Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas sejarah yang berjudul ”Terbentuknya Jaringan
Nusantara Melalui Perdagangan” dengan baik.
Dalam kesempatan ini pula saya menyampaikan rasa bahagia dan ucapan rasa terima kasih
kepada :
1. Orang tua yang telah membiayai dan memfasilitasi saya untuk mengerjakandan
menyelesaikan tugas ini.
2. Ibu Dra. Hj. Wahyoe Daryati, Mpd, Selaku Guru Pembimbing atau Guru Mata
pelajaran Sejarah Indonesia yang telah memberi saya tugas ini.
3. Rekan-rekan yang selalu memberi motifasi dan dukungan baik secara Moril maupun
secara Materil.
4. Rekan-rekan yang turut membantu dalam pembuatan karya ilmiah ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan
tugas yang akan datang.
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I . PENDAHULUAN
A. Mengupas Masalah
A. Kesimpulan
B. Pesan Dan Kesan
DAFTAR PUSTAKA
PENUTUP
Latar Belakang
Di dalam bagian ini, Anda dapat menjelaskan bagaimana proses terbentuknya jaringan
nusantara melalui jalur perdagangan beserta sejarah-sejarah yang melengkapinyaTujuan
Penulisan
Tujuan Penulisan
Disini Kami dapat mengemukakan alasan mengapa terbentuknya jaringan nusantara melalui
jalur perdagangan sebagai topik dari makalah Kami.
BAB II . PEMBAHASAN MASALAH
A. Mengupas Masalah
Jaringan perdagangan dan pelayaran dimulai dimulai sejak abad pertama Masehi.
Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India sehingga agama Hindu
masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi kawasan tengah yang
dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina. Jalur perdagangan tersebut yang
dikenal dengan nama Jalur Sutra Laut (Jalan Sutera lama/kuno via darat). Jalur perniagaan dan
pelayaran tersebut melalui laut,yangdimulai dari Cina melalui Laut Cina Selatan kemudian Selat Mala
ka, Calicut: sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke
Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.
Indonesia, melaui selat Malaka, terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-
rempah (komoditas utama), seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan
jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara.
Posisi Indonesia yang strategis dan hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan
Indonesia mampu menjadi salah satu pusat dan salah satu pusat perdagangan yang penting di jalur
dagang antara Asia Timur-Asia Barat (Timur Tengah dan semenajung Arab), dengan Selat Malaka
yang menjadi pusat-pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.
Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang
telah mampu menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera)
dan Kerajaan Majapahit (Jawa).
Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut mendominasi bahkan memonopoli
jaringanperdagangandiSelatMalaka.Perludiketahui,bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis b
aik secara geografis,iklim/cuaca,maupun secara politis dan ekonomi.
Itu sebabnya Selat Malaka merupakan “kunci” penting.
Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di
Nusantara bahkan jaringan dagang internasonal Asia di dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-
Budha tersebut dalam periode yang berbeda.
Sekitar abad ke-15 (setelah Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan pelayaran di
Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan Tuban dan Gresik (di
pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito dan distribusi penting,
yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal Indonesia Timur (Maluku). Bahkan,
Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di Pulau Jawa. Perkembangan perdagangan dan
pelayaran di perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru
seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya.
Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, jalur perdagangan di asia
Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar, yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka.
Jalur perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan
pelayaran antar pulau di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para
pedagang yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan
bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke Malaka,
dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan
sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang berasal dari luar (pedagang-
pedagang Asia). Berkat komoditas “beras” dan letak strategis antara Maluku dan Malaka,
Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan di dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara.
Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang
kemudian akan memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara.
Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang
akan mengambil peran penting di dalam perdagangan di Jawa dan Nusantara.
Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses
integrasi perdagangan dunia yang melalui jalur laut tersebut. Mereka menjadi lebih terbuka secara
sosial ekonomi untuk menjalin hubungan niaga dengan pedagangpedagang asing yang melewati
jalur itu. Di samping itu, masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh-pengaruh
budaya luar. Kebudayaan India dan Cina ketika itu jelas sangat berpengaruh terhadap masyarakat di
sekitar Selat Malaka. Bahkan sampai saat ini pengaruh budaya terutama India masih dapat kita
jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka.
Disamping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan perdagangan dunia
internasional, jaringan perdagangan antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga
berkembang pesat selama masa Hindhu-Buddha. Jaringan dagang dan jaringan budaya
antarkepulauan di Indonesia itu terutama terhubungkan oleh jaringan laut Jawa hingga kepulauan
Maluku. Mereka secara tidak langsung juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang
berpusat di sekitar selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra seperti Barus. Komoditas
penting yang menjadi barang perdagangan pada saat itu adalah rempah-rempah, seperti kayu manis,
cengkih, dan pala.
Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang memiliki kekuatan integrasi
secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan
Majapahit. Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya adalah kemampuan kerajaan-kerajaan
tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah control
politik secara longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan-kesatuan
politik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian
antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk. Kerajaan utama yang disebutkan di atas
berkembang dalam periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka mampu mengontrol sejumlah
wilayah Nusantara melalui berbagai bentuk media. Selain dengan kekuatan dagang, politik, juga
kekuatan budayanya, termasuk bahasa. Interelasi antara aspek-aspek kekuatan tersebut yang
membuat mereka berhasil mengintegrasikan Nusantara dalam pelukan kekuasaannya. Kerajaan-
kerajaan tersebut berkembang menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi pusat-pusat
kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara.
Hubungan pusat dan daerah hanya dapat berlangsung dalam bentuk hubungan hak dan
kewajiban yang saling menguntungkan (mutual benefit). Keuntungan yang diperoleh dari pusat
kekuasaan antara lain, berupa pengakuan simbolik seperti kesetiaan dan pembayaran upeti berupa
barang-barang yang digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang dapat
diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya kerajaan-kerajaan kecil
memperoleh perlindungan dan rasa aman, sekaligus kebanggaan atas hubungan tersebut.Jika pusat
kekuasaan sudah tidak memiliki kemampuan dalam mengontrol dan melindungi daerah
bawahannya, maka sering terjadi pembangkangan dan sejak itu kerajaan besar terancam
disintegrasi. Kerajaankerajaan kecil lalu melepaskan diri dari ikatan politik dengan kerajaan-kerajaan
besar lama dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain yang memiliki kemampuan mengontrol dan
lebih bisa melindungi kepentingan mereka. Sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha ditandai oleh
proses integrasi dan disintegrasi semacam itu. Namun secara keseluruhan proses integrasi yang
lambat laun itu kian mantap dan kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai negeri
kepulauan yang dipersatukan oleh kekuatan politik dan perdagangan.
A. Kesimpulan
Sejak semula tampak bahwa letak geografis Nusantara (yang kemudian menjadi
Indonesia) memainkan pera utama sejak zaman praaksara. Faktor geografis ini tampaknya
merupakan faktor permanen dalam Hindu-Budha, ketika jalur utama dalam pelayaran
samudra semakin pesat dan mengintegrasikan daerah antarpulau. Kondisi demikian diduung
dengan keterlibatan nenek moyang kita secara aktif dalam perdagangan laut, dan mengarungi
lautan. Ini pada gilirannya telah menumbuhkan kekuatan ekonomi dan politik yang besar di
Nusantara sehingga mampu mengintegrasikan wilayah-wilayah di Nusantara terutama era
Kerajaan Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit.
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam tugas ini , tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul tugas
ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya tugas ini dan penulisan tugas di
kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga tugas ini berguna para pembaca yang budiman pada umumnya.”AMIN”.