Anda di halaman 1dari 53

1

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DENGAN KASUS


DEHISENSI LUKA OPERASI BEDAH SESAR DI RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH KOTA KENDARI

Proposal Penelitian

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat


Sarjana (S1) Pada Program Studi Pendidikan Dokter

Oleh:
Arhami Arman
K1A1 15 007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
ii

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Hubungan Kadar Albumin Dengan Dehisensi Luka Operasi

Bedah Sesar Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari.

Nama : Arhami Arman

NIM : K1A1 15 007

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. Djusiana Eka Cesaria, Sp. OG dr. Asmarani, MPH


NIP. 19790701 200604 2 016 NIP. 19850520 201012 2 005

Mengetahui,
Koordinator Program Studi Pendidikan Dokter FK UHO,

Dr. Zida Maulina Aini, M.Kedtrop


NIP. 19850806 201012 2 00

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
D. Manfaat penelitian ........................................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 8
A. Tinjauan Umum Variabel............................................................................. 8
B. Kerangka Teori........................................................................................... 34
C. Kerangka Konsep ....................................................................................... 35
D. Hipotesis Penelitian.................................................................................... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 36
A. Rancangan Penelitian ................................................................................. 36
B. Waktu dan Lokasi Penelitan....................................................................... 36
C. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 37
D. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 38
E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ................................................ 40
F. Analisis Data .............................................................................................. 41
G. Alur Penelitian ........................................................................................... 44
H. Etika Penelitian .......................................................................................... 45
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 46

iii
iv

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 1 Kontigensi 2x2 OR analisis data penelitian kasus 42


Kontrol

iv
iv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 1 Proses Penyembuhan Luka 16

Gambar 2 Dehisensi Luka Operasi 25

Gambar 3 Grading Dehisensi Luka Operasi 28

Gambar 4 Kerangka Teori 34

Gambar 5 Kerangka Konsep 35

Gambar 6 Skema Dasar Studi Kasus Kontrol 36

Gambar 7 Alur Penelitian 44

iv
iv

iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses persalinan dan kelahiran yang merupakan suatu proses alamiah

dan dialami setiap wanita. Setiap persalinan mempunyai resiko baik pada ibu

maupun janin, berupa kesakitan sampai pada resiko kematian dalam kondisi

berbagai penyulit. Wanita yang tidak dapat melahirkan secara normal maka

tenaga medis akan melakukan penatalaksanaan persalinan sebagai dari

alternatif untuk melahirkan janin. Dari berbagai penyulit persalinan yang

terjadi akan diputuskan tindakan operasi bedah sesar sebagai alternatif

persalinan ketika jalan lahir normal tidak bisa dilakukan (Sohimah dkk, 2014).

Bedah sesar merupakan prosedur pembedahan dengan tujuan

melahirkan janin yang sudah mampu hidup (beserta plasenta dan selaput

ketuban) secara transabdominal melalui sayatan perut dan dinding rahim

(Benson, 2008). Menurut hasil survei global World Health Organization

(WHO) tahun 2011, tindakan bedah sesar menunjukkan tren yang semakin

meningkat dari tahun ke tahun. Dilaporkan dari 137 negara, ditemukan bahwa

terdapat 69 negara (50,4%) yang mempunyai angka persalinan dengan bedah

sesar >15%. Pada tahun 2007 dan 2008 di sembilan negara Asia di Kamboja,

China, Nepal, Filipina, Srilangka, Thailand, dan Vietnam diketahui bahwa

presentase persalinan bedah sesar sekitar 27,3%. Survei ini meneliti hampir

108.000 persalinan di 122 rumah sakit. Persalinan dengan bedah sesar terus

bertambah jumlahnya di berbagai negara, termasuk di Indonesia, dengan

1
2

Sectio Caesarea rate sebesar 6%. Menurut WHO bedah sesar dapat mening-

katkan morbiditas dan mortalitas maternal, sehingga bedah sesar seharusnya

dilakukan hanya karena adanya indikasi medis (Word Health Organitation,

2011).

Jumlah ibu yang melakukan persalinanan dengan metode bedah sesar

adalah sebesar 9,8 persen dari total 49.603 kelahiran sepanjang tahun 2010

sampai dengan 2013, dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan

terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%) (Kemenkes RI, 2013). Semakin

tingginya persalinan yang dilakukan melalui bedah sesar maka akan semakin

meningkatnya kasus morbiditas dan mortalitas komplikasi kehamilan.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 bahwa diperkirakan 20%

kehamilan akan mengalami komplikasi. Dimana komplikasi pasca

persalinanan bedah sesar salah satunya adalah dehisensi luka operasi bedah

sesar. Sihombing dkk. (2017) menyatakan bahwa ibu dengan komplikasi

persalinan 6,63 kali lebih cenderung melahirkan secara sesar dibandingkan ibu

yang tidak memiliki komplikasi persalinan (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2013; Sihombing dkk, 2017). Berdasarkan data rekam medis di poli

KIA Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari kasus ibu yang melakukan

persalinan dengan metode operasi bedah sesar di Rumah Sakit Umum Daerah

Kota Kendari pada bulan Juni 2018 sebanyak 23 kasus dan bulan Juli 2018

sebanyak 42 kasus.

Dehisensi luka operasi adalah luka operasi yang terbuka kembali baik pada

daerah tubuh yang berongga maupun tidak berongga. Dehisensi dapat berupa
3

terlepasnya sebagian atau keseluruhan jahitan pada kulit beserta lapisan

jaringan lain. Dehisensi dapat disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor

yaitu faktor lingkungan seperti teknik septik dan antiseptik dan dari faktor dari

pasien sendiri seperti umur pasien, kondisi medis pasien, kadar haemoglobin,

kadar albumin, berat badan dan obat-obatan yang dikonsumsi serta jenis insisi

dinding abdomen yang dilakukan (Sohimah dkk, 2014).

Dehisensi luka merupakan masalah kesehatan yang penting namun masih

kurang dilaporkan. Dehisensi luka operasi dapat berdampak negatif pada

kesehatan mental, fisik dan fungsi sosial pasien. Dehisensi luka operasi dapat

meningkatkan mortalitas, menyebabkan operasi lanjutan, meningkatkan biaya

rumah sakit yang bertambah, perawatan adjuvan yang tertunda hingga dapat

mempengaruhi sosial dari pasien sendiri (Bates, 2018).

Berdasarkan data World Union of Wound Healing Societies tahun 2018

dehisensi luka operasi pada bedah sesar menempati urutan ketiga dari total

kasus dehisensi luka dengan insiden 1,9%-7,6%, pada urutan kedua yaitu

operasi abdominoplasty bariatric 18,7%-21,5% dan operasi pilonidal sinus

16,9-41,8%. Angka mortalitas untuk kasus dehisensi luka operasi abdominal

sendiri sangat tinggi yaitu dapat mencapai 3%-35% (World Union of Wound

Healing Societies, 2018).

Menurut World Union of Wound Healing Societies tahun 2018 kasus

dehisensi luka operasi jarang dilaporkan sebagai kasus dehisensi, petugas

rumah sakit biasanya memasukkan sebagai kasus infeksi luka operasi padahal

infeksi luka operasi dapat terjadi dengan atau tanpa dehisensi. Penyebab lain
4

kasus dehisensi luka operasi jarang dilaporkan sebagai kasus dehisensi luka

adalah dehisensi terjadi di bagian superficial terutama pada luka kecil dan

dangkal sehingga mungkin dehisensi tidak dikenali, rumah sakit cenderung

memulangkan pasien pasca operasi lebih awal sehingga terjadi kemungkinan

tidak dikenali oleh pasien, dan dehisensi tidak masuk dalam studi surveilans

berbasis rumah sakit (World Union of Wound Healing Societies, 2018).

Kasus dehisensi luka operasi bedah sesar yang tercatat di Rumah Sakit

Umum Daerah Kota Kaendari selama bulan Agustus sebanyak 5 kasus dan

selama bulan September 2018 sebanyak 8 kasus. Menurut Nurani dkk (2015)

terdapat dua faktor yang dapat menghambat proses penyembuhan luka pasca

operasi ada dua yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik

meliputi umur pasien, penyakit penyerta, status nutrisi, oksigenisasi dan

perfusi jaringan, serta merokok. Faktor ekstrinsik meliputi teknik pembedahan

buruk, mobilisasi, pengobatan, manajemen luka yang tidak tepat, psikososial

dan infeksi. Tingkat serum albumin sendiri merupakan parameter yang secara

klinis dapat menilai nutrisi pasien pasca operasi. Tingkat serum albumin

>3,5g/dl diinterpretasikan sebagai cukupnya penyimpanan protein pasien

sehingga dapat memberikan efek perlindungan terhadap penyembuhan luka

melalui beberapa mekanisme biologis (Nurani dkk, 2015; Sindgikar dkk,

2017).

Albumin merupakan protein fase akut yang dimana konsentrasinya dapat

menurun selama cedera dan sepsis (Sonoda, 2015). Setiap penurunan kadar

albumin sebesar 2,5g/dl akan meningkatkan angka mortalitas hingga 56%.


5

Albumin serum berhubungan dengan mortalitas pasien pasca operasi jika tidak

dengan baik dan tidak terdeteksi secara cepat. Semakin rendah kadar albumin

serum maka semakin tinggi mortalitas. Berdasarkan hal tersebut penilaian

kadar albumin sangat penting dilakukan agar tidak terjadi perbukan terhadap

luka pasien post operasi bedah sesar kedepannya (Indrajaja dkk, 2014).

Penelitian serta studi surveilans mengenai dehisensi luka operasi perlu

dilakukan sehingga dapat meminimalisir kasus dehisensi luka operasi yang

tidak dilaporkan. Selain itu, dengan banyaknya studi surveilans mengenai

dehisensi luka operasi diharapkan dapat membantu menurunkan angka

mortalitas yang terjadi akibat dehisensi luka operasi. Atas dasar latar belakang

permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang hubungan kadar albumin dengan kasus dehisensi luka operasi bedah

sesar di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan kadar albumin serum dengan kasus dehisensi luka

operasi bedah sesar di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kadar albumin serum dengan kasus

dehisensi luka operasi bedah sesar di Rumah Sakit Umum Daerah Kota

Kendari.
6

2. Tujuan Khusus

a. Menngukur kadar albumin serum pada pasien kasus dehisensi luka

bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari.

b. Menngukur kadar albumin serum pada pasien yang tidak mengalami

kasus dehisensi luka bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Kota

Kendari.

c. Mencari hubungan kadar albumin dengan kasus dehisensi luka operasi

bedah sesar di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari.

d. Untuk mengetahui berapakali lipat pasien dengan hipoalbuminemia

dapat mengalami dehisensi luka operasi bedah sesar dibandingkan

dengan pasien tanpa hipoalbuminemia di Rumah Sakit Umum Daerah

Kota Kendari.

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dari penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan

ilmu pengetahuan khususnya mengenai kasus dehisensi luka pada operasi

bedah sesar serta hubungannya dengan kadar albumin pada pasien di

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari, dan diharapkan kedepannya

dapat menjadi bahan rujukan dalam penanganan kasus dehisensi luka

operasi bedah sesar.

2. Manfaat Aplikatif

Mengingat penelitian mengenai dehisensi luka operasi bedah sesar

masih jarang dilakukan, maka diharapkan hasil dari penelitian ini


7

diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti, pembuat kebijakan rumah

sakit, dan masyarakat khususnya ibu hamil. Bagi peneliti dapat menambah

pengetahuan dan pengalaman serta dapat dijadikan acuan untuk penelitian

selanjutnya. Bagi petugas kesehatan dan pembuat kebijakan Rumah Sakit

dapat mencegah dan menangani kasus dehisensi luka mengingat kasus

dehisensi luka masih tinggi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari.

Bagi masyarakat dapat memberikan pengetahuan tentang pentingnya kadar

albumin dan hubungannnya dengan terjadinya kasus dehisensi luka operasi

bedah sesar. Bagi ibu hamil dapat menjadi sumber informasi perbaikan

pola konsumsi gizi ibu hamil untuk mencegah terjadinya dehisensi luka

operasi pasca bedah sesar.

3. Manfaat Metodologis

Sebagai bahan bacaan bagi peneliti lain terkait hubungan kadar

albumin dengan kasus dehisensi luka operasi bedah sesar di RSUD Kota

Kendari sehingga dapat digunakan sebagai saran untuk penelitian lanjutan

mengenai hubungan faktor risiko lain dengan kejadian dehisensi luka post

operasi bedah sesar di Rumah Sakit di Kota Kendari.


8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Variabel

1. Bedah Sesar

a. Definisi Bedah Sesar

Bedah Sesar adalah kelahiran janin melalui jalur abdominal

(laparotomi) yang memerlukan insisi ke dalam uterus (histerotomi).

Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari rongga perut dalam

kasus ruptur uterus atau dalam kasus kehamilan abdominal. Bedah sesar

merupakan tindakan medis yang diperlukan untuk membantu

persalinan yang tidak bisa dilakukan secara normal akibat masalah

kesehatan ibu atau kondisi janin. Tindakan ini diartikan sebagai

pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut

dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk mela-

hirkan janin dari dalam rahim. Namun demikian, saat ini tindakan

bedah sesar tidak lagi dilakukan semata-mata karena pertimbangan

medis, tetapi juga termasuk permintaan pasien sendiri atau saran

dokter yang menangani seperti hasil penelitian yang dibahas

sebelumnya. Bedah sesar memang memungkinkan seorang wanita

yang akan bersalin untuk merekayasa hari persalinan sesuai keinginan

lebih besar (Ayuningtyas dkk. 2018; Kharisma P, 2016).

8
9

b. Indikasi Bedah Sesar

Yaeni, tahun 2013 membagai Indikasi Persalinan Bedah Sesar

menjadi tiga yaitu:

1) Indikasi Mutlak

Faktor mutlak untuk dilakukan bedah sesar dapat dibagi menjadi

dua indikasi, yang pertama adalah indikasi ibu, antara lain: panggul

sempit absolut, kegagalan melahirkan secara normal karena kurang

kuatnya stimulasi, adanya tumor jalan lahir, stenosis serviks,

plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, dan ruptur uteri. Indikasi

yang kedua adalah indikasi janin, antara lain: kelaianan otak, gawat

janin, prolapsus plasenta, perkembangan bayi yang terhambat, dan

mencegah hipoksia janin karena preeklamasi (Yaeni, 2013).

2) Indikasi Relatif

Yang termasuk faktor dilakukan persalinan bedah sesar secara

relatif, antara lain: riwayat bedah sesar sebelumnya, presentasi

bokong, distosia fetal distress, preeklamsi berat, ibu dengan HIV

positif sebelum inpartu atau gemeli (Yaeni, 2013).

3) Indikasi Sosial

Permintaaan ibu untuk melakukan bedah sesar sebenarnya

bukanlah suatu indikasi untuk dilakukan bedah sesar. Alasan yang

spesifik dan rasional harus dieksplorasi dan didiskusikan.

Beberapa alasan ibu meminta dilakukan persalinan bedah sesar,


10

antara lain: ibu yang melahirkan berdasarkan pengalaman

sebelumnya, ibu yang ingin bedah sesar secara elektif karena takut

bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan, namun

keputusan pasien harus tetap dihargai dan perlu ditawari pilihan

cara melahirkan yang lainnya (Yaeni, 2013).

2. Kulit Normal

Kulit normal memiliki tiga lapisan: epidermis, dermis, dan jaringan

subkutis. Epidermis mempunyai lapisan sel basal yang terus membelah

untuk mempertahankan lapisan epitel berlapis. Lapisan ini adalah

pelindung primer antara lingkungan luar dan dalam tubuh. Ia mencegah

masuknya bakteri atau senyawa racun dan bersama dengan dermis,

melindungi struktur bagian dalam trauma. Kulit juga mencegah hilangnya

cairan tubuh dan elektrolit ke lingkungan luar. Dermis suatu lapisan

kolagen padat, dan jaringan subkutis terdiri dari jaringan ikat yang

mengelilingi globules lemak. Jaringan ikat suatu anyaman tidak kontinu

jaringan fibrosa, yang meluas keseluruh tubuh. Jaringan ikat tersebut

membentuk 30% berat tubuh dan terdiri dari kolagen, retikulin dan elastin

yang dikelilingi substansi dasar (mukopolisakarida dan mukoprotein).

Diantara serat terdapat sel fibroblast, sel lemak, histiosit, sel mast dan sel

plasma (Sabitson, 2011).


11

3. Luka

a. Definisi Luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh.

Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,

perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan

hewan. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul: (a) Hilangnya

seluruh atau sebagian fungsi organ, (b) Respon stres simpatis; (c)

Perdarahan dan pembekuan darah; (d) Kontaminasi bakteri; (e)

Kematian sel. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak

ini adalah penyembuhan luka. Pada proses penyembuhan luka ini akan

melalui beberapa tahapan yaitu hemostasis, inflamasi, granulasi, dan

maturasi (Djuantoro, 2014).

b. Jenis Luka

1) Luka Tertutup

a) Kontusio

Dapat merupakan trauma (cedera) jaringan lunak minor

tanpa laserasi (robeknya) kulit atau mayor seperti bilamana

terlindas kendaraan (Djuantoro, 2014).

b) Abrasi

Pada jenis luka ini, epidermis kulit terkelupas dengan

memperlihatkan dermis (Djuantoro, 2014)


12

c) Hematom

Hematom didefinisikan sebagai timbunan darah yang

biasanya terjadi setelah trauma (Djuantoro, 2014)

2) Luka Terbuka

a) Luka Insisi

Luka ini disebabkan oleh benda tajam seperti pisau, mata

pisau, gelas. Jenis luka ini mempunyai tepi yang tajam dan

lebih jarang terkontaminasi. Penjahitan primer ideal

dilakukan untuk luka seperti ini, karena hal ini

menghasilkan jaringan parut yang rapi dan bersih

(Djuantoro, 2014).

b) Luka Laserasi

Luka ini disebabkan oleh benda tumpul seperti jatuh pada

sebuah batu atau sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas.

Tepi lukanya tidak beraturan (Djuantoro, 2014).

c) Luka Tembus

Luka tembus tidak jarang terjadi. Luka tikaman abdomen

kemungkinan tampak tidak bermasalah degan irisan yang

kecil, satu atau dua cm, tetapi organ internal seperti usus,

hati limpa atau pembulu darah mesenterika kemungkinan

rusak (Djuantoro, 2014).


13

3) Luka yang rapi dan tidak rapi

a) Luka yang rapi

Jaringan sehat, bersih, diinsisi dan jarang disertai

kehilangan jaringan (Djuantoro, 2014).

b) Luka yang tidak rapi

Trauma yang meremukkan atau avulse, terkontaminasi,

jaringan yang mati dan seringkali disertai kehilangan

jaringan (Djuantoro, 2014).

4) Luka akut dan kronis

a) Luka akut

Luka tikaman, setelah RTA dan trauma ledakan (Djuantoro,

2014).

b) Luka Kronis

Ulkus tungkai, ulkus dekubitus (Djuantoro, 2014).

c. Komponen Penyembuhan Luka

1) Fase Inflamasi

Trauma mengakibatkan pelepasan mediator peradangan,

terutama histamin dari trombosit, sel mast dan garnulosit. Hal ini

mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapilar. Selanjutnya

kinin dan prostaglandin bertindak dan memainkan peranan

kemotatik untuk leukosit dan fibroblast. Dalam 48 jam pertama,

leukosit polimorfonukleus (PMN) mendominasi. Leukosit ini


14

memainkan peranan scavenger dengan cara menghilangkan

jaringan yang mati dan nekrotik (Djuantoro, 2014).

2) Fase Proliferatif

Antara hari ke tiga sampai ke lima, leukosit

polimorfonukleus berkurang jumlahnya, tetapi jumlah monosit

bertambah. Sel-sel ini merupakan scavenger yang khusus.

Menjelang hari kelima atau keenam, fibroblast terlihat mengalami

proliferasi dan akhirnya menghasilkan protokolagen yang diubah

menjadi kolagen dengan adanya suatu enzim, yaitu protokolagen

dan hidroksilase. O2 ion ferrous dan asam askorbat diperlukan pada

tahap ini. Fibroplasia bersamaan dengan pertumbuhan kuncup

kapiler akan menghasilkan jaringan granulasi. Epitelisasi terjadi

terutama dari tepi tepi luka oleh proses migrasi sel dan multipikasi

sel. Proses ini dibawakan terutama oleh sel-sel basal marginal.

Dengan demikian, dalam waktu 48 jam, seluruh luka mengalami

re-epitelisasi. Bilamana terdapat luka yang disertai dengan

kehilangan kulit, appendages kulit juga membantu dalam

epitelisasi. Perlahan-lahan sel permukaan mengalami keratinasasi

(Djuantoro, 2014).

3) Fase Remodelling (Maturasi)

Fase ini mulai berlangsung setelah 4 hari dan biasanya

berakhir menjelang 14 hari. Proses ini dibawakan oleh fibrolas

khusus. Karena fibrolas ini mempunyai elemen yang kontraktil,


15

maka senyawa ini dikenal sebagai miofibroblas. Tahap ini

merupakan cara alami dalam mengurangi ukuran defek sedemikian

sehingga membantu penyembuhan luka. Kontraksi luka mudah

terjadi bilamana terdapat kulit yang longgar seperti pada daerah

punggung dan gluteus. Pembentukan jaringan ikat : Pembentukan

jaringan granulasi merupakan langkah yang paling penting dan

mendasar dalam penyembuhan luka (Djuantoro, 2014).

4) Fase Pembentukan Jaringan Parut

Menurut Djuantoro tahun 2014 perubahan berikut ini

berlangsung selama pembentukan jaringan parut :

a) Fibroplasia dan perlekatan kolagen meningkat.

b) Vaskularisasi berkurang (devaskularisasi)

c) Epitelisasi terus berulang

d) Pertumbuhan kearah dalam dari limfatik dan serat saraf

berlangsung.

e) Remodeling kolagen terjadi dengan sikatrisasi yang

menghasilkan jaringan parut.


16

Gambar 1. Proses Penyembuhan Luka


Sumber: (Nguyen dkk, 2016)
d. Penutupan Luka

Tujuan penutupan luka adalah terbentuknya parut yang memuaskan

secara fungsi dan estetik. Secara singkat Prasetyono tahun 2016,

membagi proses penutupan luka menjadi 3 bagian:

1) Intensi Primer

Penutupan luka melalui intensi primer berlangsung segera setelah

luka terjadi. Permukaan luka yang terbuka mendapatkan “baju

epitel” dengan cara penyatuan kedua tepi luka, seperti pada kasus

luka laserasi atau robek (simple laceration) dan luka insisi bedah.

Intensi primer terjadi pada saat kedua tepi luka segera

dipertemukan seperti juga pada luka baru yang segera ditutup

dengan flap, luka segera mendapatkan “baju epitel”. Fase inflamasi

dan proliferasi berlangsung singkat dan epitelisasi lengkap pada


17

pertemuan kedua tepi terjadi dalam waktu 10-14 hari. Walaupun

fase maturasi masih berlangsung selama beberapa bulan,

penutupan segera pada luka yang tidak disertai hilangnya jaringan

akan meminimalkan parut. Penutupan luka melalui intensi primer

dapat terjadi pada berbagai macam luka. Contoh prosedur yang

menggunakan prinsip intensi primer adalah jahitan primer pada

vulnus laceratum, penutupan luka bedah yang segera dilakukan

pada apendektomi dan bedah sesar, mastektomi yang diikuti oleh

rekontruksi menggunakan flap dan luka pada pelepasan kontraktur

yang segera ditutup oleh oleh skin graft atau skin flap. Pada

dasarnya, penutupan luka melalui intensi primer merupakan pilihan

utama untuk berbagai kondisi luka (Prasetyono, 2016).

2) Intensi Sekunder

Konsep penutupan luka melalui intense sekunder adalah

menciptakan lingkungan lembap (moist) yang “right and just”

sampai luka mendapatkan baju epitel. Penyembuhan luka

berintensi sekunder ini digunakan apabila penyembuhan luka

berintensi primer tidak dapat dilakukan, contohnya pada luka yang

sangat besar, luka dengan banyak jaringan nekrotik yang tidak

dapat segera dibuang semuanya, atau kondisi sistemik pasien tidak

mendukung untuk menjalani proses debridement. Tujuan metode

ini adalah menutup luka dengan epitelnya sendiri tanpa intervensi

bedah maupun transfer epitel. Luka sembuh melalui pembentukan


18

kapiler baru dan kolagen disertai epitelisasi secara alami tanpa

intervensi bedah maupun transfer epitel. Luka sembuh melalui

pembentukan kapiler baru dan kolagen disertai epitelisasi secara

alami tanpa intervensi bedah. Fase granulasi dapat berlangsung

selama beberapa minggu atau bulan, tergantung pada jumlah

jaringan yang hilang dan penyakit penyerta. Penyembuhan luka

melalui intensi sekunder dapat meninggalkan parut yang meninjol

karena fase inflamasi yang memanjang. Oleh karena itu, luka yang

sembuh melalui intensi sekunder cenderung berekembang menjadi

parut hipertrofik. Selain itu, luka tersebut juga beresiko menjadi

keloid, walaupun pembentukan keloid juga dipengaruhi oleh

berbagai faktor lain (Prasetyono, 2016).

3) Intensi Tersier

Pada praktik klinis, banyak luka memerlukan perawatan

sementara melalui intensi sekunder sebelum sampai pada kondisi

layak untuk dibantu dengan intervensi bedah dalam memperoleh

baju berepitel. Penutupan luka dapat ditunda apabila ditemukan

adanya kontaminasi berat atau jarinagan mati (slough), yang

mengahmbat granulasi. Kemudian, luka dapat ditutup dengan graft,

flap, atau jahitan primer melalui intervensi bedah. Kesimpulannya,

penyembuhan luka melalui intensi tersier adalah penutupan luka

secara bedah adalah penutupan luka secara bedah pada luka yang

sebelumnya sudah dirawat melalui penyembuhan luka berintensi


19

sekunder, baik disengaja maupun tidak. Penutupan luka berintensi

tersier ini hanya dapat dilakukan melalui tindakan bedah, termasuk

penutupan luka melalui intensi primer yang tertunda dan penutupan

luka menggunakan baik skin graft maupun flap. Flap dapat

dilakukan melalui transfer jaringan local dan jauh (local and

distant tissue transfer) serta transfer jaringan bebas (free tissue

transfer). Penutupan luka yang tertunda mengurangi risiko infeksi

dan menghasilkan parut yang memuaskan, baik secara fungsi

maupun estetik, dibandingkan penutupan luka melalui intense

sekunder (Prasetyono, 2016).

e. Faktor Faktor Yang Mengganggu Penyembuhan Luka

Menurut Prasetyono T (2016), faktor faktor yang menghalangi

penyembuhan luka dibagi menjadi dua yaitu faktor lokal dan faktor

sistemik

1) Faktor Faktor Lokal

a) Infeksi

Luka selalu rentan terhadap resiko infeksi. Sebagian besar luka

kronis mengalami kontaminasi dan kolonisasi bakteri juga

hampir pasti terjadi. Walaupun demikian, kontaminasi dan

kolonisasi bakteri tidak selalu menghalangi penyembuhan luka,

kecuali jumlah bakteri sangat tinggi dan menyebabkan infeksi.

Sebaliknya, tidak dapat dipungkiri bahwa adanya kolonisasi

dan infeksi akan menaikkan beban metabolik tubuh, karena


20

energi yang seharusnya digunakan untuk menyembuhkan luka

justru digunakan tubuh untuk menyingkirkan bakteri, kondisi

ini sisebut sebagai bacterial bio-burden (Prasetyono, 2016).

b) Benda Asing

Adanya benda asing pada luka menyebabkan energi

penyembuhan luka dialihkan demi menyingkirkan “musuh”

yang berupa benda asing. Hasilnya adalah proses penyembuhan

luka yang lebih lambat daripada sebelumnya (Prasetyono,

2016).

c) Hipoksia/iskemia

Proses penyembuhan luka tidak dapat berjalan sebagaimana

mestinya jika jaringan luka mengalami iskemia, yang biasanya

diakibatkan oleh suplai darah dari arteri yang jumlahnya tidak

adekuat atau tergganggu karena hambatan aliran balik darah

dari jaringan perifer. Kondisi ini menyebabkan apoptosis sel

endotel yang kemudian mengganggu kerja system

mikrovaskuler dalam memberikan suplai nutrisi dan oksigen.

Keadaan yang miskin oksigen akan menciptakan kondisi

anaerob dan selanjutnya metabolisme anaerob akan

menghaislkan ATP (adenosine-tri-phosphate) dalam jumlah

yang kecil atau bahkan tidak menghasilkan ATP sama sekali

yang kemudian mengakibatkan jaringan mengalami iskemia

dan nekrosis (Prasetyono, 2016).


21

d) Insufisiensi vena

Sistem vaskular yang terdiri dari komponen arteri dan vena

bertanggungjawab mencukupi kebutuhan perfusi jaringan.

Aliran balik vena sama pentingya dengan aliran arteri dalam

menjaga jaringan agar tetap tercukupi kebutuhan perfusinya.

Ketika aliran vena mengalami gangguan, metabolisme jaringan

dan seluler akan mengalami kekacauan dan tidak dapat

berfungsi secara baik akibat terkumpulnya hasil sisa

metabolisme secara in situ. Secara klinis, darah yang terkumpul

tersebut pada akhirnya akan menimbulkan hambatan aliran

darah. Aliran darah lokal menjadi tidak mampu memenuhi

asupan nutrisi dan oksigen yang merupakan kebutuhan

metabolisme jaringan. Secara keseluruhan, gangguan pada

sistem vaskularisai yang lebih sering melibatkan ekstremitas

bawah akan mengurangi perfusi jaringan yang kemudian

berujung pada kerusakan jaringan yang lanjut, proses

penyembuhan luka tidak dapat berlanjut (Prasetyono, 2016).

e) Toksin lokal

Akumulasi toksi infeksi bakteri serta sisa metabolisme akan

menginduksi proses nekrosis jaringan dan meningkatkan beban

metabolik karena terjadi pengalihan penggunaan energi demi

mengeliminasi toksin yang ada. Dengan demikian, akumulasi


22

toksin dapat mengakibatkan terhambatnya proses peyembuhan

luka (Prasetyono, 2016).

f) Jaringan parut/riwayat trauma sebelumnya

Riwayat trauma dapat meninggalkan bekas luka atau jaringan

parut yang tampak buruk, kehilangan elastisitas dan kurang

baik kualitas jaringannya. Proses penyembuhan luka pada

jaringan parut akan berjalan lebih lambat atau bahkan tidak

dapat berlanjut (Prasetyono, 2016).

g) Kerusakan akibat radiasi

Radiasi mempengaruhi proliferasi sel dan menginduksi

kerusakan jaringan dan apoptosis sel karena radiasi

menimbulkan panas yang berpenetrasi kedalam sel

(Prasetyono, 2016).

2) Faktor faktor sistemik

a) Malnutrisi

Bebeapa nutrisi memegang peranan yang penting dalam proses

penyembuan luka sehingga penyembuhan luka akan

tergganggu bila kecukupan nutrisi tersebut tidak tercapai.

Nutrisi yang berpengaruh adalah:

(1) Glukosa sebagai bahan bakar utama untuk sintesis

glucagon.

(2) Arginin dan methionine penting untuk deposisi matriks,

proliferasi sel dan angiogenesis.


23

(3) Glutamin meningkatkan aksi sel polimorfonuklear (PMN).

(4) Magnesium (Mg), Mangan (Mn), Copper (Cu), Kalsium

(Ca) dan zat besi (Fe) merupakan co-faktor dalam produksi

kolagen.

(5) Vitamin C mempengaruhi modifikasi kolagen.

(6) Glisin, arginine, methionin, mengontrol inflamasi

(7) Zink (Zn) mempengaruhi re-epitelisasi dan deposisi

kolagen.

(8) L-arginin mempengaruhi fungsi endotel dan fungsi

metabolik dan juga NO (nitric oxyde).

(9) Albumin mempertahankan tekanan onkotik dan mencegah

edema (Prasetyono, 2016).

b) Diabetes Melitus

Patogenesis diabetes mellitus meliputi banyak jalur, baik jalur

metabolik, vascular maupun neuropati yang seluruhnya

bersumber dari sorbitol. Sorbitol merupakan produk sisa hasil

metabolisme glukosa yang tidak efektif dan tidak efisien, dan

akan bersifat toksik seiring terjadinya akumulasi, terutama pada

jaringan retina, ginjal, sistem vaskular, maupun sistem saraf

tepi. Sorbitol yang terkakumulasi dan bersifat toksik

nampaknya memicu depresi albumin di perikapiler. Protein

non-fungsional, yang berasal dari peningkatan vaskularisasi

dermis akan mengganggu difusi oksigen dan nutrisi pada


24

organ-organ perifer, termasuk kulit pada ektremitas bagian

bawah (Prasetyono, 2016).

c) Kortikosteroid Sistemik

d) Alkoholisme

e) Kanker/Keganasan

f) Penyakit Kuning/Jaundice

g) Kemoterapi

h) Obesitas

4. Dehisensi Luka

a. Definisi Dehisensi Luka

Dehisensi luka didefinisikan sebagai terganggunya dari

penyembuhan luka termasuk penutupan fasia setelah dilakukannya

operasi atau terjadi celah yang signifikan antara ujung kedua fasia

yang membutuhkan operasi ulang (Walming dkk, 2017).

Dehisensi luka operasi adalah terbukanya kembali luka sayatan

bedah yang telah ditutup dibawah kulit, dengan atau tanpa terlihat

tonjolan jaringan di bawahnya, organ atau implan. Dehisensi dapat

terjadi pada satu bagian luka atau beberapa bagian luka, atau dapat

menegenai sepanjang bekas insisi, dan mungkin mempengaruhi

beberapa atau semua lapisan jaringan. Dehisensi luka bisa disertai

dengan gejala klinis infeksi (Bates, 2018).


25

Gambar 2. Dehisensi Luka Operasi

Sumber : (World Union of Wound Healing Societie, 2018)

b. Penyebab Dehisensi Luka Operasi

WUWHS tahun 2018 mengkategorikan penyebab dehisensi luka

operasi sebagai berikut:

1) Masalah teknis penutupan insisi operasi.

Berbagai macam teknik penutupan sayatan bedah mungkin

saja dapat menyebabkan masalah dehisensi luka operasi terjadi.

Penutupan sayatan bedah dilakukan untuk menyatukan sisi-sisi

luka agar terjadinya fase penyembuhan dan meminimalkan

pembentukan bekas luka. Penutupan sayatan bedah dapat dengan

jahitan, staples, pita perekat atau perekat jaringan topikal.

Pemilihan bahan penutup sayatan bedah dan teknik untuk sayatan

bedah tergantung pada berbagai faktor termasuk jumlah lapisan

jaringan yang harus ditutup, lokasi anatomi sayatan dan kondisi

pasien. Dehisensi luka operasi dapat terjadi jika metode penutupan


26

insisi gagal atau tidak cukup kuat untuk menahan tepi jaringan dan

sisi insisi secara bersamaan (World Union of Wound Healing

Societies, 2018).

2) Stress Mekanis

Strees mekanis yang terjadi pada saat penutupan sayatan

operasi tertutup dapat menyebabkan dehisensi luka oleh karena

pecahnya jaringan yang sedang melakukan penyembuhan. Stres

mekanis dapat terjadi oleh karena tekanan yang berlebihan selama

fase penutupan luka ataupun karena pembengkakan jaringan

disekitar sayatan oleh karena terjadinya edema akibat proses

infalamasi sebagai respon jika terjadi infeksi. Contoh lain yang

dapat menyebabkan stress mekanis adalah batuk, batuk dapat

menyebabkan kerusakan pada jahitan atau ruptur penyembuhan

insisi setelah jahitan (World Union of Wound Healing Societies,

2018).

3) Proses Fase Penyembuhan Luka Yang Terganggu.

Beberapa faktor dapat menyebabkan gangguan terhadap

berbagai proses fase penyembuhan luka operasi. Secara luas faktor

yang mengganngu fase penyembuhan luka dibagi menjadi faktor

lokal dan faktor sistemik.

a) Faktor Lokal

(1) Hipoksia/Ischemia

(2) Jaringan devitalized


27

(3) Infeksi dan kontaminasi

(4) Kondisi Inflamasi seperti Pyoderma, Gangrenosum,

Vaskulitis

(5) Ukuran luka awal yang besar

(6) Stress mekanis yang sedang berlangsung

b) Faktor Sistemik

(1) Usia lanjut dan usia sangat muda

(2) Stress psikologis

(3) Penyakit kronis atau komordibitas

(4) Obat seperti kortikosteroid dan obat obatan kemoterapi

(5) Radioterapi

(6) Merokok, konsumsi alcohol dan penyalahgunaan zat

(7) Malnutrisi

(8) Gangguan jaringan konektif

(9) Ketidakpatuhan terhadap rencana pengobatan

Berbagai kategori diatas dapat berkontribusi pada terhadap

kejadian dehisensi luka operasi dapat disebabkan oleh satu kategori

saja ataupun kombinasi dari berberapa kategori.

c. Grading Dehisensi

• Grading 1: Hanya lapisan dermal yang terlibat, tidak tampak

lemak subkutan, tanpa tanda klinis dan gejala infeksi

• Grading 1a: grading 1 ditambah tanda klinis dan gejala infeksi


28

• Grading 2: lapisan subkutan terlihat, facia tidak terlihat, tanpa

tanda klinis dan gejala infeksi

• Grading 2a: : grading 2 ditambah tanda klinis dan gejala infeksi

• Grading 3: lapisan subkutan dan facia terlihat, tanpa tanda klinis

dan gejala infeksi

• Grading 3a: grading 3 ditambah tanda klinis dan gejala infeksi

• Grading 4: semua lapisan disertai terlihatnya organ, viscera,

implant atau tulang, tanpa tanda klinis dan gejala infeksi

• Grading 4a: grading 4 ditambah tanda klinis dan gejala infeksi

Gambar 3. Grading Dehisensi Luka

Sumber: (World Union of Wound Healing Societies, 2018)


29

5. Albumin

a. Definisi Albumin

Protein merupakan makromolekul yang mempunyai beragam peran

penting, baik secara fisik maupun fungsional. Sekitar 7,0-7,5 g/dL

protein total terkandung dalam plasma manusia dan membentuk bagian

terbesar dari bahan padat plasma. Protein plasma merupakan campuran

kompleks yang mencakup protein-protein sederhana dan protein

terkonyugasi, misalnya glikoprotein dan lipoprotein. Protein plasma

dapat dipisahkan menjadi tiga kelompok besar: fibrinogen,

globulin,dan albumin (Murray RK, 2012).

Albumin adalah protein utama dalam plasma manusia (3,4-4,7

g/dL) dan membentuk sekitar 60% protein plasma total. Sekitar 40%

albumin terdapat dalam plasma,dan 60% sisanya terdapat diruang

ektrasel. Hati menghasilkan sekitar 12 g albumin perhari, yaitu sekitar

25% dari semua sintesis protein oleh hati dan separuh jumlah protein

yang disekresinya. Albumin mula mula dibentuk sebagai suatu

praprotein. Peptida sinyalnya dikeluarkan sewaktu protein ini masuk

kedalam sisterna retikulum endolasma kasar, dan heksapeptida

diterminal amino yang terbentuk kemudian diputuskan ketika protein

ini menempuh jalur sekretorik. Sintesa albumin berkurang pada

beragam penyakit, terutama penyakit hati. Plasma pasien dengan

penyakit hati sering memperlihatkan penurunan rasio albumin terhadap


30

globulin (penurunan rasio albumin dan globulin). Albumin berbentuk

elips yang berarti bahwa albumin tidak meningkatkan viskositas

plasma sebanyak peningkatan yang dilakukan oleh molekul panjang

seperti fibrinogen. Karena massa molekulnya yang relatife rendah

(sekitar 69 kDa) dan kosentrasinya yang tingggi, albumin diperkirakan

menentukan sekitar 75-80%, tekanan osmotik plasma manusia

(Murray, 2012).

Kadar albumin serum merupakan indikator prognostik penting

karena terdapat korelasi antara kadar serum albumin yang rendah

dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas. Berbagai kondisi

seperti luka bakar, penyakit hati, sindrom malabsorpsi, dan malnutrisi

sering dihubungkan dengan kadar albumin yang rendah, sedangkan

kondisi yang berhubungan dengan kadar albumin serum yang tinggi

ialah diet tinggi protein dan dehidrasi (Pongsibidang, dkk. 2016).

b. Fungsi Albumin

Albumin berperan penting dalam mempertahankan cairan darah

suoaya tetap berada didalam ruang intravaskuler. Fungsi ini disebut

juga fungsi osmotik, karena bekerja dengan cara mempertahankan

tekanan osmotic cairan intravaskuler lebih tinggi daripada cairan diluar

ruang tersebut. Fungsi osmotik ini terutama ditentukan oleh jumlah

partikel atau molekul dari suatu senyawa dan bukan oleh berat

keseluruhan senyawa tersebut. Selain itu, kemampuan molekul

tersebut berinteraksi dengan air juga sangat penting, karena hal inilah
31

yang mempertahankan air agar tetap berada dikeliling molekul itu.

Molekul albumin, sebagai suatu protein, sangat mudah berinteraksi

dengan air. Selain itu, jumlah molekulnya cukup banyak didalam

cairan darah bila dibandingkan dengan molekul protein yang lain.

Tambahan pula, molekul albumin terlalu besar untuk dapat menembus

ruang disela-sela sel dinding pembuluh darah, sehingga ia tetap berada

dalam pembuluh tersebut. Semua faktor inilah yang menyebabkan

albumin bersifat osmotik (Sadikin, 2001).

Selain itu, albumin darah juga mempunyai bebrapa fungsi lain

yang tidak kalah pentingnya. Albumin serum dapat dipandang sebagia

cadangan asam amino bagi tubuh. Bila terjadi kekurangan protein

dalam makanan untuk jangka waktu yang cukup lama, maka albumin

akan dipecah menjadi asam-asam amino untuk dipakai sel sel dalam

tubuh untul mensintesis berbagai protein yang sangat diperlukan untuk

hidup. Akibatnya akan terjadi hipoalbuminemia, dengan segala

konsekuensinya bila dibiarkan. Fungsi lain dari albumin ialah fungsi

transport tidak khas. Albumin darah ini dapat mengikat berbagai

senyawa seperti asam lemak, hormone steroid, obat-obatan, zat warna,

logam berat seperti Pb dan Hg, bilirubin dan senyawa lain. Ikatan

antara albumin dan senyawa-senyawa ini tidak spesifik. Perlu diingat

bahwa kemampuan albumin dapat ikut serta mempertahankan pH

darah dalam batas-batas yang normal. Hal ini disebabkan oleh sifat

umum protein yang juga terdapat pada albumin, yaiu sebagai senyawa
32

yang mempunyai gugus yang bersifat asam dan gugus yang bersifat

basa. Pada protein, sifat ini disebabkan oleh adanya gugus-gugus

−COOH yang bersifat asam dan gugus-gugus NH-2 yang bersifat basa

(Sadikin, 2001).

c. Hipoalbuminemia

Perubahan kosentrasi albumin serum biasanya terjadi dalam bentuk

penurunan (hipolabuminemia). Berbagai keadaan dapat menyebabkan

hipoalbuminemia ini. Secara sistematis, berbagai penyebab

hipoalbuminemia dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar.

Kelompok pertama ialah hipoalbuminemia yang disebabkan oleh

kurangnya ketersediaan bahan mentah sintesis protein, yaitu asam

amino yang berasal dari makanan. Kelompok kedua ialah yang

disebabkan oleh gangguan tempat sintesis, yaitu organ hati. Kelompok

ketiga disebabkan oleh terjadinya kehilangan albumin memalalui alat

pembuangan atau eksresi (Sadikin, 2001).

d. Pengaruh Albumin dalam Penyembuhan Luka

Pada pasien sakit kritis seperti infeksi, trauma, atau pembedahan

mayor sering terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan pelepasan

mediator-mediator inflamasi seperti sitokin dan aktivasi leukosit. Hal

ini akan mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, meningkatkan

permiabilitas mikrovaskular, dan ekstravasasi cairan (termasuk

albumin) ke ruang interstisial. Sintesis albumin juga secara bermakna

menurun pada pasien sakit kritis. Respon akut terhadap trauma,


33

inflamasi, dan sepsis akan mengakibatkan peningkatan transkripsi

protein fase akut seperti C-reaktif protein (CRP) dan penurunan

transkripsi protein pada mRNA yang menunjukkan luaran yang buruk

(Indrajaja A, dkk. 2014).


34

B. Kerangka Teori

Operasi
Bedah Sesar Luka Luka Sembuh

Proses Penyembuhan Luka :

1. Fase Inflamasi
Gambar2.1. Kerangka Teori
Fase Proliferase
3. Fase Remodelling

Masalah Teknik Stress Mekanis Ganngguan pada


Penutupan Insisi Pada Luka penyembuhan luka
Operasi

Faktor Lokal : Faktor Sistemik:


1. Malnutrisi:
1. Infeksi
Albumin
2. Hipoksia/
2. Diabetes
Iskemia
Melitus
3. Ukuran Luka
3. Alkoholisme
4. Anemia
5. Obesitas

Dehisensi Luka Operasi Bedah Sesar

Gambar 4. Kerangka Teori


35

C. Kerangka Konsep

Kadar Albumin Dehisensi Luka


Operasi Bedah Sesar

Keterangan : : Variabel Indenpent

: Variabel Dependent

Gambar 5. Kerangka Konsep

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya hubungan kadar albumin

dengan kasus dehisensi luka operasi bedah sesar di Rumah Sakit Umum

Daerah Kota Kendari.


36

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan Studi

Kasus Kontrol (Case Control Study) yaitu membandingkan kelompok kasus

dengan kelompok kontrol. Dalam studi ini ingin diketahui apakah suatu faktor

risiko tertentu benar berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti

dengan membandingkan kekerapan pajanan faktor risiko tersebut pada

kelompok kasus dengan kekerapan pajanan pada kelompok kontrol

(Sastroasmoro dan Ismael, 2014)

Faktor Risiko (+)


Dehisensi Luka
Operasi Bedah Sesar
Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (+) Bukan Dehisensi


Luka Operasi Bedah
Faktor Risiko (-) Sesar

Gambar 6. Skema Dasar Studi Kasus Kontrol

B. Waktu dan Lokasi Penelitan

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2018 – Februari 2019.

36
37

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di poli KIA Rumah Sakit Umum Daerah

Kota Kendari.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu pasca operasi

Bedah Sesar di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari tahun 2018-

2019.

2. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari sampel kasus dan sampel

kontrol. Sampel kasus dalam penelitian ini adalah pasien yang mengalami

dehisensi luka post operasi bedah sesar tahun 2018-2019. Pengambilan

sampel kasus dilakukan dengan teknik Total Sampling, dimana data

tersebut merupakan data primer yang diperoleh dari poli KIA Rumah Sakit

Umum Daerah Kota Kendari. Sedangkan pengambilan sampel kontrol

dilakukan dengan teknik Random Sampling. Penelitian ini menggunakan

perbandingan kasus dan kontrol 1:2.

3. Kriteria Sampel

a) Kriteria Inklusi

1) Kasus

a. Ibu yang telah melakukan operasi bedah sesar di Rumah Sakit

Umum Daerah Kota Kendari yang berkunjung di poli KIA

pada bulan desember 2018 – februari 2019 yang terdiagnosis


38

atau tercatat dalam rekam medis sebagia dehisensi luka operasi

bedah sesar atau infeksi luka operasi.

b. Bersedia mengikuti kegiatan dalam penelitian.

2) Kontrol

a. Ibu yang telah melakukan operasi bedah sesar di Rumah Sakit

Umum Daerah Kota Kendari yang berkunjung di poli KIA

pada bulan desember 2018 – februari 2019 yang tidak

mengalami dehisensi luka operasi bedah sesar atau infeksi luka

operasi.

b. Bersedia mengikuti kegiatan dalam penelitian.

b) Kriteria Eksklusi

1) Kasus

a. Pasien yang mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus.

b. Pasien yang mempunyai suhu >37,5°𝑐 dan atau kadar leukosit

>18.000 mg/dl.

c. Pasien yang mempunyai jahitan sekunder operasi bedah sesar.

2) Kontrol

a. Menolak dijadikan responden dan tidak bersedia

menandatangani surat persetujuan penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan dalam penelitian ini adalah sebagai beikut :

a) Lembar Informed Consent


39

b) Hasil Laboratorium Tes Albumin

c) Alat tulis

d) Kamera Canon EOS 700D Kit2 Resolusi 18 MP

e) Alat ukur :Mistar logam atau meteran yang steril

f) Cobas Integra 400 Plus

2. Cara Kerja

Langkah awal mempersiapkan alat, bahan dan sampel. Kemudian

peneliti melakukan pendekatan pada sampel terkait kesediannya untuk

menjadi responden. Setelah mendapat persetujuan peneliti mulai

mendokumentasikan luka operasi bedah sesar dengan menggunakan

kamera Canon EOS 700D Kit2 beresolusi 18MP dengan mode auto,

responden kemudian mulai mengukur panjang luka dan kedalaman luka

dengan alat ukur yang telah disterilisasi. Kemudian peneliti memberikan

surat pengantar pemeriksaan kadar albumin serum di laboratorium klinik

Prodia kepada responden untuk diambil sampel darahnya. Kemudian

sampel darah dianalisis dengan menggunakan alat Cobas Integra 400 Plus

yang ada di laboratorium klinik Prodia dengan metode End Point (BCG=

Bromocresol Green). Setelah hasil laboratorium keluar peneliti mengola

data hasil laboratorium dengan menggunakan aplikasi SPSS.


40

E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Dehisensi Luka Operasi

a) Definisi Operasional

Dehisensi luka operasi adalah terbukanya kembali luka

sayatan primer bedah yang telah ditutup dibawah kulit pada ibu

yang telah melakukan operasi bedah sesar di Rumah Sakit Umum

Daerah Kota Kendari.

b) Kriteria Objektif

1) Ada Dehisensi Luka Operasi

Ada dehisensi luka operasi adalah terbukanya kembali luka

sayatan primer bedah yang telah ditutup dibawah kulit pada ibu

yang telah melakukan operasi bedah sesar.

2) Tidak Ada Dehisensi Luka Operasi

Tidak ada dehisensi luka operasi adalah luka sayatan primer

operasi tidak terbuka pada ibu yang telah melakukan operasi

bedah sesar.

2. Kadar Albumin

a) Definisi Operasional

Kadar Albumin merupakan salah satu protein plasma yang

terdapat dalam darah yang diukur kadarnya melalui pemeriksaan di

laboratorium klinik Prodia yang diambil melalui darah vena.


41

b) Kriteria Objektif

1) Kadar Albumin Darah Normal

Kadar albumin darah normal jika ditemukan hasil

laboratorium 3,4 g/dl – 4,8 g/dl.

2) Kadar Albumin Darah Menurun/ Hipoalbuminemia

Kadar albumin darah menurun atau hipoalbuminemia jika

ditemukan hasil laboratorium <3,4 g/dl.

F. Analisis Data

Analisis data dilakukan sebagai berikut :

1. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran

deskriptif dari masing-masing variabel dengan menggunakan tabel

distribusi frekuensi dan narasi. Analisis ini akan dlakukan melalui proses

komputerisasi dengan menggunakan analisis statistik.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara

variabel dependen dan independen. Karena rancangan penelitian ini adalah

case control, hubungan antara variabel dependent dan independent

digunakan uji statistik Odd Ratio (OR) tabel kontigensi 2x2 dengan tingkat

kepercayaan 95% (α=0,05).

Rumus Odd Ratio adalah sebagai berikut :

𝑎𝑑
OR = 𝑏𝑐
42

Tabel 2. Kontigensi 2x2 OR analisis data penelitian kasus kontrol

Kelompok Studi
Faktor Risiko Jumlah
Kasus Kontrol
+ a b a+b
- c d c+d
Total a+c b+d a+c+b+d
Sumber : Sastroasmoro dan Ismael (2014)

Keterangan :

a : Jumlah kasus dengan risiko (+)

b : Jumlah kontrol dengan risiko (+)

c : Jumlah kasus dengan risiko (-)

d : Jumlah kontrol dengan risiko (-)

(a+b) : Jumlah kasus dan kontrol dengan risiko (+)

(c+d) : Jumlah kasus dan kontrol dengan risiko (-)

(a+c) : Jumlah kasus dengan faktor risiko (+) dan (-)

(b+d) : Jumlah kontrol dengan faktor risiko (+) dan (-)

a+c+b+d : Total Keseluruhan


43

Interpretasi OR :

a. Jika OR > 1, maka variabel independent merupakan faktor risiko kasus

Dehisensi Luka Operasi bedah sesar.

b. Jika OR = 1, maka variabel independent bukan merukpakan faktor

risiko kasus Dehisensi Luka Operasi bedah sesar.

c. Jika OR < 1, maka variabel independent merupakan faktor protektif

kasus Dehisensi Luka Operasi bedah sesar.


44

G. Alur Penelitian

Pengambilan data awal di Rumah Sakit


Umum Daerah Kota Kendari

Pengajuan
Proposal

Mengikuti Ujian
Kelayakan Etik

Menentukan jumlah populasi


Ekslusi Inklusi
dan sampel penelitian

Persetujuan dengan Informed Consent

Pengambilan Sampel Darah

Pemeriksaan Laboratorium

Analisis data menggunakan SPSS

Hasil dan Pembahasan

Penyajian Hasil Akhir

Gambar 7. Alur Penelitian


45

H. Etika Penelitian

Etik penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu:

1. Self Determinan

Responden diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan apakah

responden bersedia atau tidak bersedia untuk mengikuti kegiatan

penelitian.

2. Anonimity

Selama kegiatan penelitian, nama responden tidak dicantumkan

dalam penelitian dan peneliti menggunakan nomor responden

3. Confidentially

Peneliti juga menjaga kerahasiaan identitas responden dan

informasi yang diperoleh, disimpan sebagai dokumentasi penelitian dan

tidak akan dipublikasikan.

4. Protection from Discomfort

Responden bebas dari rasa tidak nyaman sebelum penelitian

dilakukan responden.
46

Daftar Pustaka

Aprina & Anita, P. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Persalinan


Sectio Caesarea di RSUD Dr. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
Jurnal Kesehatan, Volume VII, Nomor 1, April 2016, halaman 90-96

Benson, R.C. Buku Saku Obsetri dan Ginekologi, Ed. 9. Jakarta : EGC

Gibson, L., Bellizan, J., Lauer, J., Betran, A.P., Merialdi, M., Althabe, F. 2010.
The Global Numbers And Cost Of Additionally Needed And
Unnecessary Caesarean Section Performed Per Year: Veruse As A
Barrier To Universal Coverage. Geneve, Switzerland: World Health
Report.

Prasetyono, T. 2016. Panduan Klinis Manajemen Luka.

Pongsibidang, F.A.K., Tiho, M., Kaligis, S.H.M. 2016. Gambaran Kadar Albumin
Serum Pada Vegetarian Lacto-Ovo. Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi Manado.

Indradjaja, A., Suparyatha IB, Hartawan INB. 2014. Hubungan Antara Kadar
Albumin Dan Mortalitas Pasien Di Unit Perawatan Intensif Anak
RSUP Sanglah Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.

Jong, D.M. 2005. Buku ajar ilmu bedah. Ed. 2. EGC. Jakarta

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar

Kharisma, P. 2016. Hubungan Kadar Albumin Serum Dengan Penyembuhan


Luka Sectio Caesarea di RS PKU Muhammadiyah Gamping
Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah. Yogyakarta

Nguyen, T.T., Mobashery, S., Chang, M. 2016.Roles of Matrix


Metalloproteinases in Cutaneous Wound Healing. Wound Healing:
New insights into Ancient Challenges Chapter 3: 37-71

Nuraini, D., Keintjem F, Losu FN. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Sectio Caesarea. Jurnal
Imiah Bidan Volume 3 Nomor 1. Januari – Juni 2015

Sabitson, D.C. 1995. Sabiston’s Essensial of Surgery. Saunders Co. Philadelphia.


Terjemahan Andrianto, P., Timan, I.S. 2011. Buku Ajar Bedah
Sabiston. EGC. Jakarta
47

Sadikin, M. 2001. Biokimia Darah. Widya Medika: Jakarta

Said S, Tasli NA, Bahar B. 2016. Hubungan IMT dan Kadar Albumin
berhubungan dengan Penyembuhan Luka. Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasannudiin. Makassar

Djuantoro D. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah, Jilid satu (1 ed.). Karisma Publishing
Group. Tanggerang

Sihombing N, Saptriani N, Putri DSK. 2017. Determinan Persalinan Sectio


Caesarea di Indonesia (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2013). Jurnal
Kesehatan Reproduksi, 8(1), 2017: 63-75.

Sohimah, Johriyah. 2016. Karateristik ibu nifas yang mengalami dehisensi di


RSUD Cilacap Periode 2012-2014. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA)

Sonoda A, Ohnishi S, Nakao S, Iwashita Y, Hashimoto N, Ishida K, dkk. 2015.


Factors affecting serum albumin in the perioperative period of
colorectal surgery: a retrospective study. BMC Research Notes.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov

Walming S, Angenete E. 2017. Retrospective review of risk factors for surgical


wound dehiscence and incisional hernia. BMC Surgery 17:19.

World Health Organization.2015. WHO Statement on Caesarean Section Rates

World Union of Wound Healing Societies (WUWHS) Consensus Document.


Surgical wound dehiscence: Improving Prevention and Outcomes.
2018. Wound International. Landon

Yaeni M. 2013. Analisa Indikasi Dilakukan Persalinan Sectio Caesarea Di RSUP


Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Skripsi. Program Studi S1
Keperawatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai