Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kmi ucapkan atas kehadirat Allah Swt yang mana telah
Melimpahkan rahnmat serta hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan
Makalah yang berjudul ”Aplikasi Terapeutik Pada Lansia” tepat pada
waktunya. Dan salawat serta salam juga selalu tercurahkan kepada nabi besar
Muhammab Saw yang Telah membawa kita dari alam kebodohan menuju
alam yang penuh dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang kita
rasakan pada saat sekarang ini.Dalam kesempatan ini kami ingin
mengucapkan rasa terima kasih kepada Semua pihak yang telah ikut
berpartisifasi dalam penyusunan makalah ini. Di dalam penyusunan makalah
ini kami menyadari masih banyak sekali kekurangan, untuk itu kritik dan
saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan semua sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah selanjutnya.Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi mahasiswa .Atas perhatiannya
kami ucapkan terima kasih.

Gorontalo, Januari 2018

Kelompok III
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………...........................................ii
DAFTAR ISI……………………………………………….............................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………......................…………………………1.1
1.2 Tujuan………………………….........…………………………………1.2
1.3 Manfaat ………………………..........................……………………1.3
BAB II TEORI
2.1 Pengertian Lanjut Usia……………………………………….......……2.1
2.2 Sekilas Komunikasi………………………………......................……2.2
2.3 Hambatan Komunikasi………………………....………….......……2.3
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………3.1
3.2. Saran…………………………………………………........……………3.2
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dengan meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk lanjut usia


berbagai masalah klinis pada pasien lanjut usia akan menjadi semakin
sering dijumpai di praktek klinis. Jumlah penduduk di Indonesia menurut
data Perserikatan Bangsa Bangsa, Indonesia diperkirakan mengalami
peningkatan jumlah warga lanjut usia yang tertinggi di dunia, yaitu 414 %,
hanya dalam waktu 35 tahun (1990-2025), sedangkan di tahun 2020
diperkirakan jumlah penduduk lanjut usia akan mencapai 25,5 juta.
Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, persentase jumlah
penduduk berusia lanjut tahun 1985 adalah 3,4 % dari total penduduk,
tahun 1990 meningkat menjadi 5,8 % dan di tahun 2000 mencapai 7,4 %,,
seperti terlihat pada tabel 1. (Czeresna, 2006). Dokter yang berpraktek
perlu memahami kebutuhan yang unik pada populasi pasien lanjut usia ini
sehingga mereka akan lebih siap berkomunikasi secara efektif selama
kunjungan pasien lanjut usia tersebut (Hingle & Sherry, 2009).

Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien


lanjut usia tidak hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi
juga tergantung dari perhatian terhadap keadaan sosial, ekonomi, kultural
dan psikologis pasien tersebut. Walaupun pelayanan kesehatan secara
medis pada pasien lanjut usia telah cukup baik tetapi mereka tetap
memerlukan komunikasi yang baik serta empati sebagai bagian penting
dalam penanganan persoalan kesehatan mereka. Komunikasi yang baik ini
akan sangat membantu dalam keterbatasan kapasitas fungsional, sosial,
ekonomi, perilaku emosi yang labil pada pasien lanjut usia (William et al.,
2007).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum

Perawat dapat memahami dan dapat menarapkan tentang aplikasi


komunikasi terapeutik pada lansia.

1.2.2 Tujuan khusus

Untuk mengetahui komunikasi pada Lansia (lanjut usia).


Untuk mengetahui konsep dasar keperawatan tentang komunikasi
terapeutik pada Lansia

1.3 Manfaat

Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


keterampilan kelompok dalam penerapan komunikasi terapeutik pada
lansia. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi semua pembaca tentang
komunikasi terapeutik pada lansia.
BAB II
TEORI
2.1 Pengertian

Pengertian Lanjut Usia (Lansia), kelompok lanjut usia adalah


kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan
Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi
(Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin
banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang
menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal
(Darmojo dan Martono, 1999;4). Penggolongan lansia menurut Depkes
dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok yakni : Kelompok lansia
dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia,
kelompok lansia (65 tahun ke atas), Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu
lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.

Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 katagori, yaitu :


Usia lanjut : 60 – 74 tahun
Usia tua : 75 -89 tahun
Usia sangat lanjut : lebih dari 90 tahun.
Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi pada Pasien lanjut usia
Komunikasi dengan pasien lanjut usia dapat menjadi lebih sulit
dibandingkan dengan komunikasi pada populasi biasa sebagai akibat dari
gangguan sensori yang terkait usia dan penurunan memori. Orang ketiga
juga dapat menjadi bagian dari interaksi, karena pasien lanjut usia
seringkali ditemani oleh anggota keluarga yang dicintai yang aktif terlibat
pada perawatan pasien dan berpartisipasi dalam kunjungan. Ada banyak
faktor lain yang mempengaruhi efektivitas komunikasi dengan pasien
lanjut usia. Pasien lanjut usia sering hadir dengan masalah yang kompleks
dan beberapa keluhan utama, yang memerlukan waktu untuk
menyelesaikannya. Untuk setiap dekade kehidupan setelah usia 40 tahun,
pasien kemungkinan mengalami satu penyakit kronik baru. Sehingga pada
usia 80 tahun, orang kemungkinan memiliki paling tidak 4 penyakit kronis
(Vieder et al., 2002). Faktor lain adalah bahwa pasien lanjut usia
umumnya lebih sedikit bertanya dan menunggu untuk ditanya sesuai
kewenangan dokter (Haug & Ory, 1987;Greene et al.,1989). Masalah usia
atau dikenal dengan istilah ageism juga merupakan hal yang lazim
dijumpai pada perawatan kesehatan dan secara tidak sengaja berperan
terhadap buruknya komunikasi dengan pasien lanjut usia (Ory et al.,
2003).

2.2 Sekilas Komunikasi


Komunikasi berguna untuk pertukaran informasi dan untuk membina
hubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain komunikasi merupakan
aspek dasar pada hubungan antar manusia dan merupakan sarana untuk
berhubungan dengan orang lain. Pada pasien lanjut usia berbagai bentuk dari
penyakit dan ketidakmampuan dapat berpengaruh terhadap proses komunikasi
dan perawatan kesehatannya, sehingga diperlukan cukup perhatian dan sikap
yang baik untuk proses komunikasi tersebut Sering kali terjadi bahwa baik
pihak keluarga maupun medis melupakan atau tidak memperhatikan berbagai
hambatan yang ada untuk tercapainya komunikasi yang efektif pada pasien
lanjut usia yang akhirnya dapat mengakibatkan interpretasi yang keliru
terhadap pesan yang disampaikan maupun yang diterima oleh mereka (Smith
& Buckwalter, 1993).
Komponen pada proses komunikasi
Pembicara : Orang yang menyampaikan pesan.
Pendengar : Orang yang menerima pesan.
Pesan nonverbal: Kesan yang ditangkap saat kata kata tersebut diucapkan
ekspresi wajah, tekanan suara, postur dan sikap tubuh dan pilihan kosa kata
yang digunakan.
Umpan Balik : Respon berupa tanggapan baik verbal maupun non verbal.
Konteks : Fisik dan lingkungan sosial atau pengaturan dalam pesan yang
dikirim.
Persepsi : Kemampuan untuk memilih, mengatur, dan menafsirkan informasi
indrawi menjadi dimengerti dan bermakna.
Evaluasi : Kemampuan untuk menganalisa informasi yang diterima,
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan masa lalu.
Transmisi : Ekspresi yang sebenarnya dari informasi dari pengirim kepada
penerima
(pesan lisan dan pesan nonverbal) (Smith & Buckwalter, 1993).
Teknik Umum untuk Berkomunikasi dengan Pasien lanjut usia
Menunjukkan Hormat dan Keprihatinan Komunikasi pasien yang baik
didasarkan pada respect atau hormat kepada pasien dan memahami serta
mengapresiasi setiap pasien sebagai sosok manusia yang unik. Untuk
menunjukkan rasa hormat, anda harus menghadapi pasien secara formal dan
menyapa dengan “Bapak” atau “Ibu”, kecuali pasien sebelumnya telah
meminta anda untuk memanggil dengan nama pertamanya, dan hindarkan
menggunakan istilah yang merendahkan seperti “manisku “sayangku”,
‘cintaku”. Berkomunikasi yang saling bertatap mata dengan duduk di kursi
dan langsung menatap pasien. Dengan melakukan hal ini, anda menunjukkan
perhatian sejati dan aktif mendengarkan, serta membantu pasien untuk
mendengar dan memahami anda secara lebih baik. Sentuhan lembut di
tangan, lengan, atau pundak pasien akan menyampaikan rasa turut prihatin
dan perhatian (Adelman et al., 2000). Memastikan bahwa Pasien Didengar
dan Dipahami Mempertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan
mendengarkan adalah kunci komunikasi efektif antara pasien lanjut usia dan
dokter (Adelman et al., 2000 ; Ory et al., 2003). Membiarkan pasien lanjut
usia untuk berbicara beberapa menit tentang masalahnya tanpa interupsi akan
memberikan lebih banyak informasi daripada riwayat pendukung yang
terstruktur cepat. Merasa sedang diburu-buru akan menyebabkan mereka
merasa bahwa mereka sedang Tidak didengarkan atau dipahami (Adelman et
al., 2000). Penelitian menunjukkan bahwa pasien lanjut usia dan dokter sering
tidak sepaham tentang tujuan dan masalah medis yang dihadapi. Komunikasi
yang buruk dapat mengganggu pertukaran informasi serta menurunkan
kepuasan pasien (Greene et al., 1989). Pada umumnya, anda harus berbicara
pelan, jelas, dan keras tanpa berteriak, menggunakan bahasa dan kalimat yang
singkat dan sederhana. Karena pasien lanjut usia umumnya lebih sedikit
bertanya dan menunggu untuk ditanya sesuai kewenangan dokter, khususnya
penting untuk sering merangkum dan memancing pertanyaan (Adelman et al.,
2000;Robinson et al., 2006) Strategi Umum Tambahan untuk Memperbaiki
Komunikasi dengan Pasien Lanjut Usia Menggabungkan data pendahuluan
sebelum perjanjian untuk bertemu, karena pasien pasien lanjut usia khas
memiliki berbagai masalah kesehatan yang kompleks. Meminta pasien
menceritakan keluhannya hanya sekali (yaitu tidak bercerita dulu kepada
perawat atau asisten kemudian baru kepada anda) untuk meminimalkan
frustasi dan kelelahan pasien:

 Menghindarkan jargon medis.


 Menyederhanakan dan menuliskan instruksi.
 Menggunakan diagram, model, dan gambar.
 Menjadwalkan pasien lanjut usia terlebih dahulu, karena mereka
umumnya lebih siap dari segi waktu dan secara klinis cenderung
kurang sibuk.
Salah satu hal terpenting yang harus diingat ketika berkomunikasi
dengan pasien lanjut usia adalah menghindarkan ageism. Ageism, suatu
istilah yang pertama disampaikan oleh Robert Butler, direktur pertama the
National Institute on Aging, adalah systematic stereotyping dan
diskriminasi terhadap seseorang karena mereka berusia lanjut (Butler,
1969). Ageism adalah hal yang lazim pada perawatan kesehatan dan dapat
direfleksikan dalam tindakan seperti meremehkan masalah medis,
menggunakan bahasa yang bersifat merendahkan, hanya memberikan
sedikit edukasi tentang regimen preventif, menawarkan sedikit pengobatan
untukmasalah kesehatan mental, menggunakan panggilan yang bernada
menghina, menghabiskan lebih sedikit masalah psikososial, dan membuat
stereotype orang tua (Ory et al., 2003). Untuk menghindarkan ageism,
mulailah mengenal pasien lanjut usia sebagai satu pribadi dengan riwayat
dan penyelesaian yang jelas. Pendekatan ini memungkinkan anda untuk
menemui setiap pasien lanjut usia sebagai individu yang unik dengan
pengalaman seumur hidup yang berharga bukan orang tua yang tidak
produktif dan lemah (Roter, 2000). Juga penting untuk tidak
mengasumsikan bahwa semua pasien lanjut usia adalah sama. Bisa saja
dijumpai “orang berjiwa muda” dengan usia 85 tahun serta “orang berjiwa
tua” dengan usia 60 tahun. Setiap pasien dan setiap masalah harus
diperlakukan dengan unik.

Mengenal Kultur dan Budaya


Mengenal latar belakang kultur dan budaya pasien untuk kemudian
mengaplikasikannya dalam komunikasi dokter-pasien lanjut usia juga
merupakan hal penting dalam mempengaruhi persepsi pasien terhadap
baik dan berkualitasnya pelayanan kesehatan yang diberikan dokter (Ong
et al., 1995).Tips untuk Komunikasi yang Efektif dengan Pasien lanjut
usia.

Strategi Umum
Persiapkan lingkungan ruang pemeriksaan, memperbanyak
penerangan dan menurunkan kebisingan (mempertimbangkan
kemungkinan berkurangnya penglihatan dan pendengaran) Memanggil
pasien dan anggota keluarga dengan sebutan “Bapak” atau “Ibu” dan
menghindarkan sebutan “manis”, “sayang”, atau “cintaku” Bicaralah
dengan pelan, jelas, tanpa berteriak, menggunakan nada yang kalem dan
ekspresi yang menyenangkan.
Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan, lengan, atau
bahu. Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa, membiarkan pasien
selama beberapa menit untuk mengekspresikan masalahnya jika mampu
Memastikan bahwa agenda pasienlah yang anda hadap iMeminta pasien lanjut
usia untuk mengulang kembali setiap instruksi yang penting Memberikan
instruksi tertulis paling tidak dengan huruf berukuran 14. Ingatlah pentingnya
masalah psikososial ketika merawat pasien lanjut usia

Gangguan Kognitif Pasien


Jangan mengabaikan pasien. Bertanyalah dengan pertanyaan
sederhana yang hanya memerlukan jawaban “ya” atau “tidak” dan bahasa
tubuh sederhana. Ketika melakukan pemeriksaan, berikan instruksi satu
persatu. Pertemuan dengan Keterlibatan Pihak Ketiga. Persiapkan
lingkungan ruang pemeriksaan dengan 3 kursi dalam bentuk segitiga. Pada
mulanya berikan pertanyaan kepada pasien, kemudian mintalah masukan
dari pendamping pasien. Mintalah pasien dan pendamping pasien untuk
mengulang kembali setiap instruksi yang penting.

Pendekatan untuk Berkomunikasi


Ketika berkomunikasi dengan pasien lanjut usia dengan
pendengaran yang berkurang, tataplah pasien sehingga pasien dapat
membaca bibir dan menggunakan isyarat mata. Meminimalkan
kebisingan, dan berbicara pelan, jelas, dan dalam nada yang normal.
Berteriak akan menghambat komunikasi, mengubah nada berfrekuensi
tinggi, dan mempersulit pasien untuk memahami kata-kata anda. Jika
suara anda melengking, meredam lengkingan ketika anda berbicara dapat
membantu pasien untuk mendengar anda dengan lebih baik. Ketika
memberikan instruksi untuk medikasi, tes, atau pengobatan, hindarkan
untuk bertanya kepada pasien apakah dia mengerti. Orang dengan
gangguan pendengaran mungkin akan menjawab “ya” tanpa menyadari
bahwa mereka belum mendengar apapun atau salah memahami beberapa
informasi. Pendekatan yang lebih baik untuk mengecek pemahaman
pasien adalah dengan meminta pasien untuk mengulang instruksi
(Adelman et al., 2000). Akhirnya, karena pendengaran memburuk
dikemudian hari, appointment yang lebih awal umumnya lebih baik (Veras
& Mattos, 2007). Jika tersedia, pengeras suara (alat portable yang
memperkuat suara dokter dan memancarkannya ke headphones yang
dipakai oleh pasien) diketahui sangat memudahkan komunikasi dengan
pasien yang mengalami gangguan pendengaran (Fook & Morgan, 2000).
Ketika berkomunikasi dengan pasien dengan gangguan penglihatan,
lingkungan klinik dapat diperbaiki dengan memperbanyak pencahayaan,
menggunakan warna-warna kontras untuk membuat objek lebih jelas (mis.
kerangka pintu, kursi yang berada dilantai klinik), dan menggunakan huruf
yang besar serta berwarna kontras untuk setiap tanda. Setiap bahan dengan
tulisan harus dicetak paling tidak dengan huruf berukuran 14 diatas kertas
berwarna. Direkomendasikan untuk menggunakan dua sumber cahaya,
pencahayaan untuk latar belakang dan lampu tertutup (Roter, 2000).
Ketika membahas rencana pengobatan, ingatlah masalah keamanan
potensial yaitu gangguan penglihatan. Sebagai contoh, pasien lanjut usia
kadang-kadang akan meletakkan obatnya dalam satu wadah dan
tergantung pada satu warna untuk mengenalinya. Ini dapat menjadi
masalah keamanan, karena banyak obat yang berwarna putih, biru muda,
hijau muda, yang akan terlihat berwarna abu-abu oleh mata yang telah
menua. Warna merah, oranye, dan kuning paling baik dilihat dan dapat
digabungkan kedalam perawatan. Pada contoh lain, pasien yang
mengalami kesulitan memastikan dosis insulin dapat diinstruksikan untuk
ditempatkan pada warna merah diatas meja, yang akan mempermudahnya
untuk melihat jarum dan vial. Kertas kontak berwarna merah dapat
dibalutkan pada pegangan untuk berjalan, tongkat atau tabung oksigen
untuk membantu pasien lanjut usia untuk mengambilnya (Adelman et al.,
2000).
2.3 Hambatan Komunikasi
Pasien dengan Defisit Sensorik Beberapa pasien menunjukkan
defisit pendengaran dan penglihatan yang terkait dengan usia,
keduanya memerlukan adaptasi dalam berkomunikasi. Penelitian
mengindikasikan bahwa 16% – 24% individu berusia lebih dari 65
tahun mengalami pengurangan pendengaran yang mempengaruhi
komunikasi (Crews & Campbell, 2004 ; Mitchell, 2006). Bagi
mereka yang berusia diatas 80 tahun, jumlah gangguan sensorik
meningkat menjadi lebih dari 60% (Chia et al., 2006).
Aging/penuaan mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran
yang dikenal sebagai presbyacussis, yang terutama berkenaan
dengan suara berfrekuensi tinggi. Suara berfrekuensi tinggi adalah
suara konsonan yang berdampak pada pemahaman pasien diawal
dan akhir kata. Sebagai contoh, jika anda berkata “Take the pill in
the morning (Minumlah pil dipagi hari)”, pasien akan mendengar
vokal dalam kata tetapi pasien dapat berpikir anda berkata “Rake
the hill in the morning (Dakilah bukit dipagi hari)” (Fook &
Morgan, 2000 ; Ross et al., 2007). Gangguan visual yang
berhubungan dengan usia meliputi reduksi diameter pupil; lensa
mata menguning, yang mempersulit untuk membedakan warna
dengan panjang gelombang pendek seperti lavender, biru, dan
hijau; dan menurunkan elastisitas ciliary muscles, yang
mengakibatkan penurunan akomodasi ketika bahan cetakan
dipegang diberbagai jarak. Kebanyakan pasien lanjut usia
mengalami penyakit mata yang menurunkan ketajaman penglihatan
(mis. katarak, degenerasi macular, glaucoma, komplikasi ocular
pada diabetes). Lebih dari 15% orang tua berusia lebih dari 70
tahun melaporkan penglihatannya yang buruk, dan 22% lagi
melaporkan penglihatannya hanya cukup untuk jarak tertentu
(Crews & Campbell, 2004). Bagi mereka yang berusia diatas
usia80tahun, 30% melaporkan penglihatannya yang terganggu
(Chia et al., 2006).

Pasien dengan Demensia


Amerika Serikat pada tahun 2008 diprediksi memiliki lebih kurang
5,2 juta penduduk berusia lanjut yang diantaranya menderita beberapa
bentuk demensia, dan jumlahnya diprediksi akan meningkat dua kali lipat
pada 30 tahun yang akan datang (Hingle & Sherry, 2009). Sebagai
akibatnya, dokter dapat berharap untuk menemui lebih banyak pasien
demensia dan pasien tersebut datang berkunjung ke dokter ditemani oleh
anggota keluarga atau perawat nonformal lain (Vieder et al.,2002). (istilah
caregiver digunakan dari point ini untuk merujuk pada setiap orang yang
menemani kunjungan yang merupakan informal caregiver). Penilaian dan
pengobatan pasien lanjut usia dengan demensia juga akan sangat
membantu bila melibatkan caregiver (Roter, 2000). Ada banyak tingkatan
demensia, yang memiliki berbagai kesulitan komunikasi. Pasien pada
stadium awal sering mengalami masalah untuk menemukan kata yang
ingin disampaikan, pasien banyak menggunakan kata-kata yang tidak
memiliki makna, seperti “hal ini”, “sesuatu”, dan “anda tahu”. Pada
demensia parah, pasien dapat menggunakan jargon yang tidak dapat
dipahami atau bisa hanya berdiam diri (Orange & Ryan, 2000). Demensia
memiliki efek yang merugikan pada penerimaan dan ekspresi komunikasi
pasien. Sebagian besar pasien mengalami kehilangan memori dan
mengalami kesulitan mengingat kejadian yang baru terjadi. Sebagian
pasien demensia memiliki rentang konsentrasi yang sangat singkat dan
sulit untuk tetap berada dalam satu topik tertentu (Miller, 2008)

Pasien yang Ditemani oleh Caregiver


Karakteristik utama kunjungan poliklinik geriatri adalah adanya
orang ketiga, dengan seorang anggota keluarga atau caregiver informal
lainnya yang hadir sedikitnya pada sepertiga kunjungan geriatrik (Roter,
2000). Meskipun caregiver dapat mengasumsikan berbagai peran,
termasuk pendukung, peserta pasif, atau antagonis, pada sebagian besar
kasus, caregiver menempatkan kesehatan orang yang mereka cintai
sebagai prioritasnya. Caregiver sangat penting untuk sistem perawatan
kesehatan lanjut usia. Mereka tidak hanya membantu dengan nutrisi,
aktivitas kehidupan sehari-hari, tugas rumah tangga, pemberian obat,
transportasi, dan perawatan lain untuk pasien lanjut usia, caregiver
membantu memudahkan komunikasi antara dokter dan pasien serta
mempertinggi keterlibatan pasien dalam perawatan mereka sendiri
(Clayman et al., 2005 ; Wolff & Roter, 2008). Juga merupakan hal penting
untuk memperlakukan pasien lanjut usia dalam konteks atau sudut
pandang caregiver-nya agar didapatkan hasil terbaik bagi keduanya
(Griffith et al., 2004).
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Teknik komunikasi yang baik akan memperbaiki outcome pasien lanjut


usia dan caregiver-nya. Bukti mengindikasikan bahwa outcome perawatan
kesehatan untuk orang tuatidak hanya tergantung pada perawatan
kebutuhan biomedis tetapi juga tergantung pada hubungan perawatan yang
diciptakan melalui komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang
efektif antara dokter – pasien lanjut usia :
– Pasien dan keluarganya dapat menceritakan gejala dan masalahnya, yang
akan memungkinkan dokter untuk membuat diagnosis yang lebih akurat.
– Instruksi dan saran dokter akan lebih mungkin untuk ditaati.
– Kemungkinkan untuk melewatkan dosis atau menghentikan obat karena
efek samping, merasakan non efikasi, atau biaya obat dapat diminimalisir.
– Lebih memungkinkan untuk edukasi dalam memanajemen diri sendiri
seperti pada pasien diabetes dengan diet, olah raga, monitoring gula darah,
dan perawatan kaki.
– Penurunan biaya tes diagnostik juga dihubungkan dengan komunikasi
yang lebih baik antara dokter dan pasien lanjut usia.

3.2 SARAN
Bagi perawat harus memahami tentang aplikasi terapeutik pada
lansia agar pemeriksaan pasien lansia di rumah sakit berjalan dengan
lancar dan Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
sangat banyak sekali kesahalan. besar harapan kami kepada para pembaca
untuk bisa memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar
makalah ini menjadi lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKAAN

Adelman, R.D., Greene, M.G., Ory, M.G. 2000. Communication between


older patients their physicians. Clin Geriatr Med ;16:1–24
Brunner & Suddarth.2001.Keperawatan Medikal-Bedah edisi 8 volume
1.Jakarta : EGC Setyohadi. I. Alwi., M. Simadibrata.,S. Setiati (editor):
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi IV, hal. 1425 – 1430.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, JakartaMajerovitz, S.D., Greene, M.G.,
Adelman, R.D., Rizzo, C. 1994. The effects of the presence of a third
person on the physician-older patient medical interview. J AmGeriatr
Soc;42:413–9.
Stewart, M., Meredith, L., Brown, J.B., Galajda. J. 2000. The influence of
older patientphysician communication on health and health-related
outcomes. Clin Geriatr Med ; 16(1) : 25-36 William, S.L., Haskard, K.B.,
Dimatteo, M.R. 2007. The therapeutic effects of thephysician-older patient
relationship: effective communication with vulnerable olderpatients. Clin
Interv Aging 2(3) : 453-67

Anda mungkin juga menyukai