Tetanus
Tetanus
TETANUS
Oleh :
dr. Riska Aulia Rahma
Pembimbing :
dr. Raditya Rahman Landapa
1
BAB 1
TINJAUAN KASUS
o Inspeksi :Flat
3
o Auskultasi : BU (+) n
o Palpasi : Nyeri tekan (+), Hepar dan spleen tidak
teraba tegang(+)
o Perkusi : Timpani
Extermitas :
o Inspeksi: akral hangat kering merah (+), edema (-), jaundice (-)
o Palpasi:CRT<2dtk.
Status lokalis :
Terdapat luka pada digiti I dextra yang telah dijahit 2 minggu yang lalu
Refleks Fisiologis
Refleks Biseps : (+/+)
Refleks Trisep : (+/+)
Refleks Patella : (+/+)
Refleks Achilles : (+/+)
4
Refleks Patologis
Refleks Babinsky : (-/-)
Refleks Chaddock : (-/-)
Refleks Oppenheim : (-/-)
Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (+)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Kernig : (-)
2.4 Resume
Pasien dikeluhkan kaku pada mulut susah dibuka dan leher, rahang perut tangan
dan kaki terasa kaku sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. keluarga Pasien
mengaku 2 minggu yang lalu jatuh saat mengendarai motor dan terdapat luka
pada kaki kanan. Setelah itu pasien dibawa ke puskesmas terdekat , kelurga
pasien pasien mengaku luka dibersihkan karena sebelumnya luka tersebut kotor.
Mual (+), muntah (-) kejang(-) demam (-),
– Pasien tuna bicara , Kluarga pasien mengatakan tidak di suntik
dipuskesmas , Riwayat imunisasi pasien lupa
– TD 120/90mmHg, nadi 81x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,90C
– Pada pemeriksaan fisik ditemukan trismus 1 jari dan kaku kuduk (+)
nyeri tekan (+)
5
2.6 Diagnosis
Tetanus Generalisata
Vulnus Apertum digiti I pedis Dextra
2.7 Planning
Penatalaksanaan di IGD
• (29 Januari 2018)
• Oksigen 3 liter/menit
• IVFD NS15 Tpm
• Inj. Tetagam 3000 IU (IM)
6
• Inj. Ketorolac 30 mg
• Inj. Diazepam 5 mg IV
• Ifs. Metronidazole 500 mg
• isolasi dan ruang gelap
• Penatalaksanaan SP.B
• (29 Januari 2018)
• IVFDNS : D5: Aminofluid 1;1;1/24 jam
• Diazepam 8 ampul dalam D5 500 cc/24 jam tetes mikro
• Pasang NGT dan DC
• Diit cair 6 X 150 ml
• Ceftriaxon 2x1gram
• Omeprazole 2x 40 mg
• Paracetamol 3x1gram
• Metronidazole3x 500 mg
• Rawatluka
• Bila kejang Diazepam ektra
2.8 follow up
7
8
9
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
10
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam
eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya,
rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering.
Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan
dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan
(rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.
Kingdom: Bacteria
Division: Firmicutes
Class: Clostridia
Order: Clostridiales
Family: Clostridiaceae
Genus: Clostridium
Species: Clostridium
tetani
11
2.3. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia namun paling sering pada daerah
dengan populasi padat, pada iklim hangat dan lembab. Organisme penyebab
ditemukan secara primer pada tanah dan saluran cerna hewan dan manusia. Transmisi
secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Luka dapat berukuran besar
atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tatanus sering terjadi melalui luka- luka
yang kecil. Tetanus juga dapat menyertai setelah luka operasi elektif, luka bakar, luka
tusuk yang dalam, luka robek, otitis media, infeksi gigi, gigitan binatang, aborsi dan
kehamilan.
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat
jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping
sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang termasuk
Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena tingkat
kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang
diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan
kekebalan terhadap tetanus.
12
berkisar antara 0,5 – 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar 50% dari
kematian akibat tetanus di negara – negara berkembang. Perkiraan insidensi tetanus
secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di negara berkembang,
tetanus lebih sering mengenai laki – laki dibanding perempuan dengan perbandingan
3 : 1 atau 4 :1
2.4. Patogenesis
Clostridium tetani biasanya memasuki tubuh dalam bentuk spora melalui luka
yang terkontaminasi dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat, dapat
terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan binatang yang
mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi sepsis, infeksi gigi, persalinan,
injeksi intramuskular dan pembedahan. C.tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi
sehingga tidak tampak tanda-tanda inflamasi di sekitar port d’entry, kecuali bila ada
infeksi oleh mikroorganisme lain.
13
Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi
basil tetanus mensekresikan dua macam eksotoksin, yakni tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin akan merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
bakteri ini bermultiplikasi. Sementara itu, untuk mencapai susunan saraf pusat dan
menghasilkan gejala-gejala klinik tetanus, tetanospasmin memiliki beberapa jalur
penyebaran.
Tetanospasmin merupakan polipeptida rantai ganda, terdiri dari rantai berat dan
rantai ringan, yang dihubungakan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai
berat tetanospasmin memungkinkannya terikat pada membran saraf, sedangkan ujung
aminonya memungkinkan tetanospasmin masuk ke dalam sel saraf melalui
serangkaian reaksi biomolekuler. Setelah masuk ke dalam neuron, kekuatan ikatan
14
disulfida berkurang menyebabkan rantai ringan terlepas dan menjadi aktif, bekerja
pada pre-sinaps untuk mencegah pelepasan neurotransmitter inhibitory (glisin dan
GABA) dari neuron yang ditempatinya dengan cara menghancurkan sinaptobrevin
(protein membran yang berfungsi membantu terjadinya fusi vesikel yang
mengandung meurotransmitter inhibitory dengan membran pre-sinaps), akibatnya
proses pelepasan neurotransmitter inhibitory ke dalam celah sinaps tidak terjadi.
Kegagalan pelepasan neurotransmitter inhibitory ke dalam celah sinaps
mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas neuron-neuron eferen menuju otot,
menimbulkan gejala kaku otot maupun spasme, misalnya pada otot masseter,
menyebabkan trismus (lock-jaw).
15
2.5. Manifestasi Klinis
Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah
maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa
menyebabkan trismus atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot muka
menyebabkan ekspresi khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada otot
menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi
kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan kesulitan
bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.
Gambar 3. Trismus
16
Gambar 4. Risus Sardonicus
Gambar 5. Opistotonus
Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik ini
seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok otot. Bisa
spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme bervariasi
untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan patah tulang dan
robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-menerus yang bisa
mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti spasme laring dan
berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama 5-7
hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan
leher.
5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw) karena
spasme otot masseter.
6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)
7. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat.
8. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik.
9. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
2.5. Klasifikasi
Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk tetanus yang telah
dideskripsikan yaitu:
Tetanus umum:
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat
menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang
(trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan
menuunjukkan trismus.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik
secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi).
Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki
dalam posisi ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan
yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme
19
otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia
dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih.
Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas
yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas
dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi,
hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.
Tetanus lokal
Bentuk cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan
jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III, IV,
VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan.
2.7. Derajat
1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum
walaupun dirangsang.
2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila
dirangsang.
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang
spontan.
Grade 1: ringan
Menurut Ablett
Derajat I (ringan) : trismus ringan sampai sedang, spastisitas
generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme,
sedikit atau tanpa disfagia.
Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas nampak jelas, spasme
singkat, ringan sampai sedang, gangguan pernafasan
sedang dengan frekuensi pernafasan >30x/menit,
disfagia ringan.
22
Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generalisata, spasme
refleks berkepanjangan, frekuensi nafas >40 x/menit,
serangan apneu, disfagia berat, takikardi >120x/menit.
Kriteria I : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, kaku otot tulang belakang
Kriteria V : kenaikan suhu rektal sampai 1000 F (37,80 C) dan aksila sampai 990 F
(37,20 C)
Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas ini, maka dibuatlah tingkatan penyakit tetanus
sebagai berikut :
Tingkat II (sedang) : minimal 2 kriteria (K1 dan K2) dengan masa inkubasi
>7 hari dan onset >2 hari, mortalitas 10%
Tingkat III (berat) : minimal 3 kriteria dengan inkubasi <7 hari dan onset
<2 hari, mortalitas 32%
24
2.8. Diagnosis
Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan
nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging. Tetapi
pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium Tetani.
2.10. Penatalaksanaan
2.11.1. Pencegahan
Prinsip – prinsip Umum Profilaksis
Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis
terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka dan riwayat
imunisasi.
Debridemen
25
Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan benda
asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.
Imunisasi Aktif
Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis
sebanyak 0, 5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
DPT (Diptheri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia
2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0, 5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut –
turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM dan antara umur 5 – 6
tahun 1 x 0,5 cc IM.
Tetanus Toksoid
Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan
berturut – turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan
ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pemberian booster di atas.
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun terakhir.
Imunisasi Pasif
ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu) maupun
antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500
IU per IM dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita dan status
imunisasi. Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif,
26
merupakan keharusan untuk di imunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan
sekali – kali secara IV.
Tindakan Profilaksis
Berat, bersih ATS 1500 IU Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc ATS 1500 IU
atau Toks. 0,5 cc Toks 0,5 cc
cenderung
tetanus
Keterangan :
27
ABT : Antibiotka dosis tinggi yang sesuai dengan Clostridium
tetani
2.11.2. Penatalaksanaan
Prinsip :
Terapi umum :
28
Terapi Khusus
1. Anti Tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
Tes mata
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara
intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi
kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara
bertahap (Besredka).
Dosis
29
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan
Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000–100.000 u yang diberikan setengah
lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan
dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 1–2
jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS
diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian.
2. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/
12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat
dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam,
tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ).
Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6
jamBila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit
/kgBB/
24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan
untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian
antibiotika broad spektrum dapat dilakukan
- Diazepam
30
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5
mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis optimum 10 mg/kali
diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam
peroral–(sonde lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali sehari
diberikan 6 kali.
- Fenobarbital
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg
intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari dibagi
dalam 3 dosis.
- Largactil
Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.
JENIS ANTIKONVULSAN
31
4. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda.
Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi
dasar terhadap tetanus selesai.
Berikut ini, tabel 4. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus
pada keadaan luka
32
PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN LUKA.
__________________________________________________________________
RIWAYAT IMUNISASI Luka bersih, Kecil Luka Lainnya
______________________________________________________
(dosis) Tet. Toksoid (TT) Antitoksin Tet.Toksoid (TT)
Antitoksin
__________________________________________________________________
Tidak diketahui ya tidak ya ya
0–1 ya tidak ya ya
2 ya tidak ya tidak*
3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak
__________________________________________________________________
* : Kecuali luka > 24 jam
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu dari inokulasi spora sampai
timbul gejala awal dan waktu dari timbulnya gejala awal sampai spasme tetanik awal.
Secara umum, interval yang lebih pendek menunjukkan tetanus yang lebih berat dan
prognosis yang lebih buruk. Kebanyakan pasienyang bertahan dari tetanus ini
biasanya akan kembali pada kondisi kesehatan sebelumnya walau pun perbaikan
berjalan secara lambat (sekitar 2 hingga 4 bulan) dan pasien seringkali tetap menjadi
hipotonus. Pasien yang sembuh harus mendapatkan imunisasi aktif dengan tetanus
toksoid untuk mengelakkan dari terjadinya rekurensi. Selain itu, prognosis dan angka
kematian pasien dengan tetanus juga dipengaruhi oleh factor usia, gizi yang buruk
serta penangan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi. Dari data terkini yang
diperolehi, kadar kematian pada penderita tetanus ringan dan sedang adalah 6% dan
pada penderita tetanus berat bisa mencapai 60%. Meningkatnya kadar kematian pada
penderita tetanus adalah berhubung dengan faktor – faktor berikut:
34
Berdasarkan 5 kriteria menurut Patel dan Joag, dibuat 5 tingkatan yaitu:
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.Hal 21-24
2. Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.1994. Hal 199-201,251
3. Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw
Hill.2006. Page 112-113
4. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000. Hal 58-59
5. Grace P, Borley N. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga.Jakarta :
Erlangga.2006. hal
6. Behrman RE, Kliegnan RM, Arvin AM. Tetanus. Dalam : Wahab AS editor .
Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi 15. Jakarta : EGC.1999. Hal 1004-1007
7. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Tetanus. Dalam:Alatas H,Hassan
R editor.. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. jilid 1;Jakarta; Infomedika
;1985. Hal 568-572
8. Arditayasa Wayan. Clostridium tetani. Diunduh tanggal 06 mei 2010. Dapat
dilihat di URL www.scribd.com
9. Ritarwan Kingking. Tetanus. Diunduh tanggal 06 Mei 2010. Dapat dilihat di
URL www.scribd.com
36