Anda di halaman 1dari 21

PENGELOLAAN KUALITAS AIR

MENGGUNAKAN SISTEM AKUAPONIK


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengelolaan Kualitas Air

Disusun Oleh : Kelompok 2

Sri Sundari 230110164001


Muadz Abdan S 230110164005
Indah Kurniasih 230110164026

PROGRAM STUDI PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmannirrahim, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,


yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
paper yang membahas tentang “Pengelolaan Kualitas Air menggunakan Sistem
Akuaponik” ini, untuk memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah Pengelolaan
Kualitas Air, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.

Dengan selesainya penulisan paper ini, penulis berterimakasih kepada semua pihak
yang membantu dan mendukung penulis dalam proses penyusunan dan pembuatannya.

Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yth. Dosen Pengampu mata kuliah Pengelolaan Kualitas Air

2. Orang tua yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis;

3. Teman-teman kelompok 2 (dua) dan semua pihak yang telah membantu penyusunan
paper ini.

Akhirnya penulis dapat menyelesaikan paper ini, tidak mudah untuk mencapai
kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, banyak kekurangan dalam
penulisan paper ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca, demi perbaikan paper ini, semoga dapat bermanfaat, umumnya
untuk pembaca, dan khususnya untuk penulis.

1
Pangandaran, Maret 2019

Penulis

DAFTAR ISI

BAB Halaman
KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................ii

I PENDAHULUAN...........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................................1

1.2 Tujuan.........................................................................................................................1

II PEMBAHASAN DAN STUDI KASUS........................................................................2

2.1 Sistem Akuaponik...................................................................................................2

2.2 Mekanisme Sistem Akuaponik dalam Pengelolaan Kualitas Air...........................2

2.3 Studi Kasus tentang Pengelolaan Kualitas Air menggunakan Sistem Akuaponik. 4

2.3.1 Aplikasi Teknologi Akuaponik pada Budidaya Ikan Air Tawar untuk
Optimalisasi Kapasitas Produksi...........................................................................4

2.3.2 Efektivitas Sistem Akuaponik dalam Mereduksi Konsentrasi Amonia pada Sistem
Budidaya Ikan.........................................................................................................6

2.3.3 Pengaruh Teknologi Akuaponik dengan Media Tanam Selada (Lactuca satuva)
yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Belut (Monopterus albus)..........................8

III PENUTUP.....................................................................................................................14

3.1 Kesimpulan...............................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................15

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk
kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang
sering diamati antara lain suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut, karbondioksida,
alkalinitas, kesadahan, fosfat, nitrogen dan lainnya (Imam, 2010). Pengaruh kualitas air
terhadap kegiatan budidaya sangatlah penting, sehingga pengawasan teradap parameter
kualitas air mutlak dilakukan oleh pembudidaya.

Amonia yang ada di perairan berasal dari sisa metabolisme ikan yang terlarut dalam air,
feses ikan, serta dari makanan ikan yang tidak termakan dan mengendap di dasar kolam
budidaya (Pillay, 2004). Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan konsentrasi amonia
meningkat antara lain membusuknya makanan ikan yang tidak termakan, menurunnya
kadar oksigen terlarut pada kolam yang apabila oksigen terlarut berkisar antara 1-5 ppm
mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi lambat sedangkan oksigen terlarut yang kurang
dari 1 ppm dapat bersifat toksik bagi sebagian besar spesies ikan (Rully, 2011).

Secara teknis, sistem akuaponik akan mampu meningkatkan kapasitas produksi


pembudidaya ikan. Hal ini dapat terjadi karena teknologi akuaponik merupakan gabungan
teknologi akuakultur dengan teknologi hydroponic dalam satu sistem untuk
mengoptimalkan fungsi air dan ruang sebagai media pemeliharaan. Teknologi tersebut
telah dilakukan di negara-negara maju, khususnya yang memiliki keterbatasan lahan untuk
mengoptimalkan produktivitas biota perairan.

Dengan adanya makalah tentang pengelolaan air menggunakan sistem akuaponik ini
diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami apa itu sistem akuaponik dan
bagaimana mekanisme kerja sistem akuaponik dalam pengelolaan kualitas air.

1
1.2 Tujuan

Penyusunan tugas “Pengelolaan Kualitas Air menggunakan Sistem Akuaponik” ini


bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengertian sistem akuaponik

2. Memahami mekanisme sistem akuaponik dalam pengelolaan kualitas air

3. Memahami studi kasus tentang pengelolaan kualitas air menggunakan sistem


akuaponik.

2
BAB II
PEMBAHASAN DAN STUDI KASUS
2.1 Sistem Akuaponik

Akuaponik merupakan salah satu cara mengurangi pencemaran air yang dihasilkan oleh
budidaya ikan dan juga menjadi salah satu alternatif mengurangi jumlah pemakaian air
yang dipakai oleh sistem budidaya. Teknologi akuaponik merupakan alternatif yang dapat
diterapkan dalam rangka pemecahan keterbatasan air (Putra, dkk., 2013). Akuaponik
merupakan perpaduan sistem bercocok tanam secara hidroponik dan budi daya ikan.
Dalam akuaponik, air kolam ikan yang sebenarnya merupakan limbah akan dialirkan
secara terusmenerus sebagai nutrisi bagi tanaman yang ditanam dalam media tertentu,
seperti batu, genting, dan arang sehingga berbagai kandungan nutrisi dalam air kolam akan
diserap dan dimanfaatkan tumbuhan sebagai bahan metabolisme selsel tumbuhan tersebut
(Wiguna, 2015).

Terkait dengan hal itu, tanaman berfungsi sebagai biofilter untuk menyerap amonia,
nitrat, nitrit, dan fosfor yang berbahaya untuk ikan (Anonim, 2013). Salam et al. (2014)
mengatakan bahwa penanaman talas, tomat, dan bayam air dapat menghentikan polusi air
dari limbah cair aquakultur. Selain itu, resirkulasi dalam sistem akuaponik juga terbukti
tidak hanya meningkatkan produktivitas tanaman, tetapi juga merupakan sistem yang
bermanfaat untuk menggunakan kembali limbah aquakultur dan dapat melindungi sumber
air di Bangladesh.

Teknologi ini, pada prinsipnya, selain menghemat penggunaan lahan dan air juga
meningkatkan efisiensi usaha melalui pemanfaatan hara dari sisa pakan dan metabolisme
ikan untuk tanaman air serta merupakan salah satu sistem budidaya ikan ramah lingkungan
(Zidni, dkk., 2013).

2.2 Mekanisme Sistem Akuaponik dalam Pengelolaan Kualitas Air

Sistem akuaponik mempunyai prinsip memanfaatkan secara terus menerus air dari
pemeliharaan ikan ke tanaman dan sebaliknya dari tanaman ke kolam ikan. Inti dasar dari
sistem teknologi ini adalah penyediaan air yang optimum untuk masing-masing komoditas

3
dengan memanfaatkan sistem resirkulasi. Sistem teknologi akuaponik ini muncul sebagai
jawaban atas adanya permasalahan semakin sulitnya mendapatkan sumber air yang sesuai
untuk budidaya ikan, khususnya di lahan yang sempit, sehingga akuaponik merupakan
salah satu teknologi hemat lahan dan air yang dapat dikombinasikan dengan berbagai
tanaman sayuran.

Sistem akuaponik tidak dapat dilepaskan dengan proses daur nitrogen dan nitrifikasi
dalam media perairan budidaya. Nitrogen didalam perairan dapat berupa nitrogen organik
dan nitrogen anorganik. Nitrogen anorganik dapat berupa ammonia (NH 3), ammonium
(NH4+), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan molekul Nitrogen (N2) dalam bentuk gas.
Sedangkan nitrogen organik adalah nitrogen yang berasal bahan berupa protein, asam
amino dan urea. Bahan organik yang berasal dari sisa pakan dan faeces ikan akan
mengalami pembusukan mineral yang terlepas dan utama adalah garam-garam nitrogen
(berasal dari asam amino penyusun protein). Proses pembusukan tadi mula-mula terbentuk
amoniak (NH3) sebagai hasil perombakan asam amino oleh berbagai jenis bakteri aerob
dan anaerob. Pembongkaran itu akan menghasilkan suatu gas CO2 bebas, menurut
persamaan reaksinya adalah :
R. CH.NH2.COOH + O2 R. COOH + NH3 + CO2

Bila keadaan perairan semakin buruk, sehingga O 2 dalam air sampai habis, maka secara
perlahan proses pembongkaran bahan organik akan diambil oleh bakteri lain yang terkenal
ialah Nitrosomonas menjadi senyawa nitrit. Reaksi tersebut sebagai berikut
NH3+ HCO3-+ O2+ Phosphorous+trace elements bacterial biomass + NO2-+
H+

Bila perairan tersebut cukup mengandung kation-kation maka asam nitrit yang
terbentuk itu dengan segera dapat dirubah menjadi garam-garam nitrit, oleh bakteri
Nitrobacter, garam-garam nitrit itu selanjutnya dikerjakan lebih lanjut menjadi garam-
garam nitrat, reaksinya sebagai berikut:

NO2-+ HCO3-+ O2+ Phosphorous + trace elements bacterial biomass + NO3-

4
Garam-garam nitrit itu penting sebagai mineral yang diasimilasikan oleh tumbuh-
tumbuhan hijau untuk menyusun asam amino kembali dalam tubuhnya, untuk menbentuk
protoplasma itu selanjutnya tergantung pada nitrit, phitoplankton itu selanjutnya menjadi
bahan makanan bagi organisme yang lebih tinggi. Nitrit tersebut pada suatu saat dapat
dibongkar lebih lanjut oleh bakteri denitrifikasi (yang terkenal yaitu Micrococcus
denitrifikan), bakterium nitroxus menjadi nitrogen-nitrogen bebas, reaksinya sebagai
berikut:

5 C6H12O0 + 24 HNO3 24 H2 CO3 + 6 CO3 +18 H2O +12 N2

Bila kadar NH3 hasil pembongkaran bahan organik di dalam air terdapat dalam jumlah
besar, yang disebabkan proses pembongkaran protein terhenti sehingga tidak terbentuk
nitrat sebagai hasil akhir, maka air tersebut disebut “sedang mengalami pengotoran
(Pollution)” (Metcalf dan Eddy, 1991).

Pengotoran atau polusi pada media air budidaya inilah yang kemudian melalui sistem
sirkulasi akan di ‘cuci’ ke dalam tanaman dan termanfaatkan oleh akar-akar sebagai pupuk
alami bagi pertumbuhan tanaman air. Air hasil ’tangkapan’ tersebut akan menjadi ’bersih’
dan dapat dimanfaatkan kembali sebagai media akuakultur melalui proses akuaponik.

Ammonia (NH3) merupakan polutan langsung dari kegiatan budidaya ikan. Keberadaan
sistem akuaponik, sesuai hasil penelitian ternyata mampu memberikan perbaikan kualitas
air melalui reduksi kandungan ammonia. Parameter-parameter kualitas air lain seperti pH,
DO dan nitrit menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh secara nyata. Hal ini diduga
karena kondisi media perairan budidaya masih dalam kondisi yang ideal pada sistem
pendederan normal, sehingga pada sistem akuaponik tidak menunjukkan perbedaan
perbaikan kondisi media secara nyata.

Sistem akuaponik mereduksi amonia dengan menyerap air buangan budidaya atau air
limbah dengan menggunakan akar tanaman sehingga amonia yang terserap mengalami
proses oksidasi dengan bantuan oksigen dan bakteri, amonia diubah menjadi nitrat
(Widyastuti, 2008). Pada kegiatan budidaya dengan sistem tanpa pergantian air, bakteria
memiliki peranan penting dalam menghilangkan partikel amonia melalui proses nitrifikasi

5
(Rully, 2011). Amonia (NH4+) bersifat non toksik, tetapi yang berbentuk tak terionisasi
(NH3) bersifat sangat toksik (Kordi dan Tancung, 2007). Penyerapan amonia berbeda-beda
dari setiap tanaman.

Prinsip dasar yang bermanfaat bagi budidaya perairan adalah sisa pakan dan kotoran
ikan yang berpotensi memperburuk kualitas air, akan dimanfaatkan sebagai pupuk bagi
tanaman air. Pemanfaatan tersebut melalui sistem resirkulasi air kolam yang disalurkan ke
media tanaman, yang secara mutualistis juga menyaring air tersebut sehingga saat kembali
ke kolam menjadi “bersih” dari anasir ammonia dan mempunyai kondisi yang lebih layak
untuk budidaya ikan.

2.3 Studi Kasus tentang Pengelolaan Kualitas Air menggunakan Sistem Akuaponik
2.3.1 Aplikasi Teknologi Akuaponik pada Budidaya Ikan Air Tawar untuk
Optimalisasi Kapasitas Produksi

Tujuan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas air dari penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh sistem akuaponik terhadap kualitas air media pendederan ikan
nila. Materi yang digunakan adalah penggelondongan benih ikan nila merah
(Oreochromis sp.) dengan menggunakan teknologi akuaponik. Metode ini
menggabungkan antara prinsip-prinsip akuakultur dan hidroponik melalui suatu
sistem resirkulasi air.

Variabel peubah yang digunakan adalah variabel kepadatan benih pada kolam
sistem akuaponik dan non-akuaponik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL), 4 perlakuan kepadatan yang berbeda dengan 3 kali
ulangan. Kepadatan ikan yang digunakan adalah 200, 400 dan 600 per kolam ukuran 2
m2 pada sistem akuaponik dan kepadatan 400 sebagai kontrol pada sistem non-
akuaponik. Untuk pengamatan terhadap pengaruh sistem akuaponik, dilakukan pada
parameter kualitas air pada kepadatan 400 ekor ikan. Variabel yang diamati adalah
data kualitas air media pemeliharaan, meliputi: pH, Dissolved Oxygen (Oksigen
terlarut dalam perairan), ammonia (NH3) dan nitrit (NO2-).

6
Hasil penelitian tentang parameter kualitas air pada penelitian ini digunakan
untuk mengetahui pengaruh sistem akuaponik terhadap kualitas air media pendederan
ikan nila dibandingkan dengan sistem normal (nonakuaponik). Kualitas air tercatat
rata-rata: a. Ammonia: 0,726 ppm b. Nitrit : tidak terdeteksi c. DO: 4,14 d. pH: 7,6 e.
Suhu : 29,3°C (suhu diukur pada waktu sampling 11.30-14.30 WIB).

a. Ammonia (NH3)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan ammonia (NH3) dalam


media akuaponik lebih rendah dibandingkan media non-akuaponik. Hasil
perhitungan analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan sistem akuaponik
pada level 5% berpengaruh secara nyata terhadap perbaikan kualitas air media
budidaya, yaitu pada penurunan kandungan ammonia (NH3) (P<0,01).

b. pH

Air Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan pH air dalam media


akuaponik lebih rendah dibandingkan media non-akuaponik. Meskipun begitu,
hasil perhitungan analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan sistem
akuaponik pada level 5% tidak berpengaruh secara nyata terhadap kondisi pH
air media budidaya (P>0,05).

c. Dissolved Oxygen (DO)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan DO air dalam media


akuaponik lebih tinggi dibandingkan media non-akuaponik. Meskipun begitu,
hasil perhitungan analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan sistem
akuaponik pada level 5% tidak berpengaruh secara nyata terhadap kondisi DO
air media budidaya (P>0,05).

d. Nitrit (NO2-)

7
Hasil pengamatan terhadap parameter kualitas air, yaitu kandungan nitrit (NO 2-)
dalam air media teramati selama penelitian terlihat seperti pada tabel 10. Dari
data tersebut didapatkan data bahwa selama penelitian, nitrit (NO2-) dalam air
media tidak terdeteksi, yang berarti sistem akuaponik layak untuk digunakan
berdasarkan parameter ini.
Kesimpulannya, sistem akuaponik berpengaruh terhadap perbaikan kualitas air
media pendederan ikan nila, khususnya kandungan ammonia (NH3).

2.3.2 Efektivitas Sistem Akuaponik dalam Mereduksi Konsentrasi Amonia pada


Sistem Budidaya Ikan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas sistem akuaponik dalam


mereduksi kadar amonia dan mengetahui jumlah kepadatan optimal tanaman pada
sistem akuaponik dalam menyerap kadar amonia.

Penelitian ini menggunakan sistem akuaponik dengan tanaman kangkung sebagai


filter dalam mereduksi amonia. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pakan dan tanaman kangkung. Desain penelitian yang digunakan ialah menggunakan
4 perlakuan yaitu perlakuan A : kontrol (tanpa menggunakan tanaman kangkung),
Perlakuan B (menggunakan tanaman kangkung dengan jumlah 10 batang kangkung
per rumpun) Perlakuan C (menggunakan tanaman kangkung dengan jumlah 20 batang
kangkung per rumpun) Perlakuan D (menggunakan tanaman kangkung dengan jumlah
30 batang kangkung per rumpun).

Penelitian ini berlangsung selama 60 hari. Pengambilan sampel air dilakukan


setiap 20 hari sekali setiap hari pagi dan sore hari. Reduksi amonia dihitung dengan
menggunakan persamaan : N = No –Nt. Dengan No = konsentrasi amonia pada
saluran saluran pemasukan Nt = konsentrasi amonia pada saluran saluran pengeluaran.

8
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi amonia pada semua saluran
pemasukan kecuali pada pengambilan sampel kedua, memperlihatkan peningkatan
konsentrasi amonia. Peningkatan konsentrasi amonia disebabkan oleh sisa
metabolisme ikan (feses) dan makanan ikan yang tidak termakan sehingga tersuspensi
di dasar kolam. Peningkatan konsentrasi amonia juga disebabkan dengan
meningkatnya suhu dan pH kolam pemeliharaan. Konsentrasi amonia pada perlakuan
kontrol memiliki konsentrasi yang tinggi sedangkan pada kolam perlakuan memiliki
konsentrasi jauh lebih rendah. Presentase amonia bebas meningkat dengan
meningkatnya nilai pH dan suhu perairan, apabila konsentrasinya tinggi dapat
mempengaruhi kehidupan ikan (Boyd, 1991).

Seiring dengan meningkatnya konsentrasi amonia selama pemeliharaan terdapat


juga penurunan konsentrasi amonia pada semua sampel kedua (Gambar 2.). Hal ini
bila dilihat dari kondisi kangkung pada saat pengambilan sampel kedua menunjukkan
kangkung dalam keadaan baik, yang berarti juga penyerapan terhadap amonia sangat
optimal dimanfaatkan oleh tanaman kangkung untuk pertumbuhan.

Konsentrasi amonia tertinggi terjadi pada pengambilan sampel terakhir untuk


semua perlakuan, hal ini disebabkan semakin lamanya waktu pemeliharaan semakin
tinggi akumulasi konsentrasi amonia yang dihasilkan. Konsentrasi amonia yang
semakin lama semakin tinggi mempengaruhi kemampuan tanaman kangkung dalam
menyerap amonia yang terakumulasi. Kemampuan kangkung dalam menyerap amonia
dapat menurun seiring dengan meningkatnya hama yang menyerang tanaman
kangkung dan semakin tingginya konsentrasi amonia yang ada (Effendi, 2003).

9
Apabila hal tersebut terjadi terus-menerus maka akan membahayakan kelangsungan
hidup ikan. Konsentrasi amonia pada kolam yang tidak ada perlakuan menunjukkan
hal yang sama dengan kolam yang mendapat perlakuan yaitu adanya peningkatan
konsentrasi amonia dan konsentrasi amonia paling tinggi diantara yang lain, namun
terjadi penurunan konsentrasi pada pengambilan sampel kedua.

Pada semua saluran saluran pemasukan konsentrasi amonianya lebih tinggi


daripada konsentrasi pada saluran pengeluaran. Pengurangan konsentrasi amonia
diduga disebabkan amonia dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhan.
Setijaningsih (2009) menyatakan bahwa kangkung mampu dalam mereduksi amonia
melalui penyerapan oleh akar tanaman.

Pengukuran kualitas air dilakukan selama 60 hari. Parameter yang diukur adalah
suhu, pH, dan oksigen terlarut. Hasil parameter pengukuran kualitas air antara lain
suhu berkisar 22-32°C, pH berkisar 5-8, dan oksigen terlarut berkisar 0,1-10 mg/l.
Parameter kualitas air memiliki pengaruh besar terhadap konsentrasi amonia selama
pemeliharaan. Metabolisme yang tinggi menyebabkan hasil buangan metabolisme
juga meningkat sehingga konsentrasi amonia ikut meningkat. Fluktuasi oksigen
terlarut juga mempengaruhi konsentrasi amonia yang ada (Haslam, 1995). Menurut
Tebbut (1992), bila kadar oksigen terlarut rendah menyebabkan meningkatnya
toksisitas pada hewan, namun bila kadar oksigen terlarut tinggi atau optimal
konsentrasi amonia tidak terlalu besar. Selain kadar oksigen terlarut dan suhu, pH juga
mempengaruhi toksisitas suatu senyawa. Bila pH tinggi lebih banyak ditemukan
amonia yang tidak terionisasi dan bersifat toksik (Widyastuti, 2008). Secara
keseluruhan parameter kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran yang
normal.

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah penurunan konsentrasi amonia
dengan jumlah tanaman 30 batang kangkung per rumpun memberikan hasil
pengurangan ammonia.

10
2.3.3 Pengaruh Teknologi Akuaponik dengan Media Tanam Selada (Lactuca satuva)
yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Belut (Monopterus albus)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media tanam terhadap


pertumbuhan belut (Monopterus albus) dalam sistem akuaponik. Penelitain terdiri
dari empat perlakuan dan lima ulangan, tanpa media tanam sebagai kontrol ( P0),
media tanam zeolit (P1), media tanam batu apung (P2) dan media tanam pecahan
batu bata (P3). Salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan akar selada sehingga
mempengaruhi proses penyerapan amonia adalah media tanam selada. Peran media
tanam dalam akuaponik sangat berpengaruh karena merupakan faktor pendukung
penyerapan kadar amonia dari tanaman. Dalam penelitian ini terdapat dua parameter
yaitu parameter utama yang terdiri dari laju pertumbuhan, survival rate belut dan
pertumbuhan selada dalam sistem akuaponik dan parameter pendukung yang terdiri
dari kandungan amonia serta kualitas air yang meliputi suhu, pH, Dissolved
oxygen/DO (oksigen terlarut) air media pemeliharaan selama penelitian.

Hasil penelitian :

a) Specific Growth Rate (SGR)

Berdasarkan uji Anova, terdapat perbedaan yang nyata terhadap laju


pertumbuhan spesifik belut dengan media tanam selada yang berbeda (p<0,05).
Pertumbuhan SGR belut diperoleh yang optimal pada perlakuan P1 (1,199%).
Berdasarkan uji Duncan, perlakuan P1 berbeda nyata dengan perlakuan P0, P2
dam P3. Perlakuan P0 tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3, perlakuan P2
tidak berbeda nyata dengan P0 dan P3, perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan
P) dan P2.

11
Keterangan :

P0 : Kontrol, P1 : Perlakuan dengan media tanam zeolit, P2 : Perlakuan dengan


media tanam batu apung, P3 Perlakuan dengan pecahan batu bata. Notasi huruf
superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbandingan
antar perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05).

b) Panjang Mutlak Belut (Monopterus albus)

Berdasarkan uji Anova, pertumbuhan panjang mutlak belut tidak terdapat


perbedaan yang nyata karena P>0,05. Berdasarkan uji Duncan, diperoleh hasil
panjang mutlak belut pada perlakuan P1 berbeda nyata terhadap P0 tetapi tidak
berbeda nyata terhadap P2 dan P3. Perlakuan P0 tidak berbeda nyata dengan P2
dan P3 tetapi berbeda nyata dengan P1.

c) Kelulushidupan Belut (Monopterus albus)

12
Perhitungan rata-rata setiap perlakuan pada akhir penelitian diperoleh tingkat
kelulushidupan tertinggi yaitu perlakuan pada perlakuan P2 (70%) diikuti P1
(56%), P3 (52%) dan P0 (52%).

d) Pertumbuhan Tinggi dan Lebar Daun Selada (Lactuca sativa)

Berdasarkan Uji Anova, terdapat perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan


tinggi selada (P<0,05). Pertumbuhan optimal pada perlakuan P1 dan terendah
pada perlakuan P0. Berdasarkan uji Duncan, perlakuan P1 berbeda nyata dengan
P0,P2 dan P3. Perlakuan P0 berbeda nyata dengan P1,P2 dan P3. Perlakuan P2
tidak berbeda nyata dengan P3 tetapi berbeda nyata dengan P1 dan P0.

13
Berdasarkan uji Anova terdapat perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan
lebar daun selada (p<0,05). Pertumbuhan lebar daun selada yang optimal pada
perlakuan P1 dan terendah pada perlakuan P0. Berdasarkan uji Duncan
diketahui bahwa perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P2 tetapi berbeda
nyata dengan P0 dan P3. Perlakuan P0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P3
tetapi berbeda nyata dengan P1 dan P2.

e) Kandungan Amonia

Pada hari ke-7 semua perlakuan mengalami peningkatan kadar amonia.


Peningkatan tertinggi pada perlakuan P0 (0,335 mg/L), lalu diikuti perlakuan P1
(0,186 mg/L), P2 (0,178 mg/L) dan P3 (0,138 mg/L). Perlakuan P3 mengalami
peningkatan kandungan amonia, sedangkan P2 kandungan amonia tidak
mengalami perubahan. Untuk perlakuan P1 dan P0 mengalami penurunan pada
hari ke-14. Pada hari ke-21 semua perlakuan mengalami penurunan kandungan
amonia. Pada hari ke-28 kandungan amonia pada setiap perlakuan mengalami
penurunan. Penurunan terendah terdapat pada perlakuan P2 (0,03 mg/L) di akhir
pengamatan.

f) Parameter Kualitas Air


Parameter kualitas air yang diukur yaitu meliputi suhu, pH, Oksigen terlarut
(DO), nitrat dan nitrit.

14
Berdasarkan data pengukuran kualitas air diperoleh kisaran suhu (27-30º C), pH
(7,7-8,4) dan DO (4-6 mg/L) selama pengamatan berada pada kondisi
yangmendukung untuk pertumbuhan belut. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Kordi (2011) belut tumbuh dan hidup dengan baik pada suhu 25-32°C dan pada
pH 6-7. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) untuk budidaya belut yang
baik yaitu minimal 5 mg/L (Boyd, 1982 dalam Purnama, 2013). pH optimal
pada tanaman untuk menyerap nutrient berkisar pada 5- 5-6,5 (Rakocy et al.,
2006 dan Tyson, 2007), sementara menurut Rakocy et al., (2006) proses
nitrifikasi terjadi apabila sistem akuaponik memiliki nilai pH berkisar 7-9.
Proses nitrifikasi berjalan lambat apabila pH dibawah 7 dan ketika pH kurang
dari 6 proses nitrifikasi perlahan lahan berhenti (Nelson, 2008 dalam
Ratannanda, 2014).

Penggunaan media tanam selada berupa zeolit mempengaruhi laju pertumbuhan


belut (M. albus). Hal ini dikarenakan zeolit berperan aktif dalam membantu tanaman
mereduksi bahan organik diperairan sesuai dengan pendapat Wahyuni et al., 2004;
Tsitsisvi, 1980 dan Blanchard 1984 dalam LAS ( 2007) yaitu zeolit mempunyai
kemampuan menyerap ammonia untuk limbah indstri dan peternakan sebesar 99%
melalui kemampuan tukar ionnya. Zeolit juga mempunyai kemampuan menyerap,
dengan permukaannya yang kasar memberikan tempat untuk bakteri dalam bentuk
biofilm sehingga proses oksidasi bahan organic secara biologi dimedia biofilter
(Nurhidayat, 2009). Pada perlakuan tanpa menggunakan media tanam memperoleh
hasil pertumbuhan belut yang terendah. Hal ini diduga kinerja filter hanya padatan

15
aman tanpa adanya bantuan filter mekanik berupa agregat yang digunakan sebagai
media tanam.

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu media tanam selada dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan belut dan media tanam yang optimal dalam
mempengaruhi laju pertumbuhan belut adalah media tanam zeolit.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Akuaponik merupakan salah satu cara mengurangi pencemaran air yang dihasilkan
oleh budidaya ikan dan juga menjadi salah satu alternatif mengurangi jumlah pemakaian
air yang dipakai oleh sistem budidaya. Sistem akuaponik mereduksi amonia dengan
menyerap air buangan budidaya atau air limbah dengan menggunakan akar tanaman
sehingga amonia yang terserap mengalami proses oksidasi dengan bantuan oksigen dan
bakteri, amonia diubah menjadi nitrat (Widyastuti, 2008).

Prinsip dasar yang bermanfaat bagi budidaya perairan adalah sisa pakan dan kotoran
ikan yang berpotensi memperburuk kualitas air, akan dimanfaatkan sebagai pupuk bagi
tanaman air. Pemanfaatan tersebut melalui sistem resirkulasi air kolam yang disalurkan
ke media tanaman, yang secara mutualistis juga menyaring air tersebut sehingga saat
kembali ke kolam menjadi “bersih” dari anasir ammonia dan mempunyai kondisi yang
lebih layak untuk budidaya ikan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Ristiawan Agung. (2012). APLIKASI TEKNOLOGI AQUAPONIC PADA


BUDIDAYA IKAN AIR TAWAR UNTUK OPTIMALISASI KAPASITAS PRODUK.
Jurnal Saintek Perikanan Volume 8. No. 1.

Maharani, Nur Annisa. (2016). PENERAPAN AQUAPONIC SEBAGAI TEKNOLOGI


TEPAT GUNA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR KOLAM IKAN DI DUSUN
KERGAN, TIRTOMULYO, KRETEK, BANTUL, YOGYAKARTA. Indonesian
Journal of Community Engagement Volume 01, No. 02.

Farida, Nur Fitria. (2017). ANALISIS KUALITAS AIR PADA SISTEM PENGAIRAN
AKUAPONIK. Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem, Vol.5, No. 2.

Riska Emilia Sartika Dauhan. (2014). EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM


MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN. e-Jurnal
Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No 1

Pipit Tri Anjani, R.K.(2017). PENGARUH TEKNOLOGI MEDIA TANAM SELADA


(Lactuca sativa) YANG BERBEDA TERHDAP PERTUMBUHAN BELUT
(Monopterus albus). Journal of Aquaculture and Fish Health Vol 6 No 2, 67 – 73.

18

Anda mungkin juga menyukai