Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas sejarah yang berjudul ”Terbentuknya Jaringan
Nusantara Melalui Perdagangan” dengan baik.

Dalam kesempatan ini pula saya menyampaikan rasa bahagia dan ucapan rasa terima kasih
kepada :

1. Orang tua yang telah membiayai dan memfasilitasi saya untuk mengerjakandan
menyelesaikan tugas ini.
2. Ibu Dra. Hj. Wahyoe Daryati, Mpd, Selaku Guru Pembimbing atau Guru Mata
pelajaran Sejarah Indonesia yang telah memberi saya tugas ini.
3. Rekan-rekan yang selalu memberi motifasi dan dukungan baik secara Moril maupun
secara Materil.
4. Rekan-rekan yang turut membantu dalam pembuatan karya ilmiah ini.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan
tugas yang akan datang.

Surakarta ,11 Februari 2015

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I . PENDAHULUAN

BAB II . PEMBAHASAN MASALAH

A. Mengupas Masalah

BAB III . PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Pesan Dan Kesan

DAFTAR PUSTAKA

PENUTUP

 Latar Belakang

Di dalam bagian ini, Anda dapat menjelaskan bagaimana proses terbentuknya jaringan
nusantara melalui jalur perdagangan beserta sejarah-sejarah yang melengkapinyaTujuan
Penulisan

 Tujuan Penulisan

Disini Kami dapat mengemukakan alasan mengapa terbentuknya jaringan nusantara melalui
jalur perdagangan sebagai topik dari makalah Kami.
BAB II . PEMBAHASAN MASALAH

A. Mengupas Masalah

Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Jalur Perdagangan

Jaringan perdagangan dan pelayaran dimulai dimulai sejak abad pertama Masehi.
Bahkan pada abad ke-2, Indonesia telah menjalin hubungan dengan India sehingga agama Hindu
masuk dan berkembang. Sejak abad ke-5, Indonesia telah menjadi kawasan tengah yang
dilintasi jalur perdagangan laut antara India dan Cina. Jalur perdagangan tersebut yang
dikenal dengan nama Jalur Sutra Laut (Jalan Sutera lama/kuno via darat). Jalur perniagaan dan
pelayaran tersebut melalui laut,yangdimulai dari Cina melalui Laut Cina Selatan kemudian Selat Mala
ka, Calicut: sekarang Kalkuta (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke
Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.
Indonesia, melaui selat Malaka, terlibat dalam perdagangan dengan modal utama rempah-
rempah (komoditas utama), seperti lada dari Sumatera, cengkeh dan pala dari Indonesia Timur, dan
jenis kayu-kayuan dari Nusa Tenggara.
Posisi Indonesia yang strategis dan hasil sumber daya alam yang berlimpah menyebabkan
Indonesia mampu menjadi salah satu pusat dan salah satu pusat perdagangan yang penting di jalur
dagang antara Asia Timur-Asia Barat (Timur Tengah dan semenajung Arab), dengan Selat Malaka
yang menjadi pusat-pusat dagang atau pelabuhan-pelabuhan dagangnya.
Sekitar abad ke-7 hingga abad ke-14, ada dua kerajaan besar yang
telah mampu menguasai perairan atau perniagaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sriwijaya (Sumatera)
dan Kerajaan Majapahit (Jawa).
Keberhasilan ini karena kemampuan kedua kerajaan tersebut mendominasi bahkan memonopoli
jaringanperdagangandiSelatMalaka.Perludiketahui,bahwa Selat Malaka mempunyai posisi strategis b
aik secara geografis,iklim/cuaca,maupun secara politis dan ekonomi.
Itu sebabnya Selat Malaka merupakan “kunci” penting.
Dengan demikian, perdagangan dan pelayaran di
Nusantara bahkan jaringan dagang internasonal Asia di dominasi oleh dua Kerajaan bercorak Hindu-
Budha tersebut dalam periode yang berbeda.

Sekitar abad ke-15 (setelah Majapahit runtuh), telah muncul kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam di Nusantara, dan yang juga akan melanjutkan tradisi perdagangan dan pelayaran di
Nusantara. Walaupun Majapahit runtuh, namun pelabuhan-pelabuhan Tuban dan Gresik (di
pesisir utara Jawa) tetap berperan sebagai bandar transito dan distribusi penting,
yaitu sebagai gudang sekaligus penyalur rempah-rempah asal Indonesia Timur (Maluku). Bahkan,
Tuban berkembang menjadi bandar terbesar di Pulau Jawa. Perkembangan perdagangan dan
pelayaran di perairan Jawa tersebut memacu munculnya pelabuhan-pelabuhan baru
seperti pelabuhan Banten, Jepara dan Surabaya.

Pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16, jalur perdagangan di asia
Tenggara diwarnai oleh dua jalur besar, yaitu jalur Cina-Malaka dan jalur Maluku-Malaka.
Jalur perdagangan antara Maluku-Malaka mendorong terjadinya perdagangan dan
pelayaran antar pulau di Indonesia. Jalur Maluku-Malaka ramai karena banyaknya para
pedagang yang hilir-mudik. Orang-orang Jawa misalnya, ke Maluku membawa beras dan
bahan makanan yang lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Mereka ke Malaka,
dengan ditambah beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan
sebaliknya dari arah Malaka membawa barang-barang dagangan yang berasal dari luar (pedagang-
pedagang Asia). Berkat komoditas “beras” dan letak strategis antara Maluku dan Malaka,
Jawa menjadi kekuatan yang diperhitungkan di dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara.
Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa yang
kemudian akan memainkan peranan penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara.
Terutama keberadaan pelabuhan atau bandar dagang Banten, yang
akan mengambil peran penting di dalam perdagangan di Jawa dan Nusantara.

Pusat Perdagangan serta Jalur Pelayaran Sebelum Jatuhnya Malaka


Sebelum bangsa Barat masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia
telah menguasai perdagangan dan pelayaran Nusantara. Perdagangan dan
pelayaran saat itu bersifat antar pulau, yakni antara Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
pulau-pulau di bagian timur, terutama Maluku. Perdagangan dan pelayaran yang
berkembang sebelum masuknya bangsa Barat ke Asia Tenggara maupun ke Indonesia
itu telah membentuk pusat-pusat kekuasaan.
Disamping Malaka sebagai pusat perdagangan dan juga pusat kekuasaan,
maka terbentuk pula pusat-pusat kekuasaan lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Banten, Ternate, dan Tidore, yang juga merupakan pusat-pusat kekuasaan yang
bercorak Islam di Nusantara. Di Indonesia Timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan
Tidore.
Barang dagangannya adalah cengkih,sedangkan kayu cendana diperoleh dari pulau-
pulau sekitarnya.Di bagian Barat Indonesia, bandar-bandar yang penting seperti Pasai/Aceh,
Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten, dan Sunda Kelapa. Pelabuhan-
pelabuhan tersebut kebanyakan mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan di
pantai Barat Sumatera juga menghasilkan barang dagangan lain seperti kapur barus,
kemenyan, sutera, madu, dan damar.

Pusat Perdagangan serta Jalur Pelayaran Setelah Jatuhnya Malaka


Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), pedagang-pedagang Islam
memindahkan kegiatannya ke pelabuhan-pelabuhan lain. Dengan jalan demikian,
mereka tetap dapat melanjutkan usaha perdagangannya secara aman. Sehingga,
penyaluran komoditas ekspor (rempah-rempah) dari daerah Indonesia ke
daerah Laut Merah tatap dapat dikuasai.
Pusat-pusat perdagangan dan kekuasaan yang
sebelum Malaka jatuh sudah ada kemudian menjadi berkembang pesat. Pusat-
pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis tahun 1511 antara lain, Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar,
Ternate dan Tidore.
Pedagang-pedagang Islam yang konflik dengan pedagang-
pedagang Portugis menyingkir ke Aceh, Banten, dan Makasar.
Mereka tetap melakukan perdagangan dan pelayaran dengan pedagang-pedagang luar.
Karena jalur melalui Selat Malaka sudah dikuasai Portugis,
maka mereka membuka jalur perdagangan baru melalui sepanjang Pantai Barat Sumatera.
Pedagang-pedagang Islam berangkat dari bandar Banten lalu masuk selat Sunda
terus berlayar ke luar melalui pantai barat Sumatera. Sebaliknya,
Banten juga didatangi pedagang-pedagang dari luar seperti Gujarat, Persia, Cina, Turki,
Myanmar Selatan, dan Keling.
Kapal-kapal yang berasal dari Banten ataupun ke Banten banyak juga yang singgah ke
Aceh. Sementara itu, pedagang-pedagang Islam dari Malaka juga banyak yang
mengalihkan kegiatannya ke Aceh sebagai akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Sehingga Aceh juga berkembang menjadi pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam.
Sedangkan di bagian Timur, ada dua pusat perdagangan dan kekuasaan Islam yang penting,
yakni Ternate dan Tidore.
Pada akhir abad ke-15 tata jaringan pelayaran dan perdagangannya dapat dilihat pada peta
berikut. Keterangan:
I.Malaka
II.Samudera Pasai
III.Banten
IV.Demak
V.Banjar
VI.Makassar
VII.Ternate & Tidore.
Sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, pusat-pusat perdagangan dan tata
jaringan perdagangan dan pelayaran Nusantara.
Pusat-pusat perdagangan dan tata jaringan perdagangan dan pelayaran Nusantara sesudah
jatuhnya Malaka. Keterangan:
I.Samudera Pasai
II.Banten
III.Demak
IV:Banjar
V:Makassar
VI:Ternate & Tidore.
Pusat-pusat integrasi Nusantara berlangsung melalui penguasaan laut. Pusat-pusat integrasi
itu selanjutnya ditentukan oleh keahlian dan kepedulian terhadap laut, sehingga terjadi
perkembangan baru, setidaknya dalam dua hal, yaitu pertumbuhan jalur perdagangan yang
melewati lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai, kemampuan mengendalikan (kontrol) politik dan
militer para penguasa tradisional (raja-raja) dalam menguasai jalurutama dan pusat-pusat
perdagangan di Nusantara. Jadi, prasyarat untuk dapat menguasai jalur dan pusat perdagangan
ditentukan oleh dua hal penting yaitu perhatian atau cara pandang dan kemampuan menguasai
lautan.

Jalur-jalur perdagangan yang berkembang di Nusantara sangat ditentukan oleh kepentingan


ekonomi pada saat itu dan perkembangan rute perdagangan dalam setiap masa yang berbeda-beda.
Jika pada masa praaksara hegemoni budaya dominan dating dari pendukung budaya Austronesia
dari Asia Tenggara Daratan.

Pada masa perkembangan Hindhu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban


besar, yaitu Cina di utara dan India di bagian barat daya. Keduanya merupakan dua kekuatan super
power pada masanya dan pengaruhnya amat besar terhadap penduduk di Kepulauan Indonesia.
Bagaimanapun, peralihan rute perdagangan dunia ini telah membawa berkah tersendiri bagi
masyarakat dan suku bangsa di Nusantara. Mereka secara langsung terintegrasikan ke dalam jalinan
perdagangan dunia pada masa itu. Selat Malaka menjadi penting sebagai pintu gerbang yang
menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India. Pada masa itu
Selat Malaka merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang
melintasi bandarbandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia. Selat itu merupakan
jalan laut yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat laut Nusantara, dan dengan Cina di
sebelah timur laut Nusantara. Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan
nama “jalur sutra”. Penamaan ini digunakan sejak abad ke-1 hingga ke-16 M, dengan komoditas kain
sutera yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya rute pelayaran ini
mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka,
dan Kota Cina (Sumatra Utara sekarang).

Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses
integrasi perdagangan dunia yang melalui jalur laut tersebut. Mereka menjadi lebih terbuka secara
sosial ekonomi untuk menjalin hubungan niaga dengan pedagangpedagang asing yang melewati
jalur itu. Di samping itu, masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh-pengaruh
budaya luar. Kebudayaan India dan Cina ketika itu jelas sangat berpengaruh terhadap masyarakat di
sekitar Selat Malaka. Bahkan sampai saat ini pengaruh budaya terutama India masih dapat kita
jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka.

Disamping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan perdagangan dunia
internasional, jaringan perdagangan antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga
berkembang pesat selama masa Hindhu-Buddha. Jaringan dagang dan jaringan budaya
antarkepulauan di Indonesia itu terutama terhubungkan oleh jaringan laut Jawa hingga kepulauan
Maluku. Mereka secara tidak langsung juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang
berpusat di sekitar selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra seperti Barus. Komoditas
penting yang menjadi barang perdagangan pada saat itu adalah rempah-rempah, seperti kayu manis,
cengkih, dan pala.

Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau telah melahirkan kekuatan


politik baru di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra abad ke-7, seperti ditunjukkan oleh D.G.E.
Hall, bersumber dari catatan pengunjung Cina yang datang ke Sumatra. Dua negara di Sumatra
disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di Jambi sekarang di muara Sungai
Batanghari. Agak ke selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa
sanskerta, Criwijaya. Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat
Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman, di Jawa bagian tengah ada Ho-ling
(Kalingga), dan di Jawa bagian timur ada Singhasari dan Majapahit.

Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang memiliki kekuatan integrasi
secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan
Majapahit. Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya adalah kemampuan kerajaan-kerajaan
tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah control
politik secara longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan-kesatuan
politik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian pengintegrasian
antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk. Kerajaan utama yang disebutkan di atas
berkembang dalam periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka mampu mengontrol sejumlah
wilayah Nusantara melalui berbagai bentuk media. Selain dengan kekuatan dagang, politik, juga
kekuatan budayanya, termasuk bahasa. Interelasi antara aspek-aspek kekuatan tersebut yang
membuat mereka berhasil mengintegrasikan Nusantara dalam pelukan kekuasaannya. Kerajaan-
kerajaan tersebut berkembang menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi pusat-pusat
kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara.

Hubungan pusat dan daerah hanya dapat berlangsung dalam bentuk hubungan hak dan
kewajiban yang saling menguntungkan (mutual benefit). Keuntungan yang diperoleh dari pusat
kekuasaan antara lain, berupa pengakuan simbolik seperti kesetiaan dan pembayaran upeti berupa
barang-barang yang digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang dapat
diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya kerajaan-kerajaan kecil
memperoleh perlindungan dan rasa aman, sekaligus kebanggaan atas hubungan tersebut.Jika pusat
kekuasaan sudah tidak memiliki kemampuan dalam mengontrol dan melindungi daerah
bawahannya, maka sering terjadi pembangkangan dan sejak itu kerajaan besar terancam
disintegrasi. Kerajaankerajaan kecil lalu melepaskan diri dari ikatan politik dengan kerajaan-kerajaan
besar lama dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain yang memiliki kemampuan mengontrol dan
lebih bisa melindungi kepentingan mereka. Sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha ditandai oleh
proses integrasi dan disintegrasi semacam itu. Namun secara keseluruhan proses integrasi yang
lambat laun itu kian mantap dan kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai negeri
kepulauan yang dipersatukan oleh kekuatan politik dan perdagangan.

BAB III . PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejak semula tampak bahwa letak geografis Nusantara (yang kemudian menjadi
Indonesia) memainkan pera utama sejak zaman praaksara. Faktor geografis ini tampaknya
merupakan faktor permanen dalam Hindu-Budha, ketika jalur utama dalam pelayaran
samudra semakin pesat dan mengintegrasikan daerah antarpulau. Kondisi demikian diduung
dengan keterlibatan nenek moyang kita secara aktif dalam perdagangan laut, dan mengarungi
lautan. Ini pada gilirannya telah menumbuhkan kekuatan ekonomi dan politik yang besar di
Nusantara sehingga mampu mengintegrasikan wilayah-wilayah di Nusantara terutama era
Kerajaan Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit.

B. Pesan Dan Kesan

Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam tugas ini , tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul tugas
ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya tugas ini dan penulisan tugas di
kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga tugas ini berguna para pembaca yang budiman pada umumnya.”AMIN”.

Anda mungkin juga menyukai