Anda di halaman 1dari 9

Nama : Dira Fendira Rizky

NIM : 22116168

Seminar Studi Furturistik

1. Pengertian Revolusi Industri 4.0

Revolusi industri generasi keempat ini ditandai dengan kemunculan superkomputer, robot
pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan perkembangan neuroteknologi yang
memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak. Hal inilah yang
disampaikan oleh Klaus Schwab, Founder dan Executive Chairman of the World Economic
Forum dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia sebagaimana


revolusi generasi pertama melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan digantikan
oleh kemunculan mesin. Salah satunya adalah kemunculan mesin uap pada abad ke-18.
Revolusi ini dicatat oleh sejarah berhasil mengerek naik perekonomian secara dramatis di
mana selama dua abad setelah Revolusi Industri terjadi peningkatan rata-rata pendapatan
perkapita Negara-negara di dunia menjadi enam kali lipat.

Berikutnya, pada revolusi industri generasi kedua ditandai dengan kemunculan


pembangkit tenaga listrik dan motor pembakaran dalam (combustion chamber). Penemuan ini
memicu kemunculan pesawat telepon, mobil, pesawat terbang, dll yang mengubah wajah
dunia secara signifikan. Kemudian, revolusi industri generasi ketiga ditandai dengan
kemunculan teknologi digital dan internet.

Selanjutnya, pada revolusi industri generasi keempat, seperti yang telah disampaikan pada
pembukaan tulisan ini, telah menemukan pola baru ketika disruptif teknologi (disruptive
technology) hadir begitu cepat dan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan
incumbent. Sejarah telah mencatat bahwa revolusi industri telah banyak menelan korban
dengan matinya perusahaan-perusahaan raksasa.

Lebih dari itu, pada era industri generasi keempat ini, ukuran besar perusahaan tidak
menjadi jaminan, namun kelincahan perusahaan menjadi kunci keberhasilan meraih prestasi
dengan cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Uber yang mengancam pemain-pemain besar pada
industri transportasi di seluruh dunia atau Airbnb yang mengancam pemain-pemain utama di

PL3202 Page 1
industri jasa pariwisata. Ini membuktikan bahwa yang cepat dapat memangsa yang lambat
dan bukan yang besar memangsa yang kecil.

Oleh sebab itu, perusahaan harus peka dan melakukan instrospeksi diri sehingga mampu
mendeteksi posisinya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai
panduan untuk melakukan introspeksi diri, McKinsey&Company memaparkannya dalam
laporan berjudul An Incumbent’s Guide to Digital Disruption yang memformulasikan empat
tahapan posisi perusahaan di tengah era disruptif teknologi.

Tahap pertama, sinyal di tengah kebisingan (signals amidst the noise). Pada tahun 1990,
Polygram dicatat sebagai salah satu perusahaan recording terbesar di dunia. Namun, pada
1998 perusahaan ini dijual ketika teknologi MP3 baru saja ditemukan sehingga pemilik masih
merasakan puncak kejayaan Polygram pada saat itu dan memperoleh nilai (value) penjualan
yang optimal.

Contoh lainnya adalah industri surat kabar tradisional yang mengejar oplah dan
pemasukan dari pemasangan iklan. Kemunculan internet yang mengancam dimanfaatkan oleh
Schibsted, salah satu perusahaan media asal Norwegia yang menggunakan internet untuk
mengantisipasi ancaman sekaligus memanfaatkan peluang bisnis.

Perusahaan ini melakukan disruptif terhadap bisnis inti mereka melalui media internet
yang akhirnya menjadi tulang punggung bisnis mereka pada kemudian hari. Pada tahap ini,
perusahaan (incumbent) merespons perkembangan teknologi secara cepat dengan menggeser
posisi nyaman dari bisnis inti yang mereka geluti mengikuti tren perkembangan teknologi,
preferensi konsumen, regulasi dan pergeseran lingkungan bisnis.

Tahap kedua, perubahan lingkungan bisnis tampak lebih jelas (change takes hold). Pada
tahap ini perubahan sudah tampak jelas baik secara teknologi maupun dari sisi ekonomis,
namun dampaknya pada kinerja keuangan masih relatif tidak signifikan sehingga belum dapat
disimpulkan apakah model bisnis baru akan lebih menguntungkan atau sebaliknya dalam
jangka panjang. Namun, dampak yang belum signifikan ini ditanggapi secara serius oleh
Netflix tahun 2011 ketika menganibal bisnis inti mereka yakni menggeser fokus bisnis dari
penyewaan DVD menjadi streaming. Ini merupakan keputusan besar yang berhasil menjaga
keberlangsungan perusahaan pada kemudian hari sehingga tidak mengikuti kebangkrutan
pesaingnya, Blockbuster.

PL3202 Page 2
Tahap ketiga, transformasi yang tak terelakkan (the inevitable transformation). Pada
tahap ini, model bisnis baru sudah teruji dan terbukti lebih baik dari model bisnis yang lama.
Oleh sebab itu, perusahaan incumbent akan mengakselerasi transformasi menuju model bisnis
baru. Namun demikian, transformasi pada tahap ini akan lebih berat mengingat perusahaan
incumbent relatif sudah besar dan gemuk sehingga tidak selincah dan seadaptif perusahaan-
perusahaan pendatang baru (startup company) yang hadir dengan model bisnis baru.

Oleh sebab itu, pada tahap ini perusahaan sudah tertekan pada sisi kinerja keuangan sehingga
akan menekan budget bahkan mengurangi beberapa aktivitas bisnis dan fokus hanya pada inti
bisnis perusahaan incumbent.

Tahap keempat, adaptasi pada keseimbangan baru (adapting to the new normal). Pada
tahap ini, perusahaan incumbent sudah tidak memiliki pilihan lain selain menerima dan
menyesuaikan pada keseimbangan baru karena fundamental industri telah berubah dan juga
perusahaan incumbent tidak lagi menjadi pemain yang dominan. Perusahaan incumbent
hanya dapat berupaya untuk tetap bertahan di tengah terpaan kompetisi.

Pada tahap inipun para pengambil keputusan di perusahaan incumbent perlu jeli
dalam mengambil keputusan seperti halnya Kodak yang keluar lebih cepat dari industry
fotografi sehingga tidak mengalami keterperosokan yang semakin dalam. Berangkat dari
tahapan-tahapan ini seyogianya masing-masing perusahaan dapat melakukan deteksi dini
posisi perusahaan sehingga dapat menetapkan langkah antisipasi yang tepat.

Tantangan terberat justru kepada para market leader di mana biasanya merasa
superior dan merasa serangan disruptif hanya ditujukan kepada kompetitor minor yang
kinerjanya tidak baik. Oleh sebab itu, perusahaan incumbent perlu terus bergerak cepat dan
lincah mengikuti arah perubahan lingkungan bisnis dalam menyongsong era revolusi industri
generasi keempat (Industry 4.0).

Reed Hasting, CEO Netflix pernah mengatakan bahwa jarang sekali ditemukan
perusahaan mati karena bergerak terlalu cepat, namun sebaliknya yang seringkali ditemukan
adalah perusahaan mati karena bergerak terlalu lambat.

https://id.beritasatu.com/home/revolusi-industri-40/145390

2. Permasalah revolusi Industri 4.0


 Ini 10 Tantangan RI di Era Industri 4.0 Menurut Menperin

PL3202 Page 3
Lima sektor industri yang disiapkan menghadapi revolusi industri jilid 4 itu adalah
makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil (TPT), otomotif, kimia terutama biokimia,
serta elektronik.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengklaim kelima sektor ini berkontribusi atas
86% permintaan pasar global.

Pertama, industri hulu (upstream) dan antara (midstream) yang kurang berkembang, ditandai
oleh bahan baku dan komponen kunci yang sangat tergantung dari impor, contohnya lebih
dari 50% industri petrokimia, 74% logam dasar, serta semua bagian penting di bidang
elektronik dan otomotif.

"Kedua, belum optimalnya zona industri yang komprehensif seperti migas vs


petrokimia. Selain itu, kawasan industri juga kurang dikembangkan dan digunakan, seperti di
Batam, Karawang, dan Bekasi," ujar Airlangga di depan peserta dialog industri Bappenas-
JICA, Selasa (17/4/2018).
Ketiga, tren sustainability global yang tidak terhindarkan di mana produksi dan ekspor
produk yang ramah lingkungan kini menjadi kewajiban contohnya bahan bakar Euro 4 yang
mulai menjadi syarat banyak negara serta pengembangan biosolar.

Keempat, industri kecil dan menengah yang masih tertinggal. Data Kemenperin
menunjukkan 62% pekerja Indonesia bekerja pada IKM dengan produktivitas yang masih
rendah.

Kelima, infrastruktur digital yang belum memadai dan platform digital yang belum
optimal. Teknologi seluler, misalnya, masih mengadopsi 4G dan belum siap dengan 5G.
Kecepatan rata-rata fiber optic juga masih kurang dari 10 Mbps. Selain itu,
infrastruktur cloud juga masih terbatas. Keenam, pendanaan domestik dan teknologi yang
terbatas. Selanjutnya, ada masalah tenaga kerja yang tidak terlatih. Indonesia memiliki
angkatan kerja terbesar ke-4 di dunia, namun sangat kekurangan talenta. Anggaran
pendidikan pemerintah saat ini hanya sekitar US$ 114/kapita.

Kedelapan adalah belum adanya pusat-pusat inovasi. Anggaran pemerintah untuk


penelitian dan pengembangan (R&D) masih sangat terbatas, hanya 0,1% hingga 0,3% dari
PDB. Pemerintah sendiri menargetkan anggaran litbang dapat naik setidaknya mencapai 2%
untuk masuk ke industri 4.0.

PL3202 Page 4
Saat ini juga belum ada pusat litbang yang kuat yang disponsori pemerintah atau
swasta. Selain itu, hingga saat ini juga belum ada insentif fiskal yang komprehensif untuk
mengadopsi teknologi Industri 4.0. Terakhir, Airlangga menyoroti persoalan peraturan dan
kebijakan yang masih tumpang tindih, ditangani oleh beberapa kementerian seperti industri
hulu (upstream) migas yang dikelola oleh Kementerian ESDM namun industri tengah
(midstream) dan hilir (downstream) dikelola oleh Kementerian Perindustrian.

Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/news/20180417185422-4-11394/ini-10-
tantangan-ri-di-era-industri-40-menurut-menperin

Permasalahan Ekonomi dan sosial

Paradigma bisnis pun bergeser dari penekanan owning menjadi sharing (kolaborasi).
Contoh nyata dapat dilihat pada perpindahan bisnis retail (toko fisik) ke dalam e commerce
yang menawarkan kemudahan dalam berbelanja, ditambah merebaknya taksi online
kemudian mengancam eksistensi bisnis taksi konvensional.

Fenomena disrupsi tidak hanya terjadi dalam dunia bisnis saja.Namun telah meluas
dalam bidang lainnya seperti pendidikan, pemerintahan, budaya, politik, dan hukum. Pada
bidang politik misalnya, gerakan-gerakan politis untuk mengumpulkan masa melalui
konsentrasi masa telah digantikan dengan gerakan berbasis media sosial. Bidang
pemerintahan pun kini juga ditantang untuk melaksanakan birokrasi secara efektif efisien
berbasis e governance.

Sektor budaya pun juga ikut terdisrupsi. Perkembangan media sosial yang
masif, telah merekonstruksi struktur budaya masyarakat. Relasi sosial hubungan masyarakat
kini lebih erat terbangun dalam dunia maya, sehingga hubungan dalam dunia nyata justru
menjadi relatif. Terakhir, bidang hukum pun sekarang pun juga terdisrupsi. Peraturan-
peraturan hukum pun harus mengikuti

3. Pengertian Carbon Tranding

Carbon trading atau perdagangan karbon dapat didefinisikan sebagai menjual kemampuan
pohon yang mampu menyerap karbon dioksida dalam rangka menekan keberadaan karbon
dioksida itu sendiri di atmosfer untuk mengurangi pemanasan global. Salah satunya asap
karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan pabrik-pabrik di Eropa dan AS sudah terlalu sesak
dan memenuhi atmosfer bumi kita, yang berakibat naiknya suhu bumi (istilah trendnya

PL3202 Page 5
“Global Warming”) serta lubang dilapisan ozon yang makin luas. Dengan semakin gembar-
gembornya isu tentang global warming, maka seluruh negara di dunia terutama negara-negara
yang tergolong Annex 1 (negara maju penyumbang emisi terbesar) berupaya mencari solusi
untuk menanggulangi masalah global ini sebelum berubah menjadi suatu bencana katastrofal.
Salah satu upaya yang diajukan adalah dengan mengadakan carbon trading.

Carbon trading ini diawali dengan ditandatanganinya Protokol Kyoto yang menegaskan
bahwa negara-negara yang tergolong Annex 1 harus menurunkan tingkat emisi karbonnya
dengan penerapan teknologi tinggi dan juga menyumbang kepada negara-negara berkembang
untuk mengerjakan proyek pengurangan emisi. Proyek-proyek pengurangan emisi ini
biasanya dilakukan dengan menjaga kelestarian hutan dengan melakukan penanaman pada
daerah bukan hutan (afforestasi) maupun penanaman kembali pada hutan yang sudah rusak
(reforestasi).

Carbon trading juga dikenal dengan istilah emissions trading. Carbon trading merupakan
salah satu rekomendasi Kyoto Protocol 1997, sebuah rencana internasional untuk mengurangi
enam gas rumah kaca utama penyebab perubahan iklim.

The European Union Emission Trading Scheme (EU UTS) diakui sebagai
multinasional carbon trading terbesar di dunia. Bagaimana dengan Australia? Australia
merencanakan pemberlakuan skema carbon trading di tahun 2010. Namun sejak 1998 carbon
trading sudah berlangsung di the State of New South Wales, Australia. Diperkirakan carbon
trading akan menjadi fenomena global di masa datang.

Cap and Trade dalam Carbon Trading.

Carbon trading menggunakan skema khusus yang disebut sistem 'cap and trade'.
Berdasarkan komitmen Kyoto, sebuah negara dapat mengalokasikan ijin emisi gas rumah
kaca ('cap') kepada perusahaan-perusahaan. Jika sebuah perusahaaan terbukti melakukan
emisi kurang dari batasan yang diberikan, kelebihan ijin yang dimilikinya dapat
diperdagangkan ('trade') kepada perusahaan yang mengeluarkan lebih banyak polusi.
Sebaliknya, jika perusahaan gagal memenuhi target emisi, atau dengan kata lain
mengeluarkan CO2 lebih banyak dari batas yang diijinkan ('cap'), mereka dapat membeli
'carbon credit' dari perusahaan dengan emisi di bawah target. Carbon credit ini biasanya
diperdagangkan di 'over the counter (OTC) market'. Singkatnya, Ratnatunga menegaskan

PL3202 Page 6
bahwa apa yang diperdagangkan di 'carbon trading' bukanlah karbon sesungguhnya, tetapi
hak untuk emisi CO2.

Dalam situs resmi departemen perlindungan lingkungan USA, cap and trade didefinisikan
sebagai suatu pendekatan kebijakan untuk mengontrol jumlah emisi dari sejumlah sumber.
Cap yakni jumlah emisi maksimum per periode untuk semua sumber yang telah disepakati.
Cap dipilih agar mendapatkan dampak lingkungan yang diinginkan. Suatu Negara membayar
atas emisi yang ditimbulkan dan kemudian akan mempengaruhi emisi yang dihasilkan dari
berbagai sumber dan total sumbangan emisi dari berbagai sumber tersebut tidak melebihi
perjanjian yang sudah ditandatangani. Pembayaran emisi dari semua sumber emisi yang
disepakati dilakukan diakhir periode. Negara penyedia karbon, menentukan sendiri strategi
untuk menyediakan jasa karbon. Strategi yang disusun tidak harus disepakati oleh pembeli
jasa karbon, namun yang terpenting mampu menyediakan jasa serapan karbon sebagaimana
perjanjian.

Agar program cap and trade bias efektif, terdapat 3 fitur utama yakni

1. cap on emission (menentukan besarnya emisi yang akan diturunkan

2. akuntability

3. rancangan yang simple tapi jalan/operasional.

Dari 3 program utama di atas, cap mengarahkan untuk terciptanya suatu kondisi
lingkungan yang sehat dan menjamin kehidupan di masa datang yang baik. Akuntabilita,
menghitung secara tepat dan melaporkan emisi yang dapat diserap, teliti dan pelaksanaan
yang konsisten dari pinalti akan ketidakakuratan data/informasi yang akan berakibat pada
tidak dibayarkannya upaya penciptaan additionality yang ada. 3 Aturan yang dibuat harus
jelas dan mudah dilaksanakan. Pasar akan berfungsi lebih baik dan biaya yang lebih rendah
ketika aturan yang dibuat jelas dan mudah dipahami oleh semua partisipan. Konsumen jasa
karbon menyerahkan upaya untuk mengurangi emisi yang dipesan kepada produsen.

Kebijakan-kebijakan produsen yang diambil tidak sama sekali diintervensi.


Konsumen menginginkan suatu transparansi dan ketelitian dalam mengukur serta reposrting
secara verkala. tidak mau tahu dari mana sumber jasa tersebut. Tentunya, ketika produsen
yang menawarkan jasa serapan karbon harus memiliki data yang akurat tentang stock dan
potensi penurunan stock. Hal ini akan terkait dengan DF (development factor) yang harus

PL3202 Page 7
disiapkan untuk menghindari leakage. Kebijakan produsen harus disesuaikan dengan
pembayaran jasa karbon. Kesalahan dalam menghitung stock karbon dan ketidakmampuan
dalam menentukan harga dasar bukan menjadi tanggung jawab konsumen. MRV
(measurement, reporting dan verification) merupakan hal mendasar. Berbagai metode MRV
telah ditawarkan. Salah satunya melalui LULUCF (land use, land use change and forestry)
sebagaimana dilaporkan dalam IPCC report volume 4 tahun 2007.

Metode pendugaan MRV biss dilakukan dengan metode historical data maupun
melalui identifikasi dengan image processing. Tentunya pendugaan MRV dan keakuratan
dalam menentukan baseline sangat dipengaruhi oleh kontrak jual beli yang disepakati. Bila
kontrak jual lebih kecil dibandingkan dengan biaya transaksi maka peluang kebocoran dan
kegagalan kontrak akan sangat besar.

Salah satu contoh dari proyek RMU adalah kerjasama antara RI dan Norwegia untuk
mengkonservasi hutan di Indonesia untuk mengurangi emisi karbon senilai 1 miliar dollar
AS. Hal ini disebutkan dalam Letter of Intent (LoI) bahwa pemerintah Norwegia akan
memberikan bantuan 1 miliar dolar AS jika Pemerintah Indonesia mampu memenuhi tiga
tahap yang tercantum dalam LoI itu dengan sesuai. Ketiga tahap tersebut adalah proses
persiapan atau pembangunan kapasitas yang antara lain dilakukan melalui pembentukan
lembaga yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan program tersebut. Kedua adalah
penerapan atau proyek percontohan. Sedangkan yang ketiga adalah penerapan secara
menyeluruh atau nasional. Pada tahap ketiga itu, akan berlaku prinsip pembayaran atas dasar
performa atau hasil atau dengan kata lain bantuan tersebut akan diberikan jika Indonesia
benar-benar terbukti mampu mencegah deforestasi dan degradasi hutan.

4. Pengertian Social Capital

Modal sosial secara sederhana didefinisikan sebagai kumpulan nilai-nilai atau norma-
norma informal secara spontan yang terbagi di antara para anggota suatu kelompok yang
memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Fukuyama (2000). Fukuyama
mengemukakan bahwa mereka harus mengarah kepada kerjasama dalam kelompok dan
berkaitan dengan kebajikan-kebajikan tradisional seperti: kejujuran; memegang komitmen;
bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan norma saling timbal balik. Selanjutnya dijelaskan
oleh Fukuyama bahwa dalam kondisi tertentu modal sosial dapat memfasilitasi tinggnya
derajad inovasi masyarakat dan daya adaptasi masyarakat.

PL3202 Page 8
Contoh yang jelas bisa kita lihat adalah mulai lenyapnya ‘lumbung desa’ sebagai bagian
dari social capital dalam bidang ketahanan pangan (food security).Program beras miskin
(Raskin) dan Batuan Langsung Tunai (BLT) pun juga mengancam keberlangsungan social
capital. Fenomerna terancamnya social capital ini diawali oleh munculnya konflik sosial di
masyarakat yang terjadi dalam program Raskin dan BLT. Fenomena dari munculnya konflik
sosial dalam program Raskin dan BLT, bagaimana konflik tersebut mengancam social
capital, dan bagaimana preservasi social capital dilakukan oleh masyarakat menjadi salah satu
kajian dalam desertasi Mulyadi Sumarto yang sedang diselesaikannya di Australian National
University. Isu ini juga dibahas secara makro dalam dalam judul ‘Welfare Regime, Social
Capital, and Clientelism: Evidence from Indonesia yang dipresentasikan dalam koneferensi
Internasional mengai kebijakan sosial di Asia Timur.

PL3202 Page 9

Anda mungkin juga menyukai