Anda di halaman 1dari 23

BAB II

KAJIAN TEORI

A. KANKER SERVIKS
1. Definisi Kanker Serviks
Kanker leher rahim atau kanker serviks adalah keganasan yang
terjadi pada leher rahim (serviks) yang merupakan bagian terendah
dari rahim yang meninjol ke puncak liang senggama (Kemenkes RI).
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks.
Serviks merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris,
menonjol dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri
eksternum.
2. Etiologi Kanker Serviks
Kanker leher rahim mungkin menjadi salah satu contoh yang
paling baik tentang bagaimana infeksi yang disebabkan oleh virus
dapat menyebabkan kanker. Pada manusia dan hewan, pembelahan sel
sebagian besar diatr oleh dua jenis protein, yang pertama disebut Rb
dan yang kedua disebut p53. Baru-baru ini telah ditemukan bahwa dua
gen dalam HPV, yaitu gen E6 dan E7, memproduksi proten yang data
menempel pada Rb dan p53 kemudian menghambat kerja mereka
dalam mengatur pembelahan sel (Massimi and Banks 1997). Ketika
efek atau kinerja tersebut dihabat, sel-sel yang diinfeksi bereproduksi
tanpa kendali. Walaupun virus tersebut hanya berfungsi sebagai
kegiatan awal, setelah beberapa waktu sebagian dari sel-sel yang
berkemang secara liar menyebabkan perubahan permanen pada
struktur genetikanya sehingga tidak dapat diperbaiki, dan dapat
dikaitkan secara erat dengan perkebangan pra-kanker. Setelah
perubahan genetika terjadi, sebagian dapat berubah menjadi sel-sel
kanker. Peting bahwa sel-sel yang terpengaruh juga menghasilkan
protein-protein yang tidak normal, dan protein tersebut dapat
ditemukan baik pada sekresi leher rahim dan pada sirkulasi yang
berimplikasi pada perkembangan tes-tes selanjutnya.
Pada tahap-tahap awal, sel leher rahim yang terinfeksi virus
mungkin menunjukan perubahan kecil dalam ukuran dan bentuk ketika

4
diperiksa menggunakan mikroskop. Tetapi, seiring dengan waktu, sel-
sel tersebut tidak hanya berkembang dan menjadi lebih tak menentu,
tapi susunan baris dan kolom yang tapi pada permukaan leher rahim
juga rusak. Perubahan-perubahan tersebut konsisten dengan perubahan
dysplasia leher rahim atau CIN dengan tingkat keparahn yang berbeda,
seperti terlihat oleh Spesialis Patologi ketika memeriksa biopsy
specimen dari jaringan ikat leher rahim. Pada beberapa perempuan,
(pre-malignant cells), bila tidak diobati secara perlahan akan
menggantikan sel-sel normal pad permukaan leher rahim, kemudian
akan tumbuh CIS. Akhirnya, ketika sel-sel mulai ttumbuh melewati
lapisan permukaan normal ke otot dan jaringan ikat yang lebih dalam,
timbul kanker yang berkembang dengan penuh.
3. Faktor Risiko Kanker Serviks
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI tahun 2015,
tingginya kasus baru kanker dan sekitar 40% dari kematian akibat
kanker berkaitan erat dengan faktor risiko kanker yang seharusnya
dapat dicegah. Faktor risiko penyebab kematian akibat kanker berbeda
pada penduduk di negara berpenghasilan rendah-menengah dan negara
berpenghasilan tinggi. Merokok merupakan faktor risiko terbesar
penyebab kematian akibat kanker di dunia, negara berpenghasilan
rendah-menengah, maupun negara berpenghasilan tinggi. Pada
penduduk di negara berpenghasilan rendah-menengah, konsumsi
alkohol, rendahnya konsumsi buah dan sayur, serta infeksi virus
human papilloma (HPV) menyebabkan lebih banyak kematian akibat
kanker dibandingkan pada penduduk di negara berpenghasilan tinggi.
Namun, merokok serta kelebihan berat badan dan obesitas merupakan
faktor risiko yang lebih dominan pada penduduk di negara
berpenghasilan tinggi.
Dikutip dari jurnal tentang profil penderita kanker serviks RSUP
Sanglah, Bali periode Juli 2012-Juni 2013, di negara berkembang,
kanker serviks merupakan kanker ginekologi tersering pada wanita dan
menjadi penyebab kematian nomor satu. Berdasarkan data Yayasan
Kanker Indonesia, kanker serviks menempati urutan pertama dengan

5
persentase 16% dari jenis kanker yang banyak menyerang perempuan
Indonesia. Dalam tiga dasa warsa terakhir, satu perempuan Indonesia
meninggal dunia karena kanker serviks tiap jamnya. Tingginya angka
kematian itu akibat terlambatnya penanganan, di mana lebih dari 70%
kasus datang dalam kondisi stadium lanjut.
Berdasarkan buku Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara
dan Kanker Leher Rahim Kemenkes RI, faktor risiko yang
menyebabkan perempuan terpapar HPV (sebagai etiologi dari kanker
leher rahim) adalah :
a. Menikah atau memulai aktifitas seksual pada usia muda
(kurang dari 20 tahun)
b. Berganti-ganti pasangan seksual
c. Berhubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti
pasangan
d. Perempuan yang melahirkan banyak anak
e. Riwayat infeksi di daerah kelamin atau radang panggul
f. Perempuan perokok mempunyai risiko dua setengah kali lebih
besar untuk menederita kanker leher rahim di banding dengan
yang tidak merokok.
g. Perempuan yang menjadi perokok pasif (yang tinggal bersama
keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok) akan meningkat
risikonya 1,4 kali disbanding perempuan yang hidup dengan
udara bebas.
h. Hubungan darah keluarga (ibu atau saudara perempuan) yang
menderita kanker leher rahim.
i. Penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh
infeksi HIV
j. Penggunaan kortiko steroid kronis

4. Patofisilogi Kanker Serviks


Infeksi Human Papilolma Virus (HPV) bias terjadi pada
perempuan usia reproduksi. Infeksi ini dapat menetap, berkembang
menjadi dysplasia atau sembuh sempurna. Virus ini ditemukan pada
95% kasus pada kanker leher rahim. Ada 2 golongan HPV yaitu HPV
resiko tinggi atau disebut HPV onkogenik yaitu utamanya tipe 16, 18,

6
dan 31, 33, 45, 52, 58; sedangkan HPV resiko rendah atau HPV non-
onkogenik yaitu tipe 6, 11, 32.
Proses terjadinya kanker leher rahim sangat erat berhubungan
dengan proses metaplasia. Masuknya mutagen atau bahan-bahan yang
dapat mengubah perangai sel secara genetic pada saat fase aktif
metaplasia dapat berubah menjadi sel yang berpotensi ganas.
Perubahan ini biasanya terjadi di daerah transformasi.
Sel yang mengalami mutasi disebut disebut sel displatik dan
kelainan epitelnya disebut dysplasia (neoplasia intraepitel serviks).
Dimulai dari dysplasia ringan, sedang, berat, karsinoma in-situ dan
kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Lesi dysplasia
dikenal juga sebagai “lesi pra-kanker. Petbedaan derajat dysplasia
didasarkan atas tebal epitel yang mengalami kelainan dan berat
ringannya kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma instu adalah
gangguan maturase epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma
invasive tetapi membrana basialisnya masih utuh. Pada lesi prakanker
derajat ringan dapat mengalami regresi spontan dan menjadi normal
kembali. Tetapi pada lesi derajat sedang dan berat lebih berpotensi
berubah menjadi kanker invaisf.
5. Tanda Dan Gejala Kanker Serviks
Pada tahap awal, wanita dengan kanker serviks awal dan pre-
kanker tidak akan mengalami gejala. Pasalnya, kanker serviks tidak
menunjukkan gejala hingga tumor terbentuk. Tumor kemudian bisa
mendorong organ di sekitar dan mengganggu sel-sel sehat. Gejala
klinis kanker serviks bisa ditandai dengan ciri-ciri berikut ini :
a. Perdarahan yang tidak wajar dari vagina. Misalnya perdarahan
diluar siklus haid, menstruasi yang lebih panjang, perdarahan
setelah atau saat berhubungan seks, setelah menopause, setelah
BAB, atau setelah pemeriksaan panggul.
b. Siklus menstruasi jadi tidak teratur.
c. Nyeri pada panggul (di perut bagian bawah)
d. Nyeri saat berhubungan seks atau berhubungan seks.
e. Nyeri di pinggang (punggung bawah) atau kaki.
f. Badan lemas dan mudah lelah.
g. Berat badan menurun padahal tidak sedang diet.
h. Kehilangan nafsu makan.

7
i. Cairan vagina yang tidak normal, seperti berbau menyengat
atau disertai darah.
j. Salah satu kaki membengkak.
Deteksi dini lesi pra kanker terdiri dari berbagai metode :
a. Papsmear (konvensional atau liquid-base cytology /LBC )
b. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
c. Inspeksi Visual Lugoliodin (VILI)
d. Test DNA HPV (genotyping / hybrid capture)
6. Penatalaksaan Kanker Serviks
a. Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas
pelayanan kesehatan, sesuai dengan kemampuan sumber daya
manusia dan sarana prasarana yang ada.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana
terbatas dapat dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan
tes IVA. Skrining dengan tes IVA dapat dilakukan dengan cara
single visit approach atau see and treat program, yaitu bila
didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan
pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau
bidan yang sudah terlatih.
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan
pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan
tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau
Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk
kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik. Bila hasil
elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa
dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
1) LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion),
dilakukan LEEP dan observasi 1 tahun.
2) HISL (high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan
LEEP dan observasi 6 bulan
Berbagai metode terapi lesi prakanker serviks:
1) Terapi NIS dengan Destruksi Lokal Beberapa metode terapi
destruksi lokal antara lain: krioterapi dengan N2O dan CO2,
elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut

8
ditujukan untuk destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan
kelainan lesi prakanker yang kemudian pada fase penyembuhan
berikutnya akan digantikan dengan epitel skuamosa yang baru.
a) Krioterapi Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan
epitel serviks dengan metode pembekuan atau freezing hingga
sekurangkurangnya -20oC selama 6 menit (teknik Freeze-thaw-
freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2. Kerusakan
bioselular akan terjadi dengan mekanisme: (1) sel‐ sel
mengalami dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi elektrolit
dalam sel terganggu; (3) syok termal dan denaturasi kompleks
lipid protein; (4) status umum sistem mikrovaskular.
b) Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi
dengan melakukan eksisi Loop diathermy terhadap jaringan
lesi prakanker pada zona transformasi. Jaringan spesimen akan
dikirimkan ke laboratorium patologi anatomi untuk konfirmasi
diagnostik secara histopatologik untuk menentukan tindakan
cukup atau perlu terapi lanjutan.
c) Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih
luas dan efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi
harus dilakukan dengan anestesi umum. Tindakan ini
memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai
kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi,
terutama jika lesi tersebut sangat luas.
d) Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of
radiation), suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung
yang berisi campuran gas helium, gas nitrogen, dan gas CO2
sehingga akan menimbulkan sinar laser yang mempunyai
panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang terdapat
pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu
penguapan dan nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa
serviks menguap karena cairan intraselular mendidih,
sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di

9
bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding
dengan kekuatan dan lama penyinaran.
b. Tatalaksana Kanker Serviks Invasif
1) Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ)
Konisasi (Cold knife conization). Bila margin bebas, konisasi
sudah adekuat pada yang masih memerlukan fertilitas. Bila
tidak tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi. Bila fertilitas
tidak diperlukan histerektomi total Bila hasil konisasi ternyata
invasif, terapi sesuai tatalaksana kanker invasif.
2) Stadium IA1 (LVSI negatif)
Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat) apabila
fertilitas dipertahankan.(Tingkat evidens B) Bila tidak free
margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi.
Histerektomi Total apabila fertilitas tidak dipertahankan
3) Stadium IA1 (LVSI positif)
Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik
apabila fertilitas dipertahankan. Bila operasi tidak dapat
dilakukan karena kontraindikasi medik dapat dilakukan
Brakhiterapi
Stadium IA2,IB1,IIA1
Pilihan :
1) Operatif : Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik.
(Tingkat evidens 1 / Rekomendasi A) Ajuvan Radioterapi (RT) atau
Kemoradiasi bila terdapat faktor risiko yaitu metastasis KGB,
metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas tumor, deep stromal
invasion, LVSI dan faktor risiko lainnya. Hanya ajuvan radiasi
eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja. Apabila tepi sayatan tidak
bebas tumor / closed margin, maka radiasi eksterna dilanjutkan dengan
brakhiterapi.
2) Non operatif : Radiasi (EBRT dan brakiterapi) Kemoradiasi (Radiasi :
EBRT dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi)
Stadium IB 2 dan IIA2
Pilihan :
1) Operatif (Rekomendasi A)

10
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi. Tata laksana
selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi
untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
2) Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan massa
tumor primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi. Tata laksana
selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi
untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.

Stadium IIB
Pilihan :
1) Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2) Radiasi (Rekomendasi B)
3) Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
4) Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam
penelitian)
Stadium III A  III B
1) Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2) Radiasi (Rekomendasi B)
Stadium IIIB dengan CKD
1) Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
2) Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
3) Radiasi
Stadium IV A tanpa CKD
1) Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
2) Kemoradiasi Paliatif, atau
3) Radiasi Paliatif
Stadium IV A dengan CKD, IVB
1) Paliatif
2) Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi paliatif dapat
dipertimbangkan.

B. KANKER OVARIUM

11
1. Definisi Kanker Ovarium
Kanker Ovarium adalah proses keganasan primer yang terjadi pada
organ ovarium dan juga merupakan penyebab kematian tertinggi dari
kanker alat genital perempuan. Dari semua kanker gonekologi, kanker
ovarium merupakan tantangan yang terbesar dari para klinis ginekologi
onkologi untuk menanganinya oleh karena kanker ovarium awalnya
tidak memberikn gejala dan baru memberikan gejala apabila sudah
metastase, dimana ditemukan penderita sudah dalam stadium lanjut 2/3
dari seluruh kasus. (Kemenkes RI).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan kanker
ovarium sebagai epitel, non-epitel (sel germinal dan sel tali-tali seks),
dan metastatik (dari kanker primer lainnya seperti kanker lambung,
usus besar, payudara dan lainnya). Kanker ovarium pada umumnya
dijumpai pada wanita usia yang lebih tua atau usia post menopause.
Kanker ovarium jarang ditemukan pada usia di bawah 40 tahun. Angka
kejadian meningkat dengan makin tuanya usia. Usia median saat
didiagnosis adalah 63 tahun dan 48% penderita berusia di atas 65
tahun. (Imanuel. 2016)
2. Etiologi Kanker Ovarium
Penyebab kanker ovarium belum diketahui secara pasti. Akan
tetapi, bayak teori yang menjelaskan tentang etiologi kanker ovarium.
Adapun penyebab dari kanker ovarium yaitu Hipotesis androgen.
Androgen mempunyai peranan penting dalam terbentuknya kanker
ovarium. Hal ini didasarkan pada hasil percobaan bahwa epitel
ovarium mengandung reseptor androgen. Dalam percobaan in vitro,
androgen dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan
sel-sel kanker ovarium. Dalam penelitian sebelumnya diketahui bahwa
usia menarkhe dini diduga merupakan risiko kanker ovarium, hal ini
berhubungan dengan produksi hormon oleh ovarium yaitu estrogen,
estrogen sendiri terdiri dari 3 jenis hormon yaitu estradiol, estriol, dan
estrion.
Estradiol dan estriol diduga bersifat karsinogenik, hal ini
berhubungan dengan poliferasi jaringan ovarium dimana kedua
hormon ini memegang peranan penting. Seperti dikatakan sebelumnya

12
bahwa menarkhe merupakan pertanda bahwa ovarium telah mulai
menghasilkan hormon estrogen. Dan pada faktanya bahwa usia
menarche dini (<12 tahun) menyebabkan usia menopause yang lebih
lama, Sehingga keterpaparan estrogen seorang wanita yang memiliki
menarkhe dini lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang memiliki
menarkhe normal.
Hasil analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) diperoleh nilai
OR=2,104, pada tingkat kepercayaan (CI)=95% diperoleh nilai Lower
Limit (LL) = 1,061 dan Upper Limit (UP) = 4,174. Oleh karena nilai
LL dan UL tidak mencakup nilai 1 maka nilai 2,104 dianggap
bermakna secara statistik, dengan demikian responden yang menarkhe
pada umur < 12 tahun memiliki risiko 2,104 kali lebih besar untuk
mengalami kanker ovarium daripada responden yang menarkhe pada
umur = 12 tahun.
Walaupun usia menarche yang terlalu dini dikaitkan dengan
lamanya terpapar oleh hormon estrogen dalam meningkatkan risiko
kanker ovarium namun teori yang kuat mengkaitkan menarkhe dengan
kanker ovarium adalah teori gonadrotopin, karena hormon
gonadrotopin adalah hormon penting selama dan pra pubertas, dimana
hormon LH berfungsi mematangkan ovarium dan memicu ovulasi
serta sintesis dan sekresi estrogen dan progesteron pada wanita
sehingga pubertasi pada wanita sangat dipengaruhi oleh hormon ini,
adapun teori ini didasarkan pada pengetahuan dari percobaan binatang
dan data epidemiologi. Hormon hiposa diperlukan untuk
perkembangan tumor ovarium pada beberapa percobaan pada binatang
rhodentia. Pada percobaan ini ditemukan bahwa jika kadar estrogen
rendah di sirkulasi perifer, kadar hormon gonadotropin meningkat.
Peningkatan kadar hormon gonadrotopin ini ternyata berhubungan
dengan makin bertambah besarnya tumor ovarium pada binatang
tersebut. Walaupun teori ini telah mencoba menjelaskan pengaruh
peningkatan hormon gonadrotopin terhadap kanker ovarium, namun
teori ini masih menjadi perdebatan selain karena teori ini didasarkan
pada uji coba binatang mamalia, namun struktrur anatomi dan fisiologi

13
tubuh manusia jauh berbeda bila dibandingkan dengan binatang
rodentia, selain itu kadar estrogen rendah pada tubuh manusia memicu
peningkatan kadar hormon gonadrotopin dalam tubuh manusia,
dikarenakan salah satu fungsi hormon gonadrotopin (LH) adalah
meningkatkan sintesis dan pelepasan estrogen dan progestin, sehingga
hal ini dapat menyebabkan peningkatan yang pesat pula pada hormon
estrogen.
Adapun faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit kanker
ovarium antara lain diuraikan sebagai berikut :
a. Merokok
b. Alkohol
c. Diet tinggi lemak dan obesitas
Obesitas menyebabkan kadar estrogen dalam tubuh juga
meningkat serta beberapa zat lemak dapat menghasilkan estrogen
yang pada umumnya berbentuk estrion, maupun estradiol.
Mekanisme perubahan dari zat lemak (kolesterol) dapat dijelaskan
melalui biosintesis hormon, dimana semua hormon steroid
termasuk estrogen berasal dari kolesterol.
d. Penggunaan bedak talk perineal
Penggunaan bedak pada area genital termasuk lipatan paha telah
lama berlangsung lama, baik dinegara maju maupun negara
berkembang namun penelitian mengenai bedak sebagai penyebab
kanker baru dimulai pada tahun 1980-an sehingga badan registrasi
kanker dunia telah menjadikan beberapa jenis bedak sebagai zat
karsinogenik bila digunakan dibeberapa daerah tertentu ditubuh
termasuk di area genital maupun lipatan paha. Sifat karsinogenetik
ini disebabkan karena komposisi bedak yaitu magnesium trisilikat
yang bersifat basa dapat melakukan ikatan dengan DNA sel, proses
ini biasa disebut sebagai insersi atau penyusupan suatu basa
nitrogen kedalam molekul dna. Adapun proses masuknya molekul
ini kedalam ovarium belum dapat dipastikan secara kimiawi namun
beberapa penelitian menyebutkan bahwa molekul bedak mampu
bermigrasi ke ovarium melalui saluran kelamin melalui transpor
pasif sel dan beberapa jaringan sel ovarium yang telah menjadi
tumor ringan maupun ganas terdapat serat molekul bedak, sehingga

14
beberapa penelitian menghubungkan bedak dengan risiko kanker
ovarium.
e. Riwayat kanker payudara, kolon, atau endometrium
f. Riwayat kelurga dengan kanker payudara atau ovarium
Adanya riwayat keluarga yang pernah menderita kanker
ovarium atau kanker payudara merupakan salah satu penyebab
terjadinya kanker ovarium pada seorang wanita. Dimana terdapat
peningkatan risiko keganasan pada wanita yang keluarganya
menderita kanker ovarium. Pengaruh riwayat keluarga secara teori
dan beberapa penelitian telah membuktikan bahwa riwayat
keluarga merupakan determinan dari kanker ovarium. Beberapa
studi genetik mengungkapkan bahwa adanya riwayat keluarga
yang menderita kanker ovarium atau kanker payudara telah
menyebabkan terjadinya mutasi pada genBRCA 1 dan BRCA 2.
Gen BRCA 1 dan BRCA 2 merupakan gen yang memiliki fungsi
untuk mendeteksi terjadinya kerusakan dalam untai ganda DNA
sel, mekanismekerjanya adalah berikatan dengan protein RAD51
selama perbaikan untai ganda DNAdimana gen ini mengadakan
perbaikan didalam inti sel dengan mekanisme rekombinashomolog
yang berdasarkan dari sel sebelumnya, rekombinasi ini
menyesuaikan dengankromosom dari sel induk, sehingga
kerusakan pada gen ini menyebabkan tidakterdeteksinya kerusakan
gen didalam sel dan sel yang mengalami mutasi tidak
dapadiperbaiki sehingga tumbuh sel yang bersifat ganas yang
berpoliferasi menjadi jaringan kanker.
g. Infertilitas
h. Menstruasi dini
i. Tidak pernah melahirkan
3. Patofisilogi, Tanda dan Gejala Kanker Ovarium
Kanker ovarium disebabkan oleh zat-zat karsinogenik sehingga
terjadi tumor primer, di mana akan terjadi infiltrasi di sekitar jaringan
dan akan terjadi implantasi. Implantasi merupakan ciri khas dari tumor
ganas ovarium. Gejala yang terjadi pada kanker ovarium adalah gejala
samar dan ascites. Ascites adalah kelebihan volume cairan di rongga

15
perut, sedangkan gejala samarnya, yaitu perut sebah, makan sedikit
tapi cepat kenyang, sering kembung, dan nafsu makan menurun.
Manifestasi klinik terutama berupa rasa tidak enak di perut bagian
bawah atau tenesmus. Pada stadium awal dapat timbul acites; dengan
cepat kanker tumbuh melapaui kavum pelvis hingga teraba massa,
menstruasi tidak teratur, dapat timbul pendarahan pervaginam. Tanda
dan gejala pada pasien kanker ovarium bervariasi dan tidak spesifik.
Pada stadium awal berupa menstruasi yang tidak teratur, ketegangan
menstrual yang meningkat, menoragia, nyeri tekan pada payudara,
menopause dini, rasa tidak nyaman pada abdomen, dyspepsia, tekanan
pada pelvis, sering berkemih, flatulenes, rasa begah setelah makan
makanan kecil, lingkar abdomen yang terus meningkat.
4. Penatalaksaan Kanker Ovarium
a. Kemoterapi
Merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat
sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi
sel-sel kanker yang bertujuan untuk mengurangi massa tumor
selain pembedahan atau radiasi, meningkatkan kelangsungan hidup
dan memperbaiki kualitas hidup, mengurangi komplikasi akibat
metastase. :
1) Prinsisp Kerja Obat Kemoterapi
Sebagian besar obat kemoterapi (sitostatika) yang digunakan
saat ini bekerja terutama terhadap sel-sel kanker yang sedang
berproliferasi, semakin aktif sel-sel kanker tersebut
berproliferasi maka semakin peka terhadap sitostatika hal ini
disebut Kemoresponsif, sebaliknya semakin lambat
prolifersainya maka kepekaannya semakin rendah, hal ini
disebut kemoresisten. Obat kemoterapi ada beberapa macam,
di antaranya adalah :
a) Obat golongan Alkylating agent, platinum Compouns, dan
Antibiotik Anthrasiklin obst golongan ini bekerja dengan
antara lain mengikat DNA di inti sel, sehingga sel-sel
tersebut tidak bisa melakukan replikasi.

16
b) Obat golongan Antimetabolit, bekerja langsung pada
molekul basa inti sel, yang berakibat menghambat sintesis
DNA.
c) Obat golongan Topoisomerase-inhibitor, Vinca Alkaloid,
dan Taxanes bekerja pada gangguan pembentukan tubulin,
sehingga terjadi hambatan mitosis sel.
d) Obat golongan Enzim seperti, L-Asparaginase bekerja
dengan menghambat sintesis protein, sehingga timbul
hambatan dalam sintesis DNA dan RNA dari sel-sel kanker
tersebut.
2) Pola Pemberian Kemoterapi
a) Kemoterapi Induksi : Ditujukan untuk secepat mungkin
mengecilkan massa tumor atau jumlah sel kanker, contoh
pada tomur ganas yang berukuran besar (Bulky Mass
Tumor) atau pada keganasan darah seperti leukemia atau
limfoma, disebut juga dengan pengobatan penyelamatan.
b) Kemoterapi Adjuvan : Biasanya diberikan sesudah
pengobatan yang lain seperti pembedahan atau radiasi,
tujuannya adalah untuk memusnahkan sel-sel kanker yang
masih tersisa atau metastase kecil yang ada (micro
metastasis).
c) Kemoterapi Primer : Dimaksudkan sebagai pengobatan
utama pada tumor ganas, diberikan pada kanker yang
bersifat kemosensitif, biasanya diberikan dahulu sebelum
pengobatan yang lain misalnya bedah atau radiasi.
d) Kemoterapi Neo Adjuvan : Diberikan mendahului/sebelum
pengobatan /tindakan yang lain seperti pembedahan atau
penyinaran kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi lagi.
Tujuannya adalah untuk mengecilkan massa tumor yang
besar sehingga operasi atau radiasi akan lebih berhasil
guna.
3) Efek Samping Kemoterapi
Efek samping dapat terjadi dalam beberapa cara :
a) Efek amping segera terjadi (Immediate Side Effects) yang
timbul dalam 24 jam pertama pemberian, misalnya mual
dan muntah

17
b) Efek samping yang awal terjadi (Early Side Effects) yang
timbul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu
kemudian, misalnya netripenia dan stomatitis.
c) Efek samping yang terjadi belakangan (Delayed Side
Effects) yang timbul dalam beberapa hari sampai
beberapa bulan, misalnya neuropati perifer, neuropati.
d) Efek samping yang terjadi kemudian (Late Side Effects)
yang timbul dalam beberapa bulan sampai tahun,
misalnya keganasan sekunder.
b. Usaha Operasi Maksimal
Ada axiom diantara banyak ahli ginekologi onkologi bahwa
adalah bijaksana untuk mengeksisi sebanyak mungkin tumor yang
dapat dieksisi bila ditemukan penyebaran penyakit pada saat
operasi primer untuk kanker ovarium. Telah diketahui bahwa terapi
yang bermakna dapat dicapai dengan reduksi atau mengurangi
beban tumor yang berat.
Ada peningkatan usaha dalam mengevaluasi pasien kanker
ovarium dengan laparoskopi bukan laparotomi. Secara teknis hal
ini dapat dilakukan, walaupun kebijaksanaan mengangkat massa
adnexa yang besar dengan laparoskopi masih dipertanyakan.
Rekurensi kanker pada lokasi insisi operasi juga pernah terjadi
namun jarang walaupun ada kanker intrabdominal. Faktor resiko
yang mungkin berperan dalam kekambuhan dini pada lokasi
kanker ginekologi, kanker ovarium adalah neoplasma maligna
yang paling sering menimbulkan metastasis pada lokasi utama
kanker tumbuh. Hal ini terjadi pada pasien dengan atau tanpa
asites, pada pasien dengan tumor makroskopik dalam rongga
abdominal, pada pasien yang menjalani prosedu diagnostik atau
paliatif, dan pada penyakit stadium dini.
c. Terapi Isotope
Radioisotope telah banyak digunakan dalam terapi kanker
ovarium. Baik beta emitter radioactive chromium phosphate
(waktu paruh 14,2 hari) dan radioactive gold (waktu paruh 2,7 hari)
telah digunakan. Isotop ini mengemisi radiasi dengan penetrasi
maksimal efektif 4-5 mm sehingga hanya bermanfaat pada

18
penyakit minimal. Kedua agen diambil oleh makrofag serosa dan
ditransportasikan ke limfonodi retroperitoneal dan mediastinal.
Kemungkinan bahwa koloid radioaktif akan mengeradikasi
metastasis limfonodi dengan uptake limfatik selektif masih
diragukan karena studi-studi menunjukkan bahwa limfonodi
maligna tidak mengambil isotop, namun tumor dengan limfonodi
bersih mengambil isotop. Telah diperkirakan bahwa 6000 cGy
dikirim ke omentum dan permukaan peritoneal dan 7000 cGy pada
beberapa struktur retroperitoneal.
Beberapa uji telah dilakukan untuk membandingkan 32 P
intraperitoneal dengan atau tanpa irradiasi pelvik dengan radiasi
seluruh abdomen atau kemoterapi agen tunggal dalam berbagai
kondisi klinis kanker ovarium. Karena 32 P intraperitoneal gagal
menunjukkan peningkatan hasil akhir dan sulit secara teknis,
pilihan ini dikeluarkan dari rencana terapi yang ada.

C. KISTA OVARIUM
1. Definisi Kista Ovarium
Kista Ovarium adalah benjolan yang membesar, seperti balon yang
beisi cairan, yang tumbuh di indung telur. Cairan ini bisa berupa air,
darah , nanah, atau cairan coklat kental seperti darah menstruasi. Kista
banyak terjadi pada wanita usia subur atau usia reproduksi (Dewi,
2010). Kista ovarium juga merupakan rongga berbentuk kantong berisi
cairan di dalam jaringan ovarium. Kista ini disebut juga kista
fungsional karena terbentuk setelah sel telur dilepaskan sewaktu
ovulasi. Kista fungsional akan mengerut dan menyusut setelah
beberapa waktu (1-3 bulan), demikian pula yang terjadi bila seseorang
perempuan sudah menopause, kista fungsional tidak terbentuk karena
menurunnya aktivitas indung telur (Yatim, 2005).
2. Etiologi Kista Ovarium
Penyebab pasti dari penyakit kista Ovarium belum diketahui secara
pasti. Akan tetapi salah satu pemicunya adalah faktor hormonal.
Penyebab terjadinya kista ovarium ini dipengaruhi oleh banyak faktor
yang saling berhubungan. Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi
terjadinya kista ovarium adalah sebagai berikut:

19
a. Faktor Umur
Kista sering tejadi pada wanita usia subur atau usia reproduksi,
keganasan kista ovarium bisa terjadi pada usia sebelum menarche
dan usia di atas 45 tahun (Manuaba, 2009). Proporsi wanita
penderita kista ovarium berdasarkan Sosiodemografi tertinggi yaitu
pada kelompok umur 28-35 tahun yaitu sebanyak 32 orang (25,8
%) dan yang terendah umur 60-67 tahun sebanyak 2 orang (1,6%).
(Fadhilah, Elicia. 2015) Proporsi wanita penderita kista ovarium
berdasarkan umur tertinggi yaitu pada kelompok umur 29-37 tahun
yaitu sebanyak 31 orang (26,7%). (Siringo, Dumaris. 2013)
b. Faktor Genetik
Riwayat keluarga merupakan faktor penting dalam memasukkan
apakah seseorang wanita memiliki risiko terkena kista ovarium.
Resiko wanita terkena kista ovarium adalah sebesar 1,6%. Apabila
wanita tersebut memiliki seorang anggota keluarga yang
mengindap kista, risikonya akan meningkat menjadi 4% sampai
5% (Rasjidi, 2009). Dalam tubuh kista ada terdapat gen-gen yang
berpotensi memicu kanker yaitu protoonkogen. Karena faktor
pemicu seperti pola hidup yang kurang sehat, protoonkogen bisa
berubah menjadi onkogen yaitu gen yang dapat memicu timbulnya
sel kanker.
c. Faktor Reproduksi
Riwayat reproduksi terdahulu serta durasi dan jarak reproduksi
memiliki dampak terbesar pada penyakit kista ovarium, paritas
(ketidaksuburan) yang rendah dan infertilitas, serta menarche dini
dan menopause terlambat meningkatkan resiko untuk berkembang
menjadi kista ovarium (Rasjidi, 2009). Kista ovarium sering terjadi
pada wanita dimasa reproduksi, menstruasi di usia dini (menarche
dini) yaitu usia 11 tahun atau lebih muda (< 12 tahun) merupakan
faktor risiko berkembangnya kista ovarium, karena faktor asupan
gizi yang jauh lebih baik, rata-rata anak perempuan mulai
memperoleh haid pada usia 10-11 tahun. Siklus haid yang tidak

20
teratur juga merupakan faktor risiko terjadinya kista ovarium
(Manuaba, 2010).
Pada wanita usia subur dan sudah menikah serta memiliki
anak, biasanya mereka menggunakan alat kontrasepsi hormonal
merupakan faktor resiko kista ovarium, yaitu pada wanita yang
menggunakan alat kontrasepsi hormonal implant, akan tetapi pada
wanita yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal berupa pil
cenderung mengurangi resiko untuk terkena kista ovarium
(Henderson, 2005).
d. Faktor Hormonal
Kista ovarium dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormon
estrogen dan progesteron, misalnya akibat penggunaan obat-obatan
yang merangsang ovulasi dan obat pelangsing tubuh yang bersifat
diuretik. Kista fungsional dapat terbentuk karena stimulasi hormon
gonadotropin atau sensitivitas terhadap hormon gonadotropin yang
berlebihan. Hormon gonadotropin termasuk FSH (Folikel
Stimulating) dan HCG (Human Chorionik Gonadotropin)
(Wiknjosastro, 2008 ).
e. Faktor Lingkungan
Perubahan pola struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri
banyak memberikan andil terhadap perubahan pola fertilitas, gaya
hidup, dan sosial ekonomi. Perubahan gaya hidup juga
mempengaruhi pola makan yaitu konsumsi tinggi lemak dan
rendah serat, merokok, konsumsi alkohol, zat tambahan pada
makanan, terpapar polusi asap rokok atau zat berbahaya lainya,
stress dan kurang aktivitas atau olahraga bisa memicu terjadinya
suatu penyakit ( Bustam, 2007).
3. Patofisilogi Kista Ovarium
Setiap indung telur berisi ribuan telur yang masih mudah atau
folikel yang setiap bulannya akan membesar dan satu diantaranya
membesar sangat cepat sehingga menjadi telur matang. Pada peristiwa
ovulasi telur yang matang ini keluar dari indung telur dan bergerak ke
rahim melalui saluran telur. Apabila sel telur yang matang ini dibuahi,

21
folikel akan mengecil dan menghilang dalam waktu 2-3 minggu dan
akan terus berulang sesuai siklus haid pada seorang wanita. Namun
jika terjadi gangguan pada proses siklus ini bisa membentuk kista.
Kista juga dapat terbentuk jika fungsi ovarium yang abnormal
menyebabkan penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak
sempurna di dalam ovarium. Folikel tidak mengalami ovulasi karena
kadar hormon FSH rendah dan hormon LH tinggi pada keadaan yang
tetap ini menyebabkan pembentukan andorogen dan estrogen oleh
folikel dan kelenjar adrenal yang mengakibatkan folikel anovulasi,
folikel tersebut gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan
sel telur, terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium karena itu
terbentuk kista di dalam ovarium (Corvin, 2008).

4. Tanda Dan Gejala Kista Ovarium


1. Gejala Kista Secara Umum
Menurut Yatim Faisal, (2005) gejala kista secara umum, antara
lain:
a. Rasa nyeri di rongga panggul disertai rasa gatal.
b. Rasa nyeri sewaktu bersetubuh atau nyeri rongga panggul kalau
tubuh bergerak.
c. Rasa nyeri saat siklus menstruasi selesai, pendarahan
menstruasi tidak seperti biasa. Mungkin perdarahan lebih lama,
lebih pendek atau tidak keluar darah menstruasi pada siklus
biasa, atau siklus menstruasi tidak teratur.
d. Perut membesar .
2. Gejala Klinis Kista Ovarium
Ada pun gejala klinis kista ovarium:
a. Pembesaran, tumor yang kecil mungkin diketahui saat
melakukan pemeriksaan rutin. Tumor dengan diameter sekitar 5
cm , dianggap belum berbahaya kecuali bila dijumpai pada ibu
yang menopause atau setelah menopause. Besarnya tumor
dapat menimbulkan gangguan berkemih dan buang air besar
terasa berat di bagian bawah perut, dan teraba tumor di perut.

22
b. Gejala gangguan hormonal , indung telur merupakan sumber
hormon wanita yang paling utama sehingga bila terjadi
pertumbuhan tumor dapat mengganggu pengeluaran hormon.
Gangguan hormon selalu berhubungan dengan pola menstruasi
yang menyebabkan gejala klinis berupa gangguan pola
menstruasi dan gejala karena tumor mengeluarkan hormon.
Gejala klinis karena komplikasi tumor. Gejala komplikasi tumor
dapat berbentuk infeksi kista ovarium dengan gejala demam, perut
sakit, tegang dan nyeri, penderita tampak sakit. Mengalami torsi pada
tangkai dengan gejala perut mendadak sakit hebat dan keadaan umum
penderita cukup baik (Manuaba, 2009).

5. Penatalaksaan Kista Ovarium


1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu tindakan pencegahan bila penyakit kista
ovarium belum muncul. Upaya pencegahan primer dapat dilakukan
dengan memberikan informasi mengenai kista ovarium. Gaya
hidup yang tidak sehat dapat memicu terjadinya penyakit kista
ovarium. Risiko kista ovarium fungsional meningkat dengan
merokok. Risiko dari merokok mungkin meningkat lebih lanjut
dengan indeks massa tubuh menurun. Selain dikarenakan merokok
pola makan yang tidak sehat seperti konsumsi tinggi lemak, rendah
serat, konsumsi zat tambahan pada makanan, konsumsi alkohol
dapat juga meningkatka risiko penderita kista ovarium (Bustam,
2007).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan untuk mencegah penyebaran
penyakit dan mencegah terjadinya komplikasi penyakit kista
melalui upaya diagnosa dini serta pengobatan yang tepat (Asmadi,
2008). Kista nonneoplastik akibat peradangan umumnya dalam
anamnesis menunjukkan gejala - gejala ke arah peradangan genital.
Kista nonneoplastik umumnya tidak menjadi besar, dan
diantaranya pada suatu waktu biasanya menghilang sendiri. Jika

23
kista ovarium itu bersifat neoplastik, maka perlu pemeriksaan yang
cermat dan analisis yang tajam dari gejala - gejala yang ditemukan
dapat membantu dalam pembuatan diagnosis diferensial.
Penegakan diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan yang
berupa:
a. Anamnesa lengkap merupakan bagian penting dari diagnosis
tumor adneksa. Pertanyaan tentang rasa nyeri, lokasi, dan
derajat nyeri serta kapan mulai timbulnya rasa nyeri tersebut
akan memudahkan penegakan diagnosis. Anamnesa seperti
keluhan klinik kista ovarium ringan karena besarnya tumor dan
keluhan mendadak akibat komplikasi kista ovarium.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik, antara lain:
1) Fisik umum sebagai tanda vitalnya.
2) Pemeriksaaan palpasi: teraba tumor di abdomen (bentuk
kista padat), bergerak, terasa nyeri atau tidak nyeri.
3) Pemeriksaan dalam: melihat letak tumor apakah melekat
dengan uterus.
4) Pemeriksaan spekulom : melihat servik dilakukan biopsi
atau PAP smear.
5) Pemeriksaan rektal : memberikan konfirmasi jelas tentang
keberadaan tumor (Manuaba, 2010 ).
Kista ovarium dapat dilakukan pemeriksan lanjut yang
dapat dilaksanakan dengan :
a. Laparoskopi : pemeriksaan ini Sangat berguna untuk
mengetahui apakah tumor berasal dari ovarium atau tidak,
dan untuk menentukan sifat-sifat tumor itu.
b. Ultrasonografi : dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan
letak dan batas tumor, apakah tumor berasal dari uterus,
ovarium, atau kandung kencing, apakah tumor kistik atau
solid, dan dapat dibedakan pula antara cairan dalam rongga
perut yang bebas dan yang tidak.

24
c. Foto rontgen : pemeriksaan ini berguna untuk menentukan
adanya hidrotoraks.
d. CA-125 : memeriksa kadar protein di dalam darah yang
disebut CA-125. Kadar CA-125 juga meningkat pada
perempuan subur, meskipun tidak ada proses keganasan.
Tahap pemeriksaan CA-125 biasanya dilakukan pada
perempuan yang berisiko terjadi proses keganasan, kadar
normal CA-125 (0-35 u/ml).
e. Parasentensis pungsi asites : berguna untuk menentukan
sebab asites. Perlu diperhatikan bahwa tindakan tersebut
dapat mencemarkan kavum peritonei dengan isi kista bila
dinding kista tertusuk (Wiknjosastro,2008).
Adapun penatalaksanaan kista ovarium dibagi atas dua metode:
a. Terapi Hormonal
Pengobatan dengan pemberian pil KB (gabungan estrogen-
progresteron) boleh ditambahkan obat anti androgen
progesteron cyproteron asetat yang akan mengurangi
ukuran besar kista. Untuk kemandulan dan tidak terjadinya
ovulasi, diberikan klomiphen sitrat. Juga bisa dilakukan
pengobatan fisik pada ovarium, misalnya melakukan
diatermi dengan sinar laser.
b. Terapi Pembedahan /Operasi
Pengobatan dengan tindakan operasi kista ovarium perlu
mempertimbangkan beberapa kondisi antara lain, umur
penderita, ukuran kista, dan keluhan. Apabila kista kecil
atau besarnya kurang dari 5 cm dan pada pemeriksaan
Ultrasonografi tidak terlihat tanda-tanda proses keganasan,
biasanya dilakukan operasi dengan laparoskopi dengan
cara, alat laparoskopi dimasukkan ke dalam rongga panggul
dengan melakukan sayatan kecil pada dinding perut.
Apabila kista ukurannya besar, biasanya dilakukan
pengangkatan kista dengan laparatomi. Teknik ini

25
dilakukan dengan pembiusan total. Dengan cara laparatomi,
kista bisa diperiksa apakah sudah mengalami proses
keganasan atau tidak. Bila sudah dalam proses keganasan,
dilakukan operasi sekalian mengangkat ovarium dan
saluran tuba, jaringan lemak sekitar dan kelenjar limpe
(Yatim, 2005).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan bertujuan untuk mengurangi
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi supaya penderita
kista ovarium melakukan aktivitasnya kembali. Upaya rehabilitasi
dilakukan dengan dukungan moril dari orang-orang terdekat
terhadap penderita kista ovarium pasca operasi karena penderita
akan kehilangan harga diri sebagai seorang wanita. Terdapat
hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres istri
(Wanita) yang menderita kista ovarium. Dukungan suami atau
keluarga diperlukan sepanjang kehidupan seorang wanita. Apabila
tidak ada tindakan atau dukungan dari keluarga , maka wanita yang
menderita kista ovarium akan mengalami stres bahkan dapat terjadi
depresi.

26

Anda mungkin juga menyukai