Anda di halaman 1dari 13

PROSES PENYERAPAN BESI (Fe) ATAU APTIK Fe

Makalah Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas


Matakuliah Kimia Bionaroganik

Disusun Oleh :

1. Kumala Devi 24030116120027


2. Audry Fahmi Dewi 24030116140117
3. Chyntia Febianti 24030116140059
4. Yismaya Juisitro Sabuna 24030114120058
5. Dessy Ria Findasari 24030115130095

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Besi merupakan mikronutrien essensial yang sangat diperlukan oleh
tubuh (Sadler dkk, 2014). Hal ini karena besi memiliki peranan penting dalam
berbagai proses vital dalam tubuh seperti proses transfer molekul oksigen ke
seluruh tubuh melalui hemoglobin, membantu proses enzimatik, dan berperan
dalam perkembangan syaraf (Bersamin dkk, 2008). Pada pria normal rata-rata
total zat besi dalam tubuhnya adalah sekitar 600 - 1000 miligram, sedangkan
pada wanita normal sekitar 200 - 300 miligram (Saito, 2014). Dari jumlah
tersebut, sekitar 1 miligram zat besi terbuang keluar tubuh setiap harinya dan
digantikan oleh zat besi yang diserap usus dalam jumlah yang sama
(sebanyak 1,2 miligram untuk wanita normal) (Camaschella, 2017). Proses
pengambilan atau penyerapan besi dalam tubuh terjadi di dalam organ
pencernaan seperti lambung dan usus. Berikut akan dibahas lebih lanjut
mengenai proses penyerapan besi (Fe) dalam tubuh.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana proses metabolisme besi (Fe) dalam tubuh?

1.2.2 Bagaimana proses penyerapan besi (Fe) dalam tubuh?

1.2.3 Faktor apa saja yang mempengaruhi penyerapan besi (Fe)?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui proses metabolisme besi (Fe) dalam tubuh.

1.3.2 Mengetahui proses penyerapan besi (Fe) dalam tubuh.

1.3.3 Mengetahui faktor yang mempengaruhi penyerapan besi (Fe).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Almatsier (2009), zat besi merupakan mikro mineral yang


penting dalam pembentukan haemoglobin. Zat besi mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan pengangkutan, penyimpanan, dan pemanfaatan oksigen.
Besi merupakan salah satu unsur essensial yang diperlukan bagi tubuh dan
berperan penting dalam proses vital tubuh. Di dalam tubuh, besi tidak dalam
bentuk unsurnya melainkan dalam bentuk suatu molekul. Salah satu molekul yang
mengandung besi dengan konsentrasi tinggi dalam sel darah merah adalah
hemoglobin (Hb). Hemoglobin berfungsi dalam mengangkut oksigen dari paru–
paru ke sel–sel yang membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak dan
protein menjadi energi (ATP). Selain hemoglobin, besi juga ada di bagian sistem
enzim (enzim oksidase, seperti : sitokrom paksidase, xanthine oksidase, suksinat,
dehidrogenase, katalase, peroksidase) dan mioglobin. Mioglobin merupakan
molekul yang mirip dengan hemoglobin dan terdapat dalam sel–sel otot.
Mioglobin akan mengangkut oksigen melalui darah ke sel–sel otot. Hal inilah
yang menyebabkan daging dan otot berwarna merah.
Depkes (2003) mengatakan bahwa fungsi zat besi adalah sebagai pigmen
pengangkut oksigen dalam darah. Sementara oksigen diperlukan untuk fungsi
normal seluruh sel tubuh. Apabila darah kekurangan oksigen maka fungsi sel-sel
di seluruh tubuh terganggu.
Berdasarkan fungsinya besi dalam tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu
fungsional dan reserve (simpanan). Zat besi fungsional sebagian besar dalam
bentuk hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk mioglobin, dan jumlah
yang sangat kecil tetapi vital adalah heme enzim dan non heme enzim. Sedangkan
zat besi dalam bentuk reserve tidak mempunyai fungsi fisiologi selain sebagai
buffer yaitu menyediakan zat besi kalau dibutuhkan untuk kompartmen
fungsional. Apabila zat besi cukup dalam bentuk simpanan, maka kebutuhan
eritropoiesis (pembentukan sel darah merah) dalam sumsum tulang akan selalu
terpenuhi. Dalam keadaan normal, jumlah zat besi dalam bentuk reserve ini adalah
kurang lebih seperempat dari total zat besi yang ada dalam tubuh. Di dalam tubuh
terdapat empat bentuk zat besi antara lain yaitu:
a. Zat besi dalam hemoglobin.
b. Zat besi dalam reserve (cadangan) sebagai feritin dan hemosiderin (hati, limpa,
dan sumsum tulang).
c. Zat besi yang ditranspor dalam transferin.
d. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan seperti mioglobin dan beberapa
enzim antara lain sitokrom, katalase, dan peroksidase.

2.1. Metabolisme Besi


Metabolisme adalah proses pengubahan zat makanan menjadi energi
(ATP) dalam tubuh. Pada proses metabolisme, enzim dan ion-ion anorganik
memainkan peranan yang penting. Setiap ion anorganik mempunyai fungsi
metabolik sendiri-sendiri dan turut pula dimetabolisir. Ion-ion anorganik yang
ada dalam tubuh berasal dari senyawa elektrolit yang terdapat dalam
makanan. Senyawa elektrolit ini larut dalam cairan tubuh (intraseluler dan
ekstraseluler) dalam bentuk ion positif (kation) dan ion negatif (anion)
(Arman, 2003).
Proses metabolisme zat besi digunakan untuk biosintesa hemoglobin,
dimana zat besi digunakan secara terus-menerus. Sebagian besar zat besi yang
bebas dalam tubuh akan dimanfaatkan kembali (reutilization), dan hanya
sebagian kecil sekali yang diekskresikan melalui air kemih, feses dan
keringat. Pada metabolisme besi perlu diketahui komposisi dan distribusi besi
dalam tubuh, cadangan besi tubuh, siklus besi, absorbsi besi dan transportasi
besi. Berikut skema proses metabolisme zat besi untuk mempertahankan
keseimbangan zat besi di dalam tubuh :
Makanan (10 mg Fe) usus halus (1 mg Fe) tinja (5 mg Fe)

Fe di dalam darah 34 mg Fe Di dalam hati disimpan


(turn over 35 mg Fe) sebagai feritin 1 g

Sumsum tulang Seluruh jaringan

Hemoglobin (Hb) Sel-sel mati

Hilang bersama menstruasi Dikeluarkan melalui kulit,


(28 mg/periode) feses, dan urin (1 mg Fe)

Skema turn over atau putaran zat besi dalam tubuh


sejumlah 35 mg/hari. Sumber: Husaini, dkk (1989)

Setiap hari, turn over (putaran) zat besi berjumlah 35 mg, tetapi tidak
semuanya didapatkan dari makanan. Sebagian besar yaitu sebanyak 34 mg di
dapat dari penghancuran eritrosit yang sudah tua, kemudian disaring oleh
tubuh untuk dapat dipergunakan lagi oleh sumsum tulang untuk pembentukan
eritrosit baru. Hanya 1 mg zat besi dari penghancuran eritrosit tua yang
dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, feses, dan urine. Jumlah zat besi yang
hilang ini disebut sebagai kehilangan basal (Muckenthaler, 2008).

2.2. Penyerapan Besi (Fe)


Penyerapan zat besi terjadi di usus dua belas jari (duodenum) dan usus
halus (jejenum) bagian atas. Zat besi memasuki lambung dari kerongkongan
dalam bentuk besi (ferri) kemudian teroksidasi dalam bentuk besi larut
(ferro). Asam lambung akan menurunkan pH sehingga dapat meningkatkan
kelarutan dan penyerapan zat besi. Ketika produksi asam lambung terganggu,
penyerapan zat besi juga akan terganggu.
Setelah berbentuk ferro, sel mukosa usus pada duodenum dan jejenum akan
menyerap zat besi ini. Penyerapan zat besi dibantu oleh protein khusus yaitu
transferin (tf). Protein tersebut berfungsi mengangkut zat besi dari saluran
cerna ke seluruh jaringan tubuh khususnya sumsum tulang belakang, yang
akan digunakan untuk membentuk hemoglobin sel darah merah. Asam fitat,
tanin, dan antasida dapat memblokir penyerapan zat besi ini. Tahap-tahap
proses adsorpsi besi dalam tubuh sebagai berikut :
1. Besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk Fe3+ atau
Fe2+ mula – mula mengalami proses pencernaan.
2. Di dalam lambung Fe3+ larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh
gastroferin dan direduksi menjadi Fe2+.
3. Di dalam usus Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+. Fe3+ selanjutnya berikatan
dengan apoferitin yang kemudian ditransformasi menjadi feritin,
membebaskan Fe2+ ke dalam plasma darah.
4. Di dalam plasma, Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ dan berikatan dengan
transferitin. Transferitin mengangkut Fe2+ ke dalam sumsum tulang untuk
bergabung membentuk hemoglobin. Besi dalam plasma ada dalam
keseimbangan.
5. Transferrin mengangkut Fe2+ ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam
tubuh (hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian
dioksidasi menjadi Fe3+. Fe3+ini bergabung dengan apoferritin membentuk
ferritin yang kemudian disimpan, besi yang terdapat pada plasma
seimbang dengan bentuk yang disimpan

Sedangkan menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga
fase, yaitu :
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan
besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat
absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber
nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam
makanan diolah di lambung, karena pengaruh asam lambung maka besi
dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi
dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum
proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat
kompleks. Dikenal adanya mucosal block (mekanisme yang dapat mengatur
penyerapan besi melalui mukosa usus)
c. Fase Korporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-
sel yang memerlukan, serta penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Besi
setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel usus,
memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin
menjadi transferin. Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui
proses pinositosis.
Gambar 2.2. Absorbsi zat besi. Sumber: Andrews NC,New Engl J Med. 341:1986-1995,
Copyright © 1999 Massachusetts Medical Society.

2.2.1 Mekanisme regulasi absorbsi besi


Terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus antara lain
yaitu :
1. Regulator dietetik : absorbsi besi dipengaruhi oleh jumlah kandungan
besi dalam makanan, jenis besi dalam makanan (besi heme atau non
heme), adanya penghambat atau pemacu absorbsi dalam makanan.
2. Regulator simpanan : Penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan
besi dalam tubuh.
3. Regulator eritropoetik : Besar absorbsi besi berhubungan dengan
kecepatan eritropoesis. Mekanisme ini belum diketahui dengan pasti.

2.3. Faktor yang mempengaruhinya


Zat besi dalam makanan yang diabsorbsi dengan baik oleh orang
dewasa adalah sekitar 5-15%. Dalam kondisi defisiensi zat besi, absorbsi
dapat mencapai 50%. Banyak faktor yang mempengaruhi penyerapan zat
besi, di antaranya:
2.3.1 Bentuk Besi
Bentuk besi di dalam makanan berpengaruh terhadap
penyerapannya. Besi heme, yang merupakan bagian dari hemoglobin
dan mioglobin yang terdapat di dalam daging hewan dapat diserap lebih
efisien daripada besi non-heme. Besi heme ini terdapat pada daging,
hati, ayam, ikan, udang dan kerang, sedangkan besi non heme terdapat
pada telur, serealia, kacang-kacangan, dan sayuran hijau.
Makanan dengan kandungan zat besi yang tinggi tidak selalu
menjadi sumber zat besi terbaik. Kedelai memiliki kandungan zat besi
dua kali lebih banyak daripada daging sapi, namun zat besi pada kedelai
yang dapat diserap oleh tubuh hanya sekitar 7%. Bayam juga tinggi
akan zat besi, tetapi kurang dari 2% dari besi dalam bayam yang dapat
diserap.

2.3.2 Asam organik


Asam organik seperti Vitamin C sangat membantu penyerapan zat
besi. Hal ini dikarenakan asam organik/vitamin C (gugus -SH atau
sulfidril) akan membuat kondisi lambung menjadi asam sehingga
perubahan zat besi dari bentuk ferri menjadi bentuk ferro lebih optimal
(proses reduksi). Bentuk ferro lebih mudah diserap tubuh. Di samping
itu, vitamin C meningkatkan absorbsi besi dari makanan melalui
pembentukan kompleks ferro askorbat yang tetap larut pada pH lebih
tinggi dalam duodenum. Oleh karena itu, sangat dianjurkan
mengonsumsi makanan sumber vitamin C bersamaan atau dalam waktu
berdekatan dengan makanan yang mengandung zat besi. Kombinasi 200
mg asam askorbat dengan garam besi dapat meningkatkan penyerapan
besi sebesar 25 – 50 persen.

2.3.3 Asam Fitat

Asam fitat dan faktor lain pada serealia serta asam oksalat di dalam
sayuran dapat menghambat penyerapan besi. Faktor-faktor ini mengikat
besi, sehingga mempersulit penyerapannya. Protein kedelai
menurunkan absorbsi besi karena nilai fitatnya yang tinggi. Vitamin C
dalam jumlah cukup dapat melawan sebagian pengaruh faktor-faktor
yang menghambat penyerapan besi ini.

2.3.4 Tanin dan Kalsium

Tanin merupakan polifenol yang terdapat di dalam teh, kopi dan


beberapa jenis sayuran serta buah. Tanin juga dapat menghambat
absorbsi besi dengan cara mengikat besi. Bila besi tubuh tidak terlalu
tinggi, sebaiknya tidak meminum teh atau kopi pada saat makan.
Kalsium dosis tinggi berupa suplemen menghambat absorpsi besi,
namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti.

2.3.5 Tingkat Keasaman Lambung

Tingkat keasaman lambung meningkatkan daya larut besi.


Sedangkan rendahnya asam klorida pada lambung (kondisi basa) atau
penggunaan obat-obatan yang bersifat basa seperti antasid dapat
menurunkan penyerapan besi (Fe). Asam klorida akan mereduksi Fe3+
menjadi Fe2+ yang lebih mudah diserap oleh mukosa usus.

2.3.6 Faktor Intrinsik

Faktor Intrinsik/glikoprotein di dalam lambung membantu


penyerapan besi. Hal ini dikarenakan glikoprotein mengandung vitamin
B12 yang memiliki struktur yang sama dengan heme sehingga
penyerapan zat besi menjadi lebih baik. Rendahnya glikoprotein dapat
mengganggu penyerapan.

2.3.7 Kebutuhan Tubuh

Kebutuhan tubuh akan zat besi berpengaruh besar terhadap


absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhan meningkat
pada masa pertumbuhan, absorbsi besi non-heme dapat meningkat
sampai sepuluh kali sedangkan besi heme dua kali.

2.3.8 Fosfat
Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentuknya
kompleks besi fosfat yang tidak dapat diserap

2.3.9 Gangguan kesehatan


Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare dapat menurunkan
penyerapan Fe. Penyakit infeksi juga dapat menurunkan penyerapan Fe.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan
haemoglobin. Pada metabolisme besi perlu diketahui komposisi
dan distribusi besi dalam tubuh, cadangan besi tubuh, siklus besi,
absorbsi besi dan transportasi besi.
2. Penyerapan zat besi dimulai saat makanan berada pada lambung,
zat besi yang umumnya berbentuk ferri akan diubah menjadi ferro
(bentuk aktif zat besi).
3. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi,
antara lain bentuk zat besi (heme dan non heme), asam organic,
kandungan antigizi, tingkat keasaman lambung.
DAFTAR PUSTAKA
Arman Saibi. 2003. Ion-Ion Anorganik Yang Berhubungan Dengan Metabolisme
Tubuh. Bagian Kimia Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.
Bersamin A, Heneman K, Hathaway C, Zidenberg-Cherr S. 2008. Nutrition and
Health Info Sheet: Iron and Iron Deficiency Anemia. California: UCANR
Publications.
Camaschella C. 2017. New insights into iron deficiency and iron deficiency
anemia. Blood Reviews. Elsevier
Husaini, M. A. 1989. Study nutritional anemia an assesment of information
complication for supporting and formulating national policy and program.
Jakarta.
Muckenthaler, M. U., Galy, B., & Hentze, M. W. 2008. Systemic iron
homeostasis and the iron-responsive element/ iron-regulatory protein
(IRE/IRP) regulatory network. Annu Rev Nutr.
Sadler MJ. 2014. Foods, Nutrients and Food Ingredients with Authorised EU
Health Claims. Cambridge: Elsevier.
Saito Hiroshi. 2014. Metabolism Of Iron Stores. Nagoya Journal of Medical
Science [Internet]. Nagoya University; 76(3-4):235 - 254.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4345694/

Anda mungkin juga menyukai