Anda di halaman 1dari 11

MELIOIDOSIS

KELOMPOK 2
Khonsa’ B04150014
Falih Prenata Saukhan B04150015
Irda Khaeriyah B04150017
Inggita Anindita B04150018
Siti Rabi’ah B04150019
Dwi Oktaviyanti B04150020
Panji Andhika Maharta B04150021
SM Leluala B04150022

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DAN KESEHATAN MASYARAKAT


VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Melioidosis atau pseudoglanders adalah suatu penyakit yang
menyerupai glanders, menyerang berbagai jenis hewan dan manusia yang
dapat bersifat ringan, kronik, atau septikemik. Penyakit ini ditemukan pada
tahun 1911 oleh Kapten Alfred Whitmore (Princes et al. 2017). Melioidosis
merupakan penyakit infeksi yang menyerang manusia dan beberapa spesies
hewan akibat bakteri gram negatif Burkholderia pseudomallei. Penyakit ini
endemik di Australia Utara dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, namun
kasusnya masih bersifat sporadik. Jenis hewan yang peka terhadap
melioidosis adalah satwa primata, sapi, domba, kambing, babi, anjing,
kucing, dan rodensia. Lingkungan yang disukai oleh agen penyakit adalah
tanah yang berair. Oleh karena itu penyakit ini cenderung terjadi pada musim
hujan, terutama pada waktu petani bekerja di sawah untuk menanam padi.
Petani termasuk mempunyai resiko tinggi tertular melioidosis (Tauran et al.
2015).
Burkholderia pseudomallei biasanya ditemukan di tanah dan air pada
area persawahan atau peternakan yang endemik dan mampu menginfeksi
manusia melalui inokulasi perkutan setelah terpapar tanah berlumpur atau air
(Currie 2015). Selain itu, paparan bisa juga terjadi secara peroral dan seksual.
Melioidosis memiliki keragaman manifestasi klinis, mencakup infeksi tanpa
gejala, ulkus kulit lokal atau abses, pneumonia kronis yang tampak seperti
tuberkulosis, dan syok sepsis dengan abses pada beberapa organ dalam.
Dengan beragamnya manifestasi klinis yang dapat mempengaruhi hampir
semua organ tubuh sehingga sulit untuk dibedakan dengan penyakit lain maka
melioidosis sering disebut dengan “The Great Imitator”. Namun, berdasarkan
hasil penelitian, manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah
pneumonia, yaitu sekitar 50% kasus.
Pneumonia melioidosis akut memiliki ciri batuk yang lebih dominan,
dengan dahak produktif dan dispnea serta berisiko terjadi syok septik
fulminan (kematian hingga 90%). Untuk mendiagnosis penyakit ini,
diperlukan identifikasi lebih lanjut dengan menggunakan matrix assisted
laser desorption/ionization time-of-flight (MALDI-TOF) mass spectrometry
systems. Uji ELISA dan tes serologis lainnya juga dapat dilakukan, namun
pada melioidosis septikikemia akut, hasil uji ELISA seringkali awalnya
negatif tetapi pengujian berulang mungkin menunjukkan serokonversi. Dari
beberapa laporan kasus, pengobatan infeksi B. pseudomallei terdiri dari dua
fase yaitu fase akut dengan pemberian ceftadizime dan carbapenem.
Sedangkan untuk fase eradikasi dapat diberikan co-trimoxazole.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa etiologi dari penyakit melioidosis?
b. Bagaimana epidemiologi penyakit melioidosis?
c. Bagaimana patogenesa dan gejala klinis penyakit melioidosis?
d. Bagaimana cara mendiagnosa penyakit melioidosis?
e. Bagaimana upaya pengobatan dan pencegahan yang dapat dilakukan
terhadap penyakit melioidosis?
1.3 Tujuan
a. Mengetahui etiologi dari penyakit melioidosis
b. Mengetahui epidemiologi penyakit melioidosis
c. Mengetahui patogenesa dan gejala klinis penyakit melioidosis
d. Mengetahui cara mendiagnosa penyakit melioidosis
e. Mengetahui upaya pengobatan dan pencegahan yang dapat dilakukan
terhadap penyakit melioidosis

PEMBAHASAN
2.1 Etiologi Penyakit
Penyakit melioidosis disebabkan oleh bakteri Burkholderia
pseudomallei. Burkholderia pseudomallei adalah bakteri gram negatif
berbentuk batang, berperan sebagai saprofit, patogen opurtunistik, hidup di
bawah permukaan tanah pada musim kering tetapi setelah curah hujan yang
deras ditemukan dalam permukaan air dan lumpur serta juga dapat naik di
udara.
Genom B. pseudomallei mengandung banyak gen dengan karakteristik
yang berbeda, yang dapat dilihat pada pola lingkungan hidup, patogenisitas
dan interaksi antara sel-host. Analisis komparatif B. pseudomallei dan B.
mallei telah mengidentifikasi banyak nya Coding Sequence (CDS) yang dapat
berkontribusi pada perbedaan fenotipik antara dua spesies. Fenotip ini
meliputi faktor-faktor penentu virulensi yang dikenal, seperti flagela dan tipe
III sistem sekresi protein. Penentu resistensi antibiotik dan potensi fungsi
kelangsungan hidup lingkungan, termasuk berbagai jalur metabolit sekunder,
jalur katabolik, sistem transportasi, dan protein stres-respon (Howard dan
Inglis 2003).
Salah satu keistimewaan dari bakteri B. pseudomallei adalah memiliki
keragaman genetik yang menimbulkan variasi sifat fenotip dan genotip.
Adanya variasi genetik pada salah satu gen dari B. pseudomallei
menimbulkan perbedaan sifat virulensi yang berbeda pada strain yang hidup
pada lingkungan yang berbeda (Gibney et al. 2008).
Perbedaan dari substrain B. pseudomallei terutama ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengasimilasi arabinose. Burkholderia pseudomallei
mempunyai dua substrain yaitu strain yang mampu mengasimilasi L-
arabinose +(Ara) dan tidak mampu mengasimilasi L-arabinose (Ara-). Sifat
ini berhubungan dengan faktor virulensi kuman (Gibney et al. 2008). Laporan
oleh Inglis et al., (2006) menunjukan bahwa Strain Ara- atau B. pseudomallei
yang tidak mampu mengesimilasi L-arabinosa lebih virulen dari pada strain
Ara+ yang dapat mengasimilasi L-arabinosa.
Selain itu dilaporkan oleh Inglis et al. (2006) dalam penelitiannya
bahwa keberadaan dari gen Ara ternyata berhubungan erat sifat virulensi dari
kuman ini. Burkholderia pseudomallei yang mempunyai gen Ara+ ternyata
bersifat avirulen sedangkan kuman yang mempunyai gen Ara- ternyata sangat
virulen. Dan memperlihatkan ada hubungan yang signifikan antara gen Ara
dengan kemampuan virulensi sehingga menimbulkan penyakit melioidosis.
2.2 Epidemiologi Penyakit
Penyakit melioidosis dapat ditemukan di daerah tropis di seluruh dunia
terutama di Asia Tenggara dan Australia sebelah utara. Setiap tahunnya
dilaporkan terjadi peningkatan jumlah penderita meliodosis di beberapa
negara seperti Thailand, Malaysia, dan Amerika Selatan. Menurut Currie
(2003) kasus melioidosis di Australia biasanya terjadi di daerah Top End di
Northern Territory (NT), di Queensland bagian ujung utara dan di daerah
Kimberley di Australia bagian barat. Kadang-kadang kasus dapat ditemukan
di bagian NT yang lebih ke selatan sampai daerah Tennant. Kejadian
meliodosis juga dilaporkan di Malaysia dan Singapura sejak tahun 1913 serta
di Vietnam tahun 1925. Kasus yang sama juga ditemukan pada beberapa
daerah tropis seperti India, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
Jumlah kasus yang dilaporkan di Thailand sekitar 2000-3000 kasus setiap
tahunnya (Chierakul 2005). Pada tahun 1975, Balai Pendidikan Penyakit
Hewan Wilayah VII Maros mengisolasi penyebab penyakit melioidosis di
salah satu ranch peternakan di Mahwa kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan
(Dwyana 2010). Strain yang ditemukan memiliki perbedaan dengan isolat
yang ditemukan di Australia. Kasus pada manusia dilaporkan di Makasar
sekitar tahun 1954.
2.3 Patogenesa dan Gejala Klinis
B. Pseudomallei sering ditemukan dalam air dan tanah di daerah
endemik. Manusia dan hewan terinfeksi melalui kontak kulit dengan tanah
yang terkontaminasi B. pseudomallei terutama pada kulit yang mengalami
abrasi, juga dapat melalui inhalasi, maupun tertelan. Infeksi yang didapat dari
laboratorium pernah ditemukan sedangkan penyebaran dari manusia ke
manusia dan infeksi dari hewan ke manusia sangat jarang terjadi (Currie et al.
2015) Masa inkubasi meliodosis berkisar antara 1-21 hari dengan rata-rata
sembilan hari (Dance 2014).
Pembentukan penyakit ini secara alami sama dengan Malleus, yaitu
dengan diawali septisemia atau bakterimia dan lokalisasi pada berbagai
organ. Secara eksperimen, meliodosis pada hewan ditandai oleh adanya
septisemia dengan mikroabses yang menyebar luas setelah disuntik secara
intra-peritoneal dan bila secara subkutan maka terbentuk penyakit yang kronis
disertai abses pada paru-paru dan limpa.
Banyak abses di sebagian besar organ, terutama di sistem pernapasan,
termasuk ke dalam paru-paru, limpa, dan hati. Abses juga terjadi di bagian
subkutan dna limfonodus yang merupakan ciri dari penyakit ini. Pada domba,
abses ini mengandung nanah berwarna hijau yang kental atau mengeju. Lesi-
lesi pada mukosa hidung bisa menjadi robek dengan pembentukan ulser yang
kasar polyarthritis akut dengan pembengkakan kapsul persendian oleh cairan
yang mengandung nanah kehijauan dalam jumlah banyak dan
meningocephalitis akut juga dapat ditemukan (Efendi 2014).
Gambar 1. Patogenesa Meliodosis (Currie et al. 2015)

Melioidosis pada rodensia termasuk sangat fatal yang ditandai dengan


adanya kelemahan, demam serta keluar lendir dari mata dan hidung. Gejala
melioidosis dapat berlangsung selama 2 sampai 3 bulan. Pada domba gejala
yang utama terjadi ialah kelemahan dan berbaring yang diikuti dengan
kematian dalam kurun waktu 1 sampai 7 hari. Pada domba yang diinfeksi
sebagai hewan percobaan, muncul gejala demam yang disertai anoreksia,
tidak dapat berjalan normal, serta keluar eksudat kuning kental dari hidung
dan mata. Sebagian hewan menunjukkan gangguan pada sistem saraf pusat
yaitu cara berjalan atau berlari yang tidak normal, berjalan berputar-putar,
menggelengkan kepala, kebutaan, dan kejang-kejang (Subronto dan Tjahajati
2008).
Gejala pada kambing menyerupai bentuk akut pada domba, tetapi lebih
sering berlangsung kronis. Pada babi penyakit ini biasanya kronis dan
ditandai dengan cervical lymphadentis tapi pada sebagian outbreak tanda-
tandanya sama dengan spesies lain. Pada suatu outbreak terjadi kelumpuhan
sementara dibagian posterior, demam, batuk, ingus dari hidung dan lendir dari
mata, anoreksia, keguguran, dan kadang-kadang berakhir dengan kematian
(Subronto 2008). Sedangkan pada kuda terjadi penumonia metastasis akut
disertai demam tinggi dan berlangsung singkat. Sedikit batuk dan tidak
adanya respon terhadap sebagian jenis obat yang digunakan dalam
pengobatan. Gejala klinis lain pada kuda meliputi septisema, hiperemi,
oedema, kolik, diare, dan lymphangitis pada kaki. Pada kasus subakut dapat
menjadi lemah, kurus, dan terbentuk oedema. Kuda yang terserang penyakit
ini dapat hidup beberapa bulan.
2.4 Diagnosa
Diagnosa penyakit melioidosis dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi mikroorganisme yang terdapat dalam darah, pus, swab
tenggorokan, sputum, urin, atau spesimen lainnya yang sesuai dengan
gambaran klinis. Mikroskopik dari pewarnaan gram dapat terlihat bentuk
batang bipolar (seperti peniti) gram-negatif, namun pewarnaan gram memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah (Peacock 2011).
Konfirmasi diagnosis melioidosis sangat bergantung pada laboratorium
mikrobiologi klinik, dan secara khusus untuk mendapatkan isolat B.
pseudomallei dari kultur darah, dahak, cairan serebrospinal, atau spesimen
lainnya. Jumlah bakteri dalam darah vena (CFU/mL) dapat mencapai jumlah
yang tinggi selama septikemia dan B. pseudomallei dapat tumbuh dengan
baik, sehingga metode kultur darah konvensional merupakan cara yang
efektif untuk menegakkan diagnosis bakteriologis. Sampel dari tempat yang
tidak steril biasanya kurang membantu karena jumlah B. pseudomallei
mungkin jauh lebih rendah, dan pertumbuhannya dapat terhambat oleh
sejumlah besar spesies bakteri komensal. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan
penggunaan agar selektif untuk menekan pertumbuhan bakteri komensal.
Media yang dapat digunakan adalah Agar Selektif Ashdown (ASA) atau Agar
Selektif B. pseudomallei (BPSA) (Inglis et al. 2006).
B. pseudomallei tumbuh secara aerob di laboratorium dan koloninya
dapat terlihat jelas dalam waktu 48 jam pada media selektif pada suhu 37°C.
ASA merupakan agar selektif yang mengandung kristal violet, gliserol, dan
gentamisin (White 2013). Media ini sering digunakan untuk kultur B.
pseudomallei.
Diagnosa penyakit melioidosis dilakukan dengan mendeteksi
keberadaan DNA B. pseudomallei, maupun keberadaan antigen dan antibodi
terhadap B. pseudomallei.
a. Deteksi Antigen dan Asam Nukleat
Beberapa teknik diagnostik cepat untuk deteksi antigen B. pseudomallei
telah dikembangkan, tetapi sebagian besar memiliki sensitivitas yang
kurang optimal bila digunakan secara langsung pada sampel klinis
dan/atau teknik ini tidak tersedia secara luas. Uji Polymerase Chain
Reaction (PCR) konvensional yang menargetkan gen 16S rRNA untuk
mendeteksi B. pseudomallei pada spesimen klinis dilaporkan memiliki
sensitivitas diagnostik yang tinggi, tetapi spesifisitasnya kurang. Beberapa
uji real-time PCR telah dikembangkan, dan dua di antaranya telah
mengalami evaluasi klinis untuk deteksi B. pseudomallei pada spesimen
klinis. Salah satu uji memiliki sensitivitas diagnostik 91%, tetapi yang
kedua memiliki sensitivitas yang jauh lebih rendah, yaitu 61%. Sensitivitas
diagnostik PCR tertinggi pada spesimen pus dan yang rendah pada
spesimen darah. Loop-mediated isothermal amplification (LAMP) juga
telah dikembangkan untuk mendeteksi B. pseudomallei, dan pada evaluasi
klinis terbukti memiliki sensitivitas diagnostik 44%. Saat ini, diagnostik
molekuler tidak cukup sensitif untuk menggantikan peran kultur untuk
menegakkan diagnosis melioidosis (Peacock 2011).
b. Deteksi Antibodi
Uji sero-diagnosis yang paling banyak digunakan di daerah endemik
adalah uji hemaglutinasi tidak langsung (IHA) dan Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA). Uji ini kurang standar, dan ada variasi
antarlaboratorium yang cukup besar antara titer yang dianggap positif.
Pada fase akut uji IHA dan ELISA seringkali negatif. IHA dan tes serologi
lain yang saat ini tersedia tidak bermanfaat di daerah endemik melioidosis,
karena populasi penduduk yang sehat sering sero-positif. Pengujian
serologi mungkin memiliki utilitas diagnostik yang lebih besar pada orang
yang biasanya tidak berada di daerah endemik melioidosis, termasuk
pekerja laboratorium yang terpapar B. pseudomallei. Perbedaan titer IHA
telah digunakan untuk menyimpulkan hasil yang positif, tetapi
peningkatan titer tunggal (> 1: 40) atau kenaikan titer pada seseorang dari
daerah non-endemik, dapat mengarahkan adanya infeksi B. pseudomallei.
Hasil tes serologi negatif tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi,
karena didapatkan juga beberapa pasien dengan melioidosis yang terbukti
dengan kultur, tetapi tidak memiliki antibodi yang terdeteksi (Dance
2014).
2.5 Upaya Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan terhadap penderita penyakit melioidosis dilakukan dengan
memberikan terapi antibiotik. Pengobatan terdiri atas dua fase: fase akut,
yang tujuannya adalah untuk mengurangi angka kematian, dan fase eradikasi,
yang tujuannya untuk mengurangi risiko kambuhnya penyakit tersebut.
Pemberian antibiotik intravena pada manusia yang sesuai secara dini telah
menunjukkan penurunan angka kematian yang signifikan. Ceftazidime adalah
antibiotik pertama yang menunjukkan penurunan angka kematian yang jelas.
Imipenem dan meropenem telah terbukti sama efektifnya dengan ceftazidime.
Setelah terapi parenteral, pemberian antibiotik oral diperlukan untuk
mencegah kekambuhan, yang dapat terjadi pada 23% kasus, dan lebih sering
terjadi pada kasus yang berat (Dharmawan et al. 2017). Untuk terapi oral
eradikasi direkomendasikan menggunakan trimethoprim sulphamethoxazole
ditambah dengan doxycycline (Inglis et al. 2006; Peacock dan Dance 2011).
Hanya sedikit informasi mengenai pengobatan yang memuaskan
terhadap melioidosis pada hewan. Antibiotik yang dianggap paling efektif
yaitu rifampicin, chloramphenicol dan tetracycline, sedangkan ampicillin dan
kanamycin dianggap kurang efektif. Pengendalian melioidosis dilakukan
dengan memberantas hewan yang telah terinfeksi dan desinfeksi terhadap
kandang serta peralatan pada daerah yang sudah tertular dan juga pada daerah
sekitarnya (Efendi dan Hidayah 2014).

SIMPULAN
Melioidosis merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri
Burkholderia pseudomallei dan bersifat zoonosis. Melioidosis dapat
ditransmisikan secara perkutan dan peroral. Penyakit ini dicirikan dengan
terbentuknya lesio perkejuan pada hati, limpa, dan limfonodus. Diagnosa penyakit
dilakukan dengan mengidentifikasi mikroorganisme yang terdapat dalam darah,
pus, swab tenggorokan, sputum, mapun urin. Uji serologis dapat dilakukan untuk
mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi terhadap bakteri B.
pseudomallei. Pengobatan terhadap penderita dilakukan dengan memberikan
terapi antibiotik yang bertujuan mengurangi angka kematian dan mengurangi
risiko kambuhnya penyakit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Currie BJ. 2003. Intensitify of rainfall and severity of meliodosis. Emerg Infect
Disc. 9: 1538.
Currie BJ. 2015. Burkholderia pseudomallei dan Burkholderia mallei:
Melioidosis and Glanders. Dalam: Bennet JE, Dolin R, Blaser MJ. (Ed.).
Mandell, Douglas, and Bennet’s Principles and Practice of Infectious
Disease Edisi VIII. Philadelphia(US): Elsevier.
Chierakul W, Winothai W, Wattanawaaaaaitunechal C. 2005. Meliodosis in 6
tsunami survivors in Southerh Thailand. Thailand. Clin Ifect Disc. 41:
982-990.
Currie BJ, Mandel, Douglas. 2015. Principles and Practice of Infection Disease.
London (UK): Elsevies Saunders.
Dance DAB. 2014. Meliodiosis. London (UK): Elsevies Saunders.
Dharmawan A dan Monica CA. 2017. Diagnosis dan penatalaksanaan melioidosis.
Jurnal Kedokteran Meditek. https://ejournal.ukrida.ac.id/
ojs/index.php/Ked/article/view/1258. Diakses 4 Maret 2018.
Dwyana. 2010. Distribusi Burkolderoa Pseudomallei Isolat Tanah di Makasar
dan Deteksi Strain Virulen Gen AraPenyebab Penyakit Meliodosis.
Makassar(ID): Universitas Hasanudin Press.
Efendi N. Hidayah, Kartika, Lubis A, Pudjiatmoko A, Syafrison, Saudah,
Yohana, Yulianti. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta(ID):
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Gibney KB, Cheng AC, Currie BJ. 2008. Cutaneous melioidosis in the tropical top
end of Australia: a prospective study and review of the literature. Clinical
Infectious Diseases. 47(1): 603–609.
Howard K, Inglis TJJ. Novel selective medium for isolation of Burkholderia
pseudomallei. Journal Of Clinical Microbiology. 23(1): 3312–3316.
Inglis TJJ, Rolim DB, Rodriguez JLN. 2006. Clinical guideline for diagnosis and
management of melioidosis. Rev. Inst. Med. trop. S. Paulo. 48(1): 1-4.
Peacock SJ dan Dance DAB. 2011. Melioidosis. Tropical Infectious Disease:
Principles, Pathogens and Practice, Third Edition. Amsterdam(NL):
Elsevier.
Princess I, Ebenezer R, Ramakrishnan N, Daniel AK, Nandini S, Thirunarayan
MA. 2017. Melioidosis: an emerging infection with fatal outcomes. Indian
Journal of Critical Care Medicine. 21(6): 397-400.
Subronto dan Tjahajati. 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi
Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokines Farmakologi Klinis.
Yogyakarta(ID): UGM Press.
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit
(Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion.
Yogyakarta(ID): UGM Press.
Tauran PM, Sennang N, Rusli B, Wiersinga WJ, Dance D, Arif M,
Limmathurotsakul D. 2015. Emergence of melioidosis in Indonesia. The
American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 93(6): 1160-1163.
White NJ. 2013. Melioidosis and Glanders. Hunter’s Tropical Medicine and
Emerging Infectious Disease. Ninth Edition. Elseviers.

Anda mungkin juga menyukai