Anda di halaman 1dari 32

BAB I

TINJAUAN TEORITIS

1. Pengertian Fraktur

Fraktur menurut smelter 2002 (Dalam Buku Asuhan Keperawatan

Musculoskeletal 2012) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan

sesuai jenis dan luasnya. Demikian pula menurut sjamsuhidayat 2005 (Dalam

Buku Asuhan Keperawatan Musculoskeletal 2012) fraktur atau patah tulang

adalah terputusnya kontuinitas jaringan tulang dan / tulang rawan yang umumnya

di sebabkan oleh rudapaksa. Sementara dongoes 2000 (dalam Buku Asuhan

Keperawatan Musculoskeletal 2012) memberikan batasan, fraktur adalah

pemisahan atau patahnya tulang. Sedangkan fraktur menurut Reeves 2001 (Dalam

Buku Asuhan Keperawatan Musculoskeletal 2012) adalah setiap retak/patah pada

tulang yang utuh.

Berdasarkan batasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah

terputusnya kontuinitas tulang, retak/patahnya tulang yang utuh, yang biasanya

disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang di tentukan jenis dan

luasnya trauma.

2. Etiologi

Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter

mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Letih karena otot tidak dapat
mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh. Umumnya fraktur

disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.

Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di

bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka

yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua,

perempuan lebih sering mengalami fraktur dari pada laki laki yang berhubungan

dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan

hormone pada menopause: Reeves, 2001 (Dalam Buku Asuhan Keperawatan

Musculoskeletal 2012)

3. Klasifikasi

Fraktur dapat di klasifikasikan lebih dari 150, beberapa klasifikasi fraktur

menurut beberapa ahli dapat dilihat berdasarkan Tabel. Fraktur tertutup (fraktur

simple) adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit atau kulit tidak

ditembus oleh fragmen tulang. Sedangkan fraktur terbuka (fraktur

komplikata/kompleks/compound) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau

membran mukosa sampai ke patahan tulang. Konsep penting yang harus

diperhatikan pada fraktur terbuka adalah apakah terjadi kontaminasi oleh

lingkungan pada tempat terjadinya fraktur tersebut (Price, 1995).

Klasifikasi Fraktur

Price Sjamsuhidayat Doenges Reeves Smeltzer

(1995) (1996) (2000) (2001) (2002)


Transversal Tertutup Incomplete Tertutup Komplit

Oblik Terbuka Complete Terbuka Tidak

Spiral Fisura Tertutup Komplit komplit

Impaksi Serong Terbuka Retak tak Tertutup

Patologik Sederhana Patologis komplit Terbuka

Greenstick Lintang Oblik Greenstick

Avulsi Sederhana Spiral Transversal

Sendi Kominutif Transversal Oblik

Beban Segmental Segmental Spiral

lainnya Dahan hijau Kominutif Kominutif

Kompresi Depresi

Impaksi Kompresi

Impresi Patologik

Patologis Avulsi

Epifiseal

Impaksi

Sumber: Dimodifikasi dari Price (1995), Sjamsuhidayat (1997), Doenges (2000),

Reeves (2001), dan Smeltzer (2002).

A. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst)

B. Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :

1. Fraktur komplit

Fraktur garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks

tulang.
2. Fraktur tidak komplit

Fraktur bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang.

C. Berdasarkan bentuk garis patah

1. Fraktur transversal

Fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang

2. Fraktur oblik

Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang

3. Fraktur greenstick

Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedangkan sisi lainnya membengkok

4. Fraktur spiral

Fraktur yang meluas yang mengelilingi tulang

5. Fraktur kompresi

Fraktur dimana antara dua tulang mengalami kompresi pada tulang ketiga yang

berada di antaranya (terjadi pada tulang belakang)

6. Fraktur avulse

Fraktur yang ditandai oleh tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendon

pada perlekatannya.

D. Berdasarkan jumlah garis patah :

1. Fraktur Komunitif

Fraktur garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

2. Fraktur Segmental

Fraktur garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.


3. Fraktur Multipel

Fraktur garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan tempatnya,

misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya.

E. Berdasarkan posisi fragmen :

1. Undisplaced (tidak bergeser)

Fraktur garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.

2. Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur

F. Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :

1. Tertutup

Fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit

2. Terbuka

Fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.

G. Berdasarkan kedudukan tulangnya :

1. Tidak adanya dislokasi.

2. Adanya dislokasi

H. Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :

1. Tipe Ekstensi

Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi

supinasi.

2. Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi

pronasi. (Mansjoer, Arif, et al, 2000)

4. Patofisiologi

Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau


trauma (Long, 1996: 356). Baik itu karena trauma langsung misalnya:
tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak langsung misalnya:
seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena
trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon,
karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Oswari, 2000: 147)
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Terbuka
bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh
karena perlukaan di kulit. (Mansjoer, 2000: 346).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-
sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Corwin, 2000:
299)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakanyg tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002: 2287)

5. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,

pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna

(Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit,

pembengkakan, dan kelainan bentuk.

a) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai

alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

b) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat di gunakan dan cenderung

bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti

normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan

deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan

membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan bai

karena fungsi normal otot bergantung ada integritas tulang tempat melengketnya

otot.
c) Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenernya karena

kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering

saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)

d) Saat ekstremitas di periksa dengan tangan,teraba adanya detik tulang di namakan

krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji

krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

e) Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat

trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah

beberapa jam atau hari setelah cedera.

6. Komplikasi

1. Komplikasi Awal

Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam

beberapa jam setelah cedera; emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau

lebih; dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas

permanen jika tidak ditangani segera. Komplikasi awal lainnya yang berhubungan

dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli, (emboli paru), yang dapat

menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera.

a. Syok

Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah

eksterna maupun yang tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan

yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis dan vertebra.

Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada

fraktur femur dan pelvis. Penanganannya meliputi mempertahankan volume

darah, mengurangi nyeri yang didertita pasien, memasang perbebatan yang

memadai, dan melindugi pasien dari cedera lebih lanjut.

b. Sindroma Emboli Lemak

Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple, atau cedera

remuk, dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada dewasa muda (20 sampai 30

tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah

karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena

katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam

lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula

lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian

menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal, dan organ

lain.

c. Sindroma Kompartemen

Sindroma Kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi

jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini

bisa disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang

membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat, atau

peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan

dengan berbagai masalah (misalnya iskemia, cedera remuk, penyuntikan bahan

penghancur [toksik] jaringan). Kompartemen lengan bawah atau tungkai paling

sering terkena. Kwhilangan fungsi permanen dapat terjadi bila keadaan ini
berlangsung lebih dari 6 sampai 8 jam dan terjadi iskemia dan nekrosis mioneural

(otot dan saraf). Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan,

yang tak dapat dokontrol dengan opioid. Palpasi pada otot, bila memungkinkan,

akan terasa pembengkakan dan keras.

2. Komplikasi Lambat

a. Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan

Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan

kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat

mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh)

fragmen tulang. Pada akhirnya fraktur menyembuh.

Tidak ada penyatuan tulang terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung

patahan tulang. Pasien mengeluh tidak nyaman dan gerakan yang menetap pada

tempat fraktur. Faktor yang ikut berperan dalam masalah penyatuan meliputi

infeksi pada tempat fraktur; interposisi jaringan di antara ujung-ujung tulang;

imobilisasi dan manipulasi yang tidak memadai, yang menghentikan

pembentukan kalus; jarak yang terlalu jauh antara fragmen tulang; kontak tulang

yang terbatas; dan gangguan asupan darah yang mengakibatkan nekrosis

avaskular.

b. Nekrosis avaskular tulang

Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati.

Dapat terjadi setelah fraktur (khususnya pada kolumna femoris), dislokasi, terapi

kortikosteroid dosis tinggi berkepanjangan, penyakit ginjal kronik, anemia sel


sabit, dan penyakit lain. Tulang yang lain mengalami kolaps atau diabsorpsi dan

diganti dengan tulang baru.

7. Penatalaksanaan

a) Penatalaksanaan kedaruratan

Bila dicurigai adanya fraktur ,penting untuk melakukan imobilisasi bagian

tubuh segera sebelum klien dipindahkan. Bila klien mengalami cedera, sebelum

dapat di lakukan pembidaian, ekstremitas harus di sangga di atas sampai di bawah

patahan untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Pembidaian sangat

penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.

Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan timbulnya rasa nyeri,

kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut.nyeri yang terjadi karena

fraktur yang sangat berat dapat di kurangi dengan menghindari fragmen tulang.

Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan

bantalan yang memadai ,dan kemudian di bebat dengan kencang namun tetap

harus memperhatikan nadi perifer. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah

dapat juga di lakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan

ekstremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera.

Luka di tutup dengan pembalut steril (bersih) untuk mencegah kontaminasi

jaringan yang lebih dalam pada luka terbuka. Jangan sekali-kali melakukan

reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui

luka/menembus kulit. Evaluasi klien dengan lengkap. Pakasian dilepas dengan

lembut,di awali dengan bagian tubuh yang sehatdan di lanjutkan pada sisi yang

cedera. Pakaian mungkin harus di potong pada sisi yang cedera. Ekstremitas
sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan jaringan

lunak lebih lanjut.

Pertolongan pertama pada penderita patah tulang di luar rumah sakit adalah

sebagai berikut:

a. Jalan napas

Bila penderita tak sadar, jalan napas dapat tersumbat karena lidahnya sendiri

yang jatuh ke dalam faring, sehingga menutup jalan napas atau adanya sumbatan

oleh lendir, darah, muntahan atau benda asing. Untuk mengatasi keadaan ini,

penderita dimiringkan sampai tengkurap. Rahang dan lidah di tarik ke depan dan

bersihkan faring dengan jari-jari.

b. Perdarahan pada luka

Cara yang lebih efektif dan paling aman adalah dengan meletakkan kain yang

bersih (kalau bisa steril) yang cukup tebal dan dilakukan penekanan dengan

tangan atau dibalut dengan verban yang cukup menekan. Torniket sendiri

mempunyai kelemahan dan bahaya. Kalau di pasang terlalu kendur menyebabkan

perdarahan vena berlebihan. Kalau di pasang terlalu kuat dan terlalu lama dapat

menyebabkan kerusakan syaraf dan pembuluh darah. Dalam penekanan atau

pembebatan pada daerah yang mengalami perdarahan,harus di perhatikan denyut

nadi perifer ,serta pengisian kapiler untuk mencegah terjadinya kematian jaringan.

c. Syok
Pada suatu kecelakaan kebanyakan syok yang terjadi adalah syok hemoragik.

Syok bisa terjadi bila orang kehilangan darahnya 30 % dari volume darahnya.

Pada fraktur femur tertutup orang dapat kehilangan darah 1000 – 1500 cc.

Empat tanda syok yang dapat terjadi setelah trauma adalah sebagai berikut :

1. Denyut nadi lebih dari 100 x/menit

2. Tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg

3. Wajah dan kuku menjadi pucat atau sianotik

4. Kulit tangan dan kaki dingin

Gejala-gejala lain yang dapat berupa sakit (bukan gejala yang dominan) otot-

otot menjadi lunak, timbul rasa haus, pernapasan menjadi cepat dan dalam, serta

kesadaran normal, apatis atau koma.

Paling baik untuk mengatasi syok karena perdarahan adalah diberikan darah

(transfuse darah) sedangkan cairan lainnya seperti plasma ,dextran, dan lain-lain

kurang tepat karena tidak dapat menunjang perbaikan karena tidak ada sel darah

yang sangat di perlukan untuk transportasi oksigen.

d. Fraktur dan dislokasi

Fraktur dan dislokasi dari anggota gerak harus di lakukan imobilisasi sebelum

penderita dibawa ke rumah sakit. Guna bidai selain untuk imobilisasi atau

mengurangi sakit, juga untuk mencegah kerusakan jaringan lunak yang lebih

parah. Pada fraktur /dislokasi servikal dapat di pergunakan gulungn kain tebal

atau bantalan pasir yang diletakkan di sebelah kanan dan kiri kepala. Pada tulang

belakang cukup diletakkan di alas keras. Fraktur/dislokasi di daerah bahu atau

lengan atas cukup di berikan sling (mitella). Untuk lengan bawah dapat dipakai
papan dan bantalan kapas. Fraktur femur atau dislokasi sendi panggul dapat di

pakai Thomas splint atau papan di pasang yang dari aksila sampai pedis dan

difiksasi dengan tungkai sebelah yang normal. Fraktur tungkai bawah dan lutut

dapat dipakai papan di tambah bantalan kapas dari pangkal paha sampai pedis.

Untuk trauma di daerah pedis dapat dipakai bantalan pedis.

b) Prinsip penanganan fraktur

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian

fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi :smeltzer 2002 (Dalam Buku

Asuhan Keperawatan Musculoskeletal 2012). Reduksi fraktur berarti

mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode

untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi dan reduksi

terbuka. Metode yang di pilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat

frakturnya.

Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan

fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan

manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya,traksi dapat dilakukan untuk

mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan

spasme otot yang terjadi

Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah,

fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup,

plat, paku atau batangan logam dapat di gunakan untuk mempertahankan vragmen

tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi.


Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah mengimobilisasai dan

mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai

terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau

eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,

pin dan teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna.

Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat di lakukan

dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi. Patau status neurovaskuler,

latihan isometrik, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam memperbaiki

kemandirian fungsi dan harga diri.

c) Empat R pada fraktur

Istilah empat R pada fraktur disampaikan oleh Price1995 (Dalam Buku

Asuhan Keperawatan Musculoskeletal 2012) yaitu rekognisi, reduksi, retensi dan

rehabilitasi. Rekognisi menyangkut diagnosis frektur pada tempat kejadian dan

kemudian di rumah sakit. Riwayat kecelakaan, derajat keparahan,jenis kekuatan

yang berperan, dan deskripsi rentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri,

menentukan apakah ada kemungkinan fraktur dan apakah perlu di lakukan

pemeriksaan spesifik untuk mencari adanya fraktur.

Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang

yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya. Fraktur tertutup

pada tulang panjang sering ditangani dengan reduksi tertutup. Untuk evalausi awal

biasanya dapat dilaksanakan pemasangan bidai-gips dan untuk mengurangi nyeri


selama tindakan, klien dapat diberi narkotika intravena, sedative atau blok saraf

lokal.

Retensi sebagai aturan umum maka gips yang di pasang untuk

mempertahankan reduksi harus melewati sendi di atas fraktur dan di bawah

fraktur. Bila kedua sendi posisinya membentuk sudut dengan sumbu longitudinal

tulang patah, maka koreksi angulasi dan oposisi dapat di pertahankan, sekaligus

mencagah perubahan letak rotasional.

d) Penatalaksanaan fraktur terbuka

Patah tulang terbuka memerlukan pertolongan segera. Penundaan waktu dalam

memberikan pertolongan akan mengakibatkan komplikasi infeksi karena adanya

pemaparan dari lingkungan luar. Waktu yang optimal untuk melaksanakan

tindakan sebelum 6-7 jam setelah kecelakaan ,disebut golden periode.

Secara klinis patah tulang terbuka di bagi menjadi 3 derajat :pusponegoro

A.D. 2007 (Dalam Buku Asuhan Keperawatan Musculoskeletal 2012), yaitu:

Derajat I : Terdapat luka tembus kecil seujung jari, luka ini didapat dari tusukan fragmen-

fragmen tulang dari dalam.

Derajat II : Luka lebih besar disertai dengan kerusakan kulit subkutis. Kadang-kadang di

temukan adanya benda-benda asing di sekitar luka.

Derajat III : Luka lebih besar di bandingkan dengan luka pada derajat II.

Kerusakan lebih hebat karena sampai mengenai tendon otot-otot saraf tepi.

Pada luka derajat I biasanya tidak mengalami kerusakan kulit ,sehingga

penutupan kulit dapat ditutup secara primer. Namun pada derajat II, luka lebih
besar dan bila di paksakan menutup luka secara primer akan terjadi tegangan kulit.

Hal ini akan mengganggu bagian distal. Sebaiknya luka dibiarkan terbuka dan

luka ditutup setelah 5-6 hari (delayed primary suture). Untuk fiksasi tulang pada

derajat II dan III paling baik menggunakan fiksasi eksterna. Fiksasi eksterna yang

sering dipakai adalah Judet, Roger Anderson dan Methyl Methacrylate.

Pemakaian gips masih dapat di terima, bila peralatan tidak ada. Namun kelemahan

pemakaian gips adalah perawatan yang lebih sulit.

Salah satu tindakan untuk fraktur terbuka yaitu di lakukan debridement.

Debridement bertujuan untuk membuat keadaan luka yang kotor menjadi bersih

sehingga secara teoritis fraktur tersebut dapat di anggap fraktur tertutup. Namun

secara praktis hal tersebut tidak pernah tercapai. Tindakan debridement dilakukan

dalam anestesi umum dan selalu harus disertai dengan pencucian luka dengan air

yang steril/Nacl yang mengalir. Pencucian ini mendapat peranan penting untuk

membersihkan kotoran-kotoran yang menempel pada tulang.

Pada fraktur terbuka tidak boleh di pasang torniket ,hal ini penting untuk

menentukan batas jaringan vital dan nekrotik. Daerah luka dicukur rambutnya,

dicuci dengan detergen yang lunak (missal physohex), sabun biasa dengan sikat

lamanya kira-kira 10 menit ,dan dicuci dengan air mengalir. Dengan siraman air

mengalir di harapkan kotoran-kotoran dapat terangkat mengikuti aliran air.

Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir luka, kulit, subkutis, fasia, dan

pada otot-otot nekrosis yang kotor. Fragmen tulang yang kecil dan tidak

mempengaruhi stabilitas tulang dibuang. Fragmen yang cukup besar tetap

dipertahankan.
BAB II

KONSEP PERAWATAN

A. Pengkajian

Aktivitas/Istirahat

Tanda : keterbatasan gerak/kehilangan fungsi motorik pada bagian yang terkena (dapat

segera atau sekunder, akibat pembengkakan/nyeri). Adanya kesulitan dalam

istirahat-tidur akibat dari nyeri.

Sirkulasi

Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respons terhadap nyeri/ansietas) atau

hipotensi (hipovolemia). Takikardia (respons stress, hipovolemia). Penurunan/tak

teraba nadi distal, pengisian kapiler lambat (Capillary refill), kulit dan kuku

pucat/sianotik. Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.

Neurosensori

Gejala: Hilang gerak/sensasi, spasme otot.

Kebas/kesemutan (parestesi).
Tanda: Deformitas local, angualasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot,

kelemahan/hilang fungsi. Agitasi berhubungan dengan nyeri, ansietas, trauma

lain.

Nyeri/kenyamanan

Gejala: Nyeri berat tiba-tiba saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area

jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat

kerusakan saraf. Spasme/kram otot (setelah imobilisasi).

B. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma, dan jenis

fraktur.

2. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI: memperlihatkan tingkat keparahan

fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3. Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskular.

4. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun

(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multiple trauma).

Peningkatan jumlah SDP adalah proses stress normal setelah trauma.

5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi

multiple atau cedera hati.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka

neurovaskuler

2. Kerusakan integritas kulit/jaringan (actual/risiko tinggi) berhubungan dengan

cedera tusuk, fraktur terbuka, pemasangan pen traksi, perubahan sensasi,

imobilisasi fisik

D.Interv ensi

Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :


Berhubungan dengan :  Joint Movement : Exercise therapy :
- Gangguan metabolisme Active ambulation
sel  Mobility Level  Monitoring vital sign
- Keterlembatan  Self care : ADLs sebelm/sesudah latihan dan
perkembangan  Transfer lihat
- Pengobatan performance respon pasien saat latihan
- Kurang support Setelah dilakukan  Konsultasikan dengan
lingkungan tindakan terapi fisik
- Keterbatasan ketahan keperawatan tentang rencana ambulasi
kardiovaskuler selama….gangguan sesuai
- Kehilangan integritas mobilitas fisik teratasi dengan kebutuhan
struktur tulang dengan kriteria hasil:  Bantu klien untuk
- Terapi pembatasan  Klien meningkat menggunakan
gerak dalam aktivitas fisik tongkat saat berjalan dan
- Kurang pengetahuan  Mengerti tujuan cegah
tentang kegunaan dari peningkatan terhadap cedera
pergerakan fisik mobilitas  Ajarkan pasien atau
- Indeks massa tubuh
 Memverbalisasikan tenaga
diatas kesehatan lain tentang
perasaan dalam
75 tahun percentil sesuai teknik ambulasi
meningkatkan
dengan usia  Kaji kemampuan pasien
kekuatan dan
- Kerusakan persepsi dalam
kemampuan berpindah
sensori
 Memperagakan mobilisasi
- Tidak nyaman, nyeri  Latih pasien
penggunaan alat Bantu
- Kerusakan dalam
untuk mobilisasi
muskuloskeletal pemenuhan
(walker)
dan neuromuskuler kebutuhan ADLs
- Intoleransi secara mandiri
aktivitas/penurunan sesuai
kekuatan dan stamina kemampuan
- Depresi mood atau  Dampingi dan
cemas Bantu pasien
- Kerusakan kognitif saat
- Penurunan kekuatan mobilisasi dan bantu
otot, penuhi kebutuhan
kontrol dan atau masa ADLs ps.
- Keengganan untuk  Berikan alat
memulai Bantu jika klien
gerak memerlukan.
- Gaya hidup yang  Ajarkan pasien
menetap, bagaimana
tidak digunakan, merubah
deconditioning posisi dan berikan bantuan
- Malnutrisi selektif atau jika
umum diperlukan
DO:
- Penurunan waktu
reaksi
- Kesulitan merubah
posisi
- Perubahan gerakan
(penurunan untuk
berjalan,
kecepatan, kesulitan
memulai langkah
pendek)
- Keterbatasan motorik
kasar
dan halus
- Keterbatasan ROM
- Gerakan disertai nafas
pendek atau tremor
- Ketidak stabilan posisi
selama melakukan ADL
- Gerakan sangat lambat
dan
tidak terkoordinasi
Kerusakan integritas NOC: NIC :
jaringan  Tissue integrity Pressure ulcer
berhubungan dengan: : skin prevention
Gangguan sirkulasi, and mucous Wound care
iritasi membranes - Anjurkan pasien untuk
kimia (ekskresi dan  Wound healing menggunakan
sekresi : pakaian yang longgar
tubuh, medikasi), defisit primary and secondary - Jaga kulit agar tetap
cairan, kerusakan intention bersih dan kering
mobilitas Setelah dilakukan tindakan - Mobilisasi pasien
fisik, keterbatasan keperawatan selama …. (ubah posisi pasien)
pengetahuan, faktor kerusakan integritas setiap dua jam sekali
mekanik jaringan - Monitor kulit akan
(tekanan, pasien teratasi dengan adanya kemerahan
gesekan),kurangnya kriteria hasil: - Oleskan lotion atau
nutrisi, radiasi, faktor  Perfusi jaringan minyak/baby oil
suhu normal pada daerah yang
(suhu yang ekstrim)  Tidak ada tertekan
DO : tanda-tanda - Monitor aktivitas dan
- Kerusakan jaringan infeksi mobilisasi pasien
(membran mukosa,  Ketebalan dan - Monitor status nutrisi
integumen, subkutan) tekstur pasien
jaringan normal - Memandikan pasien
 Menunjuk dengan sabun dan
kan pemahaman dalam air hangat
proses perbaikan kulit dan - Kaji lingkungan dan
mencegah terjadinya peralatan yang
cidera berulang menyebabkan tekanan
- Observasi luka : lokasi,
 Menunjuk
dimensi,
kan terjadinya proses
kedalaman luka,
penyembuhan luka
karakteristik,warna
cairan, granulasi,
jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi
lokal, formasi traktus
- Ajarkan pada keluarga
tentang luka dan
perawatan luka
- Kolaborasi ahli gizi
pemberian diet TKTP,
vitamin
- Cegah kontaminasi
feses dan urin
- Lakukan tehnik
perawatan luka dengan
steril
- Berikan posisi yang
mengurangi tekanan
pada luka
- Hindari kerutan pada
tempat tidur

E. Rencana Keperawatan

Rencana asuhan keperawatan berikut ini diuraikan meliputi diagnosis

keperawatan, tindakan keperawatan mandiri dan kolaborasi, serta rasionalisasi

dari masing-masing tindakan keperawatan.

Diagnosa Keperawatan: Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan

kerusakan rangka neuromuskular.

Tindakan Rasional

Mandiri

1. Kaji derajat imobilitas yang


1. Pasien mungkin dibatasi oleh

dihasilkan oleh cedera/ persepsi tentang keterbatasan fisik

pengobatan dan perhatikan aktual, memerlukan informasi/

persepsi klien terhadap intervensi untuk meningkatkan

imobilisasi. kemajuan kesehatan.

2. Dorong partisipasi pada


2. Memberikan kesempatan untuk

aktivitas/rekreasi. Pertahankan mengeluarkan energi, memfokuskan

rangsang lingkungan, seperti kembali perhatian, meningkatkan rasa

radio, TV, koran, barang milik kontrol harga diri, dan membantu

pribadi, jam, kalender, kunjungan menurunkan isolasi sosial.


keluarga/ teman.

3. Instruksikan klien untuk latihan


3. Meningkatkan aliran darah ke otot

rentang gerak aktif/ pasif pada dan tulang untuk meningkatkan tonus

ekstremitas yang sehat/ sakit. otot, mempertahankan gerak sendi,

mencegah kontraktur/ atrofi, dan

reasorbsi kalsium karena tidak

digunakan.

4. Dorong penggunaan latihan


4. Kontraksi otot isometrik tanpa

isometrik mulai dengan tungkai menekuk sendi atau menggerakkan

yang sakit. tungkai dan membantu

mempertahankan kekuatan dan massa

otot.

Catatan: kontraindikasi pada

perdarahan akut/ edema.

5. Berikan papan kaki, bebat


5. Mempertahankan posisi fungsional

pergelangan, gulungan trokanter/ ekstremitas tangan/kaki, dan mencegah

tangan yang sesuai. komplikasi.

6. Bantu dalam mobilisasi dengan


6. Mobilisasi dini menurunkan

kursi roda, kruk, tongkat, sesegera komplikasi tirah baring (misal, plebitis)

mungkin. dan meningkatkan penyembuhan dan

Instruksikan keamanan dalam alat normalisasi fungsi organ.

mobilitas.

7. Pantau TD dalam melakukan


7. Hipotensi postural adalah masalah
aktivitas. umum yang menyertai tirah baring

Perhatikan adanya keluhan pusing. lama dan memerlukan intervensi

khusus (misal, kemiringan meja

dengan peninggian secara bertahap

sampai posisi tegak).

8. Ubah posisi secara periodik serta


8. Mencegah komplikasi pernapasan/

dorong untuk latihan batuk dan kulit, misal dekubitus, pneumonia,

napas dalam. ateletaksis.

9. Auskultasi bising usus. 9. Tirah baring, penggunaan analgesik,

Pantau kebisasaan eliminasi/ dan perubahan diet dapat

defekasi rutin. memperlambat peristaltik usus

sehingga menyebabkan konstipasi.

10. Dorong peningkatan intake cairan


10. Mempertahankan hidrasi tubuh,

2.000-3.000 ml/hari, termasuk menurunkan risiko infeksi urinearius,

pemberian jus. pembentukan batu, dan konstipasi.

11. Tingkatkan jumlah diet serat.


11. Makanan kasar (serat) mencegah

Batasi makanan pembentuk gas. konstipasi. Makanan pembentuk gas

dapat menyebabkan distensi

abdominal, khususnya pada adanya

penurunan motilitas usus.

Kolaborasi

12. Konsul dengan ahli terapi fisik,


12. Berguna dalam membuat jadwal

okupasi, rehabilitasi. aktivitas klien. Klien dapat


memerlukan bantuan jangka panjang

dengan gerakan, kekuatan, dan

aktivitas yang mengandalkan berat

badan, juga penggunaan alat, seperti

walker, kruk.

13. Gunakan pelunak feses, enema,


13. Meningkatkan evakuasi isi usus.

dan laksatif sesuai indikasi.

Diagnosa Keperawatan: Kerusakan integritas kulit/jaringan (aktual/ risiko

tinggi) berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka, pemasangan

pen, traksi, perubahan sensasi, imobilisasi fisik.

Tindakan Rasional

Mandiri

1. Kaji kulit dari adanya benda


1. Memberikan informasi tentang

asing, kemerahan, perdarahan, sirkulasi kulit dan masalah yang

perubahan warna (kelabu atau mungkin disebabkan oleh alat dan/atau

memutih). pemasangan gips/bebat atau traksi,

pembentukan edema yang

membutuhkan intervensi medik lanjut.

2. Masase kulit dan area tonjolan


2. Menurunkan tekanan pada area yang

tulang. peka dan risiko abrasi/ kerusakan kulit.

3. Ubah posisi dengan sering. 3. Mengurangi tekanan konstan pada

area yang sama dan meminimalkan


risiko kerusakan kulit.

4. Kaji posisi cincin bebat pada alat


4. Posisi yang tidak tepat dapat

traksi. menyebabkan cedera/ kerusakan kulit.

5. Penggunaan gips dan perawatan


5. Penggunaan gips dan perawatan

kulit. kulit.

a. Bersihkan kulit dengan sabun


a. Mempertahankan gips tetap kering

dan air. Gosok perlahan dengan dan bersih. Terlalu banyak bedak dapat

alkohol, dan/atau bedak dengan membuat lengket bila kontak dengan

sedikit borat/stearat seng. air/keringat.

b. Potong pakaian dalam yang

menutup area dan perlebar


b. Berguna untuk bantalan tonjolan

beberapa inchi di atas gips. tulang, mengakhiri ujung gips, dan

c. Gunakan telapak tangan untuk melindungi kulit.

memasang, mempertahankan atau


c. Mencegah lekukan/ dataran di atas

melepas gips, dan dukung bantal tonjolan dan area penyokong berat

setelah pemasangan. badan (misal punggung tumit), yang

akan menyebabkan abrasi/ trauma

jaringan. Bentuk yang tidak tepat atau

gips kering mengiritasi kulit di

d. Potong kelebihan plester dari bawahnya dan dapat menimbulkan

ujung gips sesegera mungkin saat gangguan sirkulasi.

gips lengkap. d. Plester yang lebih dapat mengiritasi

e. Tingkatkan pengeringan gips dan dapat mengakibatkan abrasi.


dengan mengangkat linen tempat

tidur, memajankan pada sirkulasi l. Mencegah kerusakan kulit yang

udara. disebabkan oleh tertutup pada

f. Observasi area yang berisiko kelembaban di bawah gips dalam

tertekan, khususnya pada ujung jangka lama.

dan bawah bebatan/gips.

g. Beri bantalan pada akhir gips


e. Tekanan dapat menyebabkan

dengan plester tahan air. ulserasi, nekrosis, dan kelumpuhan

saraf. Tidak ada nyeri bila ada

h. Bersihkan kelebihan plester dari kerusakan saraf.

kulit saat masih basah, bila


f. Mengefektifkan perlindungan pada

mungkin. lapisan gips dan kelembaban.

i. Lindungi gips dan kulit pada Membantu mencegah kerusakan

area perineal. Berikan perawatan material gips pada akhir dan

yang sering. mengurangi iritasi kulit/ ekskoriasi.

j. Instruksikan pasien/keluarga
g. Plester yang kering dapat melekat ke

untuk menghindari memasukkan dalam gips yang telah lengkap dan

benda ke dalam gips. menyebabkan kerusakan kulit.

k. Masase kulit sekitar akhir gips


h. Mencegah kerusakan jaringan dan

dengan alkohol. infeksi oleh kontaminasi fekal.

i. Gesekan benda asing menyebabkan

kerusakan jaringan.
j. Mempunyai efek pengering, yang

menguatkan kulit. Krim dan losion

tidak dianjurkan karena terlalu banyak

minyak sehingga dapat menutup

perimeter gips, tidak memungkinkan

l. Ubah posisi pasien sesering gips untuk “bernapas”. Bedal tidak

mungkin, dengan posisi tengkurap dianjurkan karena risiko akumulasi

dan kaki di atas kasur. berlebihan di dalam gips.

k. Meminimalkan tekanan pada kaki

dan sekitar tepi gips.

6. Traksi kulit dan perawatan kulit.6. Traksi kulit dan perawatan kulit

a. Bersihkan kulit dengan air sabun

hangat. a. Menurunkan kadar kontaminasi

b. Berikan tintur benzoin. kulit.

b. “Kekuatan” kulit untuk penggunaan

c. Gunakan plester traksi kulit traksi kulit.

memanjang pada sisi tungkai yang


c. Plester traksi melingkari tungkai

sakit. dapat memengaruhi sirkulasi.

d. Lebarkan plester sepanjang

tungkai. d. Traksi dimasukkan dalam garis

e. Tandai garis di mana plester dengan akhir plester yang bebas.

keluar sepanjang ekstremitas. e. Memungkinkan untuk pengkajian


f. Letakkan bantalan pelindung di cepat terhadap benda yang terselip.

bawah kaki dan di atas tonjolan


f. Meminimalkan tekanan pada area

tulang. tersebut.

g. Balut lingkar tungkai, termasuk

plester dan bantalan dengan verban


g. Memberikan tarikan traksi yang tepat

elastik, hati-hati dalam membalut. tanpa memengaruhi sirkulasi.

Balutlah dengan rapat tetapi tidak

terlalu ketat.

h. Palpasi jaringan yang diplester

tiap hari dan catat adanya nyeri


h. Bila area di bawah plester

tekan/nyeri. mengalami nyeri tekan, diduga ada

iritasi kulit, dan siapkan untuk

i. Lepaskan traksi kulit tiap 24 membuka sistem balutan.

jam sesuai order, lakukan inspeksi


i. Mempertahankan integritas kulit.

dan berikan perawatan kulit.

7. Traksi tulang dan perawatan


7. Traksi tulang dan perawatan kulit

kulit

a. Tekuk ujung kawat atau tutup


a. Mencegah cedera pada bagian tubuh

ujung kawat/pen dengan karet atau lain.

gabus pelindung/tutup jarum.

b. Beri bantalan/pelindung dari

kulit domba, busa. b. Mencegah tekanan berlebihan pada

kulit, meningkatkan evaporasi


kelembaban yang menurunkan risiko

eksoriasi.

Kolaborasi

8. Gunakan tempat tidur busa, bulu


8. Karena imobilisasi, bagian

domba, bantal apung atau kasur tubuh/tulang yang menonjol dan sakit

udara sesuai indikasi. akibat gips akan mengalami penurunan

sirkulasi.

9. Buat gips dengan katup tunggal,


9. Memungkinkan pengurangan

katup ganda atau jendela sesuai tekanan dan memberikan akses untuk

order. perawatan luka/kulit.


DAFTAR PUSTAKA

Smelrzer, Suzane C, dan Brenda G. Bate. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.

Helmi, Zairin Noor. 2011. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba

Medika.

Lukman, dan Nurma Ninhsih. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan

Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction Publishing.

Anda mungkin juga menyukai