Anda di halaman 1dari 38

TUGAS

EPIDEMIOLOGI DAN KESEHATAN LINGKUNGAN

Disusun oleh :

Dinda Ayu Bintang Efendi (1726036)

Martina Dai Agon Corebima (1726014)

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Epidemologi dan Kesehatan
Lingkungan ini dengan baik dan sebagaimana mestinya.
Pada kesempatan ini, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orangtua kami yang selalu memberikan doa dan dukungan serta semangat dalam
pengerjaan makalah ini,
2. Ibu Anis Artiyani selaku dosen mata kuliah Epidemologi dan Kesehatan
Lingkungan,
3. Kepada teman – teman Teknik Lingkungan ITN Malang khususnya angkatan
2017,
4. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan tugas ini.

Kami menyadari bahwa dalam pengerjaan tugas ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
akan sangat membantu dalam terciptanya kesempurnaan tugas ini, dan dapat
bermanfaat nantinya bagi kami dan rekan - rekan pembaca sekalian.

Malang, Januari 2019

Pemyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. …...i


KATA PENGANTAR ................................................................................... …...ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. …...iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Epidemologi ........................................................................... …...1
1.2 Tujuan Epidemiologi ................................................................................ …...1
1.3 Ruang Lingkup ......................................................................................... …...2
1.4 Manfaat Epidemologi ............................................................................... …...3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Segitiga Epidemiologi……………………………………………………....4
2.2 Penyebaran Penyakit dan Vektor Penyakit Dalam Beberapa Kasus………..6
2.3 Studi Kohor, Studi Kasus dan Studi Ekologi………………….……………8
BAB III STUDI KASUS PENGARUH KUALITAS VAKSIN CAMPAK
TERHADAP KEJADIAN CAMPAK DI KABUPATEN PASURUAN
3.1 Definisi Penyakit Campak………………………………………………...…19
3.2 Konsep Penyebaran Virus Campak……………………………………..…...23
3.3 Upaya Pencegahan Campak ……….…………………………………..…....24
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Hasil …. ................................................................................................... …..26
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..33
5.2 Saran……………………………………………………………………..…..33
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi Epidemiologi


Epidemiologi adalah metode investigasi yang digunakan untuk mendeteksi
penyebab atau sumber dari penyakit, sindrom, kondisi atau risiko yang menyebabkan
penyakit, cedera, cacat atau kematian dalam populasi atau
dalam suatu kelompok manusia. Epidemiologi juga didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari sifat, penyebab, pengendalian, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi frekuensi dandistribusi penyakit, kecacatan, dan kematian dalam
populasi manusia. Ilmu inimeliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan,
penyakit, atau masalah kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia, jenis
kelamin, ras, geografi, agama,pendidikan, pekerjaan, perilaku, waktu, tempat, orang
dan sebagainya.
Epidemiologi berfokus pada tipe dan keluasan cedera, kondisi, atau penyakit
yang menimpa suatu kelompok atau populasi, epidemiologi juga menangani fakto
rrisiko yang dapat memberikan dampak, pengaruh, pemicu, dan efek pada
distribusipenyakit, cacat/ defek, ketidakmampuan, dan kematian. Sebagai metode
ilmiah, epidemiologi juga digunakan untuk mengkaji pola kejadian yang
mempengaruhi faktor-faktor di atas. Subjek-subjek yang dibahas dalam epidemiologi
adalah distribusi kondisi patologi dari populasi manusia atau faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi tersebut.

1.2 Tujuan Epidemiologi


Menurut Lilienfeld dalam buku Timmreck (2004) menyatakan bahwa ada
tiga tujuan epidemiologi, yaitu:
1. Menjelaskan etiologi (studi tentang penyebab penyakit) satu penyakit atau
sekelompok penyakit, kondisi, gangguan, defek, ketidakmampuan, sindrom,
atau kematian melalui analisis terhadap data medis dan epidemiologi dengan
menggunakan manajemen informasi sekaligus informasi yang berasal dari
setiap bidang atau disiplin ilmu yang tepat, termasuk ilmu sosial/ perilaku.

1
2. Menentukan apakah data epidemiologi yang ada memang konsisten dengan
hipotesis yang diajukan dan dengan pengetahuan, ilmu perilaku, dan ilmu
biomedis yang terbaru.
3. Memberikan dasar bagi pengembangan langkah-langkah pengendalian dan
prosedur pencegahan bagi kelompok dan populasi yang berisiko, dan untuk
pengembangan langkah-langkah dan kegiatan kesehatan masyarakat yang
diperlukan; yang semuanya itu akan digunakan untuk mengevaluasi
keberhasilan langkah-langkah, kegiatan, dan program intervensi.

1.3 Ruang Lingkup dan Penerapan Epidemiologi


Epidemiologi dalam sejarahnya dikembangkan dengan menggunakan
epidemik penyakit menular sebagai suatu model studi dan landasannya masih seperti
pada model penyakit, metode, dan pendekatannya. Pada jaman dahulu, beberapa
epidemik setelah ditelusuri ternyata berasal dari penyebab-penyebab noninfeksius.
Pada tahun 1700, James Lind menemukan bahwa penyakit skorbut disebabkan
karena kekurangan vitamin C dalam makanan. Penyakit defisiensi gizi lainnya
dihubungkan dengan kekurangan vitamin A dan vitamin D. Beberapa studi juga telah
berhasil menghubungkan keracunan timbal dengan berbagai penyakit ringan, kolik,
gout, keterbelakangan mental dan kerusakan saraf pada anak, pelukis dan pengrajin
tembikar. Dewasa ini, epidemiologi juga telah terbukti efektif dalam
mengembangkan hubungan sebab akibat pada kondisi-kondisi noninfeksius seperti
penyalahgunaan obat, bunuh diri, kecelakaan lalu lintas, keracunan zat kimia, kanker,
dan penyakit jantung. Saat ini area epidemiologi penyakit kronis dan penyakit
perilaku merupakan cabang ilmu epidemiologi yang paling cepat berkembang.
Epidemiologi dipakai untuk menentukan kebutuhan akan program-program
pengendalian penyakit, untuk mengembangkan program pencegahan dan kegiatan
perencanaan layanan kesehatan, serta untuk menetapkan pola penyakit endemik,
epidemik, dan pandemik.

2
1.4 Manfaat Epidemiologi
Ada tujuh manfaat epidemiologi dalam bidang kesehatan masyarakat, yaitu:
a. Mempelajari riwayat penyakit
Ilmu epidemiologi bermanfaat untuk mempelajari tren penyakit untuk
memprediksi tren penyakit yang mungkin akan terjadi. Hasil penelitian
epidemiologi tersebut dapat digunakan dalam perencanaan pelayanan
kesehatan dan kesehatan masyarakat.
b. Diagnosis masyarakat
Epidemiologi memberikan gambaran penyakit, kondisi, cedera,
gangguan, ketidakmampuan, defek/cacat apa saja yang menyebabkan
kesakitan, masalah kesehatan, atau kematian di dalam suatu komunitas
atau wilayah.

c. Mengkaji risiko yang ada pada setiap individu


Karena mereka dapat mempengaruhi kelompok maupun populasi.
Epidemiologi memberikan manfaat dengan memberikan gambaran faktor
risiko, masalah, dan perilaku apa saja yang mempengaruhi suatu
kelompok atau suatu populasi. Setiap kelompok dikaji dengan melakukan
pengkajian terhadap faktor risiko dan menggunakan teknik pemeriksaan
kesehatan, misalnya: risiko kesehatan, pemeriksaan, skrining kesehatan,
tes kesehatan, pengkajian penyakit, dan sebagainya.
d. Pengkajian, evaluasi, dan penelitian.
Epidemiologi memberikan manfaat dalam menilai sebaik apa pelayanan
kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan dalam mengatasi masalah
dan memenuhi kebutuhan populasi atau kelompok. Epidemiologi juga
berguna untuk mengkaji keefektifan; efisiensi; kualitas; kuantitas; akses;
ketersediaan layanan untuk mengobati, mengendalikan atau mencegah
penyakit; cedera; ketidakmampuan; atau kematian.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Segitiga Epidemiologi


Epidemiologi memakai cara pandang ekologi untuk mengkaji interaksi berbagai
elemen merupakan hubungan organisme, antara satu dengan lainnya. Semua
penyakit atau kondisi tidak selalu dapat dikaitkan hanya pada satu faktor penyebab
(tunggal). Jika diperlukan lebih dari satu penyebab untuk menimbulkan satu
penyakit, hal ini disebut sebagai penyebab ganda (multiple caution).

Segitiga Epidemiologi

Lingkungan

Waktu

Pejamu Agens

Segitiga Epidemiologi (Triad Epidemiology) yang biasa digunakan dalam


penyakit menular merupakan dasar dan landasan untuk semua bidang epidemilogi.
Namun saat ini penyakit infeksi tidak lagi menjadi penyebab utama kematian di
negara industri sehingga diperlukan model segitiga epdemiologi yang lebih mutakhir.
Model ini mencakup semua aspek dalam model penyakit menular, dan agar dapat
dipakai bersama penyebab penyakit, kondisi, gangguan, defek, dan kematian saat ini,
model ini harus dapat mencerminkan penyebab penyakit dan kondisi saat ini.
Ada empat faktor epidemiologi yang sering berkontribusi dalam terjadinya Kejadian
Luar Biasa (KLB) suatu penyakit saat ini, yaitu:

4
1) Peran pejamu,
2) Agen atau penyebab penyakit,
3) Keadaan lingkungan yang dibutuhkan penyakit untuk berkembang pesat,
bertahan, dan menyebar, dan
4) Permasalahan yang berkaitan dengan waktu.

2.1.1 Segitiga Epidemiologi


Model ini berguna untuk memperlihatkan interaksi dan ketergantungan satu
sama lainnya antara lingkungan, pejamu, agens, dan waktu. Segitiga epidemiologi
digunakan untuk menganalisis peran dan keterkaitan setiap faktor dalam
epidemiologi penyakit menular, yaitu pengaruh, reaktivitas, dan efek yang dimiliki
setiap faktor terhadap faktor lainnya.

2.1.2 Agens (faktor penyebab)


Agen adalah penyebab penyakit, bisa bakteri, virus, parasit, jamur, atau kapang
yang merupakan agen yang ditemukan sebagai penyebab penyakit infeksius. Pada
penyakit, kondisi, ketidakmampuan, cedera, atau situasi kematian lain, agen
Lingkungan Pejamu Agens dapat berupa zat kimia, faktor fisik seperti radiasi atau
panas, defisiensi gizi, atau beberapa substansi lain seperti racun ular berbisa. Satu
atau beberapa agen dapat berkontribusi pada satu penyakit. Faktor agen juga dapat
digantikan dengan faktor penyebab, yang menyiratkan perlunya dilakukan
identifikasi terhadap faktor penyebab atau faktor etiologi penyakit, ketidakmampuan,
cedera, dan kematian. Pada kejadian kecelakaan faktor agen dapat berupa mekanisme
kecelakaan, kendaraan yang dipakai.

2.1.3 Host (pejamu)


Pejamu adalah organisme, biasanya manusia atau hewan yang menjadi tempat
persinggahan penyakit. Pejamu memberikan tempat dan penghidupan kepada suatu
patogen (mikroorganisme penyebab penyakit) dan dia bisa saja terkena atau tidak
terkena penyakit. Efek yang ditimbulkan organisme penyebab penyakit terhadap
tubuh juga ditentukan oleh tingkat imunitas, susunan genetik, tingkat pajanan, status
kesehatan, dan kebugaran tubuh pejamu. Pejamu juga dapat berupa kelompok atau

5
populasi dan karakteristiknya. Seperti halnya pada kecelakaan lalu lintas, yang
menjadi host adalah manusia (pengendara maupun penumpang).

2.1.4 Lingkungan (environment)


Lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan juga kondisi luar
manusia atau hewan yang menyebabkan atau memungkinkan penularan penyakit.
Faktor- faktor lingkungan dapat mencakup aspek biologis, sosial, budaya, dan aspek
fisik lingkungan. Lingkungan dapat berada di dalam atau di luar pejamu (dalam
masyarakat), berada di sekitar tempat hidup organisme dan efek dari
lingkunganterhadap organisme itu. Lingkungan yang berkontribusi dalam kecelakaan
adalah lingkungan yang tidak aman seperti kondisi jalan, marka dan rambu jalan.

2.1.5 Waktu
Waktu dapat memengaruhi masa inkubasi' harapan hidup pejamu atau patogen
(agens), dan durasi perjalanan penyakit atau kondisl Permasalahan lain yang
berkaitan dengan waktu mencakup keparahan penyakit, dalam hal berapa Iama
seseorang terinfeksi atau sampai suatu kondisi menyebabkan kematian atau sampai
melewati ambang bahaya menuju kesembuhan. Penundaan waktu dari infeksi sampai
munculnya gejala, durasi dan ambang epidemi dalam populasi (kurva epidemi)
merupakan elemen waktu yang harus diperhatikan seorang epidemiologi.

2.2 Penyebaran Penyakit dan Vektor Penyakit Dalam Beberapa Kasus


2.2.1 Septic Tank
Pengolahan septic tank yang baik akan membuat lingkungan juga tetap
terjaga, namun bila tidak dikelola dengan baik akan memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan. Contohnya : Pengurasan Septic Tank yang baik adalah
dilakukan 3 tahun sekali, dengan tujuan agar air tangki tidak merembes dan
mecemari lingkungan, air dari hasil penguraian tinja tersebut dapat mencemari
sumber air tanah. Apabila air ini kemudian digunakan sebagai keperluan sehari hari
mulai dari Mandi, Cuci bahkan sampai dikonsumsi maka bakteri E-Coli, Salmonella
typhosa, dan Shigella yang berasal dari kotoran manusia dapat menyebabkan
berbagai penyakit antara lain diare, sembelit, Thypus, Disentri.

6
2.2.2 Banjir
Luapan banjir bisa tercemar dari berbagai organisme penjangkit penyakit,
termasuk bakteri E-Coli, Salmonella, dan Shigella; Hepatiti, dan agen pembawa
tifus. Sumber bakteri ini bisa berasal dari hasil polutan limbah rumah tangga dan
pertanian atau limbah industri yang berbahaya, seperti selokan, sampah makanan,
kotoran manusia dan hewan, bangkai, dan sebagainya. Penyakit yang biasa timbul
pada saat musim banjir yaitu diare, demam berdarah, leptospirosis ( bakteri dapat
masuk memalui kulit, luka memar atau mata yang bersentuhan langsung dengan air
kotor genangan banjir), demam tifoid (tipes) yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella dalam kotoran binatang yang menginfeksi manusia elalui air yang
tercemar.

2.2.3 Pencemaran Udara


Pencemaran udara adalah proses kontaminasi senyawa berbahaya di dalam
atmosfer yang dapat membahayakan kesehatan bagi makhluk yang menghirupnya.
Peyebab polusi udara biasa nya dari sisa pembakaran kendaraan bermotor dan mobil,
kegiatan industri, asap rokok, sisa pembakaran pembangkit listrik, meletusnya
gunung berapi, dan lain-lain. Beberapa penyakit yang timbul akibat dari pencemaran
udara yaitu infeksi saluran pernapasan, asma, penyakit paru obstruktif kronik, hinga
kanker paru.

2.2.4 Musim Kemarau


Di musim kemarau ini terbilang sangat rawan terjangkit berbagai macam
penyakit. Manusia dapat terjangkit penyakit infeksi atau menular yang diseabkan
oleh virus atau bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh musim kemarau antara lain :
 peningkatan penakit ISPA karena pencemara udara meningkat. Ozon
menngkat ketika rata-rata temperatur meningkat,
 kekurangan gizi akan terjadi ketika kegagalan panen,
 meningkatnya penyebarab agen penyakit dan wabah penyakit menular seperti
leptospirosis, diare, dan kolera.penyakit ini meningkat ketika kekurangan air
atau ketika banjir.

7
 Peningkatan temeperatur 2-3o C akan meningkatkan jumlah penderita
penyakit tular vektor,
 Peningkatan temperatur akan memperluas distribusi vektor dan meninfkatnya
pertumbuhan parasit menjadi infektif.

2.3 Studi Kohor, Studi Kasus dan Studi Ekologi.


2.3.1 Studi Kohort.
Studi Kohort adalah studi yang mempelajari hubungan antara faktor risiko
dan efek (penyakit atau masalah kesehatan), dengan memilih kelompok studi
berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian mengikuti sepanjang periode waktu
tertentu untuk melihat berapa banyak subjek dalam masing-masing kelompok yang
mengalami efek penyakit atau masalah kesehatan.

A. Studi kohort dibedakan menjadi dua, yaitu:


1. Studi kohort prospektif
Studi kohort disebut prospektif apabila faktor risiko, atau faktor penelitian
diukur pada awal penelitian, kemudian dilakukan follow up untuk melihat kejadian
penyakit dimasa yang akan datang. Lamanya follow up dapat ditentukan
berdasarkan lamanya waktu terjadinya penyakit. Pada studi kohort prospektif,
dapat dibedakan menjadi studi kohor prospektif dengan pembanding internal dan
eksterna. Studi kohort prospektif dengan pembanding interna, kohort yang terpilih
sama sekali belum terpapar oleh faktor risiko dan belum mengalami efek,
kemudian sebagian terpapar secara alamiah lalu dilakukan deteksi kejadian efek
pada kedua kelompok tersebut. Studi kohort prospektif dengan pembanding
eksternal, ada kelompok yang terpapar faktor risiko namun belum memberikan
efek dan kelompok lain tanpa paparan dan efek

2. Studi kohort retrospektif


Pada studi kohort retrospektif, faktor risiko dan efek atau penyakit sudah
terjadi dimasa lampau sebelum dimulainya penelitian. Dengan demikian variabel
tersebut diukur melalui catatan historis.
Prinsip studi kohort retrospektif tetap sama dengan kohort prospektif, namun
pada studi ini, pengamatan dimulai pada saat akibat (efek) sudah terjadi. Yang

8
terpenting dalam studi retrospektif adalah populasi yang diamati tetap memenuhi
syarat populasi kohort, dan yang diamati adalah faktor risiko masa lalu yang
diperoleh melalui pencatatan data yang lengkap. Dengan demikian, bentuk
penelitian kohort retrospektif hanya dapat dilakukan, apabila data tentang faktor
risiko tercatat dengan baik sejak terjadinya paparan pada populasi yang sama
dengan efek yang ditemukan pada awal pengamatan.

B. Kekuatan studi kohort, meliputi:


1. Pada awal penelitian, sudah ditetapkan bahwa subjek harus bebas dari
penyakit, kemudian diikuti sepanjang periode waktu tertentu sampai
timbulnya penyakit yang diteliti, sehingga sekuens waktu antara faktor risiko
dan penyakit atau efek dapat diketahui secara pasti.
2. Dapat menghitung dengan akurat jumlah paparan yang dialami populasi.
3. Dapat menghitung laju insidensi atau kecepatan terjadinya penyakit, karena
penelitian dimulai dari faktor risiko sampai terjadinya penyakit.
4. Dapat meneliti paparan yang langka.
5. Memungkinkan peneliti mempelajari sejumlah efek atau penyakit secara
serentak sebuah paparan. Misalnya, apabila kita telah mengidentifikasi kohort
berdasarkan pemakaian kontrasepsi oral (pil KB), maka dengan studi kohort
dapat diketahui sejumlah kemungkinan efek kontrasepsi oral pada sejumlah
penyakit, seperti infark miokardium, kanker payudara, dan kanker ovarium.
6. Dapat memeriksa dan mendiagnosa dengan teliti penyakit yang terjadi.
7. Bias dalam menyeleksi subjek dan menentukan status paparan kecil
8. Hubungan sebab akibat lebih jelas dan lebih meyakinkan

C. Kelemahan studi kohort, meliputi:


1. Tidak efisien dan praktis untuk mempelajari kasus yang langka
2. Pada studi prospektif, akan memerlukan biaya banyak (mahal), dan
membutuhkan banyak waktu.
3. Pada studi retrospektif, membutuhkan ketersediaan catatan yang lengkap dan
akurat.

9
4. Validitas hasil penelitian dapat terancam, karena adanya subjek subjek yang
hilang pada saat follow-up.
5. Dapat menimbulkan masalah etika, karena peneliti membiarkan subjek
terkena pajanan yang merugikan.

D. Karakteristik studi kohort


Pada studi kohort, pemilihan subjek dilakukan berdasarkan status
paparannya, kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan apakah subyek
mengalami outcome yang diamati atau tidak. Studi kohort memiliki karakteristik:
1. Studi kohort bersifat observasional
2. Pengamatan dilakukan dari sebab ke akibat
3. Studi kohort sering disebut sebagai studi insidens
4. Terdapat kelompok kontrol
5. Terdapat hipotesis spesifik
6. Dapat bersifat prospektif ataupun retrospektif
7. Untuk kohort retrospektif, sumber datanya menggunakan data sekunder

E. Langkah-langkah dalam studi kohort


Dalam melakukan studi kohort, peneliti sebaiknya melakukan tahapan
sebagai berikut:
1) Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh peneliti, adalah merumuskan
masalah atau pertanyaan penelitian, menentukan apa yang menjadi variabel dalam
penelitian, baik variabel dependen, maupun variabel independen, dan yang
selanjutnya peneliti akan merumuskan hipotesa penelitian.
2) Menentukan kelompok terpapar dan tidak terpapar
Pada studi kohort, harus diperhatikan mengenai penentuan kelompok yang
akan mendapat paparan dengan kelompok yang tidak akan mendapat paparan.
Pemilihan kelompok terpapar yang berasal dari populasi umum memungkinkan
peneliti mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat dari subjek penelitian.
Populasi umum merupakan pilihan yang tepat pada beberapa keadaan, seperti:
 Prevalensi paparan pada populasi cukup tinggi

10
 Batas geografik jelas, dan secara demografik stabil
 Ketersediaan catatan demografi yang lengkap dan up to date
 Selain populasi umum, kita dapat menggunakan populasi khusus.
Populasi khusus merupakan alternatif pada keadaan apabila prevalensi
paparan dan kejadian penyakit pada populasi umum rendah, dan adanya
kemudahan untuk memperoleh informasi yang akurat.
Kelompok tidak terpapar atau kelompok kontrol dalam penelitian kohort
adalah kumpulan subjek yang tidak mengalami pemaparan, atau pemaparannya
berbeda dengan kelompok target. Penentuan kelompok tidak terpapar dapat dipilih
dari populasi yang sama dengan populasi kelompok terpapar, dan dapat dipilih dari
populasi yang bukan asal kelompok terpapar, tetapi harus dipastikan kedua
populasi harus sama dalam hal faktor faktor yang merancukan penilaian hubungan
antara paparan dan penyakit yang sedang diteliti.
Kelemahan dalam menggunakan populasi umum adalah derajat kesehatan
berbeda, data kependudukan, kesehatan, dan catatan medik pada populasi umum
tidak seakurat pada populasi khusus.
3. Menentukan Sampel
Langkah selanjutnya dalam studi kohort adalah menetapkan besarnya sampel
yang akan digunakan dalam penelitian, dan dapat dihitung dengan rumus:

n= + }2
( - )2

4. Pengambilan data dan pencatatan


Kedua kelompok yang telah ditetapkan, yaitu kelompok terpapar dan
kelompok tidak terpapar, kemudian diikuti selama jangka waktu tertentu
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam penelitian. Selanjutnya
peneliti melakukan pencatatan semua keterangan yang telah diperoleh sesuai
tujuan penelitian.
5. Pengolahan dan analisi data hasil penelitian
Semua data yang telah diperoleh, meliputi data kejadian penyakit yang
dialami oleh kelompok terpapar dan kelompok tidak terpapar, dilakukan

11
pengolahan data agar dapat ditangani dengan mudah, meliputi kegiatan
editing, coding, processing, dan cleaning. Selanjutnya data yang diperoleh
disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 3. 1
Tabel kontingensi 2 x 2
Penyakit
Faktor risiko Total
Ya Tidak
Terpapar A b a+b
Tidak terpapar C d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d = N

Setelah data diolah, dilakukan analisis data secara univariat dan bivariat, atau
multivariat. Untuk menilai apakah paparan (faktor risiko) yang dialami subjek
sebagai penyebab timbulnya penyakit, dilakukan uji kemaknaan dengan uji statistik
yang sesuai. Keputusan uji statistik dapat dicari dengan pendekatan klasik ataupun
probabilistik.
Pada penelitian kohort, peneliti menghitung besarnya risiko yang dihadapi
kelompok terpapar untuk terkena penyakit menggunakan perhitungan Relative risk/
RR (risiko relatif) dan Atribute risk/ AR (risiko atribut). RR adalah perbandingan
antara insidensi penyakit yang muncul dalam kelompok terpapar dan insidensi
penyakit yang muncul dalam kelompok tidak terpapar. Berdasarkan tabel kontingensi
di atas maka rumus RR adalah

RR harus selalu disertai nilai interval kepercayaan yang dikehendaki,


misalnya 95%. Interpretasi hasil RR adalah:
 Jika nilai RR = 1, berarti variabel yang diduga sebagai faktor risiko tidak ada
pengaruh dalam terjadinya efek.
 Jika nilai RR > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1,
berarti variabel tersebut faktor risiko dari penyakit

12
 Jika nilai RR < 1 dan rentang nilai interval kepercayaan tidak mencakup
angka 1,berarti faktor risiko yang kita teliti merupakan faktor protektif untuk
terjadinya efek.
 Jika nilai interval kepercayaan RR mencakup nilai 1, berarti mungkin nilai
RR = 1 sehingga belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang kita teliti
sebagai faktor risiko atau faktor protektif.
 Atribute risk adalah selisih antara insidensi penyakit yang diderita kelompok
terpapar dan insidensi penyakit yang diderita kelompok yang tidak terpapar.
Berdasarkan tabel
2 x 2 dapat dihitung nilai Atribute risk:

2.3.2 Studi Kasus


Studi Kasus adalah salah satu metode penelitian dalam ilmu sosial. Dalam
riset yang menggunakan metode ini, dilakukan pemeriksaan longitudinal yang
mendalam terhadap suatu keadaan atau kejadian yang disebut sebagai kasus dengan
menggunakan cara-cara yang sistematis dalam melakukan pengamatan,
pengumpulan data, analisis informasi, dan pelaporan hasilnya. Sebagai hasilnya,
akan diperoleh pemahaman yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan
dapat menjadi dasar bagi riset selanjutnya. Studi kasus dapat digunakan untuk
menghasilkan dan menguji hipotesis.
Pendapat lain menyatakan bahwa studi kasus adalah suatu strategi riset,
penelaahan empiris yang menyelidiki suatu gejala dalam latar kehidupan nyata.
Strategi ini dapat menyertakan bukti kuatitatif yang bersandar pada berbagai sumber
dan perkembangan sebelumnya dari proposisi teoretis. Studi kasus dapat
menggunakan bukti baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian
dengan subjek tunggal memberikan kerangka kerja statistik untuk membuat inferensi
dari data studi kasus kuantitatif.
Seperti halnya pada tujuan penelitian lain pada umumnya, pada dasarnya
peneliti yang menggunakan metode penelitian studi kasus bertujuan untuk
memahami objek yang ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian
yang lain, penelitian studi kasus bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami
objek yang ditelitinya secara khusus sebagai suatu ‘kasus’. Berkaitan dengan hal

13
tersebut, Yin (2003a, 2009) menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian studi
kasus adalah tidak sekadar untuk menjelaskan seperti apa objek yang diteliti, tetapi
untuk menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi.
Dengan kata lain, penelitian studi kasus bukan sekadar menjawab pertanyaan
penelitian tentang ‘apa’ (what) objek yang diteliti, tetapi lebih menyeluruh dan
kompre
hensif lagi adalah tentang ‘bagaimana’ (how) dan ‘mengapa’ (why) objek
tersebut terjadi dan terbentuk sebagai dan dapat dipandang sebagai suatu kasus.
Sementara itu, strategi atau metode penelitian lain cenderung menjawab pertanyaan
siapa (who), apa (what), dimana (where), berapa (how many) dan seberapa besar
(how much).

A. Jenis-jenis Studi Kasus


Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi, dipusatkan pada perhatian
organisasitertentu dan dalam kurun waktu tertentu, dengan rnenelusuri
perkembangan organisasinya. Studi kasus ini sering kurang memungkinkan untuk
diselenggarakan, karena sumbernya kurang mencukupi untuk dikerjakan secara
minimal.
Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan datanya melalui
observasi peran-serta atau pelibatan (participant observation), sedangkan fokus
studinya pada suatu organisasi tertentu.. Bagian-bagian organisasi yang menjadi
fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam sekolah; (b) satu
kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah.
Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu orang dengan
maksud mengumpulkan narasi orang pertama dengan kepemilikan sejarah yang khas.
Wawancara sejarah hidup biasanya mengungkap konsep karier, pengabdian hidup
seseorang, dari lahir hingga sekarang.
Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus kemasyarakatan
(community study) yang dipusatkan pada suatu lingkungan tetangga atau masyarakat
sekitar (kornunitas), bukannya pada satu organisasi tertentu.
Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba menganalisis situasi
terhadap peristiwa atau kejadian tertentu. Misalnya terjadinya pengeluaran siswa

14
pada sekolah tertentu, maka haruslah dipelajari dari sudut pandang semua pihak yang
terkait, mulai dari siswa itu sendiri, teman-temannya, orang tuanya, kepala sekolah,
guru dan mungkin tokoh kunci lainnya.
Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada unit
organisasi yang sangat kecil, seperti suatu bagian sebuah ruang kelas atau suatu
kegiatan organisasi yang sangat spesifik pada anak-anak yang sedang belajar
menggambar.

B. Tujuan Studi Kasus


Seperti halnya pada tujuan penelitian lain pada umumnya, pada dasarnya
peneliti yang menggunakan metoda penelitian studi kasus bertujuan untuk
memahami obyek yang ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian
yang lain, penelitian studi kasus bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami
obyek yang ditelitinya secara khusus sebagai suatu ‘kasus’. Berkaitan dengan hal
tersebut, Yin (2003a, 2009) menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian studi
kasus adalah tidak sekedar untuk menjelaskan seperti apa obyek yang diteliti, tetapi
untuk menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi.
Dengan kata lain, penelitian studi kasus bukan sekedar menjawab pertanyaan
penelitian tentang ‘apa’ (what) obyek yang diteliti, tetapi lebih menyeluruh dan
komprehensif lagi adalah tentang ‘bagaimana’ (how) dan ‘mengapa’ (why) obtek
tersebut terjadi dan terbentuk sebagai dan dapat dipandang sebagai suatu kasus.
Sementara itu, strategi atau metoda penelitian lain cenderung menjawab pertanyaan
siapa (who), apa (what), dimana (where), berapa (how many) dan seberapa besar
(how much).
Sementara itu, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus
bertujuan untuk mengungkapkan kekhasan atau keunikan karakteristik yang terdapat
di dalam kasus yang diteliti.Kasus itu sendiri merupakan penyebab dilakukannya
penelitian studi kasus, oleh karena itu, tujuan dan fokus utama dari penelitian studi
kasus adalah pada kasus yang menjadi obyek penelitian. Untuk itu, segala sesuatu
yang berkaitan dengan kasus, seperti sifat alamiah kasus, kegiatan, fungsi,
kesejarahan, kondisi lingkungan fisik kasus, dan berbagai hal lain yang berkaitan dan
mempengaruhi kasus harus diteliti, agar tujuan untuk menjelaskan dan memahami

15
keberadaan kasus tersebut dapat tercapai secara menyeluruh dan komprehensif.
Secara khusus, berkaitan dengan karakteristik kasus sebagai obyek penelitian,
VanWynsberghe dan Khan (2007) menjelaskan bahwa tujuan penelitian studi kasus
adalah untuk memberikan kepada pembaca laporannya tentang ‘rasanya berada dan
terlibat di dalam suatu kejadian’, dengan menyediakan secara sangat terperinci
analisis kontekstual tentang kejadian tersebut. Untuk itu, peneliti studi kasus harus
secara hati-hati menggambarkan kejadian tersebut dengan memberikan pengertian
dan hal-hal yang lainnya dan menguraikan kekhususan dari kejadian tersebut.

2.3.3 Studi Ekologik


Pengertian Studi ekologi atau studi korelasi populasi adalah studi
epidemiologi dengan populasi sebagai unit analisis, yang bertujuan mendeskripsikan
hubungan korelatif antara penyakit dan faktor-faktor yang diminati peneliti. Faktor-
faktor tersebut misalnya, umur, bulan, obat-obatan.Unit observasi dan unit analis
pada studi ini adalah kelompok (agregat) individu, komunitas atau populasiyang
lebih besar. Agregat tersebut biasanya dibatasi oleh secara geografik, misalnya
penduduk provinsi, penduduk kab/kota, penduduk negara, dan sebagainya.
Penelitian korelasi atau ekologi adalah suatu penelitian untuk mengetahui
hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa ada upaya untuk
mempengaruhi variabel tersebut sehingga tidak terdapat manipulasi variabel
(Faenkel dan Wallen, 2008:328). Adanya hubungan dan tingkat variabel ini penting
karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada, peneliti akan dapat
mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian. Jenis penelitian ini biasanya
melibatkan ukuran statistik/tingkat hubungan yang disebut dengan korelasi (Mc
Millan dan Schumacher, dalam Syamsuddin dan Vismaia, 2009:25). Penelitian
korelasional menggunakan instrumen untuk menentukan apakah, dan untuk tingkat
apa, terdapat hubungan antara dua variabel atau lebih yang dapat dikuantitatifkan.
Penelitian korelasional dilakukan dalam berbagai bidang diantaranya pendidikan,
sosial, maupun ekonomi. Penelitian ini hanya terbatas pada panafsiran hubungan
antarvariabel saja tidak sampai pada hubungan kausalitas, tetapi penelitian ini dapat
dijadikan acuan untuk diajadi penelitian selanjutnya seperti penelitian eksperimen
(Emzir, 2009:38).

16
A. Kekuatan dan Kelemahan Studi Ekologi
Kekuatan studi ekologi, meliputi:
1. Kekuatan pada studi ekologikal adalah dapat menggunakan data insidensi,
prevalensi maupunmortalitas( data sekunder).
2. Rancangan ini tepat sekali digunakan pada penyelidikan awal hubungan
penyakit, sebab mudah dilakukan dan murah dengan memanfaatkan
informasiyang tersedia.
3. Dapat mengevaluasi program, kebijakan dan regulasi.

B. Kelemahan studi ekologi, meliputi:


Studi ekologi tak dapat dipakai untuk menganalisis hubungan sebab akibat
karena dua alasan.
1. Alasan pertama adalah, ketidak mampuan menjembatani kesenjangan
status paparan dan status penyakit pada tingkat populasi dan individu.
2. Sedangkan alasan kedua adalah studi ekologi tak mampu untuk mengontrol
faktor perancu potensial

C. Karakteristik studi Ekologi / Korelasi


Menurut Sukardi (2004:166) penelitian korelasi mempunyai tiga karakteristik
penting untuk para peneliti yang hendak menggunakannya. Tiga karakteristik
tersebut adalah sebagai berikut.

1. Penelitian korelasi tepat jika variabel kompleks dan peneliti tidak mungkin
melakukan manipulasi dan mengontrol variabel seperti dalam penelitian
eksperimen.
2. Memungkinkan variabel diukur secara intensif dalam setting (lingkungan)
nyata.
3. Memungkinkan peneliti mendapatkan derajat asosiasi yang signifikan

D. Tujuan Studi Ekologi / Korelasi


Tujuan penelitian korelasional menurut Suryabrata (dalam Abidin, 2010) adalah
untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan
variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi.

17
Sedangkan menurut Gay dalam Emzir (2009:38) Tujuan penelitian korelasional
adalah untuk menentukan hubungan antara variabel, atau untuk menggunakan
hubungan tersebut untuk membuat prediksi. Studi hubungan biasanya menyelidiki
sejumlah variabel yang dipercaya berhubungan dengan suatu variabel mayor, seperti
hasil belajar variabel yang ternyata tidak mempunyai hubungan yang tinggi
dieliminasi dari perhatian selanjutnya.

18
BAB III
STUDI KASUS
PENGARUH KUALITAS VAKSIN CAMPAK TERHADAP KEJADIAN
CAMPAK DI KABUPATEN PASURUAN

3.1 Definisi Penyakit Campak.


Campak adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus campak dengan
gejala prodromal seperti demam, batuk, coryza/pilek, dan konjungtivitas, kemudian
diikuti dengan munculnya ruammakulo papuler yang menyeluruh diseluruh tubuh.
Campak adalah salah satu penyakit infeksi yang banyak menyeranganak-anak.dari
mulai mendapat paparan sampai munculnya gejala klinik penyakit.
Dari data statistik WHO pada tahun 2010 menyebutkan bahwa 1% kematian
pada anak usia dibawah lima tahun disebabkan oleh campak. Indonesia termasuk
negara berkembang yang insiden kasus campaknya cukup tinggi. Dari profil
kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2010 dilaporkan Incidence Rate campak di
Indonesia sebesar 0,73 per 10.000 penduduk. Sedangkan CFR pada KLB campak
pada tahun 2010 adalah0,233.
Pembangunan nasional berwawasan kesehatan merupakan salah satu
strategi pembangunan kesehatan nasional, yang berarti setiap upaya program
pembangunan harus mempunyai kontribusi positif terhadap terbentuknya lingkungan
yang sehat dan perilaku sehat. Berdasarkan PERMENKES No 42 tahun 2013
tentang penyelenggaraan program imunisasi, keberhasilan pembangunan sangat
dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli,
serta disusun dalam satu program kesehatan dengan perencanaan terpadu yang
didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang valid.
Penyakit campak merupakan penyebab utama kematian anak di antara
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), karena penyakit ini dapat
disertai komplikasi serius, misalnya ensefalitis dan bronchopneumonia (Kemenkes
RI, 2013).Penyakit campak merupakan salah satu penyakit infeksi yang termasuk
dalam prioritas masalah kesehatan,karena penyakit ini dapat dengan mudah menular
sehingga dapat menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa (KLB) (Wilopo,

19
2008). Campak menduduki peringkat ke empat penyebab KLB di Indonesia setelah
DBD, diare dan chikungunya, oleh karena itu campak termasuk dalam daftar
prioritas penyakit potensial KLB, selain itu dampak dan penanganan yang
ditimbulkan dari suatu daerah yang dinyatakan KLB akan sangat besar (Dinkes
Provinsi Jawa Timur, 2013).
Campak sangat potensial untuk menimbulkan wabah, sebelum imunisasi
campak dipergunakan secara luas di dunia hampir setiap anak dapat terinfeksi
campak. Indonesia adalah negara ke empat terbesar penduduknya di dunia yang
memiliki angka kesakitan campak sekitar 1 juta pertahun dengan 30.000 kematian,
yang menyebabkan Indonesia termasuk dalam salah satu dari 47 negara prioritas
yang diidentifikasioleh WHO dan UNICEF untuk melaksanakan akselerasi dalam
rangka mencapai eliminasi campak (Dirjen P2PL, Kemenkes RI, 2013).
Perkembangan kasus campak di Indonesia menurut data surveilans rutin kasus
campak mengalami kenaikan dan penurunan, dari tahun 2009-2014 puncak
peningkatan campak terjadi pada tahun 2011. Provinsi Jawa Timur merupakan salah
satu provinsi di Indonesia yang jumlah kasusnya menduduki rangking 4 (empat) dari
33 provinsi pada tahun 2012, dan naik menjadi ranking 3 (tiga) pada tahun 2013.
Perkembangan kasus campak di Jawa Timur tahun 2009-2014 dapat digambarkan
sebagai berikut:

Sumber: Kemenkes RI 2014.

Gambar 1. Kasus Campak di Jawa Timur tahun 2009–2014

Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur


dengan angka kejadian campak yang tinggi, pada tahun 2011 Kabupaten Pasuruan
menduduki urutan ke 3 (tiga) dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur (Dinkes
Provinsi Jawa Timur, 2013). Kasus campak di Kabupaten Pasuruan meningkat

20
kembali di sepanjang tahun 2014 hingga mencapai 199 kasus yang tersebardi 50
desa (Dinkes Kabupaten Pasuruan, 2015).
Perkembangan kasus campak di Kabupaten Pasuruan tahun 2009–2014
sebagai berikut:

Sumber: Dinkes Kabupaten Pasuruan, 2015

Gambar 2. Perkembangan Kasus Campak di Kabupaten Pasuruan 2009-2014

Strategi untuk akselerasi dalam mencapai eliminasi campak adalah


pemberian imunisasi rutin dengan cakupan tinggi ≥ 95% di tingkat nasionaldan≥
90% di setiap Kabupaten/Kota serta memastikan semua anak mendapatkan
kesempatan kedua untuk imunisasi campak untuk menghilangkan kelompok rawan
campak atau susceptible yang terdapat di usia Balita sehingga dipandang perlu
untuk melakukan pemberian imunisasi lanjutan campak (DirjenP2PL,Kemenkes RI,
2013).

Cakupan imunisasi yang tinggi merupakan gambaran dari kekebalan


individu yang tinggi. Daerah dengan cakupan imunisasi < 90% masih rentan
terhadap kejadian campak karena belum terbentuk herd immunity (Afriani, 2014).
Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian yang yang dilakukan oleh Salim et al,
(2007), bahwa indikator prediksi KLB campak salah satunya yaitu dilihat dari hasil
cakupan imunisasi.

Cakupan imunisasi campak tahun 2014 di Kabupaten Pasuruan sudah


mencapai target minimal yaitu sebesar 99,48%, namun hal tersebut tidak
berpengaruh besar terhadap penurunan kasus campak. Kasus campak di Kabupaten
Pasuruan tidak hanya terjadi pada daerah dengan cakupan imunisasi yang rendah
tapi juga terjadi pada daerah dengan cakupan imunisasi yang tinggi.

21
Kualitas vaksin yang buruk dapat menjadi penyebab permasalahan campak
di Kabupaten Pasuruan, mengingat cakupan imunisasi campak di Kabupaten
Pasuruan sudah tinggi. Kerusakan vaksin atau kualitas vaksin yang buruk dapat
menyebabkan daya guna vaksin yang diberikan tidak memberikan perlindungan
terhadap penyakit campak, karena kualitas vaksin yang buruk dapat menurunkan
atau menghilangkan potensi vaksin. Sehingga, meskipun sasaran sudah menerima
imunisasi vaksin campak tapi vaksin tersebut tidak melindungi sasaran. Menurut
Maksuk (2011), kualitas vaksin harus terjaga terutama selama pendistribusian
vaksin yang dikenal dengan istilah rantai dingin (cold chain) dari tempat produksi
sampai pada unit kesehatan terkecil.

Tempat pelayanan imunisasi baik di komponen statis maupun di posyandu


adalah merupakan mata rantai paling akhir dari sistem rantai vaksin (Depkes RI,
2009). Permasalahan kerap dihadapi petugas kesehatan ketika pendistribusian
vaksin ke posyandu, kondisi yang tidak kondusif sering merusak kualitas vaksin
(Maksuk, 2011). Kualitas vaksin tidak hanya ditentukan oleh test laboratorium (uji
potensi vaksin), namun juga sangat tergantung pada kualitas pengelolaannya
(Kristini, 2008).

Sumber daya manusia merupakan modal dasar yang paling besar dan sangat
menentukan dalam pembangunan di segala bidang, dengan adanya tenaga kerja
yang berkualitas di harapkan tujuan program dapat tercapai (Ariebowo, 2005).
Petugas pelaksana imunisasi pada tingkat puskesmas khususnya pada tingkat desa
mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan program imunisasi baik secara
teknis maupun administratif (Hengky, 2007).

Petugas mempunyai tanggung jawab dalam menjaga kualitas vaksin hingga


di berikan kepada sasaran, kerusakan vaksin akan mengakibatkan kerugian sumber
daya yang tidak sedikit yaitu berupa biaya vaksin dan berbagai biaya lain yang
terpaksa dikeluarkan untuk menanggulangi masalah kejadian ikutan pascaimunisasi
(KIPI) ataupun masalah KLB akibat dari masyarakat yang belum terlindungi karena
vaksin yang diberikan sudah kehilangan potensinya (Yulianti & Achadi, 2010).
Faktor yang dapat mempengaruhi sumber daya petugas berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Hengky (2007), Rahmawati (2007), dan Ariebowo (2005) di

22
antaranya pelatihan, pengetahuan, motivasi, dan sikap. Ketersediaan sarana dalam
pelayanan kesehatan juga menentukan keberhasilan kegiatan imunisasi selain faktor
sumber daya manusia, kondisi sarana yang baik dan lengkap, berkualitas dan
berjumlah cukup wajib tersedia pada saat melakukan imunisasi (Ariebowo, 2005.,
Rahmawati, 2007).

Kejadian campak di Kabupaten Pasuruan yang masih tinggi dan


menyebabkan KLB di beberapa wilayah, membuktikan bahwa masyarakat masih
belum terlindungi dari penyakit campak meskipun pencapaian cakupan imunisasi
campak sudah tinggi, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
kualitas vaksin campak terhadap kejadian campak di Kabupaten Pasuruan.

3.2 Konsep Penyebaran Virus Campak


Bagi penderita campak, virus campak ada di dalam percikan cairan yang
dikeluarkan saat mereka bersin dan batuk. Virus campak akan menulari siapa pun
yang menghirup percikan cairan ini.
Virus campak bisa bertahan di permukaan selama beberapa jam dam bisa
bertahan menempel pada benda-benda lain. Saat kita menyentuh benda yang sudah
terkena percikan virus campak lalu menempelkan tangan ke hidung atau mulut, kita
bisa ikut terinfeksi.
Campak lebih sering menimpa balita. Tapi pada dasarnya semua orang bisa
terinfeksi virus ini, terutama yang belum pernah terkena campak atau yang belum
mendapat vaksinasi campak.

3.2.1 Pengobatan Campak


Sistem kekebalan tubuh manusia secara alami akan melawan infeksi virus ini.
Tapi jika komplikasi terjadi atau infeksi campak menjadi sangat parah, perawatan di
rumah sakit kemungkinan akan dibutuhkan. Untuk mempercepat proses pemulihan,
terdapat beberapa hal yang bisa membantu:
- Minum banyak air untuk mencegah dehidrasi.
- Banyak istirahat dan hindari sinar matahari selama mata masih sensitif
terhadap cahaya.
- Minum obat penurun demam dan pereda sakit. Jangan berikan aspirin jika
anak Anda berusia kurang dari 16 tahun.

23
3.2.2 Komplikasi Campak
Komplikasi dari campak bisa sangat berbahaya. Meski jumlah penderita
komplikasi campak cukup sedikit, penyakit ini harus tetap diwaspadai. Contoh-
contoh komplikasinya adalah radang pada telinga, bronkitis, infeksi paru-paru
(pneumonia), dan infeksi otak (ensefalitis). Kelompok orang yang berisiko
mengalami komplikasi adalah:
- Bayi berusia di bawah satu tahun.
- Anak-anak dengan kondisi kesehatan buruk.
- Orang dengan penyakit kronis.
- Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.

3.2.3 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan ruam kulit yang khas.
 Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan:
- pemeriksaan darah,
- pemeriksaan darah tepi
- pemeriksaan Ig M anti campak

 Pemeriksaan komplikasi campak :


- enteritis
- Ensephalopati,
- Bronkopneumoni

3.3 Upaya Pencegahan Campak


Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, paradigma
sehat dilaksanakan melalui beberapa kegiatan salah satunya dengan kegiatan
pemberantasan penyakit. Program imunisasi merupakan salah satu program yang
berupaya untuk pemberantasan penyakit yaitu dengan cara memberikan kekebalan,
sehingga diharapkan dapat melindungi penduduk terhadap penyakit tertentu.
Imunisasi memiliki dimensi tanggung jawab ganda yaitu selain untuk memberikan
perlindungan kepada anak agar tidak terkena penyakit menular, namun juga
memberikan kontribusi yang tinggi dalam memberikan sumbangan bagi

24
kekebalan kelompok (herd immunity) yaitu anak yang telah mendapat kekebalan
imunisasi akan menghambat perkembangan penyakit di kalangan masyarakat (Dewi,
2008).

3.3.1 Kontroversi Imunisasi Campak dengan Vaksin MR


Vaksinasi MMR adalah vaksin gabungan untuk campak, gondongan, dan
campak Jerman. Vaksinasi MMR diberikan dua kali. Pertama diberikan ketika anak
berusia 13 bulan, lalu berikutnya diberikan ketika mereka berusia 5-6 tahun atau
sebelum memasuki masa sekolah dasar.
Vaksinasi campak masih diperdebatkan di Indonesia karena serum yang
dibuat di India tersebut diduga mengandung babi. Dalam Ketentuan Hukum Fatwa
Majelis Ulama Indonesia nomor 4 tahun 2016 nomor 1 tertulis “Imunisasi pada
dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan
tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu”. Jenis
vaksinasi campak di atas tidak direkomendasikan untuk wanita hamil yang belum
terlindungi dari campak. Namun bagi wanita yang ingin hamil dan belum pernah
terkena campak, dia bisa diberi vaksinasi campak. Temui dokter untuk mendapatkan
informasi lebih lengkap tentang campak dan dampaknya pada wanita hamil.
Campak sangat mudah menular. Jika Anda menderita campak, hindari pusat
keramaian setidaknya empat hari setelah kemunculan ruam campak untuk pertama
kalinya. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi penyebaran infeksi kepada orang
lain. Hindari kontak langsung dengan orang-orang yang rentan terhadap infeksi virus
ini seperti balita, anak kecil, dan wanita hamil.

3.3.2 Waktu Inkubasi


Waktu terpapar sampai kena penyakit: Kira-kira 10 sampai 12 hari sehingga
gejala pertama, dan 14 hari sehingga ruam muncul. Imunisasi (MMR) pada usia 12
bulan dan 4 tahun. Orang yang dekat dan tidak mempunyai kekebalan seharusnya
tidak menghadiri sekolah atau bekerja selama 14 hari.

3.3.3 Waktu pengasingan yang disarankan


Disarankan selama sekurang-kurangnya 4 hari setelah ruam muncul.

25
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Sampel penelitian ini berjumlah 60 desa terdiri dari 30 desa dengan kasus
campak tahun 2014 dan 30 desa kontrol. Responden penelitian merupakan petugas
pelaksana imunisasi yaitu bidan di desa. Karakteristik responden dapat dilihat pada
Tabel 1 sebagai berikut:

Karakteristik bidan desa berdasarkan usia baik pada daerah kasus maupun
kontrol memiliki rentang usia yang sama yaitu 35-44 tahun. Karakteristik responden
berdasarkan tingkat pendidikan, dapat diketahui bahwa pada desa dengan kasus
campak tingkat pendidikan responden lebih tinggi dibandingkan dengan desa tanpa
kasus campak yaitu terdapat responden dengan tingkat pendidikan DIV dan S1,
sedangkan pada desa tanpa kasus campak tingkat pendidikan responden yaitu D1 dan
DIII (Tabel 1).

26
Karakteristik bidan desa berdasarkan frekuens pelatihan yang pernah diikuti
mayoritas yaitu sebanyak 2x (43,3%), selain itu juga dapat diketahui bahwa frekuensi
mengikuti pelatihan pada bidan di desa dengan tanpa kasus campak lebih banyak
dibandingkan dengan bidan di desa yang memiliki kasus campak, di mana pada desa
tanpa kasus campak frekuensi maksimal pelatihan yang pernah diikuti mencapai 5x,
sedangkan pada desa kontrol hanya pada frekuensi 3x (Tabel 1).
Tingkat pengetahuan bidan desa dengan kasus campak lebih rendah
dibandingkan dengan bidan desa tanpa kasus campak di mana pengetahuan bidan
dalam kategori baik lebih banyak pada desa tanpa kasus. Tingkat motivasi bidan desa
baik dengan kasus campak maupun tanpa kasus campak mayoritas dalam kategori
sedang, namun jika berdasarkan kategori tingkat motivasi baik dan kurang pada desa
kontrol lebih banyak dibandingkan pada desa kasus (Tabel 1).
Karakteristik berdasarkan sikap bidan desa didapatkan bahwa tidak ada bidan
di desa dengan kasus campak maupun tanpa kasus campak yang termasuk dalam
kategori memiliki sikap yang kurang, melainkan mayoritas dalam kategori baik
(Tabel 1). Ketersediaan dari sarana dan prasarana imunisasi di antranya vaksin
campak, pelarut, vaccine carrier, dan cool pack juga merupakan bagian dari
imunisasi. Ketersediaan sarana vaksin dalam penelitian ini, didapatkan bahwa
sebagian besar sarana vaksin pada desa kasus maupun kontrol adalah tersedia vaksin
campak dan pelarutnya, vaccine carrier dengan jumlah cool pack tidak memadai
yaitu berjumlah kurang dari 4 buah atau tidak memenuhi syarat yaitu menggunakan
aqua gelas yang rawan pecah, bahkan terdapat bidan di desa yang menggunakan aqua
dingin beku (cold pack). Ketersediaan sarana vaksin yang lengkap dan memenuhi
standart yaitu tersedia vaksin dan pelarut, vaccine carrier yang dilengkapi dengan 4
cool pack lebih banyak pada desa tanpa kasus campak dibandingkan dengan desa
dengan kasus campak (Tabel 2).

27
Kualitas vaksin dalam penelitian ini merupakan perlakuan petugas terhadap
vaksin mulai dari penyimpanan di puskesmas maupun di polindes sampai dengan
pelayanan imunisasi campak di posyandu. Keseluruhan hasil penilaian kualitas
vaksin di 60 desa yang diteliti desa kasus maupun kontrol dalam kategori kurang, hal
tersebut dapat disebabkan karena masih terdapat satu atau lebih kriteria kualitas
vaksin yang tidak dilakukan oleh petugas pelaksana imunisasi khususnya oleh bidan
di desa. Kriteria kualitas vaksin yang tidak dilakukan oleh bidan desa diantaranya
melakukan penyimpanan vaksin pada kulkas buka depan, di jumpai barang lain
dalam lemari es, suhu lemari es yang < 2oC, tidak memastikan pelarut dan vaksin
berasal dari pabrik yang sama, tidak memeriksa tanggal kedaluwarsa, tidak
memeriksa kondisi VVM, tidak mengocok vaksin secara sempurna, tidak menuliskan
tanggal dan jam melarutkan vaksin, lama penggunaan vaksin campak > 6 jam, serta
tidak mengembalikan sisa vaksin maupun memberikan tanda pada vaksin yang masih
belum di pakai setelah pelayanan kembali ke puskesmas. Petugas tidak melakukan
pengecekan asal pabrik vaksin dan pelarut, tanggal kedaluwarsa, dan kondisi VVM,
karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut sudah menjadi tugas dinas kesehatan
dan koordinator imunisasi tingkat puskesmas, bidan juga tidak menuliskan tanggal
dan jam melarutkan vaksin karena mereka beranggapan vaksin campak akan segera
di buang setelah pelayanan imunisasi (Tabel 3).

28
Pengepakan vaksin yang dilakukan sendiri oleh bidan desa yang terjadi pada 8
puskesmas dari 11 wilayah puskesmas yang diteliti (72,72%) di Kabupaten Pasuruan
berpontensi merusak vaksin, selain pengepakan yang dilakukan kurang benar, hal
tersebut dapat mempengaruhi kestabilan suhu penyimpanan karena frekuensi
membuka kulkas penyimpanan menjadi lebih dari 2x dalam sehari. Kondisi lainnya
yang dapat mempengaruhi kualitas vaksin adalah ruangan penyimpanan vaksin di
puskesmas yang tidak layak yaitu banyaknya bunga es dalam kulkas, kotak vaksin di
dalam kulkas yang tidak tertata rapi yaitu bercampur antara vaksin yang masih utuh
dengan sisa imunisasi, maupun kulkas penyimpanan tidak berada pada ruangan
tersendiri dan bahkan ada yang terpapar sinar matahari. Pada tatalaksana setelah
pelayanan, mayoritas bidan tidak menempatkan vaksin yang sudah dipakai pada
spons/busa penutup vaccine carrier, sedangkan yang belum dipakai tetap di simpan
di dalam vaccine carrier, melainkan bidan mencampurkan vaksin yang sudah dipakai
dan belum terpakai dan tidak memberikan tanda khusus pada vaksin yang belum
terpakai, tujuan memberikan tanda khusus adalah agar vaksin didahulukan
penggunaannya.
Hasil analisis uji statistik regresi linier dengan metode backward untuk
mengetahui pengaruh faktor petugas (pelatihan, pengetahuan, motivasi dan sikap),
serta ketersediaan sarana imunisasi terhadap kualitas vaksin campak, didapatkan
terdapat dua variabel yang tidak berpengaruh yaitu variabel motivasi dan sikap, hasil
uji statistik secara terperinci disajikan pada tabel 4 sebagai berikut:

Variabel yang mempengaruhi kualitas vaksin campak di Kabupaten Pasuruan


diantaranya variabel pelatihan di mana p-value= 0,002 < 0,05, namun pengaruh
tersebut berbanding terbalik karena B bernilai negatif, yang berarti setiap
peningkatan frekuensi pelatihan yang pernah diikuti bidan desa akan menurunkan

29
skor penilaian kualitas vaksin campak (Tabel 3). Hal tersebut dapat terjadi karena
pelatihan yang diikuti responden terkait imunisasi tidak banyak membahas tentang
rantai dingin vaksin dan kesadaran responden akan pentingnya rantai dingin vaksin
kurang sehingga ketika mengikuti pelatihan kurang memperhatikan yang tampak dari
hasil penilaian pengetahuan yang mayoritas dalam kategori kurang meskipun
frekuensi mengikuti pelatihan mayoritas 2×, sehingga meskipun frekuensi pelatihan
tinggi atau ditingkatkan tidak dapat meningkatkan kualitas vaksin campak jika tidak
terjadi perubahan pengetahuan dan persepsi terkait pengelolaan rantai dingin vaksin
dalam upaya menjaga kualitas vaksin.
Variabel kedua yang berpengaruh secara signifi kan terhadap kualitas vaksin
campak yaitu pengetahuan di mana p-value = 0,000 < 0,05 dan pengaruhnya bernilai
B positif, sehingga setiap peningkatan pengetahuan akan meningkatkan kualitas
vaksin campak.
Variabel ketiga yang berpengaruh secara signifi kan terhadap kualitas vaksin
campak yaitu ketersediaan sarana imunisasi dengan p-value = 0,022 < 0,05, sama
halnya pada variabel pelatihan, pengaruh dari variabel ketersediaan sarana
vaksinjuga berbanding terbalik karena B bernilai negatif, yang berarti setiap
peningkatan atau penambahan sarana imunisasi akan menurunkan kualitas vaksin
campak di Kabupaten Pasuruan, hal tersebut dapat terjadi karena tidak terdapatnya
cool pack dalam ukuran kecil yang dapat masuk di dalam Vaccine carrier ukuran
sedang. Ketidaktersediaan cool pack ukuran kecil seharusnya tidak menjadi masalah
bagi petugas untuk tetap menggunakan cool pack berjumlah 4 buah misalnya dengan
cara membuat cool pack sendiri yang terbuat dari botol obat, namun hal tersebut
tidak dilakukan di mana petugas lebih memilih menggunakan cool pack kurang dari
4 buah atau menggunakan cool pack yang terbuat dari aqua gelas yang rawan pecah.
Penyebab lainnya adalah vaccine carrier yang memenuhi standart pada
dasarnya sudah tersedia di setiap puskemas namun tidak digunakan oleh petugas
dengan alasan terlalu rumit membawanya dan lebih mudah menggunakan thermos.
Permasalahan dalam penggunaan sarana imunisasi juga dapat disebabkan karena
pengepakan vaksin pada penelitian ini mayoritas dilakukan oleh bidan desa bukan
petugas koordinator imunisasi, hal tersebut menyebabkan terjadinya kesalahan dalam

30
prosedur pengepakan dan penggunaan sarana imunisasi sebagai transportasi vaksin
menuju ke pelayanan imunisasi di posyandu.
Pengadaan sarana imunisasi di puskesmas tidak dapat menjamin peningkatan
kualitas vaksin, jika pengetahuan dan kesadaran petugas akan pentingnya
penggunaan sarana yang sesuai standart dalam pendistribusian vaksin masih kurang.
Hasil analisis uji statistik regresi logistik dengan metode Backward (wald)
untuk mengetahui pengaruh kualitas vaksin campak terhadap kejadian campak
didapatkan bahwa secara signifi kan terdapat pengaruh kualitas vaksin terhadap
kejadian campak di Kabupaten Pasuruan dengan nilai p-value < 0,05 yaitu 0,008,
nilai Exp (B) yaitu 0,514, dan 95%CI for Exp (B) yaitu 0,314–0,843. Berdasarkan
hasil tersebut dapat disimpulkan semakin baik kualitas vaksin campak atau terdapat
peningkatan satu skor penilaian kualitas vaksin campak pada suatu desa maka
kecenderungan untuk terjadi campak pada desa tersebut akan menurun 0,514 kali
yang berarti kualitas vaksin yang baik akan mencegah terjadinya kejadian campak
pada suatu desa.
Mengembalikan sisa vaksin setelah pelayanan ke puskesmas untuk di serahkan
kepada koordinator imunisasi 50 (83,33%) 10 (16,67%) 60 (100,00%) akan
menurunkan skor penilaian kualitas vaksin campak (Tabel 3). Hal tersebut dapat
terjadi karena pelatihan yang diikuti responden terkait imunisasi tidak banyak
membahas tentang rantai dingin vaksin dan kesadaran responden akan pentingnya
rantai dingin vaksin kurang sehingga ketika mengikuti pelatihan kurang
memperhatikan yang tampak dari hasil penilaian pengetahuan yang mayoritas dalam
kategori kurang meskipun frekuensi mengikuti pelatihan mayoritas 2×, sehingga
meskipun frekuensi pelatihan tinggi atau ditingkatkan tidak dapat meningkatkan
kualitas vaksin campak jika tidak terjadi perubahan pengetahuan dan persepsi terkait
pengelolaan rantai dingin vaksin dalam upaya menjaga kualitas vaksin. Variabel
kedua yang berpengaruh secara signifi kan terhadap kualitas vaksin campak yaitu
pengetahuan di mana p-value = 0,000 < 0,05 dan pengaruhnya bernilai B positif,
sehingga setiap peningkatan pengetahuan akan meningkatkan kualitas vaksin
campak.
Variabel ketiga yang berpengaruh secarasignifi kan terhadap kualitas vaksin
campak yaitu ketersediaan sarana imunisasi dengan p-value = 0,022 < 0,05, sama

31
halnya pada variabel pelatihan, pengaruh dari variabel ketersediaan sarana vaksin
juga berbanding terbalik karena B bernilai negatif, yang berarti setiap peningkatan
atau penambahan sarana imunisasi akan menurunkan kualitas vaksin campak di
Kabupaten Pasuruan, hal tersebut dapat terjadi karena tidak terdapatnya cool pack
dalam ukuran kecil yang dapat masuk di dalam Vaccine carrier ukuran sedang.
Ketidaktersediaan cool pack ukuran kecil seharusnya tidak menjadi masalah bagi
petugas untuk tetap menggunakan cool pack berjumlah 4 buah misalnya dengan cara
membuat cool pack sendiri yang terbuat dari botol obat, namun hal tersebut tidak
dilakukan di mana petugas lebih memilih menggunakan cool pack kurang dari 4
buah atau menggunakan cool pack yang terbuat dari aqua gelas yang rawan pecah.
Penyebab lainnya adalah vaccine carrier yang memenuhi standart pada dasarnya
sudah tersedia di setiap puskemas namun tidak digunakan oleh petugas dengan
alasan terlalu rumit membawanya dan lebih mudah menggunakan thermos.
Permasalahan dalam penggunaan sarana imunisasi juga dapat disebabkan karena
pengepakan vaksin pada penelitian ini mayoritas dilakukan oleh bidan desa bukan
petugas koordinator imunisasi, hal tersebut menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
prosedur pengepakan dan penggunaan sarana imunisasi sebagai transportasi vaksin
menuju ke pelayanan imunisasi di posyandu. Pengadaan sarana imunisasi di
puskesmas tidak dapat menjamin peningkatan kualitas vaksin, jika pengetahuan dan
kesadaran petugas akan pentingnya penggunaan sarana yang sesuai standart dalam
pendistribusian vaksin masih kurang.
Hasil analisis uji statistik regresi logistik dengan metode Backward (wald)
untuk mengetahui pengaruh kualitas vaksin campak terhadap kejadian campak
didapatkan bahwa secara signifi kan terdapat pengaruh kualitas vaksin terhadap
kejadian campak di Kabupaten Pasuruan dengan nilai p-value < 0,05 yaitu 0,008,
nilai Exp (B) yaitu 0,514, dan 95%CI for Exp (B) yaitu 0,314–0,843. Berdasarkan
hasil tersebut dapat disimpulkan semakin baik kualitas vaksin campak atau terdapat
peningkatan satu skor penilaian kualitas vaksin campak pada suatu desa maka
kecenderungan untuk terjadi campak pada desa tersebut akan menurun 0,514 kali
yang berarti kualitas vaksin yang baik akan mencegah terjadinya kejadian campak
pada suatu desa.

32
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh antarakualitas vaksin campak dengan kejadian campak di Kabupaten
Pasuruan. Kualitas vaksin campak di Kabupaten Pasuruan tersebut dipengaruhi oleh
pelatihan, pengetahuan, dan ketersediaan sarana vaksin (vaksin dan pelarut, serta
vaccine carrier yang dilengkapi minimal 4 buah cool pack), namun pengaruh dari
variabel pelatihan dan ketersediaan sarana vaksin terhadap kualitas vaksin
berbanding terbalik.

6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan di antaranya
meningkatkan pengetahuan dan merubah persepsi bidan desa dengan pelatihan atau
sosialisasi internal dalam puskesmas secara rutin terutama terkait dengan pentingnya
penggunaan kulkas khusus vaksin, suhu penyimpanan vaksin yang tepat yaitu +2oC
s/d +8oC, memastikan asal pabrik vaksin dan pelarut, pemeriksaan ulang tanggal
kedaluwarsa dan kondisi VVM di tempat pelayanan sebelum dicampurkan,
menuliskan jam melarutkan vaksin agar dapat diketahui lama pemakaian vaksin,
serta mengembalikan dan menandai sisa vaksin yang masih utuh ke Puskesmas untuk
diolah oleh petugas koordinator imunisasi.
Saran kedua yaitu mewajibkan petugas menggunakan sarana prasarana sesuai
dengan SOP seperti vaccine carrier dengan jumlah cool pack minimal 4 buah, dan
menarik kembali sarana dan prasarana imunisasi yang sudah tidak layak digunakan
atau tidak sesuai dengan standart keamanan vaksin.
Saran ketiga yaitu pengepakan vaksin tidak boleh harus dilakukan oleh
koordinator imunisasi agar pengepakannya dapat sesuai dengan SOP

33
DAFTAR PUSTAKA

Ningtyas, Dwi Wahyu, dkk. 2015. Pengaruh Kualitas Viksin Campak Terhadap
Kejadian Ca, pak di Kabupaten Cirebon. Vol. 3, Nomor 3, September 2015,
Halaman 315-326 Dapertemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Dalam https://ejournal.unair.ac.id/ Diakses Pada Tanggal 15
Januari 2019 Pukul 15.24 WIB.

Nurani, Dian Sari, dkk. GambaranEpidemiologi Kasus Campak di Kota Cirebon


Tahun 2004-2011 (Studi Kasus Data Surveilans Epidemiologi Campak di
Dinas KesehatanKota Cirebon), Volume 1, No. 2, Tahun 2012, Halaman
239-304. Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat. Dalam
https://media.neliti.com/ ID-gambaran-epidemiologi-kasus- campak-di-
kota-cirebon-tahun-2004-2011-studi-kasus-d.pdf Diakses pada tanggal 15
Januari 2019 pukul 21.35 WIB

34

Anda mungkin juga menyukai