (-), turgor cukup, kulit kering (-), hiperemis
(-), sikatriks (-)
 Kepala
normocephal, rambut hitam, mudah rontok (-), luka (-)
 Mata
conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, diameter
(3mm/3mm), refleks cahaya(+/+), edema palpebra(-/-), mata cekung(-/-)
 Hidung
napas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-), sekret (-)
 Telinga
deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
 Mulut
sianosis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), mukosa
pucat (-), luka pada sudut bibir (-), oral trush (+)
 Leher
deviasi trakea (-), peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-)
 Thorax
i. Paru
1. Inspeksi :
Kelainan bentuk (-), simetris ka/ki, ketinggalan gerak (-/-)
2. Palpasi :
Ketinggalan gerak (-)
Depan belakang

5
- - - -
- - - -
- - - -

Fremitus
Depan Belakan
Kanan Kiri Kanan Kiri
N N N N
N N N N
N N N N

3. Perkusi :
Depan Belakan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor

4. Auskultasi :
Suara dasar vesikuler
Depan Belakan
Kanan Kiri Kanan Kiri
N N N N
N N N N
N N N N
Suara tambahan : wheezing (-/-), ronki (-/+)

ii. Jantung
1. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
3. Perkusi : redup, kesan normal
4. Auskultasi : bunyi jantung I/II reguler, gallop (-), murmur (-)

6
 Abdomen
1. Inspeksi :
dinding abdomen sejajar dengan dinding dada
2. Auskultasi :
peristaltik normal
3. Palpasi :
hepatosplenomegali (-), defans muscular (-),nyeri tekan (-)
4. Perkusi :
timpani, undulasi (-)

 Ekstremitas : edema ekstremitas (-/-), akral hangat (+/+)

7
IV. Pemeriksaan penunjang
1) Hematologi
03 Desember 2018
PARAMETER
DARAH LENGKAP HASIL NILAI NORMAL
Hemoglobin 11,5 g/dl (L) 11,0-16,0 g/dl
WBC (leukosit) 9100/uL 4.000-10.000/Ul
Hematokrit 27,8 % (L) 37,0-54,0 %
Eritrosit 3,66 jt/uL 3,50-5,50 jt/uL
Trombosit 371 ribu 150.000-450.000
Limfosit # 2.300/uL 800-4.000/uL
Monosit # 1.000/uL 100-1500/uL
Granulosit # 5.800/uL 2.000-7.000/uL
Limfosit % 25,0 % 20,0-40,0 %
Monosit % 11,5 % 3,0-15,0 %
Granulosit % 63,5 % 50,0-70,0%
MCV 76,2 fL (L) 80,0-100,0 fL
MCH 21,0 Pcg (L) 27,0 – 34,0 Pcg
MCHC 27,6 g/dl (L) 32, 0-36,0 g/dl
RDW-CV 14,8 % 11,0-16,0 %
RDW-SD 34.2 fL (L) 35,0-56,0 fL
PLT 371 x 106 / L 150-140
MPV 8,9 fL 6,5-12,0 fL
PDW 14,7 9,0-17,0
PCT 0,330% (H) 0,108-0,282 %

Kimia darah Hasil Nilai Normal


GDS 160.34 mg/dl (H) 70-115 mg/dl
SGOT 12.3 U/L <31.0
SGPT 9.5 U/L <41.0
Ureum 40.0 mg/dl (L) 17.0-43.0
Creatinin 1.59 mg/dl (H) 0.67-1.17

8
HbSAg  (negatif)

Elektrolit Hasil Nilai Normal


Natrium 136 (L) 135-148 mmol/L
Kalium 2,3 (L) 3,5-5,3 mmol/L
Klorida 97 98-107 mmol/L
Kalsium Total 99.2 8,6-10,0 mg/dL
2) Kimia Darah Post Koreksi Tanggal 05 Desember 2018
Elektrolit Hasil Nilai Normal
Glukosa 93.47 mg/dl 70-115 mg/dl
Dua jam PP 91 mg/dl < 140 mg/dl
3) Kimia Darah Post KoreksiTanggal 06 Desember 2018
Elektrolit Hasil Nilai Normal
Kreatinin 1.61 mg/dl (H) 0.67-1.27 mg/dl
Asam Urat 6.3 mg/dl 3.4- 7.0 mg/dl

9
4) Foto Rongen

Trachea : Dalam Batas Normal


COR : Dalam Batas Normal
Pulmo :
Infiltrat di salah satu lapang paru (kiri)
dengan daerah radiolusen yang multiple
menyerupai sarang lebah (honey comb
appearence)
Kesan :
Bronkiektasis

V. Daftar Abnormalitas
- Sesak napas ± 1 minggu
- Batuk (+) bertahun-tahun, dahak (+) kental, kekuningan
- Batuk darah (+) enam bulan yang lalu
- Nyeri dada kiri saat batuk tidak menjalar
- Nafsu makan menurun
- Berat badan turun

10
- Vital sign (RR : 32x/menit)
- Pemeriksaan rongen thorax :
 infiltrat di paru kedua lapang paru (sinistra) dengan daerah
radiolusen yang multiple menyerupai sarang lebah (honey comb
appearence)
- pemeriksaan laboratorium
 Hematokrit meningkat
 Natrium menurun
 Kalium menurun
 Kreatinin meningkat
 Ureum menurun
 MCV menurun
 MCH menurun
 MCHC menurun
 RDW-SD menurun
 PCT meningkat
 GDS meningkat

VI. Diagnosis
 Diagnosis : Bronkiektasis terinfeksi
 Diagnosis Banding : Bronkitis kronik
TB Paru

VII.Penatalaksanaan
• O2 3 lpm
• Nebu combivent + pulmicort 0.25 1:1/6 jam -
• Fluimucyl 1200 mg dalam NS 200 cc habis dalam 4 jam
• Infus NaCl + drip aminophilin 1 ampul dalam kecepatan 30 tpm
• Injeksi lefos 750 mg/24 jam
• Injeksi furosemide 1 ampul/24 jam
• Salbutamon 3 x 2 mg
• KSR tab 1x1

11
VIII. Prognosis
ad vitam : dubia ad bonam
ad functionam : dubia ad bonam
ad sanationam : dubia ad bonam

IX. Follow Up
TANGGAL SOA PLANNING
04– 12– 18 S/ Pasien sesak nafas (+) P/
berkurang, batuk (+), dahak (+), O2 2 lpm
kekuningan, pusing (-), mual Nebu combivent + pulmicort
muntah (-), 0.25 1:1/6 jam
O/ Fluimucyl 1200 mg dalam NS
KU : sedang, compos mentis 200 cc habis dalam 4 jam
TD : 109/61mmHg Inf NaCl 0,9% 30 tpm
N : 104x/menit Inj lefos 750 mg/24 jam
S : 36,6ºC Inj ranitidine 1 amp/12 jam
RR : 32x/menit Inj furosemide 1 amp/24
SpO2 : 93% jam STOP
Px Paru : Inj ondansetron 4 mg/12 jam
I : PD Kn=Kr Salbutamon 3 x 2 mg
P : Fr Kn=Kr KSR tab 1x1
P : Sonor/sonor Nonemi 2 x1
A : SDV (+/+), Rh (-/+), Wh (- Sucralfat syr 3 x C1
/+)
A/
Bronkiektasis terinfeksi

12
TANGGAL SOA PLANNING
05– 12– 18 S/ Pasien sesak nafas (+) P/
berkurang, batuk (+), dahak (+), O2 2 lpm
kekuningan, pusing (-), mual Nebu combivent + pulmicort
muntah (-), 0.25 1:1/6 jam
O/ Fluimucyl 1200 mg dalam NS
KU : sedang, compos mentis 200 cc habis dalam 4 jam
TD : 99/60 mmHg Inf NaCl 0,9% 30 tpm
N : 97x/menit Inj lefos 750 mg/24 jam
S : 36,7ºC Inj ranitidine 1 amp/12 jam
RR : 32x/menit Inj ondansetron 4 mg/12 jam
SpO2 : 93% (k/p)
Px Paru : Salbutamon 3 x 2 mg
I : PD Kn=Kr KSR tab 1x1
P : Fr Kn=Kr Nonemi 2 x1
P : Sonor/sonor Sucralfat syr 3 x C1
A : SDV (+/+), Rh (-/+), Wh (-
/+) *plan: cek kreatinin ulang
A/
Bronkiektasis terinfeksi

13
TANGGAL SOA PLANNING
06– 12– 18 S/ Pasien sesak nafas (+) P/
berkurang, batuk (+), dahak (+), O2 2 lpm
kekuningan, pusing (-), mual Nebu combivent + pulmicort
muntah (-), 0.25 1:1/6 jam  Onbez 1x1
O/ Fluimucyl 1200 mg dalam NS
KU : sedang, compos mentis 200 cc habis dalam 4 jam 
TD : 99/60 mmHg coltin 2x1
N : 97x/menit Inf NaCl 0,9% 30 tpm
S : 36,7ºC Inj lefos 750 mg/24 jam
RR : 32x/menit Inj ranitidine 1 amp/12 jam 
SpO2 : 93% oral 2x1
Px Paru : Inj ondansetron 4 mg/12 jam
I : PD Kn=Kr (k/p)
P : Fr Kn=Kr Salbutamon 3 x 2 mg
P : Sonor/sonor KSR tab 1x1
A : SDV (+/+), Rh (-/+), Wh (- Nonemi 2 x1
/+) Sucralfat syr 3 x C1
A/ Aminophilin 1x1
Bronkiektasis terinfeksi
*plan: cek asam urat,USG
abdomen

14
TANGGAL SOA PLANNING
07– 12– 18 S/ Pasien mengatakan sesak P/
nafas sudah berkurang, batuk O2 2 lpm
(+), dahak (+), kekuningan, Inf NaCl 0,9% : D5% (1:1)
pusing (-), mual muntah (-), 30tpm
O/ Inj lefos 750 mg/24 jam
KU : sedang, compos mentis Inj ranitidine 1 amp/12 jam
TD : 101/63 mmHg Inj ondansetron 4 mg/12 jam
N : 97x/menit (k/p)
S : 36,9ºC Salbutamon 3 x 2 mg
RR : 24x/menit KSR tab 1x1
SpO2 : 93% Nonemi 2 x1
Px Paru : Sucralfat syr 3 x C1
I : PD Kn=Kr Onbez 1x1
P : Fr Kn=Kr Aminophilin 1x1
P : Sonor/sonor Coltin 1x1
A : SDV (+/+), Rh (-/+), Wh (-/-
)
A/
Bronkiektasis terinfeksi
USG abdomen:
- Cholelithiasis ukuran
1,54 cm
- Nephrolithiasis multiple
kecil-kecil

15
TINJAUAN PUSTAKA

BRONKIEKTASIS
A. Definisi
Bronkiektasis merupakan pelebaran menetap dari bronkus dan
bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan elastik penunjang,
disebabkan atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans kronis (Maitra &
Kumar, 2007 ).
Bronkiektasis bukan merupakan penyakit primer, tetapi lebih
merupakan akibat obstruksi atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh
berbagai penyebab. Jika sudah terbentuk, bronkiektasis akan menimbulkan
kompleks gejala yang didominasi oleh batuk dan pengeluaran sputum
purulent dalam jumlah yang besar ( Maitra & Kumar, 2007 ).
Bronkiektasis adalah pelebaran bronkus yang disebabkan oleh
kelemahan dinding bronkus yang sifatnya permanen. Diagnosis
bronkiektasis dibantu dengan pemeriksaan bronkografi, tapi akhir-akhir ini
bronkografi jarang dilakukan dan digantikan dengan pemeriksaan High
Resoluted Computed Tomography ( HRCT ). Bronkiektasis sering
dikategorikan penyakit infeksi saluran pernapasan dengan diagnosis
bronkiektasis terinfeksi ( Djojodibroto, 2009 ).
B. Epidemiologi
Bronkiektasis adalah penyebab kematian yang sangat penting pada
Negara-negara berkembang. Di Negara maju seperti AS, bronkiektasis
mengalami penurunan sesuai dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi
bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosial ekonomi
yang rendah ( Emmons, 2007 ).
Di Amerika Serikat, bronkiektasis bukan merupakan penyakit yang
umum. Tetapi jumlah penyakit bronkiektasis di Amerika Serikat biasanya
berkaitan dengan infeksi mycobacteria atau faktor lingkungan yang lain
yang dilaporkan meningkat ( Emmons, 2013 ).
C. Etiologi

16
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan bronkiektasis, antara lain
(Emmons, 2013):

1. Infeksi Primer
Bronkiektasis dapat disebabkan oleh bermacam-macam
infeksi nekrosis yang tidak mendapatkan pengobatan secara
adekuat. Infeksi primer merupakan penyebab umum dari
bronkiektasis di negara berkembang, dan biasanya penggunaan
antibiotik juga tidak konsisten. Ada beberapa bakteri yang dapat
menyebabkan bronkiektasis, antara lain Klebsiella species,
Staphylococcus aureus, Mycobacterum tuberculosis, Mycoplasma
pneumonia, Mycobacterium nontuberculosis, measles virus,
pertussis virus, influenza virus, dan herpes simplex virus.
2. Obstruksi Bronkial
Focal postobstructive bronchiectasis dapat terjadi dalam
beberapa keadaam klinis, misal right-middle lobe syndrome, yang
merupakan tipe spesifik dari obstruksi bronkial yang dapat
menyebabkan bronkiektasis.
3. Aspirasi
Pada orang dewasa, aspirasi benda asing biasanya berasal
dari lambung, seperti makanan, asam peptida dan
mikroorganisme. Setelah aspirasi, pneumonia postobstruksi dapat
terjadi dengan perkembangan menjadi bronkiektasis.
Bronkiektasis juga dapat terjadi pada keadaan aspirasi kronik.
4. Fibrosis Kistik
Fibrosis kistik adalah kelainan multisistem yang
mempengaruhi sistem transport klorida pada jaringan eksokrine.
Hal ini terjadi karena defisiensi protein Cystic Fibrosis
Transmembrane Regulator ( CFTR ). Bronkiektasis adalah hal
yang umum ditemukan pada fibrosis kistik.
5. Defek anatomi kongenital

17
Defek anatomi kongenital yang dapat menyebabkan
bronkiektasis antara lain Williams-Campbell syndrome, Mounier-
Kuhn syndrome, Swyer-James syndrome dan Yellow-nail
syndrome.
6. Defisiensi Alpha1-antitripsin
Patogenesis bronkiektasis masih belum jelas, tapi diyakini
bahwa defisiensi hormone ini dapat menyebabkan pasien lebih
rentan terhadap infeksi saluran napas dan menyebabkan rusaknya
bronkus.
7. Paparan Gas Beracun
Paparan terhadap gas beracun dapat menyebabkan kerusakan
bronkus yang ireversibel dan bronkiektasis kistik. Agen yang
terlibat antara lain gas klorin dan ammonia.
D. Faktor Risiko
Faktor risiko dari bronkiektasis antara lain masalah kongenital atau
penyakit yang didapat, yang mempengaruhi paru atau saluran napas,
misalnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri ( Sachdev, 2013 ).
E. Tanda dan Gejala
Hampir semua pasien dengan bronkiektasis memiliki batuk dan
produksi sputum kronis. Dahak bersifat lendir, mukopurulen, tebal, ulet,
atau kental. hemoptisis berlebihan juga dapat diakibatkan oleh kerusakan
saluran napas erosif yang disebabkan infeksi akut. 75 % pasien mengalami
dyspnea dan mengi. Nyeri dada pleuritik terjadi pada 50 % pasien yang
mempelihatkan adanya saluran udara perifer buncit atau pneumonitis distal
berdekatan dengan permukaan pleura visceral. Selain itu bunyi nafas
adventif pada pemeriksaan fisik dada, demam >38,0°c, malaise, kelelahan,
lethargy ( Barker, 2005 ).
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol.
Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung berat
ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum dapat

18
berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi
infeksi berulang sputum menjadi purulent dengan bau yang tidak
sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk
membagi karakteristik berat ringannya bronkiektasis. Sputum yang
kurang dari 10 ml digolongkan sebagai bronkiektasis ringan, sputum
dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan sebagai bronkiektasis
moderat, dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan sebagai
bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis
diklasifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien
fibrokistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak disbanding
penyakit penyebab bronkiektasis lainnya (Emmons, 2007).
b. Hemoptisis terjadi pada 56%-92% pasien dengan bronkiektasis.
Hemoptisis mungkin terjadi massif dan berbahaya bila terjadi
perdarahan pada arteri bronkial. Hemoptisis biasanya terjadi pada
bronkiektasis kering, walaupun angka kejadian dari bronkiektasis
tipe ini jarang ditemukan (Emmons, 2007).
c. Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis
tapi bukan merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada
pasien dengan bronkiektasis luas yang terlihat pada
gambaran radiologisnya (Emmons, 2007).
d. Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalannafa
s yang diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea,
ini juga mungkin merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma
(Emmons, 2007).
e. Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada
46% pasien pada sekali observasi. Paling sering merupakan akibat
sekunder pada batuk kronik, tetapi juga terjadi pada eksaserbasi
akut (Emmons, 2007).
f. Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis yang berat. Hal ini terjadi akibat peningkatan
kebutuhan kalori berkaitan dengan peningkatan kerja pada batuk dan
pembersihan sekret pada jalan nafas. Namun, pada umumnya semua

19
penyakit kronik disertai dengan penurunan berat badan (Emmons,
2007).
g. Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang (Emmons,
2007).
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto thorax
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis
dapat ditemukan gambaran seperti dibawah ini:
(1) Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran
(dapat mencapai diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih
bayangan cincin sehingga membentuk gambaran ‘honeycomb
appearance’ atau ‘bounches of grapes’. Bayangan cincin
tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus
(Kusuma, 2006).

Gambar 1. Tampakan foto thorax penderita bronkiektasis


Sumber: (Kusuma, 2006)

20
(2) Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru.
Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan
tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran
seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus
yang sebenenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah
parahilus ( Kusuma, 2006 ).
(3) Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya
mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan
bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang
ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis
(Sutton, 2003).
(4) Glove finger shadow
Gambaran ini menunjukkan bayangan sekelompok tubulus
yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan (Sutton,2003).
b. Bronkografi
Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian
media kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi
( AP, Lateral, Oblik ). Pemeriksaan ini selain dapat menentukan
adanya bronkiektasis, juga dapat meentukan bentuk-bentuk
bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus,
fusiformis), sakuler (kistik), dan varikosis (Kusuma, 2006).
Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita
bronkiektasis yang akan dilakukan pembedahan pengangkatan yang
menentukan luasnya paru yang mengalami bronkiektasis yang akan
diangkat ( Kusuma, 2006 ).
Pemeriksaan bronkogradi saat ini mulai jarang dilakukan
oleh karena prosedurnya yang kurang menyenangkan terutama bagi

21
pasien dengan gangguan ventilasi, alergi dan reaksi tubuh terhadap
kontras media ( Hassan, 2006 ).

c. CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan
penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis,
mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak kelainan
jalan nafas yang tidaj dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-Scan
resolusi yinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan spesifitas
sebesar 93% (Patel, 2005).
CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi
bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga
mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting
untuk menentukan apakah perlu dilakukan operasi (Patel,2005).

Gambar 2. CT scan thorax


Sumber ( Patel, 2005 ).
G. Patogenesis
Kelemahan dinding bronkus pada bronkiektasis dapat kongenital
ataupun didapat ( acquired ) yang disebabkan karena adanya kerusakan
jaringan. Bronkiektasis kongenital sering berkaitan dengan adanya
dekstrokardia dan sinusitis, jika ketika keadaan ini (bronkiektasis,

22
dekstrokardia dan sinusitis ) hadir bersamaan, keadaan ini disebut sebagai
sindrom Kartagener. Jika disertai pula dengan dilatasi trakea dan bronkus
utama maka kelainan ini disebut trakeobronkomegali (Djojodibroto, 2009).
Bronkiektasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi bronkus.
Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karena kerusakan dinding bronkus
akibat peradangan seperti pada penyakit endobronkial tuberkulosis.
Bronkiektasis non-tuberkulosis cenderung terjadi pada bagian paru yang
bergantung (dependent part) yang menyebabkan aliran drainase discharge
terhambat. Gaya berat menyebabkan akumulasi sputum sehingga infeksi
dan supurasi lebih mudah terjadi ( Djojodibroto, 2009 ).
H. Patofisiologi

Gambar 3. Patofisiologi Bronkiektasis

23
Sumber ( Barker, 2005 ).

I. Gambaran Histopatologi dan Penjelasan

Gambar 4. Gambaran Histopatologi bronkiektasis


Sumber ( Damjanov, 2010)
Terdapat beberapa perubahan morfologi yang dapat terjadi pada
bronkiektasis, antara lain (Damjanov, 2010):
a. Dinding bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan
berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel.
Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai
tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses
fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain
otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis.
b. Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia
pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia
skuamosa, dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila
terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi
pengelupasan, ulserasi, dan pernanahan.

24
Gambar 5. Perubahan mukosa pada bronkiektasis
Sumber (Damjanov, 2010)
c. Jaringan paru peribronkial
Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan
antara 17 lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis
apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat,
jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti jaringan fibrotik
dengan kista-kista berisi nanah.
J. Terapi Lama
Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri atas 2 kelompok, yaitu
(Rahmatullah, 2009):
1. Pengobatan konservatif
a. Pengelolaan umum, meliputi
1) Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi
pasien.
2) Memperbaiki drainase sekret bronkus.
3) Mengontrol infeksi saluran napas, misalnya dengan
pemberian antibiotik.
b. Pengelolaan khusus
1) Kemoterapi pada bronkiektasis.
2) Drainase sekret dengan bronkoskopi.
2. Pengobatan simtomatik

25
a. Pengobatan obstruksi bronkus, misalnya dengan obat
bronkodilator.
b. Pengobatan hipoksia, dengan pemberaian oksigen.
c. Pengobatan Hemoptisis misalnya dengan obat-obat
hemostatik.
d. Pengobatan demam, dengan pemberian antibiotik dan
antipiretik.
K. Terapi Baru
Baru-baru ini bsa dilakukan pengobatan pembedahan untuk
bronkiektasis.Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat (reseksi)
segmen atau lobus yang terkena. Indikasinya pada pasien bronkiektasis
yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon terhadap tindakan-
tindakan konservatif yang adekuat, selain itu juga pada pasien bronkiektasis
terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis yang
berasal dari daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis masif seperti ini
mutlak perlu tindakan operasi (Rahmatullah, 2001).
L. Komplikasi
Beberapa penyakit yang bisa enjadi komplikasi dari bronkiektasis
antara lain (Underwood, 2000):
a. Pneumonia
b. Empiema
c. Septicemia
d. Meningitis
e. Metastasis abses misalnya di otak
f. Pembentukan amiloid
Infeksi yang berulang dan radang menyebabkan berlanjutkan
nekrosis saluran nafas dan destruksi jaringan paru. Tergantung pada
perluasan pertumbuhan penyakit, dapat terjadi kor-pulmonale. Amiloidosis
sekunder dapat terjadi sistemik.
M. Prognosis
Prognosisnya tergantung dari berat ringannya serta luasnya penyakit
waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat

26
(konservati ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit
(Rahmatullah, 2001).
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,
survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian karena penyakit
tersebut biasanya karena pneumonia, payah jantung kanan, empiema,
hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronchitis
kronik berat dan difus biasnya disabilitasnya yang ringan (Rahmatullah,
2001).

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Barker, AF. 2005. Bronchiectasis. N Engl J Med, Vol. 346, No. 18.
Available at: http://www.nejm.org ( Diakses pada: Maret 2013 )

2. Damjanov, Ivan. 2010. Buku Teks dan Atlas Berwarna Histopatologi.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3. Djojodibroto D. 2009. Respirologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

4. Emmons EE. 2007. Bronchiectasis. Available at:


http://www.emedicine.com (Diakses pada : Maret 2013 )

5. Emmons EE. 2013. Bronchiectasis. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/296961-overview ( Diakses pada:
Maret 2013 ).

6. Hassan I. 2006. Bronchiectasis. Available at: http://www.emedicine.com


(Diakses pada: Maret 2013 ).

7. Kusuma WK. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

8. Maitra A, Kumar V. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar
V, Cotran RS, Robbins SL (eds). Buku Ajar Patologi Robbins.
Diterjemahkan oleh: Pendit BU. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9. Patel PR. 2009. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

10. Rahmatullah P. 2009. Bronkiektasis. Dalam: Suyono AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

11. Sachdev P. 2013. Risk Factors of Bronchiectasis. Available at:


http://www.onlymyhealth.com/risk-factors-bronchiectasis-1313478369
(Diakses pada: Maret 2013).

12. Sutton D. 2011. Textbook of Radiology and Imaging Volume 1. Tottenham:


Churchillliving stone.

13. Underwood, JCE. 2010. Patologi Umum dan Sistematika . Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

28
14. Allsagaf, Hood, Abdul Mukti. 2012. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airrlangga University Press

15. http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/brn/brn_treatments.html

16. Rahmatullah, Pasiyan. 2008. Bronkiektasis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FK UI

17. Meschan I. Obstrictive Pulmonary Disease. Synopsis of Analysis of


Roentgen Signs in General Radiology. Philadelphia. 2010. hal 55-56

18. Kusumawidjaja K. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan


Ekayuda. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006. hal 108-115.

19. Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging volume 1. Churchill


livingstone. Tottenham. 2009. hal 45, 163, 164 & 168.

20. Patel PR. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. 2005.
hal 40-41

21. Eng P, Cheah FK. Interpreting Chest X-rays. Cambridge Univesrsity Press.
New York. 2009. hal 67-68.

22. Greif J. Medical Imaging in Patients with Cystic Fibrosis.


www.eradimaging.com. Last update Februari 2008.

29

Anda mungkin juga menyukai