Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
neurologis yang utama. Menurut Batticaca (2008), stroke adalah suatu
keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak
yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga
mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian.
Menurut Batticaca (2008) stroke masih merupakan masalah
medis yang menjadi penyebab kesakitan dan kematian nomor 2 di Eropa
serta nomor 3 di Amerika Serikat. Sebanyak 10% penderita stroke
mengalami kelemahan yang memerlukan perawatan. Penyakit ini juga
menimbulkan kecacatan terbanyak pada kelompok usia dewasa yang
masih produktif. Tingginya kasus stroke ini salah satunya dipicu oleh
rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengatasi berbagai faktor
resiko yang dapat menimbulakan stroke. Penyebab stroke adalah
pecahnya (ruptur) pembuluh darah di otak dan atau terjadinya trombosis
dan emboli. Gumpalan darah akan masuk ke aliran darah sebagai akibat
dari penyakit lain atau karena adanya bagian otak yang cedera dan
menutup atau menyumbat arteri otak. Secara sederhana stroke
didefinisikan sebagai penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke
otak karena 2 sumbatan atau perdarahan dengan gejala lemas, lumpuh
sesaat, atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian.
Menurut Depkes (2011), stroke merupakan penyebab kematian
tertinggi dari seluruh penyebab kematian. Dengan proporsi angka
kejadian yaitu 15,4%, disusul hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit
paru obstruksi kronis. Penyakit stroke merupakan penyebab kematian
ketiga tersering di negara maju setelah penyakit jantung dan kanker.
Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes dan gejala
tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogyakarta (16,9%),

1
Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil.
Terjadi peningkatan prevalensi stroke berdasarkan wawancara
(berdasarkan jawaban responden yang pernah didiagnosis nakes dan
gejala) juga meningkat dari 8,3 per1000 (2007) menjadi 12,1 per1000
(2013) (Riskesdas 2013).
Serangan otak ini merupakan kegawatdaruratan medis yang harus
ditangani secara cepat, tepat, dan cermat. Menurut Ginsberg (2008)
stroke non hemoragik merupakan kedaruratan medis yang memerlukan
penanganan segera. Proses asuhan keperawatan mempunyai peranan
penting dalam keberhasilan penyelamatan maupun rehabilitasi klien
dengan stroke non hemoragik di instansi rumah sakit. Hasil dari proses
asuhan keperawatan dapat sesuai dengan yang diharapkan bilamana
dilakukan secara 3 professional namun hasil dapat bertolak belakang
dengan tujuan, jika proses asuhan keperawatan tersebut tidak dilakukan
secara professional.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan
ini untuk mengetahui masalah keperawatan Medikal Bedah I pada
Tn. S dengan Stroke Non Hemoragik.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu untuk melakukan pengkajian pada Tn. S dengan
Stroke Non Hemoragik.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. S
dengan Stroke Non Hemoragik.
c. Mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn. S
dengan Stroke Non Hemoragik.
d. Mampu melakukan implementasi pada Tn. S dengan Stroke
Non Hemoragik sesuai dengan intervensi yang telah disusun
sebelumnya.

2
e. Mampu melakukan evaluasi pada Tn. S dengan Stroke Non
Hemoragik.

BAB II
KONSEP DASAR

3
A. Pengertian
Stroke non hemoragik merupakan proses terjadinya iskemi akibat
emboli dan trombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat,
baru bangun tidur atau di pagi hari dan tidak terjadi perdarahan (Muttaqin,
2008).
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda
klinik yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam
atau lebih pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak,
yang menyebabkan cacat atau kematian (Widjaja, 2010).
Stroke non hemoragik terjadi pada pembuluh darah yang mengalami
sumbatan sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan
otak, trombosis otak, aterosklerosis, dan emboli serebral yang merupakan
penyumbatan pembuluh darah yang timbul akibat pembentukkan plak
sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah yang dikarenakan oleh
penyakit jantung, diabetes, obesitas, kolesterol, merokok, stress, gaya
hidup, rusak atau hancurnya neuron motorik atas (upper motor neuron), dan
hipertensi (Mutaqqin, 2011).

B. Etiologi
Menurut Pudiastuti (2011) penyebab stroke hemoragik yaitu terjadi
karena tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke
otak sebagian atau keseluruhan terhenti. Hal ini disebabkan oleh
aterosklerosis yaitu penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah
atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak.
Menurut Yayasan Stroke Indonesia (2012), Stroke iskemik
disebabkan oleh sumbatan setempat pada suatu pembuluh darah tertentu di
otak yang sebelumnya sudah mengalami proses aterosklerosis (pengerasan
dinding pembuluh darah akibat degenerasi hialin dari lemak) yang
dipercepat oleh berbagai faktor risiko, sehingga terjadi penebalan ke dalam
lumen pembuluh tersebut yang akhirnya dapat menyumbat sebagian atau

4
seluruh lumen (trombosis). Sumbatan juga dapat disebabkan oleh thrombus
atau bekuan darah yang berasal dari tempat lain di dalam tubuh.

C. Manifestasi Klinik
Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) stroke menyebabkan berbagai
deficit neurologis, tergantung pada lesi atau pembuluh darah mana yang
tersumbat dan ukuran area yang perfusinya tidak adekuat. Fungsi otak yang
rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Defisit neurologi pada stroke antara
lain:
1. Defisit motorik
Disfungsi motorik paling umum adalah paralisis pada salah satu sisi
atau hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Diawal
tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul adalah paralisis dan hilang
atau menurunnya refleks tendon dalam atau penurunan kekuatan otot
untuk melakukan pergerakkan, apabila refleks tendon dalam ini muncul
kembali biasanya dalam waktu 48 jam, peningkatan tonus disertai
dengan spastisitas atau peningkatan tonus otot abnormal pada
ekstremitas yang terkena dapat dilihat.
2. Defisit komunikasi
Difungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal
berikut :
a. Kesulitan dalam membentuk kata (disartria), ditunjukkan dengan
bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot
yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
b. Bicara defektif atau kehilangan bicara (disfasia atau afasia), yang
terutama ekspresif atau reseptif
c. Ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya (apraksia) seperti terlihat ketika penderita mengambil
sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
3. Defisit persepsi sensori

5
Gangguan persepsi sensori merupakan ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Gangguan persepsi sensori pada stroke
meliputi:
a. Disfungsi persepsi visual, karena gangguan jaras sensori primer
diantara mata dan korteks visual. Kehilangan setengah lapang
pandang terjadi sementara atau permanen (homonimus
hemianopsia). Sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh
yang paralisis. Kepala penderita berpaling dari sisi tubuh yang sakit
dan cendrung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi
tersebut yang disebut dengan amorfosintesis. Pada keadaan ini
penderita hanya mampu melihat makanan pada setengah nampan,
dan hanya setengah ruangan yang terlihat.
b. Gangguan hubungan visual-spasial yaitu mendapatkan hubungan
dua atau lebih objek dalam area spasial sering terlihat pada penderita
dengan hemiplegia kiri. Penderita tidak dapat memakai pakaian
tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian
ke bagian tubuh.
c. Kehilangan sensori, karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan
ringan atau berat dengan kehilangan propriosepsi yaitu kemampuan
untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan
dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
4. Defisit fungsi kognitif dan efek psikologi
Disfungsi ini ditunjukkan dalam lapang pandang terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan
penderita ini menghadapi masalah stress dalam program rehabilitasi.
5. Defisit kandung kemih
Kerusakan kontrol motorik dan postural menyebabkan penderita
pasca stroke mengalami ketidakmampuan menggunakan urinal,
mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi. Tonus
otot meningkat dan refleks tendon kembali, tonus kandung kemih
meningkat, dan spastisitas kandung kemih dapat terjadi.

6
D. Patofisologi
Stroke non hemoragik erat hubungannya dengan plak arterosklerosis
yang dapatmengaktifkan mekanisme pembekuan darah sehingga terbentuk
trombus yang dapat disebabkan karena hipertensi. Trombus dapat pecah
dari dinding pembuluh darah dan akan terbawa sebagai emboli dalam aliran
darah mengakibatkan terjadinya iskemia jaringan otak dan menyebabkan
hilangnya fungsi otak secara akut atau permanen pada area yang teralokasi
(Muttaqin, 2011).
Iskemia pada otak akan merusak jalur motorik pada serebrum.
Iskemia pada otak juga mengakibatkan batang otak yang mengandung
nuclei sensorik dan motorik yang membawa fungsi motorik dan sensorik
mengalami gangguan sehingga pengaturan gerak seluruh tubuh dan
keseimbangan terganggu.
Area di otak yang membutuhkan sinyal untuk pergerakkan dan
koordinasi otot tidak ditrasmisikan ke spinal cord, saraf dan otot sehingga
serabut motorik pada sistem saraf mengalami gangguan untuk mengontrol
kekuatan dan pergerakan serta dapat mengakibatkan terjadinya kecacatan
pada pasien stroke (Frasel, Burd, Liebson, Lipschick & Petterson, 2008).
Iskemia pada otak juga dapat mengakibatkan terjadinya defisit neurologis
(Smeltzer & Bare, 2010).

Pathway

7
Penyebab stroke
(kerusakan system saraf pusat, kekakuan otot dll)

Aterosklerosis (elastisitas Kepekatan darah Pembentukan


trombus
pembuluh darah menurun) meningkat

Obstruksi thrombus di otak

Penurunan darah ke otak

Hipoksia cerebri

Infark jaringan otak

Kerusakan pusat gerakan Kelemahan pada nervus Per


motorik di lobus frontalis V, VII, IX, X uba
Hemisphare/Hemiplagia han
pers
epsi
Penurunan kemampuan sens
Gang otot mengunyah/menelan ori
guan Mobilitas menurun
mobi
litas Tirah baring
fisk Gang Keseimb
guan angan
refle nutrisi
Risik Defis k kurang
o it men dari
kerus pera elan kebutuh
akan wata an
integ n diri tubuh
ritas
kulit

E. Pemeriksaan Penunjang

8
Menurut Feigin (2011), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah dengan teknik pencitraan diantaranya yaitu:
1. CT scan
Untuk mendeteksi perdarahan intra kranium, tapi kurang peka untuk
mendeteksi stroke non hemoragik ringan, terutama pada tahap paling
awal. CT scan dapat memberi hasil tidak memperlihatkan adanya
kerusakan hingga separuh dari semua kasus stroke non hemoragik.
2. MRI (Magnetic resnance imaging)
Lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi
stroke non hemoragik ringan, bahkan pada stadium dini, meskipun tidak
pada setiap kasus. Alat ini kurang peka dibandingkan dengan CT scan
dalam mendeteksi perdarahan intrakranium ringan.
3. Ultrasonografi dan MRA (Magnetic resonance angiography)
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi
(menggunakan gelombang suara untuk menciptakan citra), MRA
digunakan untuk mencari kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan
di arteri utama, MRA khususnya bermanfaat untuk mengidentifikasi
aneurisma intrakranium dan malformasi pembuluh darah otak.
4. Angiografi otak
Angiografi otak merupakan penyuntikan suatu bahan yang tampak
dalam citra sinar-X ke dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-
X kemudian dapat memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di leher
dan kepala.

F. Komplikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2010), komplikasi stroke meliputi hipoksia
serebral, penurunan aliran darah serebral, dan embolisme serebral.

1. Hipoksia serebral
Fungsi otak bergantung pada kesediaan oksigen yang dikirimkan ke
jaringan. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi

9
adekuat ke otak. Pemberian oksigen, mempertahankan hemoglobin serta
hematokrit akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Penurunan aliran darah serebral
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung,
dan integrasi pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat cairan intravena,
memerbaiki aliran darah dan menurunkan viskositas darah. Hipertensi atau
hipotensi perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3. Emolisme serebral
Terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium. Embolisme akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran
darah ke serbral. Disritmia dapat menimbulkan curah jantung tidak
konsisten, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus segera
diperbaiki.

G. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer & Bare (2010), untuk penatalaksanaan penderita
stroke fase akut jika penderita stroke datang dengan keadaan koma saat
masuk rumah sakit dapat dipertimbangkan mempunyai prognosis yang
buruk. Penderita sadar penuh saat masuk rumah sakit menghadapi hasil
yang dapat diharapkan. Fase akut berakhir 48 sampai 72 jam dengan
mempertahankan jalan napas dan ventilasi adekuat adalah prioritas pada
fase akut ini. Penatalaksanaan dalam fase akut meliputi:
1. Penderita ditempatkan pada posisi lateral dengan posisi kepala tempat
tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang.
2. Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik perlu untuk penderita dengan
stroke masif, karena henti napas dapat menjadi faktor yang mengancam
kehidupan pada situasi ini.
3. Pantau adanya kompliaksi pulmonal seperti aspirasi, atelektasis,
pneumonia yang berkaitan dengan ketidakefektifan jalan napas,
imobilitas atau hipoventilasi.

10
4. Perikasa jantung untuk mengetahui ada tidaknya abnormalitas dalam
ukuran dan irama serta tanda gagal jantung kongetif.
Tindakan medis terhadap penderita stroke meliputi pemberian diuretik
untuk menurunkan edema serebral, yang mencapai tingkat maksimum tiga
sampai lima hari setelah infark serebral. Antikoagulan diresepkan untuk
mencegah terjadinya atau memberatnya trombosis atau embolisasi dari
tempat lain dalam sistem kardiovaskular. Medikasi anti trombosit dapat
diresepkan karena trombosit berperan penting dalam mencegah
pembentukan trombus dan embolisasi.
Setelah fase akut berakhir dan kondisi pasien stroke stabil dengan
jalan nafas adekuat pasien bisa dilakukan rehabilitasi dini untuk mencegah
kekakuan pada otot dan sendi pasien serta membatu memperbaiki fungsi
motorik dan sensori yang mengalami gangguan untuk mencegah terjadinya
komplikasi (Smeltzer & Bare, 2010).

H. Pengkajian Fokus
Menurut Muttaqin (2008), anamnesa pada stroke diantaranya
meliputi :
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal
dan MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan kleien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi,dan penurunan tingkat kesadaran.

3. Data riwayat kesehatan


a. Riwayat kesehatan sekarang

11
Serangan stroke berlangsuung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas ataupun sedang beristirahat.
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai
tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain.
b. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat steooke sebelumnya,
diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,
kontrasepsi oral yang lama, penggunaan anti kougulan, aspirin,
vasodilatator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
c. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,
diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi
terdahulu.
4. Riwayat psikososial dan spiritual
Peranan pasien dalam keluarga, status emosi meningkat, interaksi
meningkat, interaksi sosial terganggu, adanya rasa cemas yang
berlebihan, hubungan dengan tetangga tidak harmonis, status dalam
pekerjaan. Dan apakah klien rajin dalam melakukan ibadah sehari-hari
5. Aktivitas sehari-hari.
a. Nutrisi
Klien makan sehari-hari apakah sering makan makanan yang
mengandung lemak, makanan apa yang ssering dikonsumsi oleh
pasien, misalnya: masakan yang mengandung garam, santan,
goreng-gorengan, suka makan hati, limpa, usus, bagaimana nafsu
makan klien.
b. Minum
Apakah ada ketergantungan mengkonsumsi obat, narkoba, minum
yang mengandung alcohol.
c. Eliminasi

12
Pada pasien stroke hemoragik biasanya didapatkan pola eliminasi
BAB yaitu konstipasi karena adanya gangguan dalam mobilisasi,
bagaimana eliminasi BAK apakah ada kesulitan, warna, bau, berapa
jumlahnya, karena pada klien stroke mungkn mengalami
inkotinensia urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik
dan postural.
6. Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hemato atau
riwayat operasi.
b. Mata
Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus
optikus (nervus II), gangguan dalam mengangkat bola mata (nervus
III), gangguan dalam memotar bola mata (nervus IV) dan gangguan
dalam menggerakkan bola mata kelateral (nervus VI).
c. Hidung
Adanya gangguan pada penciuman karena terganggu pada nervus
olfaktorius (nervus I).
d. Mulut
Adanya gangguan pengecapan (lidah) akibat kerusakan nervus
vagus, adanya kesulitan dalam menelan
e. Dada
Inspeksi : Bentuk simetris
Palpasi : Tidak adanya massa dan benjolan
Perkusi : Nyeri tidak ada bunyi jantung lup-dup
Auskultasi : Nafas cepat dan dalam, adanya ronchi, suara
jantung I dan II murmur atau gallop

f. Abdomen

13
Inspeksi : Bentuk simetris, pembesaran tidak ada
Auskultasi : Bisisng usus agak lemah
Perkusi : Nyeri tekan tidak ada, nyeri perut tidak ada
g. Ekstremitas
Pada pasien dengan stroke hemoragik biasnya ditemukan hemiplegi
paralisis atau hemiparase, mengalami kelemahan otot dan perlu juga
dilkukan pengukuran kekuatan otot, normal : 5
Pengukuran kekuatan otot menurut (Arif Mutaqqin, 2008)
1. Nilai 0 : Bila tidak terlihat kontraksi sama sekali
2. Nilai 1 : Bila terlihat kontraksi dan tetapi tidak ada gerakan pada
sendi
3. Nilai 2 : Bila ada gerakan pada sendi tetapi tidak bisa melawan
grafitasi
4. Nilai 3 : Bila dapat melawan grafitasi tetapi tidak dapat melawan
tekanan pemeriksaan
5. Nilai 4 : Bila dapat melawan tahanan pemeriksaan
tetapi kekuatanya berkurang
6. Nilai 5 : bila dapat melawan tahanan pemeriksaan dengan
kekuatan penuh

I. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perpusi jaringan otak berhubungan dengan perdarahan
intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
akumulasi secret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas
fisik sekunder, dan perubahan tingkat kesadaran.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemipearese atau
hemiplagia, kelemahan neuromoskuler pada ekstremitas.
4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang
lama.

14
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler,
menurunya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot atau
koordinasi di tandai oleh kelemahan untuk ADL, seperti makan, mandi
dll.

J. Intervensi
1. Perubahan perpusi jaringan otak berhubungan dengan perdarahan
intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak
Intervensi
1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab
peningkatan TAK dan akibatnaya
Rasional: keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan
2) Baringkan klien (bed rest) total dengan posisi tidur telentang tanpa
bantal.
Rasional : monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS
3) Monitor tanda-tanda vital
Rasional : untuk mengetahui
4) Bantu pasien untuk membtasi muntah, batuk,anjurkan klien
menarik nafas apabila bergerak atau berbalik dari tempat tidur
keadaan umum klien
Rasional : aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intracranial
dan intraabdoment dan dapat melindungi diri diri dari valsava
5) Ajarkan klien untuk mengindari batuk dan mengejan berlebihan
Rasional : Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan
intrkranial dan poteensial terjadi perdarahan ulang
6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
Rasional : rangsangan aktivitas dapat meningktkan tekanan
intracranial
7) Kolaborasi : pemberian terapi sesuai intruksi dokter, seperti:
steroid, aminofel, antibiotika

15
Rasional : tujuan yang di berikan dengan tujuan: menurunkan
premeabilitas kapiler,menurunkan edema serebri,menurunkan
metabolic sel dan kejang.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan


akumulasi secret, kemampuan batuk menurun, penurunan mobilitas
fisik sekunder, dan perubahan tingkat kesadaran
Intervensi
1) Kaji keadaan jalan nafas
Rasional : obstruksi munkin dapat di sebabkan oleh akumulasi secret
2) Lakukan pengisapan lendir jika d perlukan
Rasional : pengisapan lendir dapay memebebaskan jalan nafas dan
tidak terus menerus di lakukan dan durasinya dapat di kurangi untuk
mencegah hipoksia
3) Ajarkan klien batuk efektif
Rasional : batuk efektif dapat mengeluarkan secret dari jalan nafas.
4) Lakukan postural drainage perkusi/penepukan
Rasional : mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran
secret.
5) Kolaborasi : pemberian oksigen 100%.
Rasional : denagn pemberiaan oksigen dapat membantu pernafasan
dan membuat hiperpentilasi mencegah terjadinya atelaktasisi dan
mengurangi terjadinya hipoksia

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemipearese atau


hemiplagia, kelemahan neuromoskuler pada ekstremitas
Intervensi
1) Kaji kemampuan secara fungsional dengan cara yang teratur
klasifikasikan melalui skala 0-5
Rasional : untuk mengidentifikasikan kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan

16
2) Ubah posisi setiap 2 jam dan sebagainya jika memungkinkan bisa
lebih sering.
Rasional : menurunkan terjadinya terauma atau iskemia jaringan
3) Lakukan gerakan ROM aktif dan pasif pada semua ekstremitas
Rasional : meminimalkan atropi otot, meningkatkan sirkulasi dan
mencegah terjadinya kontraktur
4) Bantu mengembangkan keseimbangan duduk seperti meninggikan
bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di sisi tempat tidur.
Rasional : membantu melatih kembali jaras saraf,meningkatkan
respon proprioseptik dan motorik.
5) Konsultasi dengan ahli fisiotrapi
Rasional : program yang khusus dapat di kembangkan untuk
menemukan kebutuhan klien

4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang


lama
Intervensi
1) Anjurkan klien untuk melakukan latihan ROM dan mobilisasi jika
munkin
Rasional : meningkatkan aliran darah ke semua daerah
2) Ubah posisi setiap 2 jam
Rasional : menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah.
3) Gunakan bantal air atau bantal yang lunak di bawah area yang
menonjol
Rasional : mengindari tekanan yang berlebihan pada daerah yang
menonjol
4) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami
tekanan pada waktu berubah posisis
Rasional : mengindari kerusakan kapiler
5) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar
terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi

17
Rasional : hangan dan pelunakan merupakan tanda kerusakan
jaringan
6) Jaga kebersihan kulit dan hidari seminimal munkin terauma,panas
terhadap kulit.
7) Rasional : untuk mempertahankan ke utuhan kulit

5. Defisist perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler,


menurunya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot atau
koordinasi di tandai oleh kelemahan untuk ADL, seperti makan, mandi
dll.
Intervensi
1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0 – 4 untuk
melakukan ADL
Rasional : membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan
pertemuan kebutuhan individu
2) Hindari apa yang tidak dapat di lakukan oleh klien dan bantu bila
perlu
Rasional : klien dalam keadaan cemas dan tergantung hal ini di
lakukan untuk mencegah frustasi dan harga diri klien
3) Menyadarkan tingkah laku atau sugesti tindakan pada perlindungan
kelemahan. Pertahankan dukungan pola pikir dan izinkan klien
melakukan tugas, beri umpan balik yang positif untuk usahanya

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F.B., 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Bulechek, M. Gloria,dkk., 2013. Nursing Interventions Classification (NIC), 6th


edition. Missouri: Mosby Elsevier.

18
Feigin, V., 2011. Panduan Bergambar Tentang Pencegahan Dan Pemulihan
Stroke. Jakarta: PT. Bhuana ilmu populer.

Ginsberg, L., 2008. Lecture Notes: Neurologi, Edisi 8. Hal 92-93. Jakarta: Erlangga
Medical Series.
Herdman, T.H., 2015. North American Nursing Diagnosis Association (NANDA).
Jakarta : EGC.
Morhead, Sue, dkk., 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran
Outcomes Kesehatan, 5th edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Muttaqin, A., 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
sistem persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Pudiastuti, R. D., 2011. Penyakit Pemicu Stroke. Yogyakarta: Nuha Medika.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G., 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta
: EGC.
Widjaja, A.C., 2010. Uji Diagnostik Pemeriksaan Kadar D-Dimer Plasma Pada
Diagnosis Stroke Iskemik. UNDIP. Semarang.
http://eprints.undip.ac.id/24037/1/Andreas_Christian_Widjaja.pdf
(diakses pada 29 Mei 2018).
Yayasan Stroke Indonesia, 2012. Indonesia Tempati Urutan Pertama Didunia
Dalam Jumlah Terbanyak Penderita Stroke.
http://www.yastroki.or.id/read.php?id=341 (diakses pada 29 Mei 2018)

19

Anda mungkin juga menyukai