PENDAHULUAN
1.1.Latarbelakang
Negara Indonesia Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik
dengan kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh satu orang yaitu presiden.
Dalam tugasnya presiden dibantu oleh wakil presiden serta menteri-menteri. Namun hal
ini terasa kurang efektif, karena negara Indonesia memiliki wilayah yang luas yang
berbentuk kepulauan. Warga negaranya adalah gabungan dari berbagai suku mulai dari
Sabang sampai Merauke. Tentu hal ini menyulitkan dalam setiap membuat kebijakan.
Belum tentu kebijakan yang diterima suatu daerah dapat di terima daerah lain. Maka dari
itu disamping dibantu oleh wakil dan menteri-menteri, presiden juga dibantu oleh kepala-
kepala daerah. Kepala-kepala daerah inilah yang menjadi ujung tombak sebagai pelayan
publik dan yang mengetahui persis seperti apa kebijakan seharusnya dibuat untuk
daerahnya. Hal inilah yang kemudian disebut otonomi daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dari pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak
otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.
1.2.Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan OTODA dan apa tujuannya?
2. Apa landasan hokum pelaksanaan OTODA?
3. Apa saja visi OTODA?
4. Bagaimana prinsip pelaksanaan OTODA ?
5. Bagaimana pembagian kekuasaan dalamOTODA ?
6. Bagaiamana kesalahpahaman yang terjadi terhadap OTODA ?
1.3.Tujuanpenulisan
Penulisan makalah ini bertujuan agar pembaca mengetahui:
1. Pengertian dan tujuan OTODA.
2. Landasan hokum pelaksanaan OTODA.
3. Visi OTODA.
4. Prinsip pelaksanaan OTODA.
5. Pembagian kekuasaan dalam OTODA.
6. Kesalahpahaman terhadap OTODA.
1
1.4.Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kehidupan bangsa dan negara selama orde baru yang terpusat di Jakarta sehingga
pembangunan di beberapa wilayah cenderung dijadikan sebagai objek “ sapi perah “
pemerintah pusat.
2. Adanya pembagian kekayaan yang tidak adil dan mereta.
3. Adanya kesenjangan sosial antar daerah yang sangat mencolok.
3
Perspektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai
pada aspek politis, antara lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan
politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan
integrasi nasional., tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional
(pemerintah pusat), dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah (Smith; 1985).
a. kntingan nasional
Tujuan utama desentralisasi adalah :
political education yaitu melalui praktik desentralisasi diharapkan
masyarakat belajar mengenali dan memahami berbagai persoalan sosial,
ekonomi, dan politik yang mereka hadapi; menghindari bahkan menolak
untuk memilih calon anggota legislatif yang tidak memiliki qualifikasi
kemampuan politik; dan belajar mengkritisi berbagai kebijakan
pemerintah, termasuk masalah penerimaan dan belanja daerah (Maddick,
1963: 50- 106).
to provide training in political leadership (untuk latihan kepemimpinan).
Tujuan desentralisasi yang kedua ini meupakan asumsi dasar bahwa
pemerintah daerah merupakan wadah yang paling tepat untuk training bagi
para politisi dan birokrat sebelum mereka menduduki berbagai posisi
penting di tingkat nasional. Kebijakan desentralisasi diharapkan akan
memotivasi dan melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional.
to create political stability (untuk menciptakan stabilitas politik).
a. Kepentingan pemerintahdaerah
Tujuan dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah :
political equality. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan
lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah dapat
dengan elegan mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya
menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan
kebebasan mengekspresikan kepentingan, dan aktif dalam proses
pengambilan kebijakan.
4
local accountability. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat
tercipta peningkatan kemampuan pemerintah daerah dalam
memperhatikan hak-hak komunitasnya, yang meliputi hak untuk ikut serta
dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di
daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan pemerintahan daerah
local responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan desentralisasi yang ketiga
ini adalah: karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui berbagai
masalah yang dihadapi komunitasnya, pelaksanaan desentralisasi akan
menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus
meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.
5
Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang pemda ( sentralistik ) pada masa
pemerintahan Suharto dan penyebab lengsengsernya Suharto
Undang-undang nomor 5 tahun 1974 diberlakukan pada periode 1967-1998 tentang
Pemerintah Daerah. berdasarkan undang-undang tersebut kedudukan Pemerintah pusat
sangat dominan dan tidak diikuti dengan berlakunya undang-undang tentang perimbangan
keuangan anatara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. kedudukan dan peran Presiden
serta Mentri Dalam Negri sangat menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur, Bupati
dan Walikotamadya. Bahkan, yanag akan menjadi Gubernur, Walikotamadya ataupun
Bupati sebagai kepala daerah sudah dapat ditentukan sebelumnya. Salah satu contoh kasus
yang terkenal adalah pemilihan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Riau.
Karena belum adanya undang-undang tentang perimbangan keuangan anata pusat dan
daerah, alokasi dana, merupaka wewenang sepenuhnya Pemerintah Pusat, sehingga banyak
daerah yang kaya sumber daya alam tidak memperoleh dari apa yang dihasilakn oleh
daerah mereka. Bahkan ada suatu daerah yang memiliki sumber daya alam yang sangat
kaya dan menjanjikan menjadi derah yang sangat miskin di Indonesia ketika itu.
Pada bulan maret 1998, Jendal Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia
untuk ketujuh kalinya. Sehingga, menimbulkan terjadinya demonstrasi yang dilakukan oleh
para mahasiswa yang menuntut agar dilakukan reformasi dalam bidang politik, ekonomi,
dan hukum. Sementara itu, pada tahun 1997 krisis ekonomi sedang melanda indonesia.
Bajkan, harga dolar Ameriaka Serikat sempat mencapai angka di atas 15.000 rupiah yang
dimana memiliki dampak bagi dunia perindustrian dan perbankan.
6
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluasluasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan,
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah,
maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden
Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan definisi
otonomi daerah sebagai berikut. 8 “ Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuaidengan peraturan perundang-undangan.”
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut. “Daerah
otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat di daerah dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta
dari pemerintah 9 kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Sebagai
konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
7
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian
diganti dengan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).
Penerapan tuntutan polotik dan hukum diera rerofmasi adalah edengan menerapkan tiga
undung-undang dibawah ini, yaitu :
Setelah diatiadakannya pemilihan umum pada tahun 1999 dan setelah ditiadakan
undang-undnag dibawah ini :
8
Kualitas sejumlah perwakilan dewan rakyat patut dipertanyakan yang dimana akan
mempengaruhi berbagai produk pemerintah daerah yang berupa peraturan daerah. sehingga,
banyak kasus yang mencuat diantaranya adalah :
Dengan adanya berbagai masalah dalam pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU
No. 25 Tahun 1999, maka majelis permusyawaratan rakyat dalam sidangnya pada tahun 2000
telah mengeluarkan ketetepan MPR No. IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, yang berbunyi :
Sehingga, perlu dilakukan bebagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia di daerah, baik yang berkenaan dengan tugasnya ataupun dengan penggunaan bahasa
(nation building).
Visi otonomi daerah meliputi upaya yang saling berhubungan satu sama lainnya anta
bidang politik, ekonimi, sosial dan budaya.
Visi OTODA dibidang politik merupakan sebuah proses untuk membuka ruang
pemilihan kepala pemerintah daerah secara demokratis, berlangsungnya
pemerintahan daerah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas,
9
memelihara alur pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung
jawaban politik.
Visi OTODA dibidang ekonomi yaitu OTODA harus menjamin lancarnya
pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, mendorong terbukanya
peluang bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan lokal daerah
untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi daerahnya. Selain itu
OTODA diharapkan mampu melahirkan berbagai penawaran fasilitas investasi,
memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur
yang menunjang perputan ekonomi daerah.
Visi OTODA dibidang sosial dan budaya pengarahan pada pengelolaan,
penciptan dan pemeliharaan integritas dan harmoni sosial. Selain itu OTODA
diharapkan mampu memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni,
karya cipta, bahasa, dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif dan
mendorong masyarakat untuk memberikan respon positif terhadap dinamika
kehidupan disekitanya dan kehidupan dunia. Karena aspek sosial budaya harus
diletakkan secara tepat dan terarah agar agar kehidupan sosial tetap terjaga secara
utuh dan budaya lokal tetap ada.
2.4. Prinsip pelaksanaan OTODA
OTODA dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
OTODA dilaksanakan berdasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung
jawab.
Pelaksanaan OTODA yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan
kota, sedangkan daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
Pelaksanaan OTODA harus sesaui dengan konstitusi negara, sehingga tetap
menjamin adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta hubungan
antar daerha.
Dalam melaksanakan OTODA harus mampu meningkatkan kemandirian daerah
otonom,sehingga pada daerah kabupaten atau kota tidak adalagi wilayah
administrasi. Hal seperti itu juga diterapkan diberbagai wilayah khusu yang
dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti kawasan pelabuhan, perumahan,
industri perkebunan, pertambangan, kehutanan, perkotaan baru, pariwisata, dan
daerah lainnya yang berlaku ketentuan daerah otonom.
10
Pelaksanaan OTONOM harus mampu meningkatkan peranan dan fungsi legislasi
daerah, fungsi pengawasan maupun fungsi anggran atas penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Pelaksanaan asas dekonsentralisasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administratis untuk melalkukan kewenangan
pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
Pelakasanaan asas tugas pembantu bukan hanya dari pemerintah daerah, tetapi
juga dari pemerintah dan kepala desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan
11
Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka
desentralisasi mencakup :
a. Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan
dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.
12
d) Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki hubungan
keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya
e) Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18 ayat (2) diatur lebih
lanjut dalamUU Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kewenangan provinsi diatur dalam pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 dapat
diuraikansebagai berikut:
1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi meliputi:
Perencanaan dan pengendalian pembangunan
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
Penyediaan sarana dan prasarana umum
Penanganan bidang kesehatan
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten / kota
Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten / kota
Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk
lintaskabupaten / kota
Pengendalian lingkungan hidup
Pelayanan pertahanan termasuk lintas kabupaten / kota
Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
Pelayanan administrasi umum pemerintahan
Pelayanan administrasi penanaman modal,termasuk lintas kabupaten / kota
Penyeleggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
olehkabupaten / kota
2) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
3) Urusan pemerintahan propinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yangsecara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuaidengan kondisi kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Kewenangan kabupaten / kota diatur dalam pasal 14 yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Perencanaan dan pengendalian pembangunan
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
13
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
Penyediaan sarana dan prasarana umum
Penanganan bidang kesehatan
Penyelengggaraan pendidikan
Penangulangan masalah social
Pelayanan bidang ketenagakerjaan
Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
Pengendalian lingkungan hidup
Pelayanan pertahanan
Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
Pelayanan administrasi umum pemerintahan
Pelayanan administrasi penanaman modal
Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
Bila dicermati secara seksama, maka tampaknya kriteria yang digunakan dalam
menentukan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom propinsi lebih
didasarkan pada kriteria efisiensi daripada kriteria politik. Artinya, jenis kewenangan yang
dipandang lebih efisien, diselenggarakan oleh propinsi daripada pusat ataupun
kabupaten/kota. Sudah barang tentu dengan kekecualian bagi kewenangan yang diserahkan
kepada propinsi khusus dan istimewa. Dari segi tujuan yang dicapai dengan otonomi daerah
(jenis dan jumlah kewenangan) tersebut, tampaknya pertumbuhan ekonomi dan penyediaan
infrastruktur lebih menonjol sebagai sasaran yang akan dicapai daripada peningkatan
pelayanan publik kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Kecuali bila pertumbuhaan
ekonomi ini memang diarahkan pada penciptaan kesempatan kerja. Peningkatan
kesejahteraan rakyat mungkin akan ditangani propinsi, semata-mata karena daerah otonom
kabupaten dan daerah otonom kota belum mampu, atau karena dilimpahkan pusat kepada
propinsi. Akan tetapi seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, pekerjaan yang layak dari
segi jenis dan penghasilan bagi penduduk yang berumur kerja merupakan kunci kesejahteraan
sosial. Karena itu daerah otonom propinsi hendaknya mengarahkan pertumbuhan ekonomi
kepada penciptaan kesempatan kerja tersebut.
14
Desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom
dan pluralisme otonomi daerah. Daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat (Dati I,
Dati II, dan Desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah) seperti pada masa Orde
Baru melainkan dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah otonom propinsi, daerah otonom
kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat adat (desa atau nama lain) sebagai
daerah otonom asli. Jenis dan jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah
otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya melainkan hanya yang
bersifat wajib saja yang sama sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada
daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu
pelaksanaannya. Perbedaan daerah otonom kabupaten/kota dengan daerah otonom
kabupaten/kota lainnya tidak saja terletak pada jenis kewenangan pilihan yang ditanganinya
tetapi juga jenis kewenangan wajib yang mampu ditanganinya karena bila belum mampu
menanganinya maka jenis kewenangan itu buat sementara dapat diurus oleh propinsi.
Perbedaan setiap daerah otonom propinsi terletak pada apakah propinsi itu daerah
khusus/istimewa ataukah biasa, dan apakah terdapat kabupaten atau kota yang berada dalam
wilayah propinsi itu yang belum mampu menangani semua jenis kewenangan wajib tersebut.
Di Indonesia dikenal tiga propinsi yong berstatus khusus, yaitu DKI Jakarta (khusus karena
ibukota negara), Daerah Istimewa Aceh (dalam hal sejarah, adat istiadat dan agama), dan
Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam hal sejarah dan kepeminpinan daerah). Bila bercermin
pada kemampuan kabupaten dan kota yang terdapat pada sejumlah propinsi di Indonesia
dewasa ini, maka untuk beberapa propinsi tersebut seharusnya diberi kewenangan yang lebih
besar daripada kabupaten dan kota. Propinsi Irian Jaya, Kalimantan Tengah, dan Riau
mungkin termasuk kedalam kategori ini, sedangkan semua propinsi di Jawa, Sumut, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Utara misalnya yang hampir semua kabupaten/kotanya sudah memiliki
kemampuan di atas rata-rata tetap mengikuti UU tersebut (kewenangan kabupaten dan kota
lebih banyak daripada propinsi). Akan tetapi pluralisme otonomi daerah seperti ini rupanya
dinilai terlalu kompleks sehingga tidak diadopsi dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut.
Desa (Jawa), nagari (Sumbar), baniar (Bali), huta/kuta (Batak), negeri (Maluku), gampong
(Aceh), dan nama lain di daerah lain dikembalikan statusnya sebagai kesatuan masyarakat
adat yang berwenang mengurus rumah tangganya sendiri. Desa dan kesatuan masyarakat adat
lainnya itu diakui sebagai memiliki otonomi asli, yaitu tugas dan kewenangan yang lahir
berdasarkan adat istiadat, sejarah, dan tradisi masyarakat tersebut. Kesatuan masyarakat adat
bukan lagi unit administrasi pemerintahan terendah; ia bukan lagi perpanjangan tangan
negara atau daerah otonom. Negaranisasi yang dilakukan Orde Baru terhadap kesatuan
15
masyarakat adat, yang menyebabkan kehancuran kelembagaan, kemampuan, pengetahuan,
dan sumberdaya lokal, hendaknya diakhiri. Kesatuan masyarakat adat hendak dikembalikan
sebagai self governing community. Karena pada masa lalu kesatuan masyarakat adat ini
cenderung menjadi korban pengusaha kehutanan, pengusaha industri, pengusaha perumahan,
dan pengusaha industri pariwisata, maka dalam UU ini ditegaskan keharusan adanya
kerjasama antara perusahaan yang melakukan investasi di kawasan pedesaan tersebut dengan
kesatuan masyarakat adat.
Dalam rangka negara kesatuan, Pemerintah Pusat masih memiliki kewenangan
melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan pusat
terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau
sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang
dimaksud ialah seperti berikut : Pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu
bupati dan gubernur bertindak sebagai wakil Pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak
lagi secara preventif perundang-undangan, yaitu setiap Perda memerlukan persetujuan Pusat
untuk dapat berlaku. Menurut UU baru ini, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi kepala
daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat
diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun pemberhention
kepala daerah secara administratif (pembuatan Surat Keputusan) masih diberikan kepada
Presiden. Gubernur pada pihak lain masih merangkap sebagai wakil Pusat dan kepala daerah
otonom, tetapi UU baru ini menetapkan kewenangan Pusat dan kewenangan DPRD untuk
mengontrol gubemur secara seimbang. Pengawasan Pusat terhadap daerah otonom menurut
UU baru ini dilakukan berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap Perda yang dibuat oleh
DPRD dan Kepala Daerah langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan
Pemerintah. Akan tetapi Pusat setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu
dinilai bertentangan dengan Konstitusi, UU dan kepentingan umum.
Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai justru tindakan Pusat
menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan dengan Konstitusi, UU atau
kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada
Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pusat dan daerah otonom
harus patuh kepada keputusan MA.
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat
institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ
pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan
pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah
16
itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam
kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen
pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda
dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian
kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan
kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya
bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim
kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan
agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga
menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang
harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang
sesungguhnya.
Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat
terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi
dewasa ini.Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian
dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka
praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang
tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan
masyarakatnya.
2.6.Kesalahpahaman terhadap Otoda
Disentegrasi nasional diharapkan dapat dicegah dengan adanya kebijakan nasional
Otoda. Otoda merupakan sarana politik yang ditempuh dalam rangka memelihara keutuhan
sebuah negara. Kesalahpahaman tentang otonomi daerah oleh masyarakat muncul karena
terbatasnya pemahaman umum masyarakat tentang apa, mengapa dan bagaimana sebenarnya
pemerintahan daerah itu. Selain itu juga bisa disebabkan oleh argumentasi – argumentasi atau
analisis – analisis yang dilakukan oleh para ahli, praktisi, maupun pengamat masalah otonomi
daerah atau pemerintahan daerah lebih banyak bersifat politis dibandingkan dengan
argumentasi keilmuan. Hal ini dapat kita maklumi karena para ahli, praktisi, maupun
pengamat tersebut memiliki kepentingan masing-masing terhadap implementasi otonomi
daerah tersebut. Beberapa kesalahan tersebut diantaranya adalah :
1. Otonomi dikaitkan semata mata dengan uang
17
Tidak asing lagi kata kata itu ditelinga kita sudah dering kali kita dengar. , terutama
dengan berotonomi daerah mesti dapat memenuhi segala kebutuhannya terutama yang
berkaitan dengan masalah keuangan. Kenapa pernyataan tersebut bisa timbul ? Hal itu
terungkap melalui penyataan J. Wayong (1950), bahwa “otonomi identik dengan otomoney”.
Akan tetapi Ungkapan J. Wayong tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan karena secara
empiris belum terbukti kebenarannya. Tidak ada yang menafikan bahwa uang merupakan
sesuatu yang mutlak, namun uang bukan satu satunya alat dalam menggerakan roda
pemerintahan. Tentu setiap daerah atau negara yang berdiri tidak dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri, termasuk negara Amerika Serikat pun yang sedemikian hebat masih
memerlukan hutang untuk mengelola pemerintahannya. Lalu, kalau bukan uang, apa yang
diperlukan sebuah negara untuk menjalankan pemerintahanya? Kata kunci dari otonomi
adalah kewenangan? Ya, sekali lagi kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahan.
Dengan kewenangan yang dimiliki apa pun bisa dilakukan oleh pemerintah untuk
membangun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan kewenangan untuk mengatur daerah, kepala daerah dapat meminjam atau tidak
meminjam dana untuk penyelenggaraan pemerintahannya. Dengan kewenangan itu pula,
maka pemerintah harus mampu memaksimalkan segala sumber daya yang ada untuk
menjalankan pemerintahannya agar lebih efektif dan efisien. Jika kewenangan yang dimiliki
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka masalah keuangan akan dapat
dipecahkan sebagaimana penyelenggaraan pemerintahan di Amerika Serikat yang dijalankan
oleh Presiden Bill Clinton yang pernah mengalami surplus anggaran.
2. Daerah belum siap dan belum mampu
Dalam membahas implementasi UU No. 32 Tahun 2004, banyak terjadi pemekaran
wilayah baru, lepas dari daerah induk. Alasan yang dapat diterima dari pelaksanaan
pemekaran daerah tersebut di antaranya :
1) Undang-undang memungkinkan untuk itu,
2) Daerah tidak mengalami perkembangan signifikan selama berada di bawah
daerah induk. Untuk proses ini memerlukan waktu yang cukup lama sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di masyarakat
Munculnya pernyataan sebagaimana point 2 di atas, dipengaruhi oleh point 1 di atas
dimana ketergantungan daerah untuk mengelola daerahnya sangat bergantung kepada
pemerintah pusat khususnya dalam alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) mau pun Dana
Alokasi Khusus (DAK). Dengan kondisi ini pemerintah pusat dituntut untuk memberikan
perimbangan keuangan kepada pemerintah daerah yang sesuai dengan ketentuan yang sudah
18
di atur dalam undang-undang. Selain itu, dengan otonomi daerah, apakah pemerintah daerah
sudah siap dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya untuk melaksnakan
otonomi daerah? Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, maka pemerintah daerah
memiliki kewenangan untuk menggali sumber keuangannya sendiri tanpa banyak bergantung
kepada pemerintah pusat. Begitu juga apakah pemerintah daerah siap untuk mengelola
Sumber Daya Alam ( SDA) yang erat kaitannya dengan pembagian pendapatan nasional?
Jika kepercayaan dan kewenangan yang diberikan itu mampu dimaksimalkan, maka sumber-
sumber keuangan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat digali sesuai dengan
potensi daerah. Dengan demikian “money follows function” dapat dijalankan.
Dengan otonomi daerah, maka aparat pemerintah daerah tersebut mesti siap dan
mampu menjalankan roda pemerintahan. Karena dari segi pengalaman administrasi
pemerintahan sudah cukup dikuasai dan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan
yang dihadapi daerah pun sudah terkonsep segala solusi yang akan dijalankan.
3. Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk
membantu dan membina daerah.
Kekhawatiran sebagaimana yang ada pada point 3 di atas timbul karena
ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan kepada daerah
otonom. Hal seperti ini tidak mungkin terjadi karena sudah merupakan kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah pusat untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada daerah.
Bentuknya bisa saja dalam bentuk bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada
personil yang ada di daerah atau pun berupa dukungan keuangan. Hal-hal seperti ini yang
dilakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah sama sekali tidak mengurangi makna
otonomi daerah karena masih dalam kerangka negara kesatuan. Implementasi otonomi daerah
di Indonesia pada dasarnya menganut falsafah “No mandate withaout funding” (UU No. 22
Tahun 1999) yang berarti bahwa setiap pemberian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada
Daerah harus disertai dengan dana yang cukup dan jelas. Karena itu subsidi dari Pemerintah
Pusat kepada Daerah (Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
subsidi penanggulan bencana alam) menjadi bagian yang penting sehingga akan dapat
memperlancar perekonomian suatu daerah.
4. Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja.
Konsep ini dapat saja dilakukan sepanjang memenuhi norma-norma kepatutan dan
kewajaran dalam sebuah tata kehidupan bernegara dan dilakukan dalam rangka memperkuat
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Daerah dapat saja melakukan segala bentuk
kebijksanaan untuk daerahnya asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan
19
undang-undang yang berlaku secara nasional. Jika konsep ini tidak bisa dipatuhi oleh daerah,
maka apa pun tidak bisa dilakukan oleh daerah. Sementara itu, dalam membuat sebuah
kebijakan untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka
kepentingan masyarakat harus menjadi proritas nomor satu untuk mendapatkan perhatian.
Jika ini tidak dipenuhi maka akan timbul gejolak-gejolak di masyarakat yang akan
mengganggu jalannya roda pemerintahan.
5. Otonomi daerah akan menciptakan “raja-raja kecil” di daerah dan memindahkan
korupsi ke daerah.
Sampai sekarang, banyak para ahli yang menyatakan pendapat seperti itu. Memang
ada benarnya juga apalagi bila kita melihat kondisi Indonesia masa kini. Korupsi bukan
menjadi sebuah hal yang aneh lagi. Kolusi, Korupsi, Nepotisme dan segala bentuk
penyalahgunaan kekuasaan lainnya akan hidup subur apabila demokrasi tidak berjalan
sebagaimana mestinya dalam sebuah sistem politik atau negara. Oleh karenanya diperlukan
kontrol sosial dari masyarakat dalam bentuk Partai Politik, LSM, Media Massa, dan bahkan
dari individu kepada para penguasa dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Untuk menghilangkan “raja-raja kecil di daerah” dan “memindahkan korupsi ke
daerah” tentu tidak dapat dilakukan sekaligus. Diperlukan waktu dan prosesyang panjang
agar dapat dilihat hasilnya. Secara bertahap di negeri ini telah dibentuk lembaga-lembaga
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara, Ombudsman, Indonesian Corruption Watch
(ICW), bahkan telah dibentuk pula Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sehingga
masyarakat sebagai pemilik negara dan pemerintahan ini mengetahui apa saja yang sudah
dilakukan oleh wakil-wakilnya di lembaga eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikati
20
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada
kepala daerah untuk mengurus daerah masing- masing sesuai potensi dan ciri-ciri khas
masing-masing daerah. Indonesia membutuhkan otoda dan desentralisasi karna kehidupan
bangsa dan negara selama orde baru yang terpusat di jakarta sehingga pembangunan di
beberapa wilayah cenderung dijadikan sebagai objek sapi perah pemerintahan pusat, adanya
pembagian kekayaan yang tidak adil dan merata dan adanya kesenjangan sosial antar daerah
yang sangat mencolok .Otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah, otoda juga
dilaksanakan berdasarkan pada otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Visi otonomi daerah dibagi menjadi visi di bidang politik, ekonomi dan di bidang
sosial .Otonomi daerah tidak bisa terlepas dari masalah pembagian kekuasaan antara pusat
dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat
federalisme. Dalam susunan pemerintahan di negara kita ada pemerintahan pusat,
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/ kota, serta pemerintahan
desa. Masing – masing pemerintahan tersebut memiliki hubungan yang hieraekis.
Kesalahpahaman dalam otoda sering terjadi karena terbatasnya pemahaman umum
masyarakat tentang apa, mengapa dan bagaimana sebenarnya pmerintahan daerah tersebut.
Kesalahpahaman diataranya yaitu otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang, daerah belum
siap dan belum mampu, dan dengan otonomi daerah bisa melakukan apa saja.
3.2. Saran
21
mengakui masih banyak kesalahan dan kekurangan pada makalah ini, oleh karena itu penulis
belapang dada menerima kritik dan saran dari pembaca guna untuk memperbaiki dan
melengkapi makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Syaukani, HR, dkk. 2009. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta :
pustaka pelajar.
Dr. Mardenis, S.H., M.Si. 2018. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Dalam Rangka
Pengembangan Kepribadian Bangsa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sjafrijal. 2014. Perencanaan Pembangunan Daerah di Dalam Era Otonomi. Jakarta :
Undang – Undang Republik Indonesia. 1999 . Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 Tentang
Pemerintah Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
60. Jakarta.
22