Anda di halaman 1dari 72

MAKALAH MANAJEMEN BENCANA DAN KEJADIAN LUAR BIASA

“MANAJEMEN BENCANA TSUNAMI MENTAWAI


TAHUN 2010”

Disusun oleh:
Kelompok 8

1. Nadia Eka Putri N.R 101611535009

2. Evi Lutfiani Khoiriyah 101611535022

3. Rahmafika Cinthya Afro 101611535025

4. Sayu Larasati Nabila 101611535035

5. Widatul Mila 101611535044

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


PSDKU UNIVERSITAS AIRLANGGA
BANYUWANGI
2018

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “MANAJEMEN BENCANA TSUNAMI MENTAWAI
TAHUN 2010” sesuai dengan yang diharapkan. Makalah ini disusun dengan
tujuan memenuhi tugas kelompok dari mata kuliah Managemen Kejadian Luar
Biasa. Proses pembuatan makalah ini tidak akan mampu terselesaikan dengan
baik tanpa bantuan beberapa orang yang turut berperan. Dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Atik Choirul Hidayah, selaku PJMK mata kuliah Epidemiologi
2. Ibu Erni Astutik, Ayik Mirayanti Mandagi, S.KM., M.Kes selaku dosen
pengampu mata kuliah Epidemiologi
3. Ibu Syifa’ul Lailiyah, S.KM., M.Kes selaku dosen pengampu mata kuliah
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
4. Ibu Septa Indra P., S.KM., M.PH selaku dosen pengampu mata kuliah Gizi
5. Bapak Zainal Fatah, S.KM., M.Kes selaku dosen pengampu mata kuliah
Pendididan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
6. Desak Made Sintha Kurnia Dewi, S.KM., M.Kes selaku dosen pengampu
mata kuliah Biostatistika
7. Susy K.Sebayang selaku dosen pengampu mata kuliah Kesehatan
Lingkungan
8. Serta teman-teman FKM 2016 yang selalu memberi semangat
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih belum
sempurna, baik dari segi penulisan, bahasan, ataupun penyusunannya. Oleh
karena itu penulis mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran yang
membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat
dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengehatuan bagi kita semua.
Banyuwangi, 01 Sepetember 2018
Penulis

DAFTAR ISI

1
KATA PENGANTAR...............................................................................................1

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

1.1 Latar Belakang..........................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................5

1.3 Tujuan........................................................................................................6

1.4 Manfaat......................................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7

2.1 Definisi Bencana............................................................................................7

2.2 Definisi Tsunami............................................................................................7

2.3 Siklus Manajemen Bencana...........................................................................8

2.4 Rapid Health Assesment (RHA)..................................................................10

BAB III PEMBAHASAN......................................................................................15

3.1 Tahap RHA (Rapid Health Assessment) Siklus Manajemen Bencana


Tsunami Mentawai tahun 2010..................................................................15

3.2 Peranan Managemen dalam Penanggulangan Bencana Tsunami Mentawai


tahun 2010..................................................................................................41

3.3 Penanggulangan Masalah Gizi dan Pangan Akibat Bencana Tsunami


Mentawai tahun 2010.................................................................................44

3.4 Penanggulangan Masalah Kesehatan Lingkungan Akibat Bencana Tsunami


Mentawai tahun 2010.................................................................................49

3.5 Penanggulangan Penyakit Berpotensi Wabah Pasca Bencana Tsunami


Mentawai tahun 2010.................................................................................59

3.6 Penanggulangan Dampak Psikologi Pada Pengungsi Pasca Bencana


Tsunami Mentawai tahun 2010..................................................................65

3.7 Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi Akibat Bencana Tsunami


Mentawai tahun 2010 pada Pengungsi......................................................66

2
BAB IV PENUTUP...............................................................................................73

4.1 Kesimpulan..............................................................................................73

4.2 Saran........................................................................................................74

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis (UU No.24 Tahun 2007). Bencana alam
merupakan suatu fenomena alam yang tidak dapat dihindari dan fenomena
tersebut hampir terjadi pada belahan bumi manapun). Bencana alam tersebut
menjadikan adanya perubahan permukaan bumi, perubahan cuaca, serta
bermacam gejala alam yang dapat mengakibatakan bencana alam yang lainnya.
Negara Indonesia berada pada posisi yang rawan terhadap bencana alam
karena posisi geografis Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng besar
yakni lempeng Eurasia, lempeng Indo Australia, dan lempeng pasifik. Secara
geografis Indonesia terletak di antara dua samudera dan dua benua yaitu samudera
pasifik dan samudera Hindia serta Benua Asia dan Benua Australia. Indonesia
dilalui oleh dua sirkum pegunungan yaitu pegunungan sirkum Pasifik dan Sirkum
Mediterania. Kedua pegunungan ini saling bertemu di Laut Banda. Dalam
rangkaian pegunungan ini terdapat gunung- gunung berapi yang masih aktif dan
tidak aktif yang apabila dijumlah diperkirakan terdapat kurang lebih 400 buah.
Jumlah gunung yang aktif di Indonesia berjumlah sekitar 80 buah. Selain
dikelilingi oleh pegunungan, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang
berada di Zona Seismic Asia Tenggara yang dikelilingi oleh lempeng Indo-
Australia dan Pelat Laut Filipina yang meretas di bawah lempeng Eurasia,
dengan lima pulau besar dan beberapa semenanjung sehingga indonesia
memiliki aktifitas seismic-nya yang tinggi dan teraktif di dunia. Hal ini yang
menyebabkan indonesia telah mengalami ribuan kali gempa bumi dan ratusan
tsunami pada rentang empat ratus tahun terakhir (Aydan, 2008).
Wilayah di indonesia yang paling rentan terkena dampak akibat tsunami
adalah pulau sumatera dan pulau jawa. Hal ini dikarenakan kedua pulau tersebut

4
terletak langsung di depan lempeng indo-Australia. Tsunami berasal dari bahasa
Jepang yang berarti gelombang ombak lautan “tsu” berarti lautan, “nami” berarti
gelombang ombak. Menurut BNPB No.8 Tahun (2011), tsunami adalah
serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya pergeseran
di dasar laut akibat gempa bumi. Triatmadja (2010) mendefinisikan tsunami
sebagai gelombang panjang yang disebabkan oleh gerakan dasar laut berupa
dislokasi yaitu pergeseran pada kulit bumi yang apabila arah pergeseran tersebut
menuju ke arah vertikal sehingga menimbulkan elevasi permukaan baru berupa
gelombang. Adapun contoh kejadian tsunami yang berasal dari sumatera, yaitu
tsunami Mentawai.
Tsunami mentawai terjadi dengan dipicunya bencana gempa bumi yang
berkekuatan 7,2 SR (atau 7,5 SR menurut USGS) pada tanggal 25 Oktober 2018.
Adanya gempa bumi yang kemudian disusul terjadinya tsunami ini, menimbulkan
dampak kerugian besar bagi masyarakat Mentawai, khususnya 4 wilayah
kecamatan di Kepulauan Mentawai, yaitu Kecamatan Pagai Selatan, Sipora
Selatan, dan Sikakap. Berdasarkan data dan informasi dari posko BNPB dan
Pusdalops PB Sumbar, tsunami tersebut telah mengakibatkan korban jiwa
sebanyak 509 meninggal dunia, 17 orang mengalami luka-luka dan masyarakat
mengungsi sebanyak 11.425 jiwa, menimbulkan kerusakan rumah sebanyak 1.269
unit rumah. Selain itu, dampak bencana lainnya adalah kerusakan sarana jalan,
kantor pemerintahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas
perdagangan, dan resort. Berdasarkan uraian diatas, penulis menyusun makalah
manajemen bencana ini dengan tema bencana Tsunami Mentawai.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana siklus manajemen bencana tsunami mentawai tahun 2010?
2. Bagaimana tahap RHA (Rapid Health Assessment) bencana tsunami
mentawai tahun 2010?
3. Bagaimana peranan managemen dalam penanggulangan bencana Tsunami
Mentawai tahun 2010?
4. Bagaimana penanggulangan gizi dan pangan akibat bencana Tsunami
Mentawai tahun 2010?
5. Bagaimana penanggulangan kesehatan lingkungan bencana Tsunami
Mentawai tahun 2010?

5
6. Bagaimana penanggulangan penyakit berpotensi wabah pasca bencana
Tsunami Mentawai tahun 2010?
7. Bagaimana penanggulangan dampak psikologi pada pengungsi pasca
bencana Tsunami Mentawai tahun 2010?
8. Bagaimana masalah kesehatan reproduksi akibat bencana Tsunami
Mentawai tahun 2010?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui siklus manajemen bencana tsunami mentawai tahun 2010?
2. Mengetahui tahap RHA (Rapid Health Assessment) bencana tsunami
mentawai tahun 2010?
3. Mengetahui peranan managemen dalam penanggulangan bencana
Tsunami Mentawai tahun 2010?
4. Mengetahui penanggulangan gizi dan pangan akibat bencana Tsunami
Mentawai tahun 2010?
5. Mengetahui penanggulangan kesehatan lingkungan bencana Tsunami
Mentawai tahun 2010?
6. Mengetahui penanggulangan penyakit berpotensi wabah pasca bencana
Tsunami Mentawai tahun 2010?
7. Mengetahui penanggulangan dampak psikologi pada pengungsi pasca
bencana Tsunami Mentawai tahun 2010?
8. Mengetahui masalah kesehatan reproduksi akibat bencana Tsunami
Mentawai tahun 2010?

1.4 Manfaat
1. Untuk mahasiswa
Dapat mengetahui bagaimana siklus manajemen bencana , implementasi
RHA serta analisis hasil RHA dalam upaya penanggulangan bencana
tsunami Mentawai 2010
2. Untuk pembaca
Dapat menambah wawasan mengenai upaya manajemen tsunami
Mentawai

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bencana


Menurut WHO definisi dari bencana adalah a disaster is an occurence
disrupting the normal conditions of existence and causing a level of suffering that
exceeds the capacity of adjustment of the affected community (WHO,2002).
Menurut International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies,
disaster is sudden, calamitous event that seriously disrupts the functioning of a
community or society and causes human, material and economics or
environmental lossess that exceed the community’s or society’s ability to cope
using its own resources, though often by nature, disaster can have human origins
(IFRC).
Menurut Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana menyebutkan bahwa definisi dari bencana adalah rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dari ketiga definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi dari
bencana adalah serangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu
kehidupan manusia yang mengakibatkan penderitaan dan kerugian seperti
timbulnya korban jiwa, kerusakan benda berharga, kerusakan lingkungan serta
dampak psikologis akibat faktor alam atau non alam maupun akibat kegiatan atau
perbuatan manusia.

2.2 Definisi Tsunami


Menurut National Ocean Service, tsunami is giant waves caused by
earthquakes or volcanic eruptions under the sea. Sedangkan menurut
Internationa Tsunami Information Center atau yang biasa disingkat ITIC
menyebutkan bahwa tsunami is series of large waves of extremely long

7
wavelength and period usually generated by a violent, impulsive undersea
disturbance or activity near the coast or in the ocean.
Kesimpulannya adalah tsunami merupakan suatu peristiwa timbulnya
gelombang besar akibat gempa bumi atau gunung meletus yang berpusat di bawah
laut serta aktivitas dan getaran di dalam lautan.

2.3 Siklus Manajemen Bencana

Sumber : Quora.com
Siklus manajemen bencana merupakan sebuah proses sirkular yang dimulai
dari persiapan pra bencana yang baik sehingga didapatkan respon yang efektif.
Respon yang efektif ini akan mengarah pada aktivitas pemulihan atau recovery
yang mengembangkan pembelajaran untuk mendukung tindak kesiapsiagaan atau
proses mitigasi yang lebih baik. Jadi siklus manajemen merupakan proses sirkuler
yang dimulai dari persiapan pra bencana dan saat bencana terjadi terdapat
aktivitas tanggap darurat dan dilanjutkan dengan proses recovery dan terakhir
proses mitigasi (mitigasi dapat diawal dan diakhir siklus manajemen bencana),
proses ini merupakan siklus yang beulang-ulang.

Berikut merupakan tahapan siklus manajemen bencana yaitu sebagai


berikut:

Gambar 2.1 Disaster Management Cycle Process


8
1. Tahap Pra Bencana (Persiapan sebelum Bencana)
A. Kesiapsiagaan : contohnya adalah latihan kedaruratan, kampanye secara
berkala tentan public awareness.
B. Peringatan dini : pemerintah, orang dengan kemampuan khusus dalam
urusan kebencanaan seperti BMKG dan BNPB secara aktif terus menerus
memonitoring untuk peingatan dini bencana.
C. Mitigasi pra bencana : dapat dilakukan seperti pendidikan bencana dan
kedaruratan bagi masyarakat serta advokasi kepada pemerintah mengenai
kesiapsiagaan bencana.
2. Tahap Tanggap Darurat (Disaster Response)
Tahap ini dilaksanakan sesaat setelah terjadi bencana. Hal-hal yang
dilaksanakan adalah operasi kedaruratan, pencarian dan penyelamatan korban
bencana, perlindungan dan pengurusan pengungsi serta pencatatan dan
pelaopran Rapid Health Assessment (RHA).
3. Tahap pemulihan dan rekonstruksi
Tahap ini dilaksanakan setelah aktivitas tanggap darurat. Kegiatan yang
dilakukan recovery dan rekonstruksi. Recovery contohnya adalah perawatan
medis, trauma healing, konseling, pemulihan sarana prasarana khususnya
sarana prasarana kesehatan dan pendidikan. Sedangkan rekonstruksi
contohnya adalah perbaikan semua aspek seperti sebelum terjadi bencana dan
lebih baik lagi.
4. Tahap mitigasi pasca bencana
Pada tahap mitigasi pasca bencana ini dilaksanakan kegiatan meminimalisasi
dampak bencana seperti membuat zona dan kode bangunan yang berbahaya
bagi masyarakat terdampak bencana.

2.4 Rapid Health Assesment (RHA)


2.4.1 Pengertian RHA
RHA (Penilaian Cepat Kesehatan) merupakan suatu rangkaian
siklus manajemen kesehatan pada situasi bencana yang harus dilakukan
sesaat setelah terjadi bencana dan dilakukan secara cepat.
Assessment dapat dilakukan dengan pengamatan visual dengan
cara melakukan observasi lapangan di daerah bencana dan sekitarnya,
wawancara, mengkaji data atau informasi yangada baik (primer atau
sekunder), survei cepat maupun melalui pencatatan lainnya.

9
Rapid Health Assesment (RHA) dilakukan untuk menentukan
tindakan danbantuan yang diperlukan. Dengan adanya RHA ini diharapkan
tindakan danbantuan dapat terdistribusi dengan cepat dan tepat. Bahkan
Menteri Kesehatan RItelah mengeluarkan keputusan Nomor:
145/MENKES/SK/I/2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana
Bidang Kesehatan yang salah satu isinya sebagai berikut:
Dari penggalan Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang
Kesehatan diatas bisa kita lihat bahwa Rapid Health Assessment dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Initial Rapid Health Assessment. (Penilaian Masalah Kesehatan
Awal)yang dalam hal ini dilakukan oleh petugas kesehatan tingkat
kecamatandibawah tanggung jawab Kepala Puskesmas setempat. Ini
dilakukanuntuk menetukan jenis bantuan awal yang dibutuhkan segera.
b. Integrated Rapid Health Assessment. (Penilaian Masalah
KesehatanTerpadu) menindaklanjuti assessment awal dan mendata
kebutuhan parakorban di shelter pengungsian. Dengan adanya
assessment terpadu inikita dapat melakukan penanggulangan gizi,
memberikan imunisasi,melakukan surveilans epidemiologi terhadap
penyakit potensialsehingga kejadian penyakit di lokasi bencana dapat
dikontrol.
2.4.2 Maksud dan Tujuan RHA
Maksud dari dilakukannya RHA ialah :
a. Mengonfirmasi kejadian.
b. Menggambarkan type, dampak dan kemungkinan risiko akibat situasi.
c. Mengukur kondisi & risiko kesehatan.
d. Mengidentifikasi kebutuhan segera pelayanan kesehatan bagi populasi.
e. Menilai kemampuan respon setempat & sumber-sumber kebutuhan
segera.
f. Membuat rekomendasi untuk pengambilan keputusan penanggulangan
segera.
Adapun tujuan dari diadakannya RHA adalah sebagai berikut :
a. Memastikan ada atau tidaknya kedaruratan kesehatan
b. Menggambarkan jenis dan besarnya masalah kesehatan
c. Kemungkinan perkembangan lebih jauh akibat keadaan darurat
d. Menilai kemampuan dalam merespons dan kebutuhan untuk
penanggulangan

10
e. Menentukan prioritas tindakan yang perlu dilakukan untuk
penanggulangan
2.4.3 Ruang Lingkup Assesment
Ruang lingkup Rapid Health Assesmesnt yakni terbagi menjadi
tiga aspek yakni aspek medis, aspek epidemiologi dan aspek kesehatan
lingkungan. Aspek medis , dilakukan untuk menilai dampak pelayanan
medis terhadap korban dan potensi pelayanan kesehatan. Dari aspek
epidemiologi dilakukan untuk menilai potensi munculnya Kejadian Luar
Biasa (KLB) penyakit menular pada periode pasca kejadian atau bencana.
Sedangkan dari aspek kesehatan lingkungan , dilakukan untuk menilai
masalah yang terkait dengan sarana kesehatan lingkungan yang diperlukan
bagi pengungsi dan potensi yang dapat dimanfaatkan.

2.4.4 Persiapan Rapid Health Assesment (RHA)


Untuk mempersiapkan Rapid Health Assesment perlu dilakukan
pencarian informasi awal kejadian yang ada, penetapan tim, informasi
yang akan di assesment , komunikasi dan koordinasi dengan daerah
bencana dengan tim yang lain, serta persiapan administrasi.
Langkah penting dalam mengumpulkan data dan informasi yakni :
a. Menyesuaikan dengan tujuan assessment
b. Mereview informasi yang lalu dan yang ada
c. Menginterview tokoh-tokoh kunci
d. Merumuskan berbagai informasi dan mengaalisis segera lalu membuat
rekomendasi
e. Melaporkan segera ke pimpinan

Cara pengumpulan data/informasi :


a. Mengkaji data
Data yang dikaji dapat bersumber dari pelayanan kesehatan dan
program kesehatan yang sedang berjalan dan sebelum keadaan
kedaruratan, endemisitas penyakit, sumber daya manusia kesehatan
yang bisa bekerja saat ini, sarana pelayanan kesehatan yang masih
berfungsi dan pengungsian.
b. Observasi lapangan di daerah bencana dan sekitarnya
Observasi yang dilakukan dapat berupa mengamati luasnya daerah
bencana, lokasi perpindahan penduduk/pengungsi, dan faktor risiko

11
lingkungan. Dari hasil observasi tersebut dapat dibuat peta secara
kasar yang memuat :
1. Luas daerah bencana.
2. Persebaran penduduk yang mengungsi
3. Tempat pengungsian, dll
4. Lokasi sarana pelayanan kesehatan (Puskesmas, Rumah sakit,
dll).
5. Sumber-sumber air bersih.
6. Akses jalan ke sarana pelayanan kesehatan
7. Persebaran faktor risiko lingkungan , al.Breeding places vektor.

c. Wawancara
Wawancara dapat dilakukan dengan pejabat daerah, petugas
kesehatan termasuk di rumah sakit serta perorangan (tokoh
masyarakat, tokoh agama, guru, dll). Informasi yang didapatkan yakni
keadaan sebelum ebncana, data-data korban ( termasuk meninggal,
terluka dan pengungsi), sumber daya manusia kesehatan yang bisa
dimanfaatkan, potensi yang tersedia di rumah sakit, ketersediaan air
bersih dan sanitasi, endemisitas penyakit, masalah gizi, ketersediaan
obat, bahan alat yang masih bisa dipakai serta potensi kemampuan
response kesehatan , dll
d. Survei cepat
Tim RHA terdiri dari petugas medis, epidemiologist dan sanitarian.
Organisasi pelaksananya yakni terdiri dari petugas puskesmas dan
Dinas Kesehatan dibantu dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan
Departemen Kesehatan. Tentunya Tim RHA harus memiliki kriteria
yakni memiliki kemampuan analisis yang baik dalam bidangknya,
dapat berkerjasama dan dapat diterima serta memiliki kapasitas untuk
mengambil keputusan.
Informasi yang dapat dijaring melalui suvei cepat yakni distribusi
umur dan sex, jumlah kelompok rentan, angka kematian saat ini,
angka-angka kasus penyakit menular potensial wabah, status gizi,
cakupan vaksinasi , dll
2.4.5 Waktu Pelaksanaan Rapid Health Assessment
RHA dilakukan pada saat :
1. Dalam situasi yang memerlukan pertimbangan keamanan, waktu
pelaksanaan penilaian dapat dipersingkat

12
2. Bencana banjir, pengungsian, pengungsian penduduk dlm jumlah
besar, selambat-lambatnya 2 hari setelah kejadian.
3. Kedaruratan mendadak ( gempa bumi, keracunan makanan,
kecelakaan kimiawi, dll) perlu dilakukan secepat mungkin atau
beberapa jam setelah kejadian.

2.4.6 Kesimpulan Analisis Rapid Health Assessment


Analisis RHA akan menghasilkan beberapa point yakni :
a. Kebutuhan pelayanan medis korban bencana
b. Epidemiologi penyakit potensial wabah
c. Masalah dan potensi sarana kesehatan lingkungan.
Rekomendasi yang dapat dibuat dari RHA yakni sebagai berikut :
a. Bantuan obat-obatan, bahan dan alat.
b. Bantuan tenaga medis/paramedis, survailans & kesehatan lingkungan
c. Penyakit menular yang perlu diwaspadai.
d. Sarana kesehatan lingkungan yg memerlukan pengawasan &
perbaikan serta yang perlu dibuat.
e. Makanan bagi kelompok risti.
f. Bantuan lain yang diperlukan baik dari tingkat diatasnya maupun dari
sumber lain

13
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Tahap RHA (Rapid Health Assessment) Siklus Manajemen Bencana


Tsunami Mentawai tahun 2010
3.1.1 Pengumpulan Informasi Bencana Tsunami Mentawai tahun 2010
Pada 25 Oktober 2010, pukul 21:09:22 WIB terjadi gempa bumi
dengan magnituda Mw 7,7 mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera
Barat. Gempa bumi ini berpusat di lepas pantai baratdaya Pulau Pagai, pada
koordinat 3,484° Lintang Selatan dan 100,114° Bujur Timur dengan
kedalaman 20,6 km di bawah dasar. Selain mengguncang Kepulauan
Mentawai, gempa bumi tersebut juga dirasakan di Bukit Tinggi, Sumatera
Barat dan Bengkulu dengan skala intensitas III MMI. Bahkan guncangan
gempa terasa hingga Singapura dan Thailand dengan intensitas yang lebih
kecil, (USGS, 2010).
Sebelum terjadi tsunami mentawai 2010 ini pernah terjadi gempa-
gempa yang juga berskala besar. Gempa Mentawai ini telah menambah
urutan gempa bumi berskala besar di sepanjang megathrust Sunda. Dalam
tahun 2004, terjadi gempa bumi berkekuatan Mw 9,3 mengambil tempat 800
km sebelah utara lokasi Gempa Mentawai, pada tahun 2005 wilayah ini
kembali dilanda gempa berkekuatan Mw 8,6 berlokasi 700 km arah utara
antara Nias dan Simeulue. Gempa yang terjadi pada tahun 2009 berpusat
sekitar 300 km utara Padang berkekuatan Mw 7,5. Gempa Mentawai, 25
Oktober 2010 adalah perulangan dari kejadian yang sama yang pernah terjadi
dalam tahun 1797 berkekuatan Mw 8,7-8,9 dan dalam jangkauan pecahnya
terjadi pula gempa Mw 8,9 - 9,1 dalam tahun 1833 (Briggs drr., 2006).

14
Gambar 3.1 Peta Titik Episentrum Gempabumi

Guncangan gempa dan gelombang tsunami tersebut telah


menyebabkan kerusakan dan kerugian di 4 wilayah kecamatan di Kepulauan
Mentawai, yaitu Kecamatan Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora Selatan, dan
Sikakap.Wilayah Kecamatan Pagai Selatan dan Kecamatan Pagai Utara
merupakan daerah yang paling parah terkena dampak gempa bumi dan
gelombang tsunami yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerusakan
bangunan rumah serta sarana dan prasarana. Hal ini juga turut dipengaruhi
oleh letak geografis wilayah Kecamatan Pagai Selatan yang berada dekat
dengan pusat kejadian gempa dan terletak di pesisir pantai barat.

15
Gambar 3.2 Peta Wilayah Terdampak Bencana Tsunami Mentawai

3.1.2 Identifikasi Kasus Tsunami Mentawai tahun 2010


3.1.2.1 Risiko Bencana
Tabel 3. Indeks dan klasifikasi kapasitas respon dan kerentanan masyarakat
Kota Padang terhadap bahaya tsunami tahun 2007 - 2009.
A. Kerentanan Fisik
No. Kriteria Indeks Klasifikasi
A. Kapasitas Respon
1. Akses Informasi 4,3 Tinggi sekali
2. Akses Peringatan Dini 2,06 Sedang- rendah
3. Pengetahuan- pengalaman 2,45 Sedang

4. Kesadaran- kewaspadaan 3,27 Tinggi


5. Kesiapan evakuasi 2,05 Sedang- rendah
B. Kerentanan
1. Kerentanan Sosial 1,35 Rendah
2. Kerentanan Ekonomi 0,73 Rendah Sekali
3. Kerentanan Fisik 3,44 Tinggi

16
Kerentanan fisik diartikan sebagai suatu sifat struktur fisik yang
menentukan potensi kerusakan terhadap bencana (jenis material dan
kualitas bangunan (Ebert et al, 2009). Kerentanan fisik juga
merupakan kerentanan terhadap hunian atau rumah terhadap bahaya
tsunami seperti jarak terhadap bibir pantai atau sungai, ketinggian
(elevation), konstruksi rumah.
Berdasarkan data tabel 3. dipaparkan bahwasanya kerentanan fisik
di kota padang memiliki indeks yaitu 3,44 yang tergolong tinggi. Hal
ini didorong oleh masyarakat yang memiliki permukiman yang dekat
dengan pantai dan sungai, terutama bagi nelayan atau permukiman
masyarakat lainnya. Selain itu, didukung juga dengan banyaknya
konstruksi rumah yang rentan terhadap gempa maupun tsunami yang
tersebar di pesisir pantai. Hal ini dapat diantisipasi dengan relokasi
masyarakat untuk keluar dari daerah bahaya tsunami, adapun alternatif
lainnya berupa meningkatkan kapasitas terhadap sistem peringatan
dini termasuk didalamnya melakukan penyiapan sarana dan prasarana
evakuasi.
B. Kerentanan Ekonomi
Kerentanan ekonomi adalah kerusakan dan kerugian yang
mempengaruhi sektor ekonomi warga disekitar wilayah bencana.
Kerentanan ekonomi meliputu kerentanan rumah tangga terhadap
ancaman bahaya tsunami, dalam ukuran kesejahteraan. Berdasarkan
tabel 3. Mengenai kerentanan ekonomi yang memiliki indeks 0,73
dengan kategori rendah sekali. Rendahnya kerentanan ekonomi ini
dilihat berdasarkan faktor jenis rumah yang dimiliki, pendapatan dan
masyarakat yang menerima bantuan rendah.
C. Kerentanan Sosial
Kerentanan sosial merupakan gambaran mengenai tingkat
kerentanan terhadap keselamatan penduduk dikarenakan adanya
bahaya. Kerentanan sosial penting untuk dipertimbangkan dan
dianalisis mengingat berkaitan dengan proses evakuasi terhadap warga
maupun harta benda yan terdampak bencana. Terdapat beberapa
indikator yang masuk dalam kriteria kerentanan sosial seperti
diantaranya kepadatan penduduk, persentase penduduk lanjut usia dan

17
balita, penduduk wanita, ibu hamil dan menyusui. Adapun kerentanan
sosial rumah tangga terhadap ancaman bahaya tsunami, seperti
gender, usia, pendidikan dan kemiskinan. Berdasarkan tabel 3.
Dihasilkan bahwa kerentanan sosial di kota padang memiliki indeks
1,35 yang masuk dalam kategori rendah.
D. Kerentanan Lingkungan
Kerentanan lingkungan yang menggambarkan kondisi suatu
lingkungan di wilayah rawan atau terdampak bencana. Kerentanan
lingkungan pada setiap wilayah yang terkena tsunami berbeda- beda.
Adapun faktor kerentanan lingkungan antara lain elevasi lahan,
kemiringan lahan, morfologi pantai, penggunaan lahan, jarak dari
garis pantai, jarak dari sungai.
a. Analisis kerentanan elevasi lahan
Terjadinya tsunami dipengaruhi oleh elevasi lahan.
Semakin rendah elevasi lahan, maka akan semakin rentan dan
mengakibatkan kerusakan yang besar, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan hasil analisis tentang tingkat kerentanan elevasi lahan
dihasilkan bahwa sebagian besar wilayah kota termasuk kelas yang
memiliki kerentanan yang sangat tinggi (elevasi lahan di bawah 10
m) yang memiliki luas 1.845 ha (27.78%), kerentanan tinggi
(elevasi antara 10-25 m) yang memiliki luas 3057 ha (46.01%) dan
kerentanan sedang (elevasi antara 25-50 m) yang memiliki luas
1523 ha (22.93%). Sedangkan sisanya merupakan kelas kerentanan
rendah (elevasi antara 50-100 m) seluas 218 ha (3.27%) dan tidak
ditemukan kelas kerentanan sangat rendah (elevasi di atas 100 m).
b. Analisis kerentanan kemiringan lahan
Kemiringan lahan dapat mempengaruhi tingginya run up
tsunami. Jika kemiringan lahan semakin curam, maka run up
tsunami akan semakin rendah, bagitu juga sebaliknya jika
kemiringan lahan semakin landai maka, semakin tinggi kerentanan
terhadap bahaya tsunami. Kerentanan kemiringan lahan terhadap
bahaya tsunami dibagi menjadi lima, yaitu: kelas kerentanan sangat
tinggi (0-10%), tinggi (10-20%), sedang (20-30%), rendah (30-
40%), dan sangat rendah (>40).
c. Analisis kerentanan Morfologi Pantai

18
Bentuk morfologi pantai memiliki pengaruh besar terhadap tingkat
energi tsunami yang terhempas ke daratan. Bentuk morfologi
pantai dapat diklasifikasikan dalam 5 kelas, yaitu: teluk V, teluk U,
tanjung, pantai lurus, dan non teluk atau tanjung. Bentuk morfologi
pantai ini dapat dilakukan penilaian secara visual.
d. Analisis kerentanan jarak dengan garis pantai
Jarak suatu tempat terhadap garis pantai dapat
mempengaruhi tingkat risiko bahaya jika terjadi bencana tsunami.
Semakin dekat jarak dengan garis pantai, maka semakin tinggi
risiko terhadap bahaya tsunami, begitu juga sebaliknya, semakin
jauh jarak dengan garis pantai, maka semakin kecil risiko bahaya
nya.
e. Analisis kerentanan penggunaan lahan
Penggunaan lahan yang berbeda memiliki dampak yang berbeda
terhadap bahaya tsunami. Peran dan fungsi lahan pertanian bagi
masyarakat yang tinggi memiliki risiko terkena tsunami,
dikarenakan tsunami dapat merusak lahan pertanian dan
infrastruktur kawasan di perkotaan .
f. Analisis kerentanan denga jarak dari sungai
Keberadaan sungai yang secara langsung bermuara ke laut dapat
berpengaruh terhadap perambatan aliran tsunami ke daratan.

3.1.2.2 Siklus manajemen bencana tsunami mentawai 2010


1. Tahap preparedness atau Pra bencana
a. Kesiapsiagaan
Sebelum terjadi tsunami mentawai tahun 2010, kesiapsiagaan
masyarakat dalam rangka tanggap darurat bencana masih cukup
rendah. Berikut merupakan tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap tsunami sebelum terjadinya tsunami mentawai tahun 2010

19
Gambar 3.3 Persentase Pengetahuan masyarakat terhadap tsunami
sebelum terjadinya bencana tsunami mentawai tahun 2010
Dari diagram diatas, bisa diketahui bahwa pengetahuan
masyarakat mengenai tsunami pra bencana tergolong cukup
rendah, karena sebanyak 60% masyarakat masih belum paham
mengenai tsunami. Dari diagram tersebut bisa disimpulkan bahwa
kesiapsiagaan pra bencana di kabupaten mentawai masih belum
dijalankan dengan efektif.
Setelah terjadi bencana tsunami mentawai tahun 2010, banyak
pihak menyadari bahwa kabupaten mentawai sangat rawan
bencana sehingga kesiapsiagaan sangatlah penting dilakukan.
BPBD Kabupaten Mentawai mulai melaksanakan latihan tanggap
darurat
g. Peringatan dini
Untuk peringatan dini tsunami di Kabupaten Mentawai pada
tahun 2010 belum terpasang sistem peringatan dini tsunami. Sirene
peringatan dini tsunami juga belum terpasang di Kabupaten
Mentawai. Peringatan dini adanya bahaya atau bencana seperti
gempa dan tsunami hanya mengandalkan loncenng gereja.
2. Tahap responses
Untuk tahap respon pasca bencana tsunami mentawai tahun
2010 pemerintah pusat, pemerintah daerah serta instansi lainnya.
Berikut respon yang diberikan pasca bencana tsunami tahun 2010
yaitu:
a. Pada tanggal 26 Oktober 2010, Kementerian Sosial telah
mengirimkan bantuan berupa mie instant 10.000 bungkus,
3.000 kg beras, tenda pleton 2 unit, family kit 50 paket, kit
ware 50 paket, tikar 100 lembar, kain sarung 300 potong, alat
dapur lapangan 1 unit, sardencis 35.000 kaleng, 6000 botol,
sambal pedas 6000 botol, minyak goreng 1000 botol, tacpack 1
unit.
b. BNPB :
1. Mengerahkan 1 (satu) unit Helikopter dan memberikan dana
siap pakai untuk penanganan darurat bencana sebesar Rp. 1
miliyar.

20
2. Pada tanggal 27 Oktober 2010 telah mengirimkan bantuan
sebanyak 16 ton dengan menggunakan kapal kargo.
Bantuan tersebut berupa: tenda 500 lembar, tenda keluarga
50 unit dan tikar 500 lembar, 1998 buah makanan siap saji,
lauk pauk 650 paket, makanan siap saji 398 paket.
c. Pada tanggal 27 Oktober 2010 telah mengirimkan bantuan
permakanan sebanyak 3 ton beras, 8000 bungkus mie instant,
7000 kg sarden, kecap manis 1200 botol, sambal- saos 1200,
minyak goreng 200 botol, tenda pengungsi 5 unit, tenda regu
15 unit, tenda keluarga 30 unit, beras 3 ton, tenda pleton 2 unit,
tenda regu 8 unit,family kit 50 paket, kit ware 24 paket, tikar
40 lembar, matras 50 lembar, selimut 100 lembar serta
peralatan dapur dan kemudian dilanjutkan pengiriman bantuan
pada tanggal 28 oktober 2010 berupa family kit 100 buah,
tenda gulung 400 lembar.
d. Pada hari Kamis, 28 Oktober 2010 Presiden RI meninjau ke
lokasi gempa dan tsunami di Mentawai dan memberikan
bantuan kepada korban bencana.
e. Pada hari Kamis, 28 Oktober 2010 telah dikirim bantuan
dengan pesawat Hercules TNI AU sebanyak 2 sorti:
1. Sorti pertama ke Padang pukul 06.00 WIB pesawat
Hercules A 1328 bantuan dari Presiden RI, Kemenkes,
Kementerian PU dan Mabes TNI sebanyak 13,993 ton.
2. Sorti kedua ke Mentawai pukul 06.00 WIB Herclues A 1321
kelokasi bantuan dari Mabes TNI sebanyak 3,4 ton.
f. Pada hari Jum’at, 29 oktober 2010 Presiden RI telah
memberikan bantuan berupa air mineral 6.500 karton, biskuit
2.515 karton, mie instan 2.716 karton, mie cup 1.018 karton,
susu 1.038 karton, super bubur 379 karton, sardencis 70
karton, Cerevita 50 karton, selimut 3.600 karton, kain sarung
2.500 karton yang di kirim melalui jalur laut.
g. Kementerian Kesehatan :
1. Kementerian Kesehatan mengirimkan tenaga medis yang
berjumlah 38 orang, beserta obat-obatan dengan
mengunakan KRI Teluk Manado, 7 ton obat melalui KRI

21
Teluk Gilimanuk dan bantuan uang tunai 100 juta untuk
dana operasinal.
2. Pada tanggal 28 Oktober 2010 telah mengirim bantuan
berupa: terpal 45 koli dan family kit 950 kg dengan
menggunakan pesawat Hercules berangkat yang di
berangkatkan dari bandara Halim Perdana Kusuma.
3. Pada tanggal 28 Oktober 2010 mengirimkan bantuan berupa
biskuit MP Asi 744 dus dan obat-obatan dengan
menggunakan Kapal KRI Gilimanuk.
h. Kementerian PU :
1. Pada tanggal 27 Oktober 2010 mengirimkan bantuan berupa
10 unit THD, 3 unit mobil tangki air, 2 unit IPA, 21 unit
hidran umum, 10 WC darurat, 1.000 buah jerigen air dan 50
unit PAC.
2. Pada tanggal 28 Oktober 2010 mengirimkan bantuan berupa
: 50 umit PAC (pengolah air cepat), 20 unit HU (hidran
umum) dan 10 unit WC Portable dan menyusul kemudian
50 unit HU (Hidran umum), 50 unit PAC (pengolah air
bersih), 1.000 unit jerigen air dan 2 unit perahu karet.
i. TNI :
1. Menyediakan pesawat Hercules, KRI Gilimanuk dan KRI
TMO .
2. Tanggal 27 Oktober 2010, telah memberangkatkan personil,
tim medis, peralatan kesehatan dan obat-obatan dengan
menggunakan Kapal KRI TMO.
3. Tanggal 28 Oktober 2010 mengirim bantuan berupa: tenda
serbaguna 21 unit, matras 450 buah, sleeping bag 450 buah,
jas hujan 450 stel, ponco loreng 450 buah, selimut 450 ptg
dan kompor lapangan BBG 9 set dengan menggunakan
Kapal KRI TMO.
4. Pada tanggal 29 Oktober 2010 mengirimkan bantuan dari
Presiden RI, Kemenkes, Kemeterian PU, dan Mabes TNI
sebanyak 781 koli, 13.993 ton serta bantuan dari Mabes
TNI sebanyak 8 koli, 3,4 ton.
5. Kolinlamil telah menyediakan 2 kapal yaitu KRI Teluk
Manado, KRI Gilimanuk, ditambah lagi dengan KRI Teluk

22
Hading yang siap dioperasikan untuk mengirimkan bantuan
dan relawan.
j. WAKASAU
1. Pada tanggal 31 oktober 2010 telah mengirimkan bantuan
mengunakan pesawat terbang TNI AU type Fokker A 2701
dengan membawa beras 45 koli, selimut dan kaos 3 koli,
daster 1 koli, sarung dan celana pendek 1 koli, gula 1 koli,
minuman afiat 37 koli, biskuit 4 koli, gula dan teh 1 koli,
mie 45 koli.
2. Tanggal 5 November 2010, bantuan kepada korban bencana
di Mentawai kembali dikirim melalui Lanud Halim dengan
menggunakan Pesawat Hercules A 1318. Bantuan tersebut
terdiri dari 376 koli, dimana 18 koli dari Kasad AD, 25 koli
dari DANKOOPSAU 1, 167 koli dari WAKASAU.
k. PMI menyediakan 3 helicopter untuk pendistribusian bantuan
kebeberapa daerah yang sulit di jangkau mengunakan kapal laut
& tranportasi darat.
3. Tahap recovery
Untuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami
mentawai tahun 2010, pemerintah daerah sudah menyusun rencana
rehabilitasi dan rekonstruksi, pembuatan shelter, penggantian
ternak, bentuan modal usaha dan bantuan sapi perah, pemberian
hunian oleh pemerintah Kabupaten. Berikut merupakan kebutuhan
pemulihan pasca bencana tsunami mentawai yaitu sebagi berikut:
Tabel 3.1 Kebutuhan Pemulihan Pasca Bencana Tsunami Mentawai 2010
Sektor Kebutuhan Pemulihan
Perumahan Lahan relokasi dan pembangunan perumahan serta
prasarana lingkungan permukiman
Infrastruktur Untuk kemudahan akses transportasi, diperlukan
pembangunan jaringan jalan dan jembatan
koneksinya dengan transportasi laut termasuk
pembangunan airstrip di Kec. Pagai Utara dan
perbaikan/perpanjangan airstrip di Kec. Pagai
Selatan.
Ekonomi Pembangunan kembali ekonomi masyarakat.
Sosial Pembangunan kembali prasarana sekolah,

23
kesehatan, peribadatan dan lembaga sosial dilokasi
permukiman baru
Sektor lain 1. Pemulihan lingkungan ekosistem wilayah
pesisir
2. Pembangunan kantor pemerintahan (kantor
camat dan kantor desa) dilokasi permukiman
baru.

4. Tahap mitigasi
Mitigasi merupakan tahap minimalisasi dampak bencana. Mitigasi
dapat dilaksanakan pra atau pasca bencana. Kegiatan mitigasi
bencana tsunami mentawai tahun 2010 antara lain :
a. Pelatihan kebencanaan
Pelatihan kebencanaan atau tangga darurat bencana sebagai
upaya kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi atau
bertindak jika ada bencana seperti tsunami melanda Mentawai
b. Pembangunan infrastruktur penunjang
Kabupaten Mentawai merupakan salah satu kabupaten yang
masih minim dalam segi infrastruktur. Seperti jaringan listrik
dan komunikasi yang masih minim. Pembangunan jaringan
listrik dan komunikasi ini sangat berguna dalam rangka mitigasi
gempa karena koordinasi pelaksanaan upaya mitigasi bencana
akan lancar jika sarana komunikasi dan listrik juga mendukung.
Lalu infrastruktur untuk akses antar pulau yang harus diperbaiki
lagi. Akses antar pulau ini sangat penting dikarenakan
pengguna pelayanan kesehatan juga bergantung pada mudahnya
akses serta dalam rangka mitigasi bencana seperti latihan
tanggap darurat juga bergantung pada mudahnya akses. Jika
akses lancar maka semua daerah di Mentawai dapat dijangkau
untuk melaksanakan upaya mitigasi bencana.
c. Pemasangan sistem peringatan dini
Setelah terjadi peristiwa tsunami Mentawai 2010 ini, BMKG
dan pemerintah memasang sistem peringatan dini tsunami.
Sistem peringatan dini tssunami ini sangat penting dikarenakan
Mentawai merupakan salah satu daerah yang rawan gempa dan
tsunami. Jika terdapat sistem peringatan dini ini dapat

24
meminimalisir dampak akibat terjadinya bencana. Setelah
dipasang juga harus dilakukan perawatan dan dimonitoring
secara berkala agar selalu berfungsi setiap saat, karena bencana
gempa dan tsunami tidak bisa ditebak kapan terjadinya.
d. Melakukan pembangunan Tsunami early warning system
Peringatan tsunami terbagi menjadi dua yakni peringatan dini
yang dilakukan sebelum terjadinya tsunami yang berguna untuk
meningkatkan kewaspadaan dan masyarakat dapat melakukan
evakuasi segera, peringatan darurat (emergency) merupakan
peringatan atau informasi yang disampaikan setelah kejadian
tsunami. Tsunami early warning system terdiri dari :
- Accelerograph yakni dapat disebut juga strong motion
seismograph yang digunakan padagetaran kuat. Alat ini
dilengkapi dengan alarm dan sistem penyebaran berita
dengan kontrol operasional serta perawataan jarak jauh.
- Tide Gauge merupakanalat yang digunakan untukmengukur
perubahan dari permukaan laut, biasanya informasi ini
diperlukan untuk bahan peringatandini ketika pasang naik
dan surut ketika sebelum terjadi tsunami
e. Kerjasama lintas sektor dalam upaya mitigasi bencana
Kerjasama lintas sektor sangat penting dilaksanakan dalam
upaya mitigasi bencana. Semua sektor harus saling bersinergi
untuk melaksanakan mitigasi bencana. Jika semua elemen
pemerintah dan masyarakat bersinergi maka upaya mitigasi
dapat berjalan lancar dan hasil dari mitigasi bencana dapat
dilaksanakan dan akhirnya dampak bencana pun tidak besar atau
tidak parah.
f. Pembangunan tempat evakuasi yang aman disekitar daerah
pemukiman,dengan syarat tempat yang diperuntukan untuk
tempat evakuasi harus cukup tinggi serta dapat diakses sehingga
dapat menghindari ketinggian dari gelombang tsunami yang
diprediksi
g. Peningkatan pengetahuan dari masyarakat mentawai atau
masyarakat yang tinggal di garis pantai yang beresiko mengenai

25
tanda-tanda tsunami serta cara-cara yang dapat dilakukan untuk
menyelamatkan diri jika terjadi tsunami
h. Penerapan sistem pembangunan rumah yang tahan terhadap
gempa dan tsunami
i. Peningkatan kewaspadaan terhadap bahaya dari tsunami
j. Pendidikan kepada masyarakat tentang tsunami dan bahayanya

3.1.2.3 Laporan Awal Bencana


A. Gambaran Umum
Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan salah satu
kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Barat. Secara geografis,
Kepulauan Mentawai berada diantara 0O55’00” - 3O21’00” Lintang
Selatan dan 98O35’00” - 100O32’00” Bujur Timur yang wilayahnya
memiliki luas sebesar 6.011,35 km dengan garis pantai sepanjang
1.402,66 km. Daratan Kabupaten Kepulauan Mentawai ini terpisah
dari Provinsi Sumatera Barat oleh Laut, berupa sebelah utara
berbatasan dengan Selat Siberut, sebelah selatan berbatasan dengan
Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan selat Mentawai,
dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Kabupaten
Mentawai memiliki 4 pulau besar dan juga pulau- pulau kecil
sebanyak 98 buah. Empat pulau besar tersebut Pulau Siberut, Pulau
Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan.
Penduduk di Kabupaten Kepulauan Mentawai ini sebesar
70.174 orang dengan jumlah penduduk perempuan sebesar 33.695
orang dan penduduk laki- laki sejumlah 36.479 orang. Dari jumlah 10
kecamatan yang ada di Mentawai, Kecamatan Sikakap memiliki
jumlah penduduk terbanyak sekitar 8.715 orang atau 12,42 % dari
total jumlah penduduk. Urutan kedua ditempati oleh Kecamatan
Sipora Utara sebagai ibukota kabupaten yang jumlah penduduknya
sebesar 8.448 orang atau 12,04 % dari total jumlah penduduk.
Selanjutya yaitu Kecamatan Pagai Selatan yang memiliki jumlah
penduduk sebesar 8.243 orang atau 11,75 % dari total jumlah
penduduk dan jumlah penduduk terkecil terletak di Kecamatan Pagai

26
Utara yakni sebanyak 4.690 orang atau 6,68 % dari total jumlah
penduduk.
Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki kondisi geografi
dan alam yang sebagian besar merupakan kawasan hutan. Kawasan
hutan memiliki presentasi mencapai 85,19 % dari luas wilayah
Kabupaten Kepulauan Mentawai atau sebesar 512.044 hektar atau
sebagian memiliki potensi sebagai lahan tidur, meliputi 456.956
hektar berupa hutan lebat (76,02 %), 12.348 hektar berupa hutan
sejenis (2,05 %) dan selebihnya sebesar 42.740 hektar berupa semak
belukar (7,11 %). Sedangkan komposisi lahan yang digunakan untuk
budidaya sektor pertanian sebesar 85.783 hektar atau 14,26 persen
dari total luas wilayah, berupa 446 hektar luas lahan digunakan untuk
sawah (0,07 %), 40 hektar luas lahan untuk tegalan (0,01 %), 68.385
hektar luas lahan untuk kebun campuran (11,36 %), dan 16.912 hektar
luas lahan untuk perkebunan (2,82 %).
Bidang kesehatan merupakan salah satu bidang yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pembangunan suatu daerah. Terdapat
beberapa fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten Kepulauan
Mentawai pada tahun 2009 berupa 25 unit (7 unit Puskesmas dan 18
unit Pustu), 22 unit Poskesdes dan 225 unit Posyandu. Adapun jumlah
petugas kesehatan yang terdiri dari 6 dokter, 118 perawat dan 28
bidan. Pada tahun 2009, rata- rata kunjungan pasien di puskesmas
untuk tiap triwulan di kabupaten Kepulauan Mentawai sebanyak
14.894 kunjungan.
Tabel 3.2 Fasilitas dan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Mentawai tahun 2009
No. Kecamatan Fasilitas Kesehatan Tenaga Kesehatan
Puskesmas Pustu Poskesdes Posyandu Dokter Perawat Bidan
1. Pagai Selatan - 2 1 -
2. Sikakap 1 - 3 96
3. Pagai Utara 1 - 1 16
4. Sipora Selatan 1 3 8 15
5. Sipora Utara 1 3 - 11
6. Siberut Selatan 1 3 3 43
7. Siberut Barat - 1 1 -
Daya

27
8. Siberut Tengah - 1 2 -
9. Siberut Utara 1 6 1 27
10. Siberut Barat 1 - 2 17

Form Rapid Health Assessment (RHA)


1. Jenis bencana : Tsunami
2. Lokasi bencana
a. Kecamatan : Kecamatan Sipora Selatan, Kecamatan Pagai
Selatan, Kecamatan Pagai Utara dan Kecamatan Sikakap
b. Kabupaten : Kepulauan Mentawai
c. Provinsi : Sumatera Barat
d. Waktu kejadian : 25 Oktober 2010 – 22 November 2010, gempa
pukul 14:42:22 UTC, tsunami mencapai pesisir waktu 16 menit 40 detik
setelah gempa terjadi.
e. Jenis daerah bencana
Jenis daerah bencana Tsunami Mentawai adalah pantai
f. Jenis lokasi bencana
Jenis lokasi bencana Tsunami Mentawai adalah di pedesaan dan
perkotaan
g. Magnitudo gempa bawah laut
berkekuatan 7,2 SR (atau 7,5 SR menurut USGS)
h. Tinggi gelombang : mencapai 3 meter
3. Identifikasi dampak bencana
a. Jumlah fasilitas kesehatan yang rusak (rumah sakit, puskesmas/pustu,
lainnya)

Tabel 3.3 Fasilitas Kesehatan yang Rusak

No Sarana dan Lokasi Data Kerusakan


Prasarana Satuan Berat Sedang Ringan
1. Polindes Pagai Unit 3 - -
2. Peralatan dan Selatan Pkt 3 - -
Perlengkapan
Polindes
3. Puskesmas Pagai Unit 1 - -
Pembantu Selatan

28
4. Peralatan dan Pkt 1 - -
Perlangkapan
Puskesmas
Pembantu
5. Puskesmas Pagai Unit 1 - -
6. Peralatan dan Selatan Pkt - - -
perlengkapan
Puskesmas
Jumlah 9 - -

b. Jumlah rumah yang rusak (berat,sedang,ringan)


Tabel 3.4 Rumah yang rusak

No Sarana Lokasi Data Kerusakan


Satuan Berat Sedang Ringan
dan
Prasarana
1. Perumahan Kep. Unit 176 23 55
Permanen Mentawai
2. Perumahan Unit 571 75 178
Semi
Permanen
3. Perumahan Unit 132 17 41
Non
Permanen
4. Hunian Unit 1.225 - -
Sementara
Jumlah 2.104 115 274

c. Jumlah sarana pendidikan yang rusak (berat,sedang,ringan)


Tabel 3.5 Sarana Pendidikan yang rusak

No Sarana dan Lokasi Data Kerusakan


Prasarana Berat Sedang Ringan Satuan
1. Gedung TK (1 Pagai 1 - - Unit
Ruangan) Selatan

29
2. Peralatan dan - - Pkt
Perlengkapan
TK
3. Gedung SD (4 Sipora 1 - - Unit
Ruangan) Selatan
4. Peralatan dan - - Pkt
Perlengkapan
SD
5. Gedung SD (7 Pagai 3 - - Unit
Ruangan) selatan
6. Peralatan dan - - Pkt
Perlengkapan
SD
7. Gedung SD (7 Pagai 3 - - Unit
Ruangan) Utara
8. Peralatan dan - - Pkt
Perlengkapan
SD
9. Gedung SMP Pagai 1 - - Unit
(4 Ruangan) Selatan
10. Peralatan dan - - Pkt
Perlengkapan
SMP
Jumlah 9 - -

d. Keadaan penerangan dan listrik (baik, terputus)


Sumber listrik berasal dari diesel (generator) yang dimiliki perorangan,
sel tenaga matahari dan minyak tanah. (terputus)
e. Keadaan komunikasi telpon (baik, terputus)
f. Keadaan jalan (baik, rusak ringan, rusak parah)
4. Identifikasi kondisi korban
a. Jumlah korban (org)
1. Meninggal
Jumlah korban meninggal sebanyak 509 korban, dengan
keterangan berikut ini:
a. Kec. Singapora Selatan sejumlah 23 korban yang meninggal

30
b. Kec. Pagai Selatan sejumlah 184 korban yang meninggal
c. Kec. Pagai Utara sejumlah 292 korban yang meninggal
d. Kec. Sikakap sejumlah 10 korban yang meninggal
2. Luka- Luka
Jumlah korban bencana tsunami yang mengalami luka- luka
sejumlah 17 orang, dengan keterangan:
a. Kec. Pagai Utara sejumlah 5 orang
b. Dirawat dirujuk ke Padang sejumlah 12 orang
3. Luka berat
Korban yang mengalami luka berat sejumlah 77 orang
4. Luka ringan
Korban yang mengalami luka- luka ringan sejumlah 25 orang
5. Hilang
Korban tsunami Mentawai yang hilang sebanyak 21 orang, dengan
keterangan sebagai berikut:
1. Kec. Pagai Selatan sejumlah 3 orang
2. Kec. Pagai Utara sejumlah 18 orang

Berdasarkan sumber dari tribunnews warga yang dilaporkan hilang


sejumlah 411 orang
6. Dirujuk ke pelayanan kesehatan
Korban Tsunami Mentawai yang dirujuk ke pelayanan kesehatan
(ke Rumah Sakit di Padang) sejumlah 12 orang.
7. Dievakuasi
5. Lokasi Pengungsian
a. Jenis tempat pengungsian (bangunan permanen, bangunan darurat)
Jenis tempat pengungsian yang digunakan adalah bangunan darurat
berupa tenda-tenda darurat
b. Lokasi pengungsian tempat pengungsian (sekolah, tempat ibadah, aula,
tempat lainnya)
Tenda darurat sebagai tempat pengungsian tersebar di 4 kecamatan
yaitu kecamatan sipora selatan, pagai selatan, pagai utara dan sikakap.
c. Alamat tempat pengungsian :
1) Kampung panairuk
Terdapat 39 KK yang mengungsi
2) Sioban
3) Tuapejat
4) Bosua
Terdapat 139 KK yang mengungsi
5) Kampung purourourogat
143 KK yang mengungsi
6) Masokut
64 K yang mengungsi
d. Kapasitas penampungan pengungsi (memadai ?, tidak memadai)

31
Titik-titik pengungsian yang tersebar di 4 kecamatan cukup memadai
untuk seluruh pengungsi.
e. Jumlah Pengungsi
Berdasarkan tempat/ kecamatan terdampak tsunami mentawai :
a. Sipora selatan : 1248 jiwa
b. Pagai selatan : 5495 jiwa
c. Pagai utara : 2129 jiwa
d. Sikakap : 2553 jiwa
6. Kondisi sanitasi lingkungan pengungsian
a. Kapasitas penyediaan air bersih (memadai 20 lt/org/hr , tidak memadai)
1. Pada tanggal 27 Oktober 2010 kementrian PU mengirimkan
bantuan berupa 10 unit THD, 3 unit mobil tangki air, 2 unit IPA, 21
unit hidran umum, 1.000 buah jerigen air dan 50 unit PAC.
2. Pada tanggal 28 Oktober 2010 Kementrian PU mengirimkan
bantuan berupa : 50 unit PAC (pengolah air cepat), 20 unit HU
(hidran umum) dan menyusul kemudian 50 unit HU (Hidran
umum), 50 unit PAC (pengolah air bersih), 1.000 unit jerigen air
b. Sarana MCK (memadai 40 org/MCK , tidak memadai)
1. Pada tanggal 27 Oktober 2010 kementrian PU mengirimkan
bantuan 10 WC darurat
2. Pada tanggal 28 Oktober 2010 Kementrian PU mengirimkan
bantuan berupa 10 unit WC Portable
Untuk bantuan sarana MCK yang sudah diberikan masih kurang
memadai bagi seluruh jumlah pengungsi.
c. Tempat pembuangan sampah (memadai 3 m3/60 org , tidak memadai)
d. Sarana SPAL (memadai 4m dr penampungan , tidak memadai)
7. Upaya penanggualangan yang telah dilakukan
a. Tim penanggulangan bencana
- Ada, Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Menurut peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
nomor 3 tahun 2011, dalam penanganan darurat pascabencana gempa
bumi dan tsunami di Kepulauan Mentawai, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana telah mengalokasikan dana untuk
penanganan darurat yang diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan
dasar korban pengungsi yang dibantu oleh Pemerintah Pusat, Pemda
Provinsi Sumatera Barat, Pemda Kabupaten Kepulauan Mentawai,
Kementerian Kesehatan RI, Kementerian PU, TNI, WAKASAU dan
PMI.
b. Jumlah pos kesehatan (.... buah)
- Mendirikan 4 Pos Kesehatan di Kec. Sikakap. Menurut
Yang ada (fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tahun 2009):

32
Tabel 3.6 fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tahun 2009
Fasilitas kesehatan Tenaga kesehatan
No Kecamat
puskes poske posyan Doket Perawa
. an pustu Bidan
mas sdes du r t
1. Pagai - 2 1 - - 20 3
Selatan
2. Sikakap 1 - 3 96 - 19 4
3. Pagai 1 - 1 16 1 16 7
Utara
4. Sipora 1 3 8 15 1 10 2
Selatan
5. Sipora 1 3 - 11 2 12 2
Utara
6. Siberut 1 3 3 43 1 16 4
Selatan
7. Siberut - 1 1 - - - -
Barat
Daya
8. Siberut - 1 2 - - - -
Tengah
9. Siberut 1 6 1 27 1 8 2
Utara
10. Siberut 1 - 2 17 - 17 4
Barat
Jumlah 7 18 22 225 6 118 28

Yang rusak:
1. Polindes di
Pagai
selatan
2. Puskesmas
pembantu
di Pagai
Selatan
3. Puskesmas
di Pagai
Selatan

33
4. 1
Puskesmas
Makalopak
5. 1 Pustu
Makalopak
6. 3 Polindes (muntei kecil, Lima Sua, Surat Kaban)
c. Jumlah tenaga kesehatan terlibat di Pos kesehatan (org)
1. Dokter : 68 orang
2. Doker gigi : 4 orang
3. Dokter spesialis : 25 orang
4. Psikiater : 3 orang
5. Apoteker : 3 orang
6. Perawat : 2344 orang
7. Bidan : 1 bidan
8. Kesehatan masy :-
9. Sanitarian gizi : 3 orang
10. Tenaga surveilans : 112 orang
11. Fasilitator : 17 orang

Saat ini tenaga kesehatan yang masih berada di lokasi bencana


sebanyak 83 orang. Berbagai instansi telah mengirimkan bantuan tenaga
kesehatan dengan total keseluruhan 477 orang terdiri dari 17 orang
fasilitator, 25 orang spesialis, 3 psikiater, 68 dokter umum, 4 dokter gigi, 4
DVI, 3 apoteker, 2344 perawat, 1 bidan, dan 112 tenaga surveilans, 6
tenaga logistik dan 3 tenaga gizi.

Berbagai instansi telah mengirimkan bantuan tenaga kesehatan


dengan jumlah total sebanyak 401 orang yang terdiri dari 17 orang
fasilitator, 16 dokter spesialis, 53 dokter umum, 3 dokter gigi, 4 DVI, 3
apoteker, 210 perawat, 2 bidan, dan 93 tenaga surveilans. Sampai dengan
tanggal 3 November 2010 terdapat 22 orang tenaga kesehatan yang telah
pulang yaitu 4 dokter umum, 3 dokter spesialis, 9 perawat, 5 surveilans,
dan 1 logistik
8. Kesiapan logistik
a. Persediaan obat-obatan (tidak ada, kurang, cukup)
1. Kementerian Kesehatan mengirimkan tenaga medis yang berjumlah
38 orang, beserta obat-obatan dengan mengunakan KRI Teluk

34
Manado, 7 ton obat melalui KRI Teluk Gilimanuk dan bantuan uang
tunai 100 juta untuk dana operasinal.
2. Pada tanggal 31 oktober 2010 WAKASAU (Wakil Kepala Staf
Angkatan Udara) telah mengirimkan bantuan mengunakan pesawat
terbang TNI AU type Fokker A 2701 dengan membawa minuman
afiat 37 koli.
b. Persediaan Tenda ( tidak ada, kurang, cukup)
2. Pada tanggal 26 Oktober 2010 Kementerian Sosial telah
mengirimkan bantuan berupa tenda pleton 2 unit.
3. Pada tanggal 27 oktober 2010 tenda pengungsi 5 unit, tenda regu 23
unit, tenda keluarga 30 unit, tenda pleton 2 unit.
c. Persediaan Selimut (tidak ada, kurang, cukup)
1. Pada tanggal 27 oktober 2010 telah mengirimkan selimut 100
lembar,
2. Pada hari Jum’at, 29 oktober 2010 Presiden RI telah memberikan
bantuan berupa selimut 3.600 karton yang di kirim melalui jalur laut.
3. Pada tanggal 31 oktober 2010 WAKASAU (Wakil Kepala Staf
Angkatan Udara) telah mengirimkan bantuan mengunakan pesawat
terbang TNI AU type Fokker A 2701 dengan membawa selimut dan
kaos 3 koli.
d. Persediaan pakaian dewasa (tidak ada, kurang, cukup)
1. Pada hari Jum’at, 29 oktober 2010 Presiden RI telah memberikan
bantuan berupa kain sarung 2.500 karton yang di kirim melalui jalur
laut.
2. Pada tanggal 31 oktober 2010 WAKASAU (Wakil Kepala Staf
Angkatan Udara) telah mengirimkan bantuan mengunakan pesawat
terbang TNI AU type Fokker A 2701 dengan membawa selimut dan
kaos 3 koli, daster 1 koli, sarung dan celana pendek 1 koli.
e. Persediaan Makanan Bayi (tidak ada, kurang, cukup)
1. Pada tanggal 28 Oktober 2010 Kementrian Kesehatan mengirimkan
bantuan berupa biskuit MP Asi 744 dus dan obat- obatan dengan
menggunakan Kapal KRI Gilimanuk.
f. Persediaan bahan makanan pokok (tidak ada, kurang, cukup)
1. Pada tanggal 26 Oktober 2010, Kementerian Sosial telah
mengirimkan bantuan berupa mie instant 10.000 bungkus, 3.000 kg
beras, sardencis 35.000 kaleng, 6000 botol, sambal pedas 6000 botol,
minyak goreng 1000 botol, tacpack 1 unit.

35
2. Pada tanggal 27 Oktober 2010 BNPB telah mengirimkan bantuan
sebanyak 1998 buah makanan siap saji, lauk pauk 650 paket,
makanan siap saji 398 paket.
3. Pada tanggal 27 Oktober 2010 telah mengirimkan bantuan
permakanan sebanyak 3 ton beras, 8000 bungkus mie instant, 7000
kg sarden, kecap manis 1200 botol, sambal- saos 1200, minyak
goreng 200 botol.
4. Pada hari Jum’at, 29 oktober 2010 Presiden RI telah memberikan
bantuan berupa air mineral 6.500 karton, biskuit 2.515 karton, mie
instan 2.716 karton, mie cup 1.018 karton, susu 1.038 karton, super
bubur 379 karton, sardencis 70 karton, Cerevita 50 yang di kirim
melalui jalur laut.
5. Pada tanggal 31 oktober 2010 WAKASAU (Wakil Kepala Staf
Angkatan Udara) telah mengirimkan bantuan mengunakan pesawat
terbang TNI AU type Fokker A 2701 dengan membawa beras 45
koli, gula 1 koli, biskuit 4 koli, gula dan teh 1 koli, mie 45 koli.
g. Persediaan air minum (tidak ada, kurang, cukup)
1. Pada hari Jum’at, 29 oktober 2010 Presiden RI telah memberikan
bantuan berupa air mineral 6.500 karton.
h. Persediaan air bersih (tidak ada , kurang, cukup)
1. Pada tanggal 27 Oktober 2010 Kementrian PU mengirimkan
bantuan berupa 3 unit mobil tangki air, 2 unit IPA, 21 unit hidran
umum, 1.000 buah jerigen air dan 50 unit PAC.
2. Pada tanggal 28 Oktober 2010 Kementrian PU mengirimkan
bantuan berupa 50 unit PAC (pengolah air cepat), 20 unit HU
(hidran umum) dan 10 unit WC Portable dan menyusul kemudian
50 unit HU (Hidran umum), 50 unit PAC (pengolah air bersih),
1.000 unit jerigen air dan 2 unit perahu karet.
i. Persediaan MCK
1. Pada tanggal 27 Oktober 2010 Kementrian PU mengirimkan
bantuan berupa 10 WC darurat.
2. Pada tanggal 28 Oktober 2010 Kementrian PU mengirimkan
bantuan berupa 10 unit WC Portable.
9. Klasifikasi bencana ( ringan, sedang, berat)
10. Kemungkinan yang akan terjadi (KLB)
l. penyakit terbesar pada 134 pasien di Pos Kesehatan yaitu sebagai
berikut :

36
Tabel 3.7 Penyakit pada pasien di Pos Kesehatan Tsunami Mentawai

No. Diagnosis Jumlah Presentase


1 Luka-luka 86 64,18%
2 Demam 13 9,70%
3 Gastritis 9 6,72%
4 Trauma tumpul 7 5,22%
5 ISPA 7 5,22%
6 Nyeri dada 6 4,48%
7 Asma 2 1,49
8 Diare 2 1,49%
9 Gatal-gatal 1 0,75%
10 1 0,75%
Fraktur
jumlah 134 100%

11. Bantuan segera yang diperlukan


Bantuan segera diperlukan dari ribuan orang yang tinggal di
pengungsian karena rumah mereka mengalami kerusakan akibat terjangan
tsunami. Karena Mentawai berada di tengah laut yang mengakibatkan
sulitnya pemerintah, relawan dan pihak yang terkait untuk menyalurkan
bantuan. Cuaca yang buruk juga menyebabkan sulitnya bantuan makanan,
obat-obatan, pakaian dan kebutuhan lainnya untuk disalurkan kepada
korban tsunami Mentawai yang tinggal di pengungsian. Beberapa hari
setelah bencana relawan hanya dapat menyalurkan bantuan dengan cara
melemparkan mie instant melalui udara dengan menggunakan helikopter,
kemudian mie instant tersebut dilemparkan per satu kardus. Walaupun cara
ini tidak terlalu efektif karena masih banyak penduduk yang tidak
mendapatkan bantuan.
Pendistribusian bantuan yang belum merata masih sangat terlihat di
tempat-tempat pengungsian. Mereka bukan hanya butuh makanan,
minuman, kasur, selimut, dan obat-obatan saja. Tetapi mereka juga sangat
membutuhkan pakaian layak pakai, pakaian dalam untuk pria dan wanita,
pembalut wanita, dan kebutuhan lainnya yang terkadang dilupakan oleh
pihak-pihak yang ingin membantu. Hal-hal yang kecil seperti pembalut

37
wanita juga tidak jauh penting. Jangan hanya berfokus pada penanganan
pada hal-hal yang besar saja. Balita dan anak-anak pun masih sangat
membutuhkan penghidupan yang layak selama tinggal di pengungsian,
mereka butuh makanan yang sehat dan susu. Gizi mereka tidak boleh
diabaikan. Begitu pun juga bagi ibu-ibu hamil.

3.2 Peranan Manajemen dalam Penanggulangan Bencana Tsunami


Mentawai
Tabel 3. Sumber Daya Kesehatan
No Jenis Tenaga Provinsi Kab. Kep
Sumatera Barat Mentawai
1 Dokter Spesialis 470 0
2 Dokter Umum 1.001 13
3 Dokter Gigi 377 5
4 Perawat 7.135 242
5 Bidan 4.418 65
6 Apoteker 165 26
7 Asisten Apoteker 878 0
8 Kesehatan Masyarakat 1.954 30
9 Sanitarian 436 5
10 Gizi 478 9
11 Terapi Fisik 147 1
12 Teknisi Medis 477 0
13 Analisis Kesehatan 472 0
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Kep. Mentawai Tahun 2011, Kemkes RI:
Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Pusat Data dan Informasi.
A. Estimasi Kebutuhan tenaga kesehatan di lokasi bencana
Jumlah pengungsi pada bencana gunung merapi 11.425 orang. Dengan jumlah
pengungsi yang semakin bertambah setiap harinya, maka perlu diadakannya
perhitungan hal mengenai kebutuhan tenaga kesehatan di pengungsian. Hal ini
harus dilakukan agar para pengungsi tetap mendapatkan kesehatan yang optimal
dan tidak mengakibatkan persebaran penyakit di dalam pengungsian. Perhitungan
tenaga kesehatan seperti berikut :
Secara umum, estimasi kebutuhan tenaga kesehatan di lokasi bencana yitu
untuk jumlah penduduk atau pengungsi antara 10.000-20.000 orang maka :
a. Dokter umum = 4 orang

38
b. Perawat = 10-20 orang
c. Bidan = 8-16 orang
d. Apoteker = 2 orang
Apabila estimasi kebutuhan tenaga kesehatan di lokasi bencana Tsunami
Mentawai yaitu untuk jumlah penduduk atau pengungsi 70.174 jiwa :

1. Dokter umum = = 5 atau =2


Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan dokter umum untuk pengungsi
11.425 jiwa sekitar 2-5 orang.
2. Perawat = = 11 atau = 11.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan perawat untuk pengungsi 11.425
jiwa adalah 11 orang.
3. Bidan = = 9 atau =9
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan bidan untuk pengungsi 11.425
jiwa adalah 9 orang.
4. Apoteker = = 2 atau = 1.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan apoteker untuk pengungsi


sebanyak 11.425 jiwa adalah 1-2 orang
B. Sumber Daya Manusia
Tim penanggulangan Krisis
a. Tim Reaksi Cepat
Tim reaksi cepat akan dibentuk pada saat terjadi suatu bencana, tugas
pokok drai tim reaksi cepat adalah melakukan kajian pada lokasi
bencana untuk mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah
korban, kerusakan yang terjadi baik sarana maupun prasarana,
terjadinya gangguan dalampelaksanaan fungsi dari pelayanan umum
dan pemerintahaan, pemanfaatan kemampuandarisumber daya alam
maupun buatan yang berada disekitar lokasi bencana guna membantu
untuk penanganan bencana dengan melakukan koordinasi pada sektor
terkait dalam penanganan darurat bencana tersebut. Tim reaksi cepat
harus segera dibentuk dalamwaktu 0-24 jam setalah ada informasi
kejadian bencana alam salah satunya tsunami. Tim reaksi cepat terdiri
dari :

39
a. Tenaga medik
1. Dokter umum
2. Dokter spesialis bedah
3. Dokter spesialis anestesi
4. Perawat mahir (perawat bedah, gadar)
5. Tenaga disaster Victims Identification (DVI)
6. Apoteker/tenaga tekniskefarmasian
7. Sopir ambulans
Masing-masing sejumlah satu orang kecuali perawat mahir.
b. Surveilans epidemiolog/ sanitarian
c. Petugas komunikasi
d. Petugas logistik

Dengan syarat harus memiliki kondisi yang sehat jasmani dan rohani
yang sebelumnya telah mengikuti pelatihan atau workshop mengenai
TRC serta bersedia ditugaskan selama 3 sampai 7 hari
b. Tim Penilaian Cepat (RHA Team)
Tim penilai cepat atau RHA Team dapat dibentuk dalam waktu kurang
dari 24 jam. Tim penilaicepat biasnaya hanya terdiri dari tiga orang
diantaranya dari profesi dokter umum satu orang, epidemiolog
sebanyak satu orang, sanitarian sebanyak satu orang. Tim RHA dapat
diberangkatkan bersama dengan tim reaksi cepat atau menyusul.
c. Tim Bantuan Kesehatan
Tim reaksi cepat dan tim RHA yang sudah dikirimkan ke lokasi
bencana kemudiamelakukan tupoksi yang sudah di tetpkan maka
timbal balik yang dilakukan adalah dengan melaporkan hasil kegiatan,
dalam laporan tercantum berapa tim bantuan kesehatan yang
dibutuhkan berdasarkan kondisi lapangan serta jenis bencana yang
terjadi yakni tsunami.

3.3 Penanggulangan Masalah Gizi dan Pangan Akibat Bencana pada


Pengungsi
Bencana tsunami menyebabkan hancurnya infrastruktur kesehatan,
pemukiman warga, bangunan fasilitas pelayanan umum, sarana transportasi
dan berkurangnya tenaga kesehatan. Selain itu juga timbul masalah kesehatan
dan gizi pada korban bencana akibat rusaknya pelayanan kesehatan ,
terputusnya jalur distribusi pangan dan terbatasnya sarana air bersih serta

40
sanitasi lingkungan yang buruk. Masalah gizi yang dapat timbul antara lain
adalah :
1. Kurang gizi pada bayi dan balita
2. Bayi tidak mendapatkan ASI
3. Bantuan makanan yang sering terlambat, tidak berkesinambungan
4. Terbatasnya ketersediaan pangan lokal
Menurut Antaranews.com – Pada tanggal 25 Oktober 2018 telah
ditemukan sedikitnya 120 kasus gizi buruk dan gizi kurang yang ditemukan
relawan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Indonesia bersama
jajaran para medis di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pasca tsunami
melanda daerah tersebut. Temuan kasus balita gizi buruk dan gizi kurang
terungkap ketika relawan melakukan survei dan pendataan di sepuluh titik
pasca tsunami, jelas salah satu dokter .Dosen kedokteran di salah satu
perguruan tinggi di Jakarta itu merinci bahwa sebanyak 40 kasus gizi buruk
dan 80 kasus gizi kurang. Satu diantara penderita gizi buruk berumur dua tahun
meninggal dunia, setelah sempat dirawat pada Puskesmas Pagai Utara,
Kepulauan Mentawai. Untuk melihat apakah balita tersebut gizi buruk atau
tidak , relawan menggunakan indikator gizi buruk yang dilihat dari berat badan
dan tinggi badan serta umur penderitanya. Dalam melakukannya yakni dengan
wawancara mendalam pada orang tua dan komunikasi yang intens karena perlu
kehati-hatian.
Untuk menanggulangi bencana termasuk bencana tsunami ada beberapa
kegiatan gizi yang dapat dilakukan yakni sebagai berikut :
A. Pra Bencana
Penanganan gizi pada pra bencana pada dasarnya adalah kegiatan
antisipasi terjadinya bencana dan mengurangi risiko dampak bencana.
Kegiatan yang dapat dilakukan adalah :
1. sosialisasi dan pelatihan petugas seperti manajemen gizi bencana,
penyusunan rencana kegiatan gizi, konseling menyusui, konseling
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI),
2. pengumpulan data awal daerah rentan bencana,
3. penyediaan bufferstock MP-ASI,
4. pembinaan teknis dan pendampingan kepada petugas terkait dengan
manajemen gizi bencana dan berbagai kegiatan terkait lainnya.
B. Darurat Bencana
Situasi keadaan darurat bencana terbagi menjadi 3 tahap, yaitu siaga
darurat, tanggap darurat dan transisi darurat :

41
1. Siaga Darurat
Siaga darurat adalah suatu keadaan potensi terjadinya bencana yang
ditandai dengan adanya pengungsi dan pergerakan sumber daya.
Kegiatan penanganan gizi pada suatu siaga darurat sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada dapat dilaksanakan kegiatan gizi seperti
pada tanggap darurat.
2. Tanggap Darurat
Kegiatan penanganan gizi pada saat tanggap darurat dapat dibagi
menjadi dua tahap yakni tahap tanggap darurat awal dan tanggap
darurat lanjut.
a. Fase I Tanggap Darurat Awal
Lamanya fase I ini tergantung dari situasi dan kondisi setempat di
daerah bencana yaitu maksimal sampai 3 hari setelah bencana
Pada fase ditandai dengan kondisi sebagai berikut :
i. korban bencana bisa dalam pengungsian atau belum dalam
pengungsian,
ii. petugas belum sempat mengidentifikasi korban secara lengkap,
iii. bantuan pangan sudah mulai berdatangan dan
iv. adanya penyelenggaraan dapur umum jika diperlukan.

Kegiatan yang dapat dilakukan pada fase ini adalah memberikan


makanan yang bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan dapat
mempertahankan status gizinya, mengawasi pendistribusian
bantuan bahan makanan dan menganalisis hasi Rapid Health
Assesment (RHA).
Penyelenggaraan makanan bagi korban pada fase ini
mempertimbangkan hasil analisis RHA dan standar ransum.
Ransum yang dimaksud adalah bantuan bahan makanan yang
memastikan korban bencana mendapatkan asupan energi, protein
dan lemak untuk mempertahankan kehidupan dan beraktifitas.
Ransum ini dibedakan menjadi dua bentuk yakni bentuk kering
(dry ration) dan bentuk basah (wet ration). Dalam perhitungan,
ransum basah diprioritaskan penggunaan garam beriodium dan
minyak goreng yang difortifikasi dengan vitamin A.
b. Fase II Tanggap Darurat Awal
Kegiatan yang dilakukan pada fase II adalah :
i. Menghitung kebutuhan gizi

42
Berdasarkan analisis hasil Rapid Health Assessment (RHA)
diketahui jumlah pengungsi, jumlah pengungsi bencana
tsunami mentawai diperkirakan 11.425 orang yang mengungsi
selanjutnya dapat dihitung ransum pengungsi dengan
memperhitungkan setiap orang pengungsi membutuhkan 2.100
kkal, 50 g protein dan 40 g lemak, serta menyusun menu yang
didasarkan pada jenis bahan makanan yang tersedia.
ii. Pengelolaan penyelenggaraan makanan didapur umum yang
meliputi :
1) Tempat pengolahan (1 dapur umum pada tenda yang besar
digunakan untuk menyediakan makanan sejumlah 1000-
1500 pengungsi)
2) Sumber bahan makanan (bahan makanan lokal yang
tersedia)
3) Petugas pelaksana (tukang masak/koki, asisten koki
(membersihkan sayur, membuat api, mencari air, dll),
tukang cuci piring, tukang bersih-bersih)
4) Penyimpanan bahan makanan basah
5) Penyimpanan bahan makanan kering
6) Cara mengolah
7) Cara distribusi
8) Peralatan makan dan pengolahan
9) Tempat pembuangan sampah sementara
10) Pengawasan penyelenggaraan makanan
11) Mendistribusikan makanan siap saji (keluarga yang
terdaftar)
12) Pengawasan bantuan bahan makanan untuk melindungi
korban bencana dari dampak buruk akibat bantuan seperti
diare, infeksi , keracunan dan lain-lain

Jumlah dapur umum yang dapat dibuat dengan 11.425 orang


pengungsi yakni :

Jumlah kebutuhan koki dalam kondisi dengan jumlah pengungsi


tersebut adalah :
Jumlah pengungsi : 11.425 orang

43
Sehari pengungsi makan : 3 kali sehari
Porsi yang disiapkan 3 kali dalam sehari : 34.275
1 orang koki dalam 1 jam mampu memasak 100 porsi
Waktu yang dibutuhkan untuk memasak :

Waktu yang tersedia untuk memasak : 6 jam


Kebutuhan koki

c. Tanggap Darurat Lanjut


Tahap tanggap darurat lanjut dilaksanakan setelah tahap tanggap
darurat awal, dalam rangka penanganan masalah gizi sesuai tingkat
kedaruratan. Pada tahap ini sudah ada informasi lebih rinci tentang
keadaan pengungsi, seperti jumlah menurut golongan umur dan
jenis kelamin, keadaan lingkungan, keadaan penyakit, dan
sebagainya.
Kegiatan yang dapat dilakukan pada tanggap darurat lanjut adalah :
i. Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health
Assessment (RHA).
ii. Pengumpulan data antropometri balita (berat badan, panjang
badan/tinggi badan), ibu hamil dan ibu menyusui (Lingkar
Lengan Atas).
iii. Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB <-2SD)
dan jumlah ibu hamil dengan risiko KEK (LILA <23,5 cm).
iv. Menganalisis adanya faktor penyulit seperti kejadian diare,
campak, demam berdarah dan lain-lain.
v. Melaksanakan pemberian makanan tambahan dan suplemen
gizi.
3. Transisi Darurat
Transisi darurat adalah suatu keadaan sebelum dilakukan rehabilitasi
dan rekonstruksi. Kegiatan penanganan gizi pada situasi transisi
darurat disesusaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, dapat
dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada tanggap darurat.
C. Pasca Bencana
Kegiatan penanganan gizi pasca bencana yakni sebagai berikut :

44
i. melaksanakan pemantauan dan evaluasi sebagai bagian dari
surveilans,
ii. untuk mengetahui kebutuhan yang diperlukan (need assessment) dan
iii. melaksanakan kegiatan pembinaan gizi sebagai tindak lanjut atau
respon dari informasi yang diperoleh secara terintegrasi dengan
kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat (public health response)
untuk meningkatkan dan mempertahankan status gizi dan kesehatan
korban bencana.

3.4 Penanggulangan Masalah Kesehatan Lingkungan Akibat Bencana pada


Pengungsi
3.4.1. Prioritas yang dilakukan darurat bencana di bidang kesehatan
lingkungan:
1. Memastikan kecukupan jumlah air minum, fasilitas sanitasi,
pembuangan kotoran manusia, pembuangan air limbah dan sampah dan
camp pengungsian yang memadai

2. Memastikan keamanan pangan, pengendalian vektor dan melakukan


promosi kebersihan diri (personal hygiene)

Beberapa standar minimal yang harus dipenuhi dalam menangani korban


bencana khususnya di pengungsian dalam hal lingkungan adalah:

1. Pengadaan Air
Dalam situasi bencana, terjadi kemungkinan persediaan air untuk
keperluan minum tidak cukup, dan pada kondisi ini pengadaan air yang
layak untuk dikonsumsi menjadi paling mendesak. Akan tetapi, biasanya
terdapat masalah kesehatan yang berkaitan dengan air muncul, hal ini
dikarenakan kurangnya persediaan dan diakibatkan oleh kondisi air yang
telah tercemar sampai pada tingkat tertentu.
Tolok ukur kunci:
a. Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikit–dikitnya 15 liter per
orang per hari
b. Volume aliran air ditiap sumber sedikitnya 0,125 liter perdetik.
c. Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter
d. 1 (satu) kran air untuk 80 – 100 orang

45
Berdasarkan informasi yang didapatkan terkait dengan penyediaan
air bersih, di pengungsian bencana tsunami mentawai ini telah
mendapatkan penyediaan air bersih yang memadai sebanyak 20 lt/org/hr.
Bantuan ini diberikan oleh kementerian PU berupa 10 unit THD, 3 unit
mobil tangki air, 2 unit IPA, 21 unit hidran umum, 1.000 buah jerigen air
dan 50 unit PAC (tanggal 27 oktober 2018) dan dilakukan pengiriman
kembali 50 unit PAC (pengolah air cepat), 20 unit HU (hidran umum) dan
menyusul kemudian 50 unit HU (Hidran umum), 50 unit PAC (pengolah
air bersih), 1.000 unit jerigen air (pada tanggal 28 oktober 2018). Selain
itu, pada sektor air dan sanitasi bagian sarana air bersih di Dusun Bulusat
dilakukan rehabilitasi dan rekontruksi sejumlah 120 kebutuhan.
2. Kualitas air
Air di sumber–sumber harus layak diminum dan volumenya cukup
digunakan untuk keperluan- keperluan dasar, misalnya: minum, memasak,
menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga tanpa menyebabakan
timbulnya risiko besar terhadap kesehatan yang diakibatkan dari akibat
penyakit maupun pencemaran kimiawi atau radiologis dari penggunaan
jangka pendek.
Tolok ukur kunci
a. Di sumber air yang tidak terdisinvektan (belum bebas kuman),
kandungan bakteri dari pencemaran kotoran manusia tidak lebih dari
10 coliform per 100 mili liter
b. Hasil penelitian kebersihan menunjukkan bahawa resiko pencemaran
semacam itu sangat rendah.
c. Untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada penduduk yang
jumlahnya lebih dari 10.000 orang, atau bagi semua pasokan air pada
waktu ada resiko atau sudah ada kejadian perjangkitan penyakit diare,
air harus didisinfektan lebih dahulu sebelum digunakan sehingga
mencapai standar yang bias diterima (yakni residu klorin pada kran air
0,2–0,5 miligram perliter dan kejenuhan dibawah 5 NTU)
d. Konduksi tidak lebih dari 2000 jS / cm dan airnya biasa diminum
e. Tidak terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan
pengguna air, akibat pencemaran kimiawi atau radiologis dari
pemakaian jangka pendek, atau dari pemakain air dari sumbernya
dalam jangka waktu yang telah direncanakan, menurut penelitian yang

46
juga meliputi penelitian tentang kadar endapan bahan–bahan kimiawi
yang digunakan untuk mengetes air itu sendiri. Sedangkan menurut
penilaian situasi nampak tidak ada peluang yang cukup besar untuk
terjadinya masalah kesehatan akibat konsumsi air itu.

Berdasarkan tolok ukur kualitas air di wilayah terjadinya Tsunami


Mentawai, belum ditemukan data secara rinci mengenai tolok ukur yang
dimaksud. Akan tetapi, pernah dilakukan penelitian oleh Suparno (2016)
tentang pengukuran di wilayah pasca tsunami Mentawai pada kualitas air
selama 2 bulan sekali dengan menggunakan parameter yang diukur
langsung di lapangan yang meliputi kecepatan arus, suhu air, PH, salinitas,
kecerahan dan DO. Berdasarkan penelitian tersebut dihasilkan rata- rata
kualitas perairan Pulau Siopa Besar, sebagai berikut:
Tabel 3.8 Kualitas Perairan Pulau Siopa Besar 2015
Parameter Februari April Juni Agustus Baku
2015 2015 2015 2015 mutu
Fisika
Suhu (C) 29 29 29 30 28-30
Kecerahan (m) 11 12 13 11 >5
Arus permukaan 0,46 0,41 0,38 0,50 -
(m/det)
Kimia
Salinitas 33 33 33 33 33-34
PH 8,03 8,04 8,05 8,01 7 – 8,5
TSS (mg/l) 5,99 5,9 5,70 6,10 <20
DO (mg/l) 6,50 6,40 6,30 6,99 >5
Fosfat (mg/l) 0,017 0,020 0,022 0,027 0,015
Nitrat (mg/l) 0,087 0,086 0,081 0,090 0,008
Silikat (mg/l) 0,491 0,431 0,391 0,499 -
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwasanya perairan di
Pulau Siopa Besar pada tahun 2015 secara fisik yang terdiri dari
komponen suhu, kecerahan, arus permukaan telah memenuhi baku mutu
yang telah ditetapkan. Sedangkan secara kimia yang meliputi komponen
salinitas, ph, TSS, DO sudah sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan,
namun pada komponen fosfat dan nitrat melebihi baku mutu yang
ditetapkan.

47
Sedangkan untuk penyakit yang pernah muncul setelah terjadinya
Tsunami Mentawai adalah diare, penyakit lain berupa infeksi saluran
pernafasan atas atau mag. Penyakit ini timbul dikarenakan buruknya
sanitasi serta kurang tersedianya air bersih dan konsumsi mie instan yang
berlebih. Terdapat lembaga bantuan kemanusiaan yaitu Reach Out
Worldwide yang berasal dari Amerika yang memberikan batuan berupa
ratusan penjernih air. Bantuan ini dikirimkan karena air minum dan air
yang digunakan mandi oleh warga berasal dari kumpulan air hujan
sehingga butuh untuk dijernihkan agar dapat dimanfaatkan. Di samping
itu, dinas pekerjaan umum sumatera barat juga memberikan bantuan
berupa 8 unit alat penjernih air depat kepada pengungsi yang berada di
Dusun Muntei Baru- Baru, Pagai Utara dan Dusun Eruk Paraboat, Pagai
Selatan.
3. Prasarana dan Perlengkapan
Tolok ukur kunci :
a. Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang berkapasitas
10–20 liter, dan tempat penyimpan air berkapasitas 20 liter. Alat–alat
ini sebaiknya berbentuk wadah yang berleher sempit dan/bertutup
b. Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.
c. Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini harus
cukup banyak untuk semua orang yang mandi secara teratur setiap hari
pada jam– jam tertentu. Pisahkan petak–petak untuk perempuan dari
yang untuk laki– laki. Bila harus ada prasarana pencucian pakaian dan
peralatan rumah tangga untuk umum, satu bak air paling banyak
dipakai oleh 100 orang.
Berdasarkan tolok ukur bagian sarana dan prasarana diatas, di lokasi
kejadian bencana Tsunami Mentawai belum ditemukan data yang
mendukung untuk terpenuhinya tolok ukur sarana dan prasarana. Namun,
dalam perihal sarana dan prasarana, pengungsi di lokasi bencana
mendapatkan bantuan dari personel TNI berupa tenda serbaguna 21 unit,
matras 450 buah, sleeping bag 450 buah, jas hujan 450 stel, ponco loreng
450 buah, selimut 450 potong (pada tanggal 28 oktober 2018) yang dapat
dimanfaatkan oleh para pengungsi selama berada di tempat pengungsian.

48
Selain itu, pasca terjadi bencana Tsunami Mentawai dilakukan
pembangunan 1.632 unit hunian sementara (Huntara). Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat (Sumbar)
menjelaskan mengenai pengadaan Huntara di Pagai Utara bagi korban
bencana Tsunami Mentawai yang berada sejumlah 278 buah yangmana
pembangunan tersebut masih selesai sekitar 55%. Namun, Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Mentawai mengajukan usulan penambahan huntara
menjadi 450 unit. Pembangunan huntara juga dilakukan di Pagai Selatan
berjumlah 666 unit huntara yang dibangun oleh Palang Merah Indonesia
(PMI).

Gambar 3.4 tenda pengungsi korban Tsunami Mentawai 2010

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di wilayah terjadinya Tsunami


Mentawai, didapatkan hasil kondisi lingkungan sebagai berikut:
a. Dusun Muntei Baru- baru
Situasi pasca bencana yang terjadi di Dusun Muntei Baru-
baru mengalami kondisi yang rusak parah. Luasan dampak
terjadinya tsunami ini diperkirakan seluas 158.6008 m2. Posisi
geografis area dusun ini berada pada teluk cukup sempit yang
mengarah secara langsung ke laut serta diduga memotong jalur

49
evakuasi penduduk. Jalan yang digunakan untuk evakuasi mereka
tertutup dan seolah posisi mereka terkepung oleh air.
b. Dusun Tapak
Kondisi Dusun Tapak pasca terjadinya tsunami rusak parah
dengan area terdampak sekitar 9 Ha. Gelombang Tsunami di
dusun ini merusak dan menghancurkan rumah semi permanen.
c. Dusun Purourongat
Di dusun ini mengalami dampak tsunami yang diperkirakan
paling parah di Pulau Pagai Selatan. Bangunan permanen dan non
permanen mengalami kerusakan atau hancur diterpa gelombang
tsunami. Kondisi daerah tanah lapang kosong penuh dengan
reruntuhan bangunan dan pohon- pohon yang tumbang.
d. Dusun Bake
Dusun ini relatif aman dari terjangan gelombang tsunami.
Rumah permanen tidak rusak karena berada di belakang hutan
belukar sehingga gelombang tsunami tertahan oleh penghalang
alami berupa tumbuhan.
Selain itu, berdasarkan informasi dari tribunnews.com.
mengenai korban bencana Tsunami Mentawai mengungsi di tenda-
tenda darurat. Di kampung Panairuk terdapat 39 KK yang tinggal
di tenda- tenda pengungsian. Masyarakat Panairuk ini banyak yang
membenahi hunian baru, penyediaan material kayu dan
pembersihan lokasi rumah. Kebutuhan yang diperlukan pada
kondisi ini adalah kebutuhan medis dan penyembuhan trauma.
Pada daerah Bosua, terdapat banyak pohon kelapa yang tumbang
serta rumah penduduk yang rata dengan tanah. Selain itu,
masyarakat sejumlah 139 KK juga mengungsi ke perbukitan. Pada
daerah Masokut dijelaskan bahwasanya semua bangunan menjadi
hancur total, semua masyarakat mengungsi di daerah perbukitan
yang memiliki jarak sekitar 1 km. Di lokasi ini terdapat 64 KK
pengungsi yang tinggal di tenda- tenda darurat. Sedangkan pada
Kampung purourourogat terdapat 143 KK pengungsi yang berasal
2 kampung yang tinggal di tenda darurat. Berdasarkan data Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar, para pengungsi
tersebar di Kecamatan Pagai Selatan yaitu Camp Jaya di km 37 dan

50
27, Lokkon Lakkau di km 2 dan Jalan Poros km 41-44, kemudian
di Kecamatan Pagai Utara yaitu di km 8 Trans Taikako, Jalan Poros
di km 17 dan perkampungan lama, serta di Kecamatan Sipora
Selatan yaitu di km 4-9 Desa Beriulou.

Gambar 3.5 pengungsian korban Tsunami Mentawai 2010


4. Pembuangan Kotoran Manusia
Korban bencana seharusnya memiliki jumlah jamban yang cukup dan
jaraknya tidak jauh dari pemukiman korban, hal ini agar mereka bisa
mengakses secara cepat dan mudah kapanpun dilakukan, siang ataupun
malam.
Tolok ukur kunci :
a. Tiap jamban digunakan paling banyak 20 orang
b. Penggunaan jamban diatur perumah tangga dan/menurut pembedaan
jenis kelamin (misalnya jamban persekian KK atau jamban laki–laki
dan jamban permpuan)
Tidak terdapat informasi terkait penggunaan jamban yang terpisah
antara laki- laki dan perempuan di pengungsian tersebut.
c. Jarak jamban tidak lebih dari 50 meter dari pemukiman (rumah atau
barak di tempat pengungsian). Atau bila dihitung dalam jam perjalanan
ke jamban hanya memakan waktu tidak lebih dari 1 menit saja dengan
berjalan kaki.
Bantuan jamban yang diberikan oleh kementerian PU tidak lebih dari
50 meter dari tempat pengungsian. Sehingga pengungsi bisa
menggunakan fasilitas jamban tersebut dengan efektif dan efesien.

51
d. Jamban umum tersedia di tempat–tempat seperti pasar, titik–titik
pembagian sembako, pusat – pusat layanan kesehatan dsb.
e. Letak jamban dan penampung kotoran harus sekurang–kurangnya
berjarak 30 meter dari sumber air bawah tanah. Dasar penampung
kotoran sedikitnya 1,5 meter di atas air tanah. Pembuangan limbah cair
dari jamban tidak merembes ke sumber air mana pun, baik sumur
maupun mata air, suangai, dan sebagainya.
f. 1 (satu) Latrin/jaga untuk 6–10 orang
Berdasarkan tolok ukur bagian pembuangan kotoran manusia diatas, di
lokasi kejadian bencana Tsunami Mentawai belum ditemukan data yang
mendukung untuk terpenuhinya tolok ukur pembuangan kotoran manusia.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, penyediaan jamban telah
dilakukan oleh kementerian PU sebanyak 10 wc darurat yangmana setiap
wc darurat tersebut diperuntukkan bagi 40 orang pengungsi (pada tanggal
27 oktober 2018). Selanjutnya Kementerian PU juga mengirimkan bantuan
10 unit WC Portable (pada tanggal 28 oktober 2018). Penyediaan jamban
tersebut belum memadahi bagi semua pengungsi.
5. Pengelolaan Limbah Padat
Pengumpulan dan pembuangan limbah padat masyarakat harus
memiliki lingkungan yang cukup bebas dari pencemaran akibat limbah
padat, termasuk limbah medis.
a. Sampah rumah tangga dibuang dari pemukiman atau dikubur di sana
sebelum sempat menimbulkan ancaman bagi kesehatan.
b. Tidak terdapat limbah medis yang tercemar atau berbahaya (jarum
suntik bekas pakai, perban–perban kotor, obat–obatan kadaluarsa,dsb)
di daerah pemukiman atau tempat–tempat umum.
c. Dalam batas–batas lokasi setiap pusat pelayanan kesehatan, terdapat
tempat pembakaran limbah padat yang dirancang, dibangun, dan
dioperasikan secara benar dan aman, dengan lubang abu yang dalam.
d. Terdapat lubang–lubang sampah, keranjang/tong sampah, atau tempat–
tempat khusus untukmembuang sampah di pasar–pasar dan pejagalan,
dengan system pengumpulan sampah secara harian.
e. Tempat pembuangan akhir untuk sampah padat berada dilokasi tertentu
sedemikian rupa sehingga problema–problema kesehatan dan
lingkungan hidup dapat terhindarkan.

52
f. 2 ( dua ) drum sampah untu 80 – 100 orang Tempat/lubang Sampah
Padat Masyarakat memiliki cara – cara untuk membuang limbah
rumah tangga sehari– hari secara nyaman dan efektif.

Tolok ukur kunci :


a. Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15 meter dari
sebuah bak sampah atau lubang sampah keluarga, atau lebih dari 100
meter jaraknya dar lubang sampah umum.
b. Tersedia satu wadah sampah berkapasitas 100 liter per 10 keluarga bila
limbah rumah tangga sehari–hari tidak dikubur ditempat.

Berdasarkan tolok ukur bagian pengelolaan limbah padat diatas, di


lokasi kejadian bencana Tsunami Mentawai belum ditemukan data yang
mendukung untuk terpenuhinya tolok ukur bagian pengelolaan limbah
padat. Namun berdasarkan informasi yang didapatkan, pengelolan limbah
padat di pengungsian bencana tsunami mentawai berupa penyediaan
tempat sampah yang memadai 3 m3/60 org.
6. Pengelolaan Limbah Cair (pengeringan)
Masyarakat memiliki lingkungan hidup sehari–hari yang cukup bebas
dari risiko pengikisan tanah dan genangan air, termasuk air hujan, air
luapan dari sumber– sumber, limbah cair rumah tangga, dan limbah cair
dari prasarana–prasarana medis.
Hal–hal berikut ini dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat
keberhasilan pengelolaan limbah cair :
a. Tidak terdapat air yang menggenang disekitar titik–titik
pengambilan/sumber air untuk keperluan sehari–hari, didalam maupun
di sekitar tempat pemukiman
b. Air hujan dan luapan air/banjir langsung mengalir malalui saluran
pembuangan air.
c. Tempat tinggal, jalan – jalan setapak, serta prasana – prasana
pengadaan air dan sanitasi tidak tergenang air, juga tidak terkikis oleh
air.
Berdasarkan tolok ukur bagian pengelolaan limbah cair diatas, di
lokasi kejadian bencana Tsunami Mentawai belum ditemukan data yang
mendukung untuk terpenuhinya tolok ukur bagian pengelolaan limbah
cair.

53
3.4.2. Kegiatan yang direkomendasikan untuk dapat melakukan pelayanan
kesehatan lingkungan yang adekuat:
1. Memperoleh informasi mengenai pergerakan penduduk, memetakan
lokasi camp pengungsi, area evakuasi, lokasi pekerja yankes, lokasi
perawatan kesehatan. Informasi ini akan membantu dalam penentuan
lokasi bencana yg diprioritaskan.
2. Melakukan rapid assessment untuk mengidentifikasi kerusakan
sarana penyediaan air bersih, sistem pembuangan limbah, lokasi
produksi, penyimpanan dan distribusi makanan.
3. Mengidentifikasi kapasitas operasional pelayanan sanitasi dasar yang
masih ada/tidak rusak.
4. Menginventarisasi sumber, termasuk tempat persediaan makanan yang
tidak rusak, sumber daya manusia yang tersisa, peralatan yang tersisa.
5. Menentukan kebutuhan pengungsi akan air minum dan air bersih,
sanitasi dasar, kamp pengungsi dan makanan.
6. Menyediakan kebutuhan dasar (pangan dan sandang) dan sarana
sanitasi dasar secepat mungkin.
7. Memastikan pengungsi mendapatkan tempat tinggal sementara dan
pelayanan sanitasi dasar.
3.5 Penanggulangan Penyakit Berpotensi Wabah Pasca Bencana Tsunami
Mentawai 2010
1. Data dan keadaan kesehatan kabupaten mentawai pra bencana
Kabupaten Mentawai merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi
Sumatera Barat yang secara geografis wilayahnya berupa hutan dan cukup
jarang dihuni orang. Kabupaten Mentawai dibentuk oleh 4 pulau besar
yaitu Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Akses ke
Kabupaten Mentawai sendiri cukup sulit yaitu menggunakan akses laut
dengan kapal sekitar 12-13 jam dari kota Padang. Akses dari satu pulau ke
pulau lainnya pun cukup susah karena jadwal pelayaran antar pulau hanya
2 hari dalam 1 minggu. Kesulitan akses ini juga membuat akses pelayanan
kesehatan warga Kabupaten Mentawai juga cukup sulit. Menurut profil
kesehatan Kabupaten Mentawai tahun 2011 jumlah sarana pelayanan
kesehatan di Kabupaten Mentawai adalah :

54
a. Rumah sakit : 1 (RSUD Mentawai)
b. Puskesmas : 7
c. Posyandu : 193
d. Poskesdes : 7
Dengan berbagai macam kondisi seperti kondisi geografi dan
demografi mengakibatkan Kabupaten Mentawai banyak terdapat penyakit
menular seperti malaria yang sudah endemis di Mentawai, ISPA, campak
dan lain sebagainya. Berikut merupakan situasi kesehatan di Kabupaten
Mentawai pada saat sebelum terjadinya bencana Tsunami tahun 2010
sebagai berikut:
a. Perilaku BAB dan CTPS
Pada data riskesdas tahun 2007 perilaku BAB dengan benar di
masyarakat Kabupaten Mentawai persentasenya sebesar 59,5% sedikit
diatas prevalensi Sumatera Barat yaitu 59,3%. Untuk perilaku CTPS
(Cuci Tangan Pakai Sabun) persentasenya sebesar 5% dibawah
standar persentase CTPS di Sumatera Barat yaitu sebesar 8,4%. Bisa
dilihat bahwa perilaku CTPS masyarakat Kabupaten Mentawai masih
cukup kurang. Bisa disimpulkan bahwa higiene personal dari
masyarakat Mentawai masih cukup rendah.
b. Cakupan Imunisasi
Untuk cakupan imunisasi di Kabupaten Mentawai sendiri sudah
cukup baik walaupun belum 100% anak balita di Kabupaten
Mentawai sudah diimunisasi dasar lengkap. Maksud dari imunisasi
dasar lengkap adalah anak balita tersebut diimunisasi BCG, DPT
minimal 3 kali, Polio minimal 3 kali, Hepatitis B minimal 3 kali serta
imunisasi campak berdasarkan pengakuan orang tua serta catatan
KMS/KIA anak balita tersebut. Menurut data riskesdas tahun 2007
persentase anak balita dengan status imunisasi lengkap adalah sebesar
59,4%. Sedangkan status balita dengan status imunisasi tidak lengkap
adalah sebesar 34,4% dan anak balita yang tidak tercakup imunisasi
sebesar 6,3%. Dari data tersebut cakupan imunisasi pada anak balita
di Kabupaten Mentawai cukup baik namun harus terus ditingkatkan
hingga 100% agar semua anak balita tercakup imunisasi dasar
lengkap.

55
c. Malaria
Mentawai merupakan salah satu daerah endemis malaria. Angka
kejadian malaria di Kabupaten Mentawai cenderung selalu tinggi.
Dari data kementrian kesehatan tahun 2011, Annual Paracystes
Incidens (API) atau angka kesakitan malaria di Kabupaten Mentawai
cenderung fluktuatif. Berikut grafik API di Kabupaten Mentawai

Gambar 3.6 Grafik Annual Paracytes Incidens tahun 2009-2010 di Kabupaten Mentawai
Untuk prevalensi malaria di Mentawai, menurut data riskesdas tahun
2007 prevalensi malaria di Kabupaten Mentawai mencapai 11,97%.
Persentase ini sangat tinggi sekali jauh diatas prevalensi Provinsi
Sumatera Barat yaitu 1,65%. Penyebab penyakit malaria yang masih
endemis di Kabupaten Mentawai diakibatkan karena kondisi geografis
Mentawai yang masih didominasi hutan dan sanitasi di Kabupaten
Mentawai juga masih cukup rendah sehingga timbul vektor nyamuk
anopheles pembawa virus plasmodium.
d. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
Menurut data riskesdas Kabupaten Mentawai tahun 2007,
prevalensi ISPA di Mentawai cukup tinggi yaitu sebesar 26,60%.
Prevalensi ini sedikit diatas prevalensi Provinsi Sumatera Barat yaitu
sebesar 26,38%. ISPA terjadi di Mentawai diakibatkan banyak faktor.
Faktor penyebab ISPA di Mentawai antara lain rumah yang tidak ada
ventilasi atau rumah tidak sehat, perilaku merokok di dalam rumah,
penggunaan kayu bakar untuk bahan memasak, deteksi dini ISPA yang
masih kurang, akses pelayanan kesehatan yang sulit dan yang lainnya.
e. Diare
Menurut data riskesdas Mentawai tahun 2007 prevalensi diare di
Kabupaten Mentawai sebesar 18,04% lebih tinggi dari prevalensi
Provinsi Sumatera Barat yang hanya sebesar 9,23%. Prevalensi
Mentawai mencapai 2 kali lipat dari prevalensi Provinsi Sumatera
Barat. Penyebab penyakit diare di Kabupaten Mentawai adalah

56
sanitasi rumah tangga yang belum sehat, higiene personal masyarakat
mentawai yang masih cukup rendah dan kondisi air minum di
Kabupaten Mentawai yang beberapa belum memenuhi standar.
2. Penyakit berpotensi wabah pasca tsunami mentawai 2010
Pasca tsunami Mentawai tahun 2010 tidak terjadi KLB atau wabah
yang menyerang masyarakat mentawai namun tetap muncul penyakit-
penyakit yang berpotensi wabah pasca tsunami. Menurut kementrian
kesehatan terdapat 10 besar penyakit di pos kesehatan pengungsian dengan
rincian sebagai berikut :
Tabel 3.9 10 Penyakit Terbesar di Pos Kesehataan Pengungsian Tsunami
Mentawai 2010 hingga tanggal 04 November 2010
No Penyakit Jumlah (orang) Persentase
1 Luka-luka 86 64,18%
2 Demam 13 9,70%
3 Gastritis 9 6,72%
4 Trauma tumpul 7 5,22%
5 ISPA 7 5,22%
6 Nyeri dada 6 4,48%
7 Asma 2 1,49%
8 Diare 2 1,49%
9 Gatal-gatal 1 0,75%
10 Fraktur 1 0,75%
TOTAL 134 100%

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa muncul penyakit yang berpotensi
wabah pasca tsunami mentawai yaitu sebagai berikut:
a. ISPA
Menurut Pusat Krisis Kementrian Kesehatan Tsunami Mentawai
2010., Penyakit ISPA yang muncul pasca tsunami sebanyak 7 orang
penderita yang dirawat di pos kesehatan pengungsian. Penderita diare
yang cukup sedikit tersebut tetap harus diwaspadai dan dilaksanakan
pengendalian agar tidak berisiko terjadi KLB ISPA
b. Diare
Untuk diare sendiri, di pos kesehatan pengungsian terdapat 2 orang
menderita penyakit diare. Munculnya penyakit diare pasca tsunami ini
diakibatkan terbatasnya akses air bersih dan air minum, sanitasi
makanan dan minuman kurang terjaga dan kondisi lingkungan yang
rusak atau tidak seimbang. Walaupun besar jumlah penderita

57
tergolong sedikit namun harus tetap dilaksanakan pengendalian agar
tidak berpotensi menjadi KLB diare.
c. Malaria
Daerah Mentawai merupakan salah satu daerah epidemi malaria.
Namun catatan kementrian kesehatan mengenai jumlah penderita
malaria pasca bencana tsunami mentawai tidak ada. Namun jika
dilihat masa inkubasi penyakit malaria adalah 1-3 minggu. Dalam
catatan kementrian kesehatan angka kejadian penyakit malaria selama
Bulan November dan Desember tidak ada. Namun untuk data Annual
Paracytes Incidens tahun 2010 ke tahun 2011 mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Peningkatan persentase API ini mungkin
disebabkan karena adanya bencana tsunami mentawai sehingga
kondisi lingkungan Kabupaten Mentawai rusak atau sudah tidak
seimbang. Persentase API pada tahun 2010 sebesar 1,4% dan naik
pada tahun 2011 sebesar 2,2%.
d. Tetanus
Tetanus merupakan salah satu penyakit berpotensi wabah yang dapat
muncul pasca tsunami. Tetanus muncul karena banyak korban bencana
yang mengalami luka-luka dan jika tidak dirawat dengan baik dapat
mengakibatkan infeksi tetanus. Tetanus dapat menular antar orang
melalui kontak langsung antara luka terinfeksi tetanus dengan luka
terbuka orang lain. Untuk mencegah adanya penularan tetanus dan
pencegahan timbulnya penyakit tetanus maka kementrian kesehatan
menyediakan vaksin tetanus(vaksin TT/ATS).
3. Pencegahan dan pengendalian penyakit berpotensi wabah pasca tsunami
mentawai 2010
Dalam melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian
penyakit berpotensi wabah, kementrian kesehatan melakukan berbagai
kegiatan seperti adanya pos kesehatan di pengungsian, mapping air bersih,
perbaikan kualitas air bersih dan sanitasi, pembagian aquatab, pelaksanaan
imunisasi, penyemprotan atau fogging dan surveilans penyakit potensi
wabah. Selain melaksanakan berbagai kegiatan untuk pengendalian
penyakit potensi wabah, kementrian kesehatan juga menyalurkan berbagai
bantuan kesehatan, berupa : 3 ton obat-obatan, 10 ton MP-ASI, 2 unit

58
oksigen konsentrat, 2 unit swing fog, 1 unit mist blower, 5 kg tawas, 2
kotak air rahmat, 10 liter lysol, 5 stel wear pack, 5 liter verosid, 1 lusin
sarung tangan kain, 3 kotak masker, 10 pasang sepatu bot, 5 stel jas hujan,
100 liter solar, 20 liter bensin, bahan habis pakai dan alat perlengkapan
diri/APD (masker, handscoen, kapas, kassa, infus set, pembalut gis dan
sebagainya) sebanyak 228 item, 700 ampul vaksin ATS, 100 vial vaksin
TT, 520 buah kantong jenazah, 20 kotak susu, 1 unit mesin fogging, 1 unit
mist blower, 20 liter malation, 24 liter K-Otthrine, 350 buah kelambu, 630
strip aquatab, 10 set warepack, 5 set oksigen + regulator, dan 6000 lembar
kelambu.
3.6 Penanggulangan Dampak Psikologis pada Pengungsi Pasca Bencana
Pemulihan sosial psikologis merupakan pemberian bantuan kepada
masyarakat yang terkena dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara
normal. Sedangkan kegiatan psikososial adalah kegiatan mengaktifkan
elemen-elemen masyarakat agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial
secara normal. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang sudah
terlatih. Pemulihan sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu
melakukan tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana serta tercegah dari
mengalami dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan
kesehatan mental. Sampai tanggal 22 november 2010 berdasarkan data dan
informasi dari pesko BNPB dan Pusdalops BB Provinsi Sumatera Barat bahwa
pasca kejadian bencana gempa bumi dan tsunami tersebut telah
mengakibatkan 509 jiwa meninggal dunia, 17 orang mengalami luka-luka.
Selain itu, kejadian bencana tersebut juga mengakibatkan 11.425 orang
mengungsi yang tersebar di titik-titik pengungsian di Kecamatan Sipora
Selatan, Pagai Selatan, Pagai Utara dan Sikakap. Masyarakat mengungsi
karena kehilangan tempat tinggal maupun karena trauma akan gempa susulan.
Terdapat kejadian yang dialami oleh pengungsi yang terkena dampak bencana
seperti gangguan atau susah tidur, gelisah, selalu ingat terhadap peristiwa yang
menimpanya, depresi dan gangguan kepribadian. Dikhawatirkan juga gejala
pada anak pasca bencana seperti adanya kecemasan berdasarkan reaksi

59
terhadap kejadian yang traumatik dan usia anak-anak yang termasuk katagori
paling rentan dari dampak bencana
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membangun pemulihan
psikologis yaitu:
1. Memberikan kesempatan untuk beradaptasi
Masa ini termasuk masa yang cukup sulit dalam hidup bagi
seseorang yang mengalami kejadian bencana, ada baiknya memberikan
kesempatan bagi mereka untuk berduka atas kejadian yang dialami
oleh mereka. Tunggu hingga ada perubahan kondisi emosi dari
seseorang yang mengalami bencana.
2. Mencari dukungan dari orang yang berempati terhadap bencana
Mendapatkan dukungan sosial merupakan suatu kunci dalam
pemulihan psikologis seseorang pasca bencana. Keluarga dan teman
dapat menjadi sumber yang penting. Dukungan juga dapat ditemukan
pada orang-orang yang sudah pernah melalui bencana sebelumnya.
3. Mendapatkan bimbingan psikologis dari tenaga yang terlatih
Ada beberapa kelompok dukungan untuk bertahan hidup. Diskusi
kelompok dapat membantu untuk menyadarkan bahwa mereka
bertahan hidup tidak sendirian dalam persaan yang dialaminya.
Pertemuan kelompok support juga dapat menjadi penganti sumber
dukungan bagi orang dengan sistem dukungan personal yang terbatas.
4. Membuat atau mengatur kembali rutinitas
Hal ini termasuk makan tepat waktu, pola tidur yang teratur, atau
dengan adanya program olahraga rutin seperti senam pagi. Membuat
rutinitas positif supaya semangat menyambutnya di masa- masa yang
sulit, seperti melakukan aktivitas yang sesuai minat atau kemampuan,
hobby, mebaca buku dan lain-lain, tidak lupa juga unutuk mensyukuri
nikmat dari Yang Maha Kuasa, menerima dengan ikhlas, sabar dan
selalu berdoa.

3.7 Penanggulangan masalah Kesehatan Reproduksi Akibat Bencana pada


Pengungsi

60
Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 71 ayat 1 bahwa
kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh,
bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang
berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya baik pada laki-
laki maupun perempuan. Kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental,
dan kesejahteraan sosial yang sempurna dan bukan hanya ketiadaan penyakit
dan kelemahan, namun dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem,
proses, dan fungsi reproduksi. Dengan terjadinya bencana tsunami Mentawai
tidak dijelaskan secara lengkap mengenai pelayanan dalam bidang kesehatan
reproduksi, namun terdapat beberapa data bantuan dari pihak – pihak tertentu
mengenai pemberian Kit untuk pengungsi atau yang terkena dampak bencana.
Tertulis bahwa terdapat bantuan family kit paket dan kit ware paket.
Pelayanan kesehatan reproduksi pada saat bencana seringkali tidak
tersedia karena tidak dianggap sebagai prioritas, padahal selalu ada ibu hamil,
ibu bersalin dan bayi baru lahir yang membutuhkan pertolongan. Pada saat
bencana, bila pemberian pelayanan kesehatan reproduksi dilaksanakan
sesegera mungkin dapat mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian ibu
dan bayi baru lahir, mencegah terjadinya kekerasan seksual serta mencegah
penularan infeksi HIV. Pelayanan kesehatan reproduksi akan selalu
dibutuhkan dalam setiap situasi dan harus selalu tersedia. Pelayanan kesehatan
seksual dan reproduksi minimum harus ada dalam bagian pelayanan
kesehatan dasar pada awal keadaan darurat, kemudian didefinisikan menjadi
PPAM (Paket Pelayanan Awal Minimum).
PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi
yang harus segera dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan dengan
tujuan menyelamatkan jiwa pada kelompok rentan. Sasaran PPAM yang
merupakan kelompok rentan kesehatan reproduksi yaitu bayi baru lahir, ibu
hamil, ibu bersalin, ibu pasca bersalin, ibu menyusui, anak perempuan, remaja
dan Wanita Usia Subur (WUS). PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan
pada saat fasilitas pelayanan kesehatan tidak berfungsi atau akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi sulit terjangkau oleh masyarakat pengungsi
atau korban bencana. PPAM kesehatan reproduksi diterapkan pada semua

61
jenis bencana, baik bencana alam maupun non alam. Kebutuhan terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi disesuaikan dengan hasil penilaian kebutuhan
awal, yang dilakukan oleh petugas kesehatan di lapangan atau anggota sub
klaster kesehatan reproduksi. Jika PPAM kesehatan reproduksi tidak
dilaksanakan maka dikhawatirkan terjadinya beberapa konsekuensi seperti
meningkatnya kematian maternal dan neonatal, meningkatnya risiko kasus
kekerasan seksual dan komplikasi lanjutan, meningkatnya penularan Infeksi
Menular Seksual (IMS), terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan
aborsi yang tidak aman, serta terjadinya penyebaran HIV.
Dalam memberikan pelayanan reproduksi secara optimal maka diperlukan
ketersediaan paket dan perlengkapan PPAM. Terdapat 3 jenis paket Kit
diantaranya Kit individu, Kit persalinan di lapangan atau Kit bidan/partus set,
Kit kesehatan reproduksi. Untuk Kit individu sendiri terbagi menjadi 4 jenis
diantaranya Kit higiene untuk perempuan usia subur, Kit ibu hamil untuk ibu
hamil trimester III, Kit ibu bersalin untuk ibu pasca bersalin/nifas, Kit bayi
baru lahir untuk bayi baru lahir sampai usia 3 bulan.
Jika data sebenarnya tidak tersedia, maka perhitungan kebutuhan logistik
untuk pelayanan kesehatan reproduksi dapat menggunakan estimasi statistik
sbb:
a) Jumlah wanita usia subur = 25% dari jumlah pengungsi.
= 25% x (11.425)
= 2.856
b) Jumlah ibu hamil jika data CBR tidak tersedia, estimasi adalah 4% dari
jumlah pengungsi.
Estimasi jumlah ibu hamil selama 1 tahun
= 4% x 11.425
= 457 ibu hamil.
Estimasi jumlah ibu hamil per bulan
= 457 : 12 bulan
= 38 ibu hamil.
c) Jumlah laki-laki yang aktif secara seksual: 20% dari pengungsi
= 20% x 11.425
= 2.285
Jadi jumlah laki-laki yang aktif secara seksual sebanyak 2.285
Pada tanggap darurat krisis kesehatan ketersediaan semua jenis kit
sangatlah diperlukan namun, apabila terdapat kendala dalam pendanaan dapat

62
memilih jenis barang yang memang benar-benar dibutuhkan saja oleh
sasaran. Berikut isi dari Kit jika secara lengkap :
Tabel 3.10 Daftar Isi Kit Individu Kesehatan Reproduksi

63
No Item Jumlah per kit
A. Kit Higiene (Perempuan Usia Reproduksi)
1. Sarung 1
2. Handuk 1
3. Sabun Mandi 3 buah (80 gram)
4. Pasta gigi 3 buah (75 gram)
5. Shampoo 3 botol (90 ml)
3 pack
6. Pembalut wanita
@isi 10 buah
Pakaian dalam wanita (BH &
7. 3 set
Celana dalam)
8. Sandal jepit 1 pasang
9. Selimut 1 buah
10. Sikat gigi 3 buah
11. Plastik sampah untuk pembalut 1 buah
12. Sisir 1 buah
Tas warna biru dengan tulisan
13. 1 buah
hygiene kit
B. Kit Ibu Hamil (Trimester ke-3)
1. BH khusus ibu hamil 1
2. Kain Panjang (jarik) 1
3. Celana dalam (ukuran besar) 3
Baju hamil lengan daster/ baju
4. 1
hamil lengan panjang
5. Selimut 1
6. Sabun mandi 3 buah (80 gram)
7. Pasta gigi 3 buah (75 gram)
8. Shampoo 3 botol (90 ml)
9. Sikat gigi 3 buah
10. Handuk 1 buah
Tas warna hijau dengan tulisan
11. 1 buah
kit ibu hamil
C. Kit Ibu Bersalin (Ibu Pasca Bersalin/Nifas)
1. BH menyusui 3
2. Kain Panjang (jarik) 1
3. Pembalut pasca bersalin 3
Blus kancing depan untuk
4. 1
menyusui
5. Blus putih berkancing depan 1
6. Celan dalam (ukuran besar) 3
7. Selimut 1
8. Sabun mandi 3 buah (80 gram)
9. Pasta gigi 3 buah (75 gram)
10. Shampoo 3 botol (90 ml)
11. Sikat gigi 3 buah (80 gram)
12. Korset 1 buah
13. Handuk 1 buah
Tas warna oranye dengan tulisan
14. 1 buah
kit ibu pasca melahirkan
D. Kit Bayi Baru Lahir (0-3 Bulan)
1. Popok katun 12
2. Pakaian bayi katun 12 64
3. Sarung tangan & sarung kaki 12
4. Selimut gendong 1
5. Topi bayi (flannel) 1
Sumber:
http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/PEDOMAN%20KESPRO%20PPAM.pdf.
Untuk jenis Kit yang kedua yaitu Kit Bidan. Pada saat tanggap darurat
krisis kesehatan alat-alat kesehatan kemungkinan banyak yang rusak,
termasuk alat kesehatan yang digunakan untuk menolong persalinan. Kit
Bidan dapat diberikan kepada bidan untuk mengganti peralatan yang hilang
saat bencana sehingga masih bisa melakukan pelayanan seperti sediakala. Kit
untuk bidan dapat diadakan sebelum bencana sebagai persediaan dan di
simpan/diadakan di gudang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kit ini
dapat didistribusikan sesegera mungkin pada saat bencana apabila
dibutuhkan. Pada pertolongan persalinan mungkin diperlukan juga beberapa
alat tambahan seperti: baskom dan tempat air mengalir untuk mencuci tangan
yang perlu dipikirkan penyediaannya.
Selanjutnya jenis Kit ketiga yaitu Kesehatan Reproduksi Kit (RH Kit). Kit
kesehatan reproduksi terdiri dari tiga blok, masing-masing blok ditujukan
bagi tingkat pelayanan kesehatan yang berbeda diantaranya
1. Blok 1: Tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan dasar untuk 10.000
orang/ 3 bulan. terdiri dari 6 kit (kit 0 sampai 5). Perlengkapan ini
ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi di tingkat
masyarakat dan perawatan kesehatan dasar. Kit ini berisi obat-obatan dan
bahan habis pakai. Kit 1 bagian A (kondom laki-laki) & B (kondom
perempuan) , Kit 2 bagian A (kit persalinan bersih) & B (untuk non
kesehatan), dan Kit 3 bagian A (pil kontrasepsi darurat dan pengobatan
IMS) & B (Pencegahan Pasca Pajanan) yang dapat dipesan secara terpisah.
2. Blok 2: Tingkat pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit rujukan untuk
30.000 orang/3 bulan. terdiri dari 5 kit (kit 6 sampai 10) yang berisi bahan
habis pakai dan bahan yang dapat digunakan kembali. Perlengkapan ini
ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi pada tingkat
puskesmas atau rumah sakit. Yang termasuk kit 6 yaitu kit persalinan
berupa fasilitas kesehatan, kit 7 yaitu AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam
Rahim), kit 8 yaitu penanggulangan komplikasi keguguran dan aborsi, kit
9 yaitu menjahit sobekan (leher rahim vagina) dan pemeriksaan vagina, kit
10 yaitu persalinan dengan vakum (manual).

65
3. Blok 3: Tingkat rumah sakit rujukan untuk150.000 orang/3 bulan. terdiri
dari 2 kit (kit 11 dan 12) yang berisi bahan habis pakai dan perlengkapan
yang dapat digunakan kembali untuk memberikan pelayanan PONEK pada
tingkat rujukan (bedah caesar). Kit 11 terdiri dari dua bagian, A (peralatan)
dan B (obat-obatan dan bahan habis pakai), dan kit 12 yaitu transfusi darah
yang dapat dipesan secara terpisah.

Cara menghitung kebutuhan kit kesehatan reproduksi :


 Blok 1 untuk 10.000 penduduk selama 3 bulan
Jika pengungsi sebanyak 11.425 orang, maka kit yang akan dipesan
sebanyak : 11.425 : 10.000 = 1,14 pesan 2 kit
 Blok 2 untuk 30.000 penduduk selama 3 bulan
Jumlah pengungsi: 11.425 maka kit yang akan dipesan adalah:
11.425 : 30.000 = 0,38 pesan 1 kit
Kit tidak bisa dipesan sebanyak 1,14 atau 0,38 melainkan harus dibulatkan
dan sisa obat dan bahan habis pakai bisa digunakan untuk waktu lebih dari 3
bulan. Apabila masa tanggap darurat krisis kesehatan telah lewat dan masih
terdapat sisa alat, obat dan bahan habis pakai dari kit kesehatan reproduksi
maka harus diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk diatur
pemanfaatannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

66
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Siklus manajemen bencana tsunami Mentawai 2010 dari tahap
preparedness, tahap response, tahap recovery dan tahap mitigasi belum
berjalan dengan baik. hanya tahap response dan tahap recovey yang cukup
baik dilaksanakan. Namun untuk tahap preparedness dan tahap mitigasi
belum berjalan dengan baik dalam pelaksanaan siklus manajemen
sehingga dampak bencana tsunami belum bisa diminimalisasi.
2. RHA bencana tsunami Mentawai belum berjalan dengan baik. data-data
untuk RHA belum lengkap sehingga informasi dari RHA yang seharusnya
dapat digunakan sebagai landasan dalam aksi penanggulangan bencana
agar efektif dan efisien tidak berjalan maksimal.
3. Penanggulangan manajemen pelayanan kesehatan belum maksimal. Hal
tersebut dapat ditinjau dari jumlah tenaga kesehatan yang belum memadai
serta ketersediaan logistik obat-obatan belum memadai juga. Namun untuk
pelayanan pos kesehatan di pengungsian sudah cukup maksimal dalam hal
respon cepat penanganan dan evakuasi korban bencana
4. Penanggulangan masalah gizi pasca tsunami mentawai belum cukup
memadai. Pasca tsunami mentawai juga muncul masalah kurang gizi pada
balita korban tsunami. Namun setelah munculnya kejadian kurang gizi,
pemerintah dan instansi lainnya langsung menanggulangi masalah
tersebut. Namun seharusnya pemerintah dan instansi lainnya dapat
mencegah atau meminimalisasi kejadian gizi kurang pada pengungsi.
5. Penanggulangan masalah kesehatan lingkungan juga belum memadai.
Kebutuhan air bersih dan air minum juga belum memadai untuk semua
pengungsi. Lalu dari segi penyediaan pembuangan kotoran manusia juga
sangat kurang untuk semua pengungsi. Data tentang penyediaan
pengelolaan limbah seperti sampah dan limbah cair juga tidak dijelaskan
secara rinci. Namun bantuan logistik dari pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan air bersih dan air minum serta penyediaan jamban sudah cukup
membantu walaupun masih belum maksimal

67
6. Penanggulangan penyakit berpotensi wabah cukup maksimal dilaksanakan
karena pasca tsunami mentawai tidak muncul adanya wabah suatu
penyakit. Walaupun mentawai salah satu daerah endemis malaria, namun
dalam beberapa bulan setelah kejadian bencana tidak ada laporan wabah
malaria yang terjadi. kementrian kesehatan juga sudah melaksanakan
surveilans penyakit berpotensi wabah untuk mencegah adanya wabah
penyakit pasca tsunami
7. Penanggulangan masalah psikologi korban bencana sudah cukup
memadai. Kementrian kesehatan sudah menyediakan pos kesehatan
dengan layanan trauma healing sehingga masalah psikologi pada korban
bencana dapat diatasi.
8. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi pasca bencana tsunami
belum cukup memadai. Penyediaan logistik untuk mendukung masalah
kesehatan reproduksi pasca tsunami belum efektif sehingga berdampak
pada penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.

4.2 Saran
1. Siklus manajemen seharusnya dijalankan dengan baik di Kabupaten
Mentawai dikarenakan Mentawai merupakan salah satu daerah rawan
bencana dan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat harus
menyadari hal tersebut. Tahap yang paling penting yang harus dijalankan
adalah tahap mitigasi untuk minimalisasi dampak bencana yang dapat
terjadi kapan saja
2. Pasca bencana tsunami seharusnya langsung melaksanakan RHA dengan
cepat dan baik agar mengetahui apa yang segera dibutuhkan oleh
pengungsi dan hal apa yang harus dilaksanakan pasca bencana. RHA harus
segera dilaksanakan walaupun data yang didapat tidak rinci namun
mencakup semua data penting yang dibutuhkan.
3. Penanggulangan dari segera aspek harus secara tepat dilaksanakan.
Penanggulangan yang efektif dan efisien juga sesuai hasil RHA. Maka dari
itu, RHA sangat penting dilaksanakan agar dalam melaksanakan tahap
response dan recovery dapat tepat sasaran.

68
69
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Herryal Z. 2012. Kerentanan Dan Kapasitas Respon Masyarakat Kota
Padang Terhadap Bahaya Tsunami. [Online]
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=273384&val=7134&title=KERENTANAN%20DAN
%20KAPASITAS%20RESPON%20MASYARAKAT%20KOTA
%20PADANG%20TERHADAP%20BAHAYA%20TSUNAMI (diakses
pada tanggal 10 November 2018)
Harismanto. Ribuan Korban Tsunami Mentawai Rayakan Natal di Tenda. Artikel
http://www.tribunnews.com/regional/2010/12/22/ribuan-korban-tsunami-
mentawai-rayakan-natal-di-tenda.
Harismanto. Ketua PDIP Sumbar: Tak Ada Huntara yang Siap di Mentawai,
http://www.tribunnews.com/regional/2010/12/21/ketua-pdip-sumbar-tak-
ada-huntara-yang-siap-di-mentawai.
Putra, Ahmad Pratama. 2011. Penataan ruang berbasis mitigasi Bencana
Kabupaten Kepulauan Mentawai. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana
Volume 2 Nomor 1. Hal 11-20, 14 gambar
Putra, Ahmad Pratama. 2011. Penataan ruang berbasis mitigasi Bencana
Kabupaten Kepulauan Mentawai. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana
Volume 2 Nomor 1. Hal 11-20, 14 gambar
http://www.tribunnews.com/regional/2010/12/17/inilah-beberapa-titik-pengungsi-
di-mentawai
https://sains.kompas.com/read/2010/11/08/04200477/Penyakit.Mulai.Menghantui.
Pengungsi
Fadhilatul Ihsan. Tanpa tahun. Perencanaan Lanskap Kota Pariaman Provinsi
Sumatera Barat Berbasis Mitigasi Tsunami. Fakultas Pertanian IPB
[online]
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jli/article/download/17165/12431
(Diakses pada tanggal 15 November 2018)
https://www.bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/470.pdf
https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_191074.pdf

70
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/10/101027_mentawai1540
https://sains.kompas.com/read/2016/10/26/10001101/belajar.dari.mentawai.mewa
spadai.tsunami.yang.senyap.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/kunjungan-
kerja/mentawai-sumatera-barat.pdf
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/kunjungan-
kerja/mentawai-sumatera-barat.pdf
http://www.gitews.org/tsunami-
kit/en/E6/further_resources/national_level/peraturan_kepala_BNPB/Perka
%20BNPB%209-2008_Protap%20Tim%20Reaksi%20Cepat
%20BNPB.pdf
http://pusatkrisis.kemkes.go.id/perkembangan-pasca-tsunami-di-kabupaten-kep--
mentawai-provinsi-sumatera-barat-hingga-tanggal-4-november-2010)
http://www.depkes.go.id/article/print/1319/32-orang-korban-tsunami-mentawai-masih-
di-rawat-inap.html )

http://pusatkrisis.kemkes.go.id/perkembangan-pasca-tsunami-di-kabupaten-kep--
mentawai-provinsi-sumatera-barat-hingga-tanggal-4-november-2010)

(http://pusatkrisis.kemkes.go.id/perkembangan-pasca-tsunami-di-kabupaten-kep--
mentawai-provinsi-sumatera-barat-hingga-tanggal-4-november-2010)

71

Anda mungkin juga menyukai