Oleh :
ASA MAULANA DEWI (2720162883)
ETIK SEFTI FADILAH (2720162901)
AGUS WICAKSONO (2520142523)
Praktikan
Mengetahui
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia-Nya dan memberi kemudahan, kekuatan serta kelancaran
dalam menyusun makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan pada bayi NY. G
dengan Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di ruang Neonatus Intensive
Care Unit (NICU) RSUD Wates Kulonprogo”. Makalah ini disusun guna untuk
memenuhi tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah II semester IV.
Penulis menyadari makalah ini dapat tersusun berkat bimbingan dan
bantuan dari semua pihak. Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Giri Susilo Adi, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku direktur Akademi
Keperawatan Yayasan Notokusumo Yogyakarta.
2. Bapak Rudi Haryono., M.Kep selaku pembimbing Akademik Praktek
Klinik Keperawatan Anak di RSUD Wates Kulonprogo.
3. Teman-teman dan keluarga yang telah memberikan semangat, doa restu,
dorongan dan bantuan moril maupun meteril sampai selesainya makalah
ini.
Penulis
BAB I.
KONSEP DASAR MEDIK
A. DEFINISI
Hipotiroid kongenital adalah kekurangan hormon tiroid pada bayi
baru lahir dengan reterdasi mental, perawakan pendek, muka dan tangan
tampak sembab dan sering kali tuli mutisme. Hormon tiroid, tiroksin,
merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid (kelenjar gondok),
mengandung 59-65% elemen iodium. Untuk membentuk tiroksin dalam
jumlah normal setiap tahunnya dibutuhkan kira-kira 50 mg iodium, kira-
kira 1 mg setiap minggunya (Gaitan, 2013).
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pengangkutan
iodida dari darah ke dalam sel-sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran
basal sel mempunyai kemampuan yang spesifik untuk memompa iodida
secara aktif ke bagian dalam sel. Yang terpenting dalam pembentukan
hormon tiroid adalah perubahan ion iodida menjadi iodium yang
teroksidasi. Iodium yang masuk bersama makanan akan diserap melalui
usus halus dan diangkut melalui plasma darah ke kelenjar tiroid untuk
dipekatkan, dioksidasi. Iodium yang teroksidasi akan berikataan dengan
asam amino tirosin dalam molekul triglobulin yang terdapat didalam masa
koloid kelenjar tiroid untuk pembentukan hormon tiroksin dan
triiodotironin memiliki banyak fungsi (Gaitan, 2013).
Hormon tiroid berfungsi untuk mengatur produksi panas tubuh,
metabolisme pertumbuhan tulang, kerja tulang, syaraf, serta pertumbuhan
dan perkembangn otak, meningkatkan aktivitas metabolisme selular,
meningkatkan jumlah aktivitas sel mitokondria. Gangguan dari hormon
tiroid pada manusia dapat menyebabkan banyak kelainan seperti hipotiroid
kongenital sporadik, hipotiroid dan hipertiroid maternal yang menjadi
penyebab munculnya masalah dibidang kesehatan, sosial, dan pendidikan
misalnya cerebral palsy, retardasi mental, dan bermacam kelainan fungsi
susunan saraf dan perilaku. Hormon tiroid mempunyai efek pada
pertumbuhan sel, perkembangan dan metabolisme energi, dapat juga
mempengaruhi pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan energi,
penambahan sintesis asam ribonukleat (RNA) serta berperan dalam
perkembangan normal sistem saraf pusat (Krassas et al, 2013).
Dengan demikian hormon ini sangat penting peranannya pada bayi
dan anak dalam masa pertumbuhan. Anak tidak dapat tumbuh dan
berkembang apabila didapatkan adanya kelainan kelenjar tiroid pada bayi
baru lahir dan jikatidak diobati dapat menyebabkan kelainan intelektual
dan atau kelainan neurologik yang menetap, fungsi psikomotoriknya
terganggu, seringkali mengalami kesulitan melakukan tugas-tugas
perkembangan seperti, duduksendiri, berdiri, dan berjalan. Ini
menunjukkan pentingnya hormon tiroid untuk perkembangan otak.
Ketiadaan hormon tiroid pada bayi dan masa awal kehidupan, bisa
mengakibatkan hambatan pertumbuhan (cebol) dan retardasi mental, dapat
mengganggu fungsi kognitif (kecerdasan). Manifestasi hipotiroid
kongenital menyebabkan kretin, dimana dapat menyebabkan kecacatan
menetap berupa reterdasi mental, gangguan koordinasi dan keseimbangan,
gangguan gerakan, motorik halus, gangguan bicara (Krassas et al, 2013).
Perjalanan hormon tiroid dalam kandungan yaitu, selama
kehamilan plasenta berperan sebagai media transfortasi elemen-elemen
penting untuk perkembangan janin. Thyroid Releasing Hormone (TRH)
dan iodium yang berfungsi untuk membantu pembentukan hormon tiroid
janin, bisa bebas melewati plasenta. Demikian juga hormon tiroksin.
Namun demikian juga hormon lain (TSH receptor antibody) dan obat anti
tiroid yang dikonsumsi ibu juga dapat melewati plasenta. Dapat
disimpulkan bahwa keadaan hormon tiroid dan obat-obatan yang
dikonsumsi ibu sangat berpengaruh terhadap kondisi hormon tiroid
janinnya (Krassas et al, 2013).
B. Etiologi
Beberapa defek genetik dikaitkan dengan terjadinya hipotiroid
kongenital yang permanen. Diketahui bahwa faktor imunologik,
lingkungan, dan iatrogenik (tapi bukan genetik) dapat menyebabkan
hipotiroid kongenital yang transient, yang dapat sembuh secara spontan
dalam bulan pertama kehidupan.
Hipotiroid kongenital yang transient dapat disebabkan oleh
defisiensi iodine, paparan terhadap iodine yang berlebih pada saat periode
perinatal, atau paparan pada fetus oleh thyriod-blocking antibodies yang
diperoleh secara maternal atau obat antitiroid yang dikonsumsi oleh wanita
hamil dengan penyakit tiroid autoimun. Disfungsi tiroid kongenital dapat
juga merupakan akibat dari lahir yang prematur, dishormogenesis tiroid
ringan, atau kehilangan protein karena nefrosis (pada kasus yang jarang).
Dosis OAT (Obat Anti Tiroid) berlebihan yang dikonsumsi ibu
dapat menyebabkan hipotiroidisme. Dapat juga terjadi pada pemberian
litium karbonat pada pasien psikosis. Hati-hatilah menggunakan fenitoin
dan fenobarbital sebab meningkatkan metabolisme tiroksin di hepar.
Kelompok kolestiramin dan kolestipol dapat mengikat hormon tiroid di
usus. Defisiensi yodium berat serta kelebihan yodium kronis menyebabkan
hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya kelebihan akut menyebabkan
IIT (iodine induced thyrotoxcisos). Bahan farmakologis yang menghambat
sintesis hormon tiroid yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol), perklorat,
sulfonamid, yodida dan yang meningkatkan katabolisme atau
penghancuran hormon tiroid yaitu fenitoin, fenobarbital, yang
menghambat jalur enterohepatik hormon tiroid yaitu kolestipol dan
kolestiramin.
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu
propilthiourasil (PTU) dan carbamizole (Neo Mercazole) . Yodida
merupakan kontraindikasi untuk diberikan karena dapat langsung
melewati sawar plasenta dan dengan demikian mudah menimbulkan
keadaan hipotiroid janin. Wanita hamil dapat mentolerir keadaan
hipertiroid yang tidak terlalu berat sehingga lebih baik memberikan dosis
OAT yang kurang dari pada berlebih. Bioavilibilitas carbamizole pada
janin ± 4 kali lebih tinggi dari pada PTU sehingga lebih mudah
menyebabkan keadaan hipotiroid. Melihat hal-hal tersebut maka pada
kehamilan PTU lebih terpilih. PTU mula-mula diberikan 100-150 mg tiap
8 jam. Setelah keadaan eutiroid tercapai (biasanya 4-6 minggu setelah
pengobatan dimulai), diturunkan menjadi 50 mg tiap 6 jam dan bila masih
tetap eutiroid dosisnya diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 kali 50
mg/hari. Idealnya hormon tiroid bebas dipantau setiap bulan. Kadar T4
dipertahankan pada batas normal dengan dosis PTU ≤ 100 mg/hari. Bila
tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pasca persalinan, PTU dinaikkan
sampai 300mg/hari. Efek OAT terhadap janin dapat menghambat sintesa
hormon tiroid. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan hipotiroidisme
sesaat dan struma pada bayi, walaupun hal ini jarang terjadi. Pada ibu yang
menyusui yang mendapat OAT, OAT dapat keluar bersama ASI namun
jumlah PTU kurang dibandingkan carbamizole dan bahaya pengaruhnya
kepada bayi sangat kecil, meskipun demikian perlu dilakukan pemantauan
pada bayi seketat mungkin.
Berdasarkan pada kelainan heterogenous genetiknya terdapat dua
kelompok utama kelainan: yang menyebabkan disgenesis kelenjar tiroid,
dan yang menyebabkan dishormogenesis. Gen yang terkait dengan
disgenesis kelenjartiroid antara lain adalah reseptor TSH pada hipotiroid
kongenital tanpa gejala, dan GSα serta faktor transkripsi tiroid (TTF-1,
TTF-2, dan Pax-8). Yang menyebabkan dishormogenesis antara lain
adalah defek pada gen thyroid peroxidase dan gen thyroglobulin, PDS
(pendred syndrome), NIS (sodium iodine symporter), dan THOX2 (thyroid
oxidase 2). Ada pula bukti awal yang mengarahkan pada kelompok ketiga
dari hipotiroid kongenital yang terkait dengan defek pada transposter
iodothyronine yang terkait dengan gangguan neurologik berat.Sedangkan
menurut Genetics Home Reference bahwa Mutasi di DUOX2 , PAX8 ,
SLC5A5 , TG , TPO , TSHB , dan TSHR gen menyebabkan
hipotiroidisme kongenital. mutasi gen menyebabkan hilangnya fungsi
tiroid dalam salah satu dari dua cara. Mutasi pada gen PAX8 dan beberapa
mutasi pada gen TSHR mencegah atau mengganggu perkembangan
normal dari kelenjar tiroid sebelum kelahiran. Mutasi di DUOX2,
SLC5A5, TG, TPO, dan gen TSHB mencegah atau mengurangi produksi
hormon tiroid, meskipun kelenjar tiroid hadir. Mutasi pada gen lain yang
belum juga ditandai dapat menyebabkan hipotiroidisme kongenital.
D. Manifestasi Klinis
Pada neonatus, gejala khas hipotiroid seringkali tidak tampak
dalam beberapa minggu pertama kehidupan. Hanya 10-15% bayi baru
lahir hipotiroidisme yang datang dengan manifestasi klinik mencurigakan,
yang membuat dokter waspada akan kemungkinan hipotiroidisme.4,5,8
Salah satu tanda yang khas dari hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir
adalah fontanela posterior terbuka dengan sutura cranial yang terbuka
lebar akibat keterlambatan maturasi skeletal prenatal. Kelambatan
maturasi tulang, dapat dinilai dengan pemeriksaan radiologik padadaerah
femoral distal lutut, tidak hanypenyakitkepentingan diagnostik, tetapi juga
menggambarkan berat serta lamanya penyakit in utero. Gejala berikutnya
yang paling sering adalah hernia umbilikalis, namun kurang spesifik.
Sebagian besar pasien memiliki berat lahir besar untuk kehamilan (di atas
3,5 kg dengan periode kehamilan lebih dari 40 minggu). Kurang dari
separuh pasien didapatkan ikterus berkepanjangan pada awal
kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin untuk terjadinya
hipotiroidisme kongenital. Tanda dan gejala lain yang jarang terlihat
adalah konstipasi (Riwayat BAB pertama > 20 jam setelah lahir dan
sembelit), hipotonia, suara tangis serak, kesulitan makan atau menyusui,
bradikardi dan kulit kering dan kasar. Selain itu, bayi dengan
hipotiroidisme kongenital memiliki insiden anomali kongenital lain lebih
tinggi, namun kemaknaannya tidak jelas. Berbagai anomali congenital
pada bayi hipotiroidisme kongenital yang diidentifikasi melalui program
skrininghipotiroidisme, antara lain penyakit jantung bawaan,
penyimpangan kromosom, kelainan tulang, dan sindrom rambut terbelah.
Apabila keadaan hipothiroid ini tidak ditangani selama masa
neonatus dan bayi, maka akan dapat menyebabkan kelainan yang lebih
berat berupa:
1. Keterlambatan Pertumbuhan
Walaupun tiroksin tampaknya tidak begitu diperlukan untuk
pertembuhan sebelum kelahiran, namun sangat esensial untuk
pertumbuhan normal setelah kelahiran. Jika seorang bayi memilki
defisiensi tiroid yang tidak ditangani, ia akan memiliki postur yang
kecil pada masa bayi maupun kanak-kanak dan berujung pada postur
yang sangat pendek. Keterlambatan pertumbuhan ini mempengaruhi
seluruh bagian tubuh termasuk tulang.
2. Keterlambatan Perkembangan Mental
Retardasi intelektual dapat terjadi pada kondisi kekurangan
tiroksin. Derajat retardasi bergantung pada keparahan defisiensi
hormon tiroid. Jika hanya ada kekurangan parsial tiroksin, kelainan
mental minimal dapat terjadi.4,5 Ketika tiroksin sepenuhnya tidak ada
dan bayi tidak mendapatkan penanganan, retardasi mental yang parah
mungkin dapat terjadi. Namun, kondisi ini tidak akan terjadi jika
penatalaksanaan dilakukan sejak awal.
3. Jaundice Persisten
Secara normal, kondisi jaundice adalah kondisi yang fisiologis
yang dapat terjadi pada neonatus yang berlangsung selama 1-2
minggu. Namun pada kondisi hipotiroidisme yang tidak ditangani
(untreated hypothiroidism), jaundice dapat berlangsung lebih dari
waktu yang normal.
Enzim glukoronil teransferase merupakan enzim yang
mengkatatalisis proses konjugasi bilirubin di dalam hepatosit. Pada
hipotiroid aktivitas enzim ini menurun sehingga terjadi penurunan ekskresi
bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke dalam usus. Hal ini menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugdapatPeningkatan rasio klesterol-
fosfolipid pada membran hepatosit dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh
hepatosit. Gangguan karena peningkatan rasio kolesterol fosfolipid ini
mengganggu kelarutan bahan–bahan yang akan memasuki sel hepatosit,
salah satunya adalah bilirubin tak terkonjugasi yang berasal dari siklus
enterohepatik. Selain itu tejadi juga gangguan kerja dari enzim Na+, K+-
ATPase yang merupkan enzim yang berperan dalam proses up take
bilirubin oleh hati yang terjadi melalui suatu proses transport aktif.
E. PATHWAYS
F. Komplikasi
Secara garis besar dampak hipotiroid kongenital dapat dibagi menjadi 3
yaitu:
1. Dampak terhadap Anak.
Bila tidak segera dideteksi dan diobati, maka bayi akan
mengalami kecacatan yang sangat merugikan kehidupan berikutnya.
Anak akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik secara
keseluruhan, dan yang paling menyedihkan adalah perkembangan
mental terbelakang yang tidak bisa dipulihkan.
2. Dampak terhadap Keluarga.
Keluarga yang memiliki anak dengan gangguan hipotiroid
kongenital akan mendapat dampak secara ekonomi maupun secara
psikososial. Anak dengan retardasi mental akan membebani keluarga
secara ekonomi karena harus mendapat pendidikan, pengasuhan dan
pengawasan yang khusus. Secara psikososial, keluarga akan lebih
rentan terhadap lingkungan sosial karena rendah diri dan menjadi
stigma dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu produktivitas
keluarga menurun karena harus mengasuh anak dengan hipotiroid
kongenital.
3. Dampak terhadap Negara.
Bila tidak dilakukan skrining pada setiap bayi baru lahir, negara
akan menanggung beban biaya pendidikan maupun pengobatan
terhadap kurang lebih 1600 bayi dengan hipotiroid kongenital setiap
tahun. Jumlah penderita akan terakumulasi setiap tahunnya.
Selanjutnya negara akan mengalami kerugian sumber daya manusia
yang berkualitas untuk pembangunan bangsa.
G. Penatalaksanaan medis
Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) adalah skrining/uji saring
untuk memilah bayi yang menderita HK dari bayi yang bukan penderita.
SHK bukan hanya melakukan tes laboratorium tetapi merupakan suatu
sistem dengan mengintegrasikan proses/prosedur maupun individu yang
terlibat yaitu manajemen puskesmas/rumah sakit, penanggung jawab
program, petugas kesehatan, orangtua, masyarakat, pemerintah, dan
pemerintah daerah. Sistem ini mencakup komponen Komunikasi,
Informasi, Edukasi (KIE), pengambilan dan pemeriksaan spesimen, tindak
lanjut hasil skrining, diagnosis, tatalaksana, pemantauan kasus,
pengorganisasian, dan monitoring- evaluasi program.
Secara garis besar dibedakan tiga tahapan utama yang sama
pentingnya dalam pelaksanaan skrining yaitu:
1. Praskrining : Sebelum tes laboratorium diperlukan sosialisasi, advokasi
dan edukasi termasuk pelatihan.
2. Skrining : Proses skrining, bagaimana prosedur yang benar, sensitivitas
dan spesifisitas, validitas, pemantapan mutu (eksternal/internal)
3. Pascaskrining : Tindak lanjut hasil tes, pemanggilan kembali bayi
untuk tes konfirmasi, dilanjutkan diagnosis dan tatalaksana pada kasus
hasil tinggi HK
G. Intervensi Keperawatan
1. Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan
hipertiroid tidak terkontrol, keadaan hipermetabolisme, peningkatan
beban kerja jantung.
Kriteria hasil :
a. Nadi perifer dapat teraba normal
b. Vital sign dalam batas normal
c. Pengisian kapiler normal
d. Status mental baik
e. Tidak ada disritmia
Observasi tanda dan gejala haus yang Untuk mengetahui dan memantau
hebat,mukosa membran kering, nadi
lemah, penurunan produksi urine dan
hipotensi