Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KELOMPOK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. M DENGAN HIPOTIROID


KONGINETAL DI RUANG NEONATUS INTENSIVE CARE UNIT
(NICU)

RSUD WATES KULONPROGO

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Anak

Pembimbing Lahan : Rudi Haryono., M.Kep

Oleh :
ASA MAULANA DEWI (2720162883)
ETIK SEFTI FADILAH (2720162901)
AGUS WICAKSONO (2520142523)

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Keperawatan pada An. M dengan hipotiroid konginetal di


ruang Neonatus Intensive Care Unit (NICU) RSUD Wates Kulonprogo. Laporan
ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok PKK Anak Semester V, pada :
hari :
tanggal :
tempat :

Praktikan

(Asa Maulana Dewi) (Etik Sefti Fadilah) (Agus Wicaksono)


2720162883 2720162901 2520142523

Mengetahui

Pembimbing lahan (CI) Pembimbing akademik

(…………………………..) (Rudi Haryono., M. Kep)


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia-Nya dan memberi kemudahan, kekuatan serta kelancaran
dalam menyusun makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan pada bayi NY. G
dengan Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di ruang Neonatus Intensive
Care Unit (NICU) RSUD Wates Kulonprogo”. Makalah ini disusun guna untuk
memenuhi tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II semester IV.
Penulis menyadari makalah ini dapat tersusun berkat bimbingan dan
bantuan dari semua pihak. Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Giri Susilo Adi, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku direktur Akademi
Keperawatan Yayasan Notokusumo Yogyakarta.
2. Bapak Rudi Haryono., M.Kep selaku pembimbing Akademik Praktek
Klinik Keperawatan Anak di RSUD Wates Kulonprogo.
3. Teman-teman dan keluarga yang telah memberikan semangat, doa restu,
dorongan dan bantuan moril maupun meteril sampai selesainya makalah
ini.

Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini terdapat banyak


kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang
sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan
pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, November 2018

Penulis
BAB I.
KONSEP DASAR MEDIK
A. DEFINISI
Hipotiroid kongenital adalah kekurangan hormon tiroid pada bayi
baru lahir dengan reterdasi mental, perawakan pendek, muka dan tangan
tampak sembab dan sering kali tuli mutisme. Hormon tiroid, tiroksin,
merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid (kelenjar gondok),
mengandung 59-65% elemen iodium. Untuk membentuk tiroksin dalam
jumlah normal setiap tahunnya dibutuhkan kira-kira 50 mg iodium, kira-
kira 1 mg setiap minggunya (Gaitan, 2013).
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pengangkutan
iodida dari darah ke dalam sel-sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran
basal sel mempunyai kemampuan yang spesifik untuk memompa iodida
secara aktif ke bagian dalam sel. Yang terpenting dalam pembentukan
hormon tiroid adalah perubahan ion iodida menjadi iodium yang
teroksidasi. Iodium yang masuk bersama makanan akan diserap melalui
usus halus dan diangkut melalui plasma darah ke kelenjar tiroid untuk
dipekatkan, dioksidasi. Iodium yang teroksidasi akan berikataan dengan
asam amino tirosin dalam molekul triglobulin yang terdapat didalam masa
koloid kelenjar tiroid untuk pembentukan hormon tiroksin dan
triiodotironin memiliki banyak fungsi (Gaitan, 2013).
Hormon tiroid berfungsi untuk mengatur produksi panas tubuh,
metabolisme pertumbuhan tulang, kerja tulang, syaraf, serta pertumbuhan
dan perkembangn otak, meningkatkan aktivitas metabolisme selular,
meningkatkan jumlah aktivitas sel mitokondria. Gangguan dari hormon
tiroid pada manusia dapat menyebabkan banyak kelainan seperti hipotiroid
kongenital sporadik, hipotiroid dan hipertiroid maternal yang menjadi
penyebab munculnya masalah dibidang kesehatan, sosial, dan pendidikan
misalnya cerebral palsy, retardasi mental, dan bermacam kelainan fungsi
susunan saraf dan perilaku. Hormon tiroid mempunyai efek pada
pertumbuhan sel, perkembangan dan metabolisme energi, dapat juga
mempengaruhi pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan energi,
penambahan sintesis asam ribonukleat (RNA) serta berperan dalam
perkembangan normal sistem saraf pusat (Krassas et al, 2013).
Dengan demikian hormon ini sangat penting peranannya pada bayi
dan anak dalam masa pertumbuhan. Anak tidak dapat tumbuh dan
berkembang apabila didapatkan adanya kelainan kelenjar tiroid pada bayi
baru lahir dan jikatidak diobati dapat menyebabkan kelainan intelektual
dan atau kelainan neurologik yang menetap, fungsi psikomotoriknya
terganggu, seringkali mengalami kesulitan melakukan tugas-tugas
perkembangan seperti, duduksendiri, berdiri, dan berjalan. Ini
menunjukkan pentingnya hormon tiroid untuk perkembangan otak.
Ketiadaan hormon tiroid pada bayi dan masa awal kehidupan, bisa
mengakibatkan hambatan pertumbuhan (cebol) dan retardasi mental, dapat
mengganggu fungsi kognitif (kecerdasan). Manifestasi hipotiroid
kongenital menyebabkan kretin, dimana dapat menyebabkan kecacatan
menetap berupa reterdasi mental, gangguan koordinasi dan keseimbangan,
gangguan gerakan, motorik halus, gangguan bicara (Krassas et al, 2013).
Perjalanan hormon tiroid dalam kandungan yaitu, selama
kehamilan plasenta berperan sebagai media transfortasi elemen-elemen
penting untuk perkembangan janin. Thyroid Releasing Hormone (TRH)
dan iodium yang berfungsi untuk membantu pembentukan hormon tiroid
janin, bisa bebas melewati plasenta. Demikian juga hormon tiroksin.
Namun demikian juga hormon lain (TSH receptor antibody) dan obat anti
tiroid yang dikonsumsi ibu juga dapat melewati plasenta. Dapat
disimpulkan bahwa keadaan hormon tiroid dan obat-obatan yang
dikonsumsi ibu sangat berpengaruh terhadap kondisi hormon tiroid
janinnya (Krassas et al, 2013).
B. Etiologi
Beberapa defek genetik dikaitkan dengan terjadinya hipotiroid
kongenital yang permanen. Diketahui bahwa faktor imunologik,
lingkungan, dan iatrogenik (tapi bukan genetik) dapat menyebabkan
hipotiroid kongenital yang transient, yang dapat sembuh secara spontan
dalam bulan pertama kehidupan.
Hipotiroid kongenital yang transient dapat disebabkan oleh
defisiensi iodine, paparan terhadap iodine yang berlebih pada saat periode
perinatal, atau paparan pada fetus oleh thyriod-blocking antibodies yang
diperoleh secara maternal atau obat antitiroid yang dikonsumsi oleh wanita
hamil dengan penyakit tiroid autoimun. Disfungsi tiroid kongenital dapat
juga merupakan akibat dari lahir yang prematur, dishormogenesis tiroid
ringan, atau kehilangan protein karena nefrosis (pada kasus yang jarang).
Dosis OAT (Obat Anti Tiroid) berlebihan yang dikonsumsi ibu
dapat menyebabkan hipotiroidisme. Dapat juga terjadi pada pemberian
litium karbonat pada pasien psikosis. Hati-hatilah menggunakan fenitoin
dan fenobarbital sebab meningkatkan metabolisme tiroksin di hepar.
Kelompok kolestiramin dan kolestipol dapat mengikat hormon tiroid di
usus. Defisiensi yodium berat serta kelebihan yodium kronis menyebabkan
hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya kelebihan akut menyebabkan
IIT (iodine induced thyrotoxcisos). Bahan farmakologis yang menghambat
sintesis hormon tiroid yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol), perklorat,
sulfonamid, yodida dan yang meningkatkan katabolisme atau
penghancuran hormon tiroid yaitu fenitoin, fenobarbital, yang
menghambat jalur enterohepatik hormon tiroid yaitu kolestipol dan
kolestiramin.
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu
propilthiourasil (PTU) dan carbamizole (Neo Mercazole) . Yodida
merupakan kontraindikasi untuk diberikan karena dapat langsung
melewati sawar plasenta dan dengan demikian mudah menimbulkan
keadaan hipotiroid janin. Wanita hamil dapat mentolerir keadaan
hipertiroid yang tidak terlalu berat sehingga lebih baik memberikan dosis
OAT yang kurang dari pada berlebih. Bioavilibilitas carbamizole pada
janin ± 4 kali lebih tinggi dari pada PTU sehingga lebih mudah
menyebabkan keadaan hipotiroid. Melihat hal-hal tersebut maka pada
kehamilan PTU lebih terpilih. PTU mula-mula diberikan 100-150 mg tiap
8 jam. Setelah keadaan eutiroid tercapai (biasanya 4-6 minggu setelah
pengobatan dimulai), diturunkan menjadi 50 mg tiap 6 jam dan bila masih
tetap eutiroid dosisnya diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 kali 50
mg/hari. Idealnya hormon tiroid bebas dipantau setiap bulan. Kadar T4
dipertahankan pada batas normal dengan dosis PTU ≤ 100 mg/hari. Bila
tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pasca persalinan, PTU dinaikkan
sampai 300mg/hari. Efek OAT terhadap janin dapat menghambat sintesa
hormon tiroid. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan hipotiroidisme
sesaat dan struma pada bayi, walaupun hal ini jarang terjadi. Pada ibu yang
menyusui yang mendapat OAT, OAT dapat keluar bersama ASI namun
jumlah PTU kurang dibandingkan carbamizole dan bahaya pengaruhnya
kepada bayi sangat kecil, meskipun demikian perlu dilakukan pemantauan
pada bayi seketat mungkin.
Berdasarkan pada kelainan heterogenous genetiknya terdapat dua
kelompok utama kelainan: yang menyebabkan disgenesis kelenjar tiroid,
dan yang menyebabkan dishormogenesis. Gen yang terkait dengan
disgenesis kelenjartiroid antara lain adalah reseptor TSH pada hipotiroid
kongenital tanpa gejala, dan GSα serta faktor transkripsi tiroid (TTF-1,
TTF-2, dan Pax-8). Yang menyebabkan dishormogenesis antara lain
adalah defek pada gen thyroid peroxidase dan gen thyroglobulin, PDS
(pendred syndrome), NIS (sodium iodine symporter), dan THOX2 (thyroid
oxidase 2). Ada pula bukti awal yang mengarahkan pada kelompok ketiga
dari hipotiroid kongenital yang terkait dengan defek pada transposter
iodothyronine yang terkait dengan gangguan neurologik berat.Sedangkan
menurut Genetics Home Reference bahwa Mutasi di DUOX2 , PAX8 ,
SLC5A5 , TG , TPO , TSHB , dan TSHR gen menyebabkan
hipotiroidisme kongenital. mutasi gen menyebabkan hilangnya fungsi
tiroid dalam salah satu dari dua cara. Mutasi pada gen PAX8 dan beberapa
mutasi pada gen TSHR mencegah atau mengganggu perkembangan
normal dari kelenjar tiroid sebelum kelahiran. Mutasi di DUOX2,
SLC5A5, TG, TPO, dan gen TSHB mencegah atau mengurangi produksi
hormon tiroid, meskipun kelenjar tiroid hadir. Mutasi pada gen lain yang
belum juga ditandai dapat menyebabkan hipotiroidisme kongenital.

C. Klasifikasi Hipotiroid Kongenital


Hipotiroid kongenital terdiri dari hipotiroid kongenital primer,
sekunder dan tersier. Untuk hipotiroid sekunder kerusakan terjadi di
hipofisis dan untuk hipotiroid kongenital primer, kerusakan terjadi pada
bagian tiroid dan untuk hipotiroid kongenital tersier kerusakan terjadi pada
pituitari. Untuk kondisi ini kita dapat membagi pasien dengan
hipotiroidisme kongenital primer ke dalam 4 kelompok.17 Sebagai
berikut:
1. Tidak Adanya Kelenjar Tiroid (Athyrosis)
Pada kelompok ini, kelenjar tiroid gagal terbentuk sebelum
kelahiran. Kelenjar tersebut absen dan tidak akan pernah dapat
berkembang, sehingga sebagai konsekuensinya tidak ada hormon
tiroksin yang diproduksi. Kondisi ini disebut Agenesis Tiroid atau
Athyrosis. Kondisi ini lebih sering ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki, sekitar 2:1. Kondisi ini ditemukan pada 1 dari
10.000 bayi lahir, dan merupakan 35% kasus yang ditemukan pada
Newborn Screening. Alasan mengapa hormon tiroid gagal berkembang
belum diketahui. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
salah satu kaskade pada gen yang berperan dalam pembentukan
kelenjar tiroid tidak teraktivasi tepat pada
waktunya.
2. Kelenjar Tiroid EktopikEktopik
Pada bayi dengan kondisi ini, kelenjar tiroid berukuran kecil
dan tidak terletak secara normal pada posisinya di depan trakea.
Seringkali kelenjar tiroid ditemukan di bawah lidah di dekat lokasi di
mana kelenjar pertama kali terbentuk pada embrio. Tiroid ektopik
memiliki derajat fungsi yang berbeda-beda. Terkadang ukurannya
sangat kecil dan tidak aktif, namun pada kondisi tertentu masih dapat
menghasilkan hormon tiroid yang jumlahnya hampir mencapai normal,
oleh karena itu ada derajat keparahan pada kondisi ini. Setelah
kelahiran, kelenjar tiroid ektopik tidak akan bertambah besar dan turun
pada posisi normalnya. Fungsinya pun akan semakin menurun seiring
perjalanan waktu.Kelenjar tiroid ektopik juga dua kali lebih sering
terjadi pada wanita dibandingkan pria. Kondisi tersebut merupakan
50% dari yang terdeteksi pada NewbornScreening dan sedikit lebih
sering terjadi dibandingkan atirosis. Penyebab pastinya juga tidak
diketahui, namun penyebab yang sama seperti pada atirosis dapat
menimbulkan kondisi ini.
3. Malformasi Kelenjar Tiroid pada Posisi Normal (Hypoplasia)
Kondisi ini terkadang disebut sebagai Hipoplasia Thyroid dan
hanya terjadi dengan persentase yang sangat kecil pada total seluruh
kasus. Pada hipoplasia tiroid, kelenjar berukuran kecil, tidak terbentuk
secara optimal dan terkadang hanya memiliki satu lobus.
4. Kelenjar Tiroid Tumbuh dengan Normal Namun Tidak Dapat
Berfungsi Optimal (Dysmorphogenesis)
Kondisi ini merupakan 15% dari kasus yang ditemukan pada
Neonatal Screening. Dismorfogenesis seringkali terjadi akibat defek
enzim tertentu, yang dapat bersifat transien maupun permanen. Pada
bayi dengan dysmorphogenesis, ukuran kelenjar tiroid mengalami
pembesaran dan dapat dilihat atau diraba pada bagian depan.

D. Manifestasi Klinis
Pada neonatus, gejala khas hipotiroid seringkali tidak tampak
dalam beberapa minggu pertama kehidupan. Hanya 10-15% bayi baru
lahir hipotiroidisme yang datang dengan manifestasi klinik mencurigakan,
yang membuat dokter waspada akan kemungkinan hipotiroidisme.4,5,8
Salah satu tanda yang khas dari hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir
adalah fontanela posterior terbuka dengan sutura cranial yang terbuka
lebar akibat keterlambatan maturasi skeletal prenatal. Kelambatan
maturasi tulang, dapat dinilai dengan pemeriksaan radiologik padadaerah
femoral distal lutut, tidak hanypenyakitkepentingan diagnostik, tetapi juga
menggambarkan berat serta lamanya penyakit in utero. Gejala berikutnya
yang paling sering adalah hernia umbilikalis, namun kurang spesifik.
Sebagian besar pasien memiliki berat lahir besar untuk kehamilan (di atas
3,5 kg dengan periode kehamilan lebih dari 40 minggu). Kurang dari
separuh pasien didapatkan ikterus berkepanjangan pada awal
kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin untuk terjadinya
hipotiroidisme kongenital. Tanda dan gejala lain yang jarang terlihat
adalah konstipasi (Riwayat BAB pertama > 20 jam setelah lahir dan
sembelit), hipotonia, suara tangis serak, kesulitan makan atau menyusui,
bradikardi dan kulit kering dan kasar. Selain itu, bayi dengan
hipotiroidisme kongenital memiliki insiden anomali kongenital lain lebih
tinggi, namun kemaknaannya tidak jelas. Berbagai anomali congenital
pada bayi hipotiroidisme kongenital yang diidentifikasi melalui program
skrininghipotiroidisme, antara lain penyakit jantung bawaan,
penyimpangan kromosom, kelainan tulang, dan sindrom rambut terbelah.
Apabila keadaan hipothiroid ini tidak ditangani selama masa
neonatus dan bayi, maka akan dapat menyebabkan kelainan yang lebih
berat berupa:
1. Keterlambatan Pertumbuhan
Walaupun tiroksin tampaknya tidak begitu diperlukan untuk
pertembuhan sebelum kelahiran, namun sangat esensial untuk
pertumbuhan normal setelah kelahiran. Jika seorang bayi memilki
defisiensi tiroid yang tidak ditangani, ia akan memiliki postur yang
kecil pada masa bayi maupun kanak-kanak dan berujung pada postur
yang sangat pendek. Keterlambatan pertumbuhan ini mempengaruhi
seluruh bagian tubuh termasuk tulang.
2. Keterlambatan Perkembangan Mental
Retardasi intelektual dapat terjadi pada kondisi kekurangan
tiroksin. Derajat retardasi bergantung pada keparahan defisiensi
hormon tiroid. Jika hanya ada kekurangan parsial tiroksin, kelainan
mental minimal dapat terjadi.4,5 Ketika tiroksin sepenuhnya tidak ada
dan bayi tidak mendapatkan penanganan, retardasi mental yang parah
mungkin dapat terjadi. Namun, kondisi ini tidak akan terjadi jika
penatalaksanaan dilakukan sejak awal.
3. Jaundice Persisten
Secara normal, kondisi jaundice adalah kondisi yang fisiologis
yang dapat terjadi pada neonatus yang berlangsung selama 1-2
minggu. Namun pada kondisi hipotiroidisme yang tidak ditangani
(untreated hypothiroidism), jaundice dapat berlangsung lebih dari
waktu yang normal.
Enzim glukoronil teransferase merupakan enzim yang
mengkatatalisis proses konjugasi bilirubin di dalam hepatosit. Pada
hipotiroid aktivitas enzim ini menurun sehingga terjadi penurunan ekskresi
bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke dalam usus. Hal ini menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugdapatPeningkatan rasio klesterol-
fosfolipid pada membran hepatosit dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh
hepatosit. Gangguan karena peningkatan rasio kolesterol fosfolipid ini
mengganggu kelarutan bahan–bahan yang akan memasuki sel hepatosit,
salah satunya adalah bilirubin tak terkonjugasi yang berasal dari siklus
enterohepatik. Selain itu tejadi juga gangguan kerja dari enzim Na+, K+-
ATPase yang merupkan enzim yang berperan dalam proses up take
bilirubin oleh hati yang terjadi melalui suatu proses transport aktif.

E. PATHWAYS
F. Komplikasi
Secara garis besar dampak hipotiroid kongenital dapat dibagi menjadi 3
yaitu:
1. Dampak terhadap Anak.
Bila tidak segera dideteksi dan diobati, maka bayi akan
mengalami kecacatan yang sangat merugikan kehidupan berikutnya.
Anak akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik secara
keseluruhan, dan yang paling menyedihkan adalah perkembangan
mental terbelakang yang tidak bisa dipulihkan.
2. Dampak terhadap Keluarga.
Keluarga yang memiliki anak dengan gangguan hipotiroid
kongenital akan mendapat dampak secara ekonomi maupun secara
psikososial. Anak dengan retardasi mental akan membebani keluarga
secara ekonomi karena harus mendapat pendidikan, pengasuhan dan
pengawasan yang khusus. Secara psikososial, keluarga akan lebih
rentan terhadap lingkungan sosial karena rendah diri dan menjadi
stigma dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu produktivitas
keluarga menurun karena harus mengasuh anak dengan hipotiroid
kongenital.
3. Dampak terhadap Negara.
Bila tidak dilakukan skrining pada setiap bayi baru lahir, negara
akan menanggung beban biaya pendidikan maupun pengobatan
terhadap kurang lebih 1600 bayi dengan hipotiroid kongenital setiap
tahun. Jumlah penderita akan terakumulasi setiap tahunnya.
Selanjutnya negara akan mengalami kerugian sumber daya manusia
yang berkualitas untuk pembangunan bangsa.

G. Penatalaksanaan medis
Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) adalah skrining/uji saring
untuk memilah bayi yang menderita HK dari bayi yang bukan penderita.
SHK bukan hanya melakukan tes laboratorium tetapi merupakan suatu
sistem dengan mengintegrasikan proses/prosedur maupun individu yang
terlibat yaitu manajemen puskesmas/rumah sakit, penanggung jawab
program, petugas kesehatan, orangtua, masyarakat, pemerintah, dan
pemerintah daerah. Sistem ini mencakup komponen Komunikasi,
Informasi, Edukasi (KIE), pengambilan dan pemeriksaan spesimen, tindak
lanjut hasil skrining, diagnosis, tatalaksana, pemantauan kasus,
pengorganisasian, dan monitoring- evaluasi program.
Secara garis besar dibedakan tiga tahapan utama yang sama
pentingnya dalam pelaksanaan skrining yaitu:
1. Praskrining : Sebelum tes laboratorium diperlukan sosialisasi, advokasi
dan edukasi termasuk pelatihan.
2. Skrining : Proses skrining, bagaimana prosedur yang benar, sensitivitas
dan spesifisitas, validitas, pemantapan mutu (eksternal/internal)
3. Pascaskrining : Tindak lanjut hasil tes, pemanggilan kembali bayi
untuk tes konfirmasi, dilanjutkan diagnosis dan tatalaksana pada kasus
hasil tinggi HK
G. Intervensi Keperawatan
1. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan
hipertiroid tidak terkontrol, keadaan hipermetabolisme, peningkatan
beban kerja jantung.
Kriteria hasil :
a. Nadi perifer dapat teraba normal
b. Vital sign dalam batas normal
c. Pengisian kapiler normal
d. Status mental baik
e. Tidak ada disritmia

Tabel 1.1 Intervensi Resiko Penurunan Curah Jantung (Carpenito, 2009)


Intervensi Rasional

Pantau tekanan darah pada posisi Untuk mengetahui dan memantau


baring, duduk dan berdiri jika tekanan darah
memungkinkan.

Perhatikan besarnya tekanan nadi Tekanan darah yang tinggi


mengidikasi ada nya peningkatan
TIK

Periksa kemungkinan adanya nyeri Nyeri dada memungkinkan


dada atau angina yang dikeluhkan adanya penurunan curah jantung
pasien.
Auskultasi suara nafas, perhatikan Mengetahui dan memantau suara
adanya suara yang tidak normal yang tidak normal atau adanya
(seperti krekels) suara tambahan

Observasi tanda dan gejala haus yang Untuk mengetahui dan memantau
hebat,mukosa membran kering, nadi
lemah, penurunan produksi urine dan
hipotensi

2. Kelelahan berhubungan dengan hipermetabolik dengan peningkatan


kebutuhan energi.
Kriteria hasil :
a. Menetapkan secara verbal tentang tingkat energi peka rangsang
dari saraf sehubungan dengan gangguan kimia tubuh.
Tabel 1.2 Kelelahan (Carpenito, 2009)
Intervensi Rasional
Pantau tanda-tanda vital dan catat nadi Mengetahui dan memantau
baik saat istirahat maupun saat tanda-tanda vital vital klien.
melakukan aktivitas. Peningkatan tanda-tanda vital
mengindikasi kelelahan
Catat berkembangnya takipnea, dipsnea, Mengetahui apakah klien
pucat saat sianosis mengalami kelelahan

Sarankan pasien pasien untuk Peningkatan aktivitas dapat


mengurangi aktivitas dan meningkatkan menyebabkan kelelahan
aktivitas dan meningkatkan istirahat
ditempat tidur sebanyak-banyaknya jika
memungkinkan

Berikan tindakan yang membuat pasien Tindakan terapeutik bisa


nyaman seperti sentuhan/ massase, mengurangi kelelahan yang
bedak sejuk. dirasakan

Berikan obat sesuai indikasi : sedatif Pemberian obat sedatif dapat


(fenobarbital/luminal),transquilizer menurunkan perasaan kelelahan
misal klordiazepoxsida (librium).

3. Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan


berhubungan dengan peningkatan metabolisme (peningkatan nafsu
makan/pemasukan dengan penurunan berat badan).
Kriteria hasil :
a. Menunjukan berat badan yang stabil
b. Nilai laboratorium normal
c. Terbebas dari tanda-tanda malutrisi.

Tabel 1.3 Resiko Penurunan Berat Badan (Carpenito,2009)


Intervensi Rasional
Auskultasi bising usus Mengetahui apakah klien
mengalami kelaparan atau tidak
Catat dan laporkan adanya Mengetahui sehingga dapat
anoreksia kelemahan umum/ nyeri meneruskan ke rencana tindakan
abdomen mual muntah. selanjutnya
Pantau masukan makanan setiap Mengetahui dan memantau intake
hari. Timbang berat badan setiap makanan. Dan mengetahui
hari serta laporkan adanya perkembangan klien
penurunan berat badan

Konsultasikan dengan ahli gizi Mencegah terjadi nya penurunan


untuk memberikan diit tinggi kalori, berat badan dengan menambah diit
tinggi protein, karbohidrat dan protein, karbohidrat dan vitamin
vitamin

Berikan obat sesuai indikasi : Pemberian obat yang tepat dapat


glukosa, vitamin B kompleks. membantu

4. Risiko tinggi terhadap kerusakan kulit jaringan berhubungan dengan


perubahan mekanisme perlindungan dari mata: kerusakan penutupan
kelopak mata/eksoftalmus.
Tujuan : kerusakan integritas jaringa tidak terjadi
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan kelembaban membran mukosa terbebas dari
ulkus
b. Mampu mengidentufikasi tindakan untuk memberikan
perlindungan pada mata.

Tabel 1.4 Resiko tinggi Kerusakan Integritas Kulit (Carpenito, 2009)


Intervensi Rasional
Observasi edema periorbital, Mengetahui ada nya edema
gangguan penutupan kelopak periorbital
mata, gangguan penutupan
kelopak mata, lapang pandang
penglihatan sempit, air mata yang
berlebihan.

Catat adanya fotophobia, rasa Mengetahui dan memantau


adanya benda di luar mata dan perubahan yang terjadi
nyeri pada mata

Evalusi ketajaman mata, laporkan Mengetahui dan memantau


adanya pandangan mata kabur atau perubahan yang terjadi
pandangan ganda (diplopia)

Bagian kepala tempat tidur di


tinggikan dan batasi pemasukan
garam jika ada indikasi
Instruksikan agar pasien melatih Mencegah terjadi nya kekauan
otot mata ekstraokuler jika otot mata
memungkinkan.

Kolaborasi berikan obat sesuai Pemberian obat yang tepat dapat


indikasi : obat tetes mata memberikan penangan yang baik
metilselulosa, ACTH, prednison,
obat anti tiroid, diuretik.

5. Ansietas berhubungan dengan faktor fisiologis: status hipermetabolik.


Tujuan : Ansietas tidak terjadi
Kriteria hasil :
a. Melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi.
b. Klien mampu mengidentifikasi cara hidup sehat
Tabel 1.5 Ansietas (Carpenito, 2009)
Intervensi Rasional
Observasi tingkah laku yang Mengetahui tingkah laku yang
menunjukan tingkat ansietas. mendandakan kecemasan

Pantau respon fisik, palpitasi, Kecemasan yang dirsakan dapat


gerakan yang berulang-ulang, di observasi melalui respon fisik
hiperventilasi, insomnia. yang di tunjukan

Kurangi stimulasi dari luar : Stimulasi yang buruk dapat


tempatkan pada ruangan yang meningkatkan ansietas
tenang

Terangkan bahwa pengendalian Pengetahuan klien dapat


emosi itu harus tetap diberikan membantu meningkatkan
sesuai dengan perkembangan terapi keberhasilan
obat.

Berikan obat ansietas Pemberian obat yang tepat dapat


(transquilizer,sedatif) dan pantau membantu menurunkan ansietas
efeknya.
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics, American Thyroid Association, Lawson Wilkins


Pediatric Endocrin Society. Update of newborn screening and therapy for
congenital hypothyroidism. Pediatrics. 2006;117: 2290-303.
Counts D, Varma SK. Hypothyroidism in children. Pediatrics Review.
2009;30:251-7.
Donaldson M, Jones J. Optimising outcome in congenital hypothyroidism;
Current opinions on best practice in initial assessment and subsequent
manage-ment. J Clin Res Pediatr Endocrinol. 2013;5:13-22.
Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi . Jakarta:EGC
Huang SA. Thyroid. In Kappy MS, Allen DB, Geffner ME, editors. Paediatric
Practice Endocrinology. 1st Ed. New York: Mc Graw Hill. 2010.p. 107-30.
Kementrian Kesehatan, Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Pedoman skrining hipotiroid kongenital. Kementrian Kesehatan RI, 2014.
LaFranchi SH. Approach to the diagnosis and treatment of neonatal hypothy-
roidism. J Clin Endocrinol Metab. 2011;96:2959-967.
Léger J. Congenital hypothyroidism: a clinical update of long-term outcome in
young adults. Eur J Endocrinol. 2015;172:R67-R77.
Léger J, Olivieri A, Donaldson M, Torresani T, Krude H, van Vliet G, et al.
European society for paediatric endocrinology. Consensus guidelines on
screen-ing, diagnosis, and management of congenital hypothyroidism. J Clin
Endocri-nol Metab. 2014;99:363–84.
Ng SM, Anand D, Weindling AM. High versus low dose of initial thyroid
hormone replacement for congenital hypothyroidism. Cohrane Database of
systematic review, issue 1, 2009.
Pulungan AP, Oldenkamp ME, Komala K, Arsianti T, Gunardi H, Soesanti F,
Wiguna T, van Trotsenburg ASP. Impact of late treatment initiation of con-
genital hypothyroidism on intellectual disability and quality of life.
(submitted)

Anda mungkin juga menyukai