Anda di halaman 1dari 56

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem kekebalan tubuh ( Imunitas ) adalah suatu organ komplek yang
memproduksi sel-sel yang khusus yang dibedakan dengan sistem peredaran darah
dari sel darah merah, tetapi bekerja sama dalam melawan infeksi penyakit
ataupun masuknya benda asing kedalam tubuh. Semua sel imun mempunyai
bentuk dan jenis sangat bervariasi dan bersirkulasi dalam sistem imun dan
diproduksi oleh sumsum tulang. Sedangkan kelenjar limfe adalah kelenjar yang
dihubungkan satu sama lain oleh saluran limfe yang merupakan titik pertemuan
dari sel-sel sistem imun yang mempertahankan diri dari benda asing yang masuk
kedalam tubuh. Mikroorganisme yang menyerang tubuh kita dapat berupa bakteri,
virus, jamur ataupun bahan kimia.Respon tubuh terhadap imun pada dasarnya
berupa proses pengenalan dan eliminasi. Jika salah satu atau kedua proses ini
terganggu maka akan terjadi gangguan patologis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi sistem imun?
2. Apa definisi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
3. Bagaimana etiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
4. Bagaimana patofisiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
5. Apa manifestasi klinis dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
6. Apa klasifikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan
Steven Johnson Syndrome?
8. Bagaimana evaluasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?

1
10. Bagaimana komplikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
11. Bagaimana asuhan keperawatan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan
Steven Johnson Syndrome?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa sebagai calon perawat yang professional diharapkan mengerti
dan memahami penyakit imunologi SLE, Reaksi Hipersensitivitas dan
Steven Johnson Syndrome serta mampu memberikan asuhan keperawatan
pada klien dengan gangguan sistem imunologis dengan tepat.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui anatomi, definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis,
pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan
keperawatan yang tepat untuk gangguan sistem imunologis.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Imun

2
Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibody, dan fungsi
pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan
imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan
jaringan.
Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap
infeksi dari makromolekul asing atau serangan organism, termasuk virus, bakteri,
protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap
protein tubuh molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas dan melawan
sel yang teraberasi menjadi tumor
Letak sistem imun

Fungsi sistem imun


1. Sumsum
Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam sumsum
tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah putih,

3
(termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan
tubuh juga terdapat di tempat lain.
2. Thymus
Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/mematangkan T limfosit
yang kemudian bergerak ke jaringan limfatik yang lain, dimana T limfosit
dapat berrespon terhadap benda asing. Thymus mensekresi 2 hormon
thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi perkembangan dan aktivitas T
limfosit.
a. Limfosit T sitotoksik
Limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel. Sel T
sitotoksik memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif bila menjumpai
sel dengan antigen permukaan yang abnormal. Bila telah aktif sel T
sitotoksik menghancurkan sel abnormal.
b. Limfosit T helper
Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun normal. Ketika
distimulasi oleh antigen presenting sel seperti makrofag, T helper melepas
faktor yang menstimulasi proliferasi sel B limfosit.
c. Limfosit B
Tipe sel darah putih atau leukosit penting untuk imunitas yang diperantarai
antibody/humoral. Ketika di stimulasi oleh antigen spesifik limfosit B
akan berubah menjadi sel memori dan sel plasma yang memproduksi
antibody.
d. Sel plasma
Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari limfosit
lain, memiliki reticulum endoplamik kasar dalam jumlah yang banyak,
aktif memproduksi antibody.
3. Getah bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perlanan
limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selangkangan,
dan para-aorta daerah.
4. Nodus limfatikus
Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem limfatik. Nodus
limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan makrofag yang
berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe

4
bergerak melalui sinus, sel fagosit menghilangkan benda asing. Pusat
germinal merupakan produksi limfosit.
5. Tonsil
Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan
nasofaring. Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan
tonsil pharyngeal.
6. Limpa/spleen
Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam darah, merusak
eritrosit dan sebagi penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe
jaringan yaitu pulpa merah dan pulpa putih.
a. Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit.
b. Pulpa putih terdiri dari limfosit dan makrofag.
Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa putih dapat menstimulasi
limfosit.

2.2 SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

2.2.1 Definisi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi


autoimun pada jaringan penyambung yang dapat mencakup ruam kulit,
nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE, dan
estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase
luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar
oleh kehamilan (Elizabeth, 2009).

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen


(suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody

5
terhadap organ tubuhnya sendiri, yang dapat merusak organ tersebut dan
fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,
ginjal, paru-paru serta jantung (Glade, 1999).

SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan


yang bercirikan nyeri sendi (artralgia), demam, malaise umum dan erythema
dengan pola berbentuk kupu-kupu khas di pipi muka. Darah mengandung
antibody beredar terhadap IgG dan imunokompleks, yakni kompleks
antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan
radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan
rematik, SLE juga merupakan penyakit autoimun, teteapii jauh lebih jarang
terjadi dan terutama timbul pada wanita. Sebabnya tidak diketahui,
penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan
sediaan enzim (papain 200 mg+bromelain 110 mg+pankreatin 100
mg+vitamin E 10 mg) 2 dd 1 kapsul (Tan&Kirana, 2007).

Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi, ginjal, selaput


serosa permukaan, dan dinding pembuluh darah yang belum jelas
penyebabnya. Peradangan kronis ini mengenai perempuan muda dan anak-
anak. 90% penderita penyekit SLE adalah perempuan.

Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik, seperti


siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu menentukan
terapi yang aman digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui.

2.2.2 Etiologi

Antibody anti Ro dan anti La dapat menyebabkan sindrom lupus


neonates dengan melinttasi plasenta. Sindrom ini dapat bermanifestasi
sebagai lesi kulit atau blok jantung congenital.

Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam


kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE

6
mempunyai kerabat dekat yang menderita SLE. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antaral ain haptolip MHC
terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan
pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu yaitu Crq, Cir, Cis, C3,
C4, dan C2, serta gen-gen yang mengode reseptor sel T, immunoglobulin,
dan sitokin (Albar, 2003).

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV


yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga
menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mampunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulas di
tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda asing tersebut (Herfindal et
al., 2000). Makanan sepertiwijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam
aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi
virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga
mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang yang akan memicu terjadinya
SLE (Herfindal et al., 2000).

2.2.3 Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar

7
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan.

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu


atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal
terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap
sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan
menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi
autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon
seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen


yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi
DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam
keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks
protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas
autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama
disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik,
ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah
ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun

Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini


memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

8
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam
organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah
terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah
autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

2.2.4 Epidemiologi

Keadaan ini susah didiagnosis. Lupus terjadi kira-kira 1 dari 700


wanita berumur 15-64 tahun. Pada wanita kulit hitam, lupus terjadi pada 1
dari 254 wanita. Lupus lebih sering menyerang wanita daripada pria,
khususnya wanita berusia 20 dan 40 tahun. Tidak ada obat untuk lupus.
Pengobatan bersifat individual dan biasanya berupa minum steroid. Ada
baiknya tidak hamil ketika anda mengalami serangan lupus. Wanita
penderita lupus berisiko tinggi mengalami keguguran. Juga risiko lahir
mati, yang memerlukan perawatan ekstra selama kehamilan.

Bayi-bayi yang lahir dari lupus dapat terkena ruam. Mereka juga
mengalami blok jantung dan defek jantung. Bayi-bayi ini mungkin lahir
premature atau mengalami keterlambatan pertumbuhan intrauterine.

2.2.5 Manifestasi klinis

Keluhan dan gejala: gambaran klinik SLE sangat bervariasi antara satu
pasien dengan pasien SLE lainnya. Gejala terjadi dimulai dengan
timbulnya demam akibat adanya satu infeksi. Gejalanya hilang-hilang
timbul selama berbulan-bulan dan bertaun-tahun yang diselingi demam dan
badan lemah.

9
Keluhan penderita SLE yang lainnya adalah sakit kepala, kejang
epilepsy, dan gangguan kejaiwaan ssering merupakan keluhan awal.

1. Gejala pada persendian


Mulai dari keluhna nyeri pad abanyak persendian yang hilang-
hilang timbul sampai keluhan nyeri sendi yang akut,
merupakan keluhan awal pada 90% penderita SLE. Dalam
keadaan SLE berlangsung lama, terjadi erosi sendi tulang
telapak kaki. Namun demikian, kebayakan SLE yang
menyerang banyak sendi, tidak memperlihatkan kerusakan
sendi.
2. Gejala pada kulit
Yang khas disebut gambaran kemerahan kulit pipi berbentuk
kupu-kupu yang disebut butterfly erithema. Lesi kulit
berbentuk makulo papul pad kulit muka samapi ke leherdan
bahu lesi kulit ini jarang yang melepuh atau menjadi borok.
Tetapi lesi pada rahang atas pada pertemuan bagian lunak dan
bagian keras, pada daerah pipi bagian dalam dan bagian depan
rongga hidung, bisa terjadi.
Rambut rontok pada bebrapa daerah kulit kepala (generalize
focal alopecia) terjadi pada fase aktif SLE. Timbul bintik-
bintik merah pendarahan (purpura) karena sel pebeku darah
turun (trombositopeni). Penderita mengeluh silau pada sinar
yang terang (photophobi). Bebrapa penderita SLE
memperlihatlan gejala pleuritis yang hilang timbul (recurrent)
yaitu peradangan dinding dada dan selaput paru hingga
penderita mengeluhkan sakit dada, tetapi tidak ada efusi cairan
pada rongga paru.
Pada keadaan lebih berat, bisa terjadi perdarahan paru dan
mengancam kehidupan (fatal). Peradangan selaput
pembungkus jantung (pericarditis) sering terjadi pada penderita
SLE. Peradangan pembuluh darah jantung (coronary arteri

10
vasculitis) atauotot jantung megalami fibrosis (fibrosing
myocarditis). Timbul pembengkakan elenjar limfe di seluruh
tubuh terutamapadapenderita anak-anak dan dewasa muda
(umur 20 tahunan). Pembesaran limfe terjadi pada 10%
penderita SLE.
3. Gejala gangguan saraf pusat
Keluhan sakit kepala, perubahan kepribadian, stroke, kejang
epilepsy, psikosis, gangguan organic pada otak
4. Gangguan ginjal
Bisa ringan dan tanpa gejala, sampai gangguan yang progresif
dan mematikan. Gejala yang serign ditemukan pada
pemeriksaan laboratorium air seni, terdapat protein
(proteinuria). Secara patologi terdapat kelainan pada injal,
peradangan glomerulus jinak, sampai yang peradangan
membrane yang luas (diffuse membrane prliferatif
glomerulopritis).
Sindroma menghancurkan darha sendiri pada stadium akut
SLE (Acute lupus homo pagosotik syndrome). Pada keadaan
ini sumsum tulang mengalami proliferasi yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, banyak terlihat sel histosit. Untuk
mengatasi kelainan ini, biasanya penderita berespons baik
terhadap pemberian obat kortkosteroid.

2.2.6.Klasifikasi SLE

Subcommitte for Systemic Lupus Erythematosus Criteria of the


American Rheumatism Association Diagnostic and Therapeutic Criteria
Committee tahun 1982 merevisi kriteria untuk klasifikasi SLE.

Subkomite ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat di antara


11 kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama satu interval
observasi:

1. Ruam di bagian malar wajah

11
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus di mulut
5. Arthritis
6. Setositis (pleuritis, perikarditis)
7. Gangguan ginjal
8. Gangguan neurologis (kejang atau psikosis)
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia,
trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear

R. Leonard mengusulkan jembatan keledai barikut untuk mengingat


kriteria diagnosis SLE: A Rash Points MD. Arthritis Renal disease (penyakit
ginjal), ANA Serositis, Haematological disorders, Photosensitivitas, Oral
ulcers (ulkus di mulut), Immunological disorder, Neurological disorder,
Malar rash, Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.

2.2.7 Pemeriksaan penunjang

SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang


menunjukkan berbagai manifestasi, paling sering berupa arthritis. Dapat
juga timbul manifestasi di kulit, ginjal, dan neurologis. Penyakit ini ditandai
dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE ditegakkan atas
dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya
beberapa autoantibodi; yang paling sering digunakan adalah antinukelar
antibody (ANA, tetapi antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang
tidak menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah antidouble
standed DNA antibody (anti DNA), pengukurannya bermanfaat untuk
menilai ruam pada lupu. Anti-Ro, anti-La dan antibody antifosfolipid
penting untuk diukur karena meningkatkna risiko pada kehamilan.
Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Periode
aktivitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosis. Keterlibatan ginjal sering
kali disalahartikan dengan pre-eklamsia, tetapi temuan adanya peningkatan

12
titer antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen membantu
mengarahkan pada ruam.

Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan


peningkatan risiko keguguran.

Temuan pada pemeriksaan laboratorium

1. Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA), positif


dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
2. Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk menentukan
SLE
3. Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin antibody)
berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis pada pembuluh
arteri atau pembuluh vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal
dalam kandungan, dan trombositopeni.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita SLE atau


Lupus meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibody antinuklir
(ANA), anti-AND, SLE, CRP, analisa urine, komplemen 3 dan 4. Pada
pemeriksaan diagnostic yang dilakukan adalah biopsy ginjal.

2.2.8 Evaluasi diagnostic

Diagnosis dibuat berdasarkan pada riwayat komplet dan analisis


pemeriksaan darah; tidak ada satu pemeriksaan laboratorium yang
menguatkan SLE.

2.2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronis:

13
1. Mencegah penurunan progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan
penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan
kecacatan, dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan
2. Gunakan obat-obat antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan
kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid
3. Gunakan kortikosteroid topical untuk manifestasi kutan akut
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan
dosis oral tinggi tradisional
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal, dan sistemik ringan dengan
obat-obat antimalaria
6. Preparat imunosupresif (percobaab) diberikan untuk bentuk SLE yang
serius
2.2.10 Komplikasi
1. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya panimbunan protein di
dalam sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus
(peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal
ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan
ginjal.
2. Sistem Saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikas yang
paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan,
tetapi kelainan bisa terjadi pada bagianmanapun dari otak, korda
spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organic
dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa
terjadi
3. Penggumpalan Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlha trombosit berkurang
dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler

14
Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis, endokarditis
maupun mikarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat
dari keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya).
Akibatnya dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak
napas.
6. Otot dan kerangka tubuh

Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan


kebanyakan menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah
persendia pada jari tangan, tangan, pergelangantangan dan lutut.
Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan
penyebab dari nyeri di daerah tersebut

7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu di tulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika
terkena sinar matahari.

2.2.11 Asuhan Keperawatan


Kasus:
Seorang perempuan bernama Ny. Y usia 35 tahun datang ke UGD dengan
keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan
leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu ukuran tersebut
bertambah lebar, demam, nyeri, dan terasa kaku seluruh persendian
terutama pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik
diperoleh ruam pada pipi dengan batas tegas, peradangan pada siku, lesi
pada daerah leher, malaise. Klien mengatakan terdapat bberapa sariawan
pada mukosa mulut. Klien ketika bertemu dengan orang lain selalu
menunduk dan menutupi wajahnya dengan masker. Tekanan darah 110/80

15
mmHg, RR 20x/menit, nadi 90x/menit, suhu 38,5 , Hb 11gr/dl, WBC

15.000/mm3.

a. Pengkajian
1) Identitas klien
Nama : Ny. Y
Usia : 35 tahun
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Status : menikah

2) Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan,
saat beraktivitas klien merasa mudah lelah, klien merasa demam. Pipi
dan leher memerah serta nyeri pada bagian yang memerah.

3) Riwayat penyakit sekarang


Klien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan
kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya lebarnya kecil
namun setelah satu minggu lebarnya bertambah besar, demam, nyeri
dan terasa kaku seluruh persendian utamanya pada pagi hari dan
berkurang nafsu makan karena ada sariawan.

4) Riwayat penyakit dahulu


Tidak ada

5) Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada

6) Pemeriksaan fisik
a) TTV
TD : 110/80 mmHg
RR : 20x/menit
S : 38,5
N : 90x/menit

b) Pemeriksaan fisik per sistem

16
B1 (Breath)
RR 20x/menit, napas dalam terlihat seperti menahan nyeri

B2 (Blood)

TD 110/80 mmHg

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,


eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.

B3 (Brain)

Gangguan psikologis

B4 (Bladder)
Tidak ada

B5 (Bowel)

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

B6 (Bone)

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,


rasa kaku pada pagi hari. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas
ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta
pipi.

7) Pemeriksaan penunjang
a) Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA),
positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
b) Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE
c) Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
d) Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE

17
e) Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis
pada pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan, dan trombositopeni.

b. Analisis data

Data Etiologi Masalah Keperawatan


Ds: Genetic, lingkungan, Nyeri
Nyeri pada sendi
hormone, obat tertentu
dan bagian yang ↓
Produksi autoimun
mengalami
berlebih
kemerahan

Do:
Autoimun menyerang
Klien terlihat
organ tubuh
menahan nyeri

TD 110/80 mmHg SLE

RR 20x/menit
Kerusakan jaringan
S 38,5 ↓
Nyeri kronis
N 90x/menit

Ds: Genetic, lingkungan, Peningkatan suhu


Klien mengeluhkan
hormone, obat tertentu tubuh
demam ↓
Produksi autoimun
Do:
berlebih
TD 110/80 mmHg

RR 20x/menit Autoimun menyerang

S 38,5 organ tubuh



terjadi reaksi inflamasi
N 90x/menit ↓
peningkatan suhu tubuh
Ds: Genetic, lingkungan, Gangguan pemenuhan
Klein mengatakan
hormone, obat tertentu nutrisi tubuh

18
tidak nafsu makan ↓
Do: Produksi autoimun
TD 110/80 mmHg berlebih

RR 20x/menit
Autoimun menyerang
S 38,5 organ tubuh

N 90x/menit SLE

Adanya stomatitis menyerang hati
di mukosa mulut ↓
kesalahan sintesa zat
yang dibutuhkan tubuh

perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Ds: Genetic, lingkungan, Keletihan
Nyeri pada sendi
hormone, obat tertentu
dan bagian yang ↓
Produksi autoimun
mengalami
berlebih
kemerahan

Klien mengeluhkan
Autoimun menyerang
mudah lelah ketika
organ tubuh
beraktivitas ↓
Do: SLE
Klien terlihat ↓
menyerang darah
menahan nyeri

TD 110/80 mmHg Hb menurun

RR 20x/menit
Suplai oksigen
S 38,5 menurun

N 90x/menit ATP menurun

Keletihan
Ds: Genetic, lingkungan, Gangguan integritas
Nyeri pada sendi
hormone, obat tertentu kulit
dan bagian yang ↓

19
mengalami Produksi autoimun
kemerahan berlebih
Do: ↓
Autoimun menyerang
TD 110/80 mmHg
organ tubuh
RR 20x/menit

S 38,5 SLE

menyerang kulit
N 90x/menit ↓
Kulit kering dan kerusakan integritas
kemerahan kulit

Ds: Genetic, lingkungan, Gangguan mobilitas


Nyeri pada sendi
hormone, obat tertentu fisik
dan bagian yang ↓
Produksi autoimun
mengalami
berlebih
kemerahan

Do:
Autoimun menyerang
Klien terlihat
organ tubuh
menahan nyeri

TD 110/80 mmHg SLE

RR 20x/menit
arthritis
S 38,5 ↓
gangguan mobilitas
N 90x/menit fisik

Ds: Genetic, lingkungan, Gangguan citra tubuh


Klien mengatakan
hormone, obat tertentu
malu terhadap ↓
Produksi autoimun
kemerahan pada
berlebih
pipi dan leher

Do:
Autoimun menyerang
TD 110/80 mmHg
organ tubuh
RR 20x/menit ↓

20
S 38,5 SLE

menyerang kulit
N 90x/menit ↓
Klien menunduk kerusakan integritas
saat memasuki kulit

UGD Gangguan citra tubuh
(body image)

c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial
kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kronis pada sendi
4. kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
5. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi
6. gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada sendi
7. gangguan body image berhubungan dengan penyakit kronis

d. Intervensi

Dx: nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial


kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)
Ds:
Kelelahan
Do:
1. Gangguan aktivitas
2. Anoreksia
3. Menahan napas
NOC NIC
1. Comfort level Pain management
2. Pain control 1. Monitor kapuasan pasien
3. Pain level
terhadap manajemen nyeri
Setalh dilakukan tindakan 2. Tingkatkan istirahat dan tisur
keperawatan selama 24jam nyeri yang adekuat
3. Kelola antianalgesik

21
kronis pasien berkurang dengan 4. Jelaskna pada klien
kriteria hasil: penyebab nyeri
5. Lakukan tehnik
1. Tidak ada gangguan tidur
2. Tidak ada gangguan nonfarmakologis (relaksasi,
konsetrasi masase punggung)
3. Tiadak ada gangguan
hubungan interpersonal
4. Tidak ada ekspresi menahan
nyeri dan ungkapan secara
verbal
5. Tidak ada tegangan otot

Dx: peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi


Ds:
Suhu tubuh meningkat
Do:
1. Kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal
2. Kulit kemerahan
3. Pertambahan RR
4. Kulit terasa panas
NOC NIC
Thermoregulasi 1. Monitor suhu seseirng
Setelah dilakuakn tindakan mungkin
2. Monitor warna dan suhu
keperawatan selama 24 jam pasien
kulit
menunjukkan:
3. Monitor TD, nadi dan RR
Suhu tubuh dalam batas normal 4. Monitor WBC, Hb, dan Hct
5. Monitor intake dan output
dengan kriteria hasil:
6. Berikan antipiretik sesuai
1. Suhu 36-37 advis dokter
2. Nadi dan RR dalam renatang 7. Selimuti klien
8. Berikan cairan intravena
normal 9. Kompres klien pada lipat
3. Tidak ada perubahan warna
paha dan aksila
kulit dan tidak ada pusing, 10. Tingkatkan sirkulasi udara
klien merasa nyaman 11. Tingkatkan sirkulasi udara
12. Tingkatkan intake cairan dan
nutrisi

22
13. monitor hidrasi seperti turgor
kulit, kelembaban mukosa

Dx: ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan ketidakmampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan pada
mukosa mulut
Ds:
1. nyeri abdomen
2. muntah
3. kejang perut
4. rasa penuh tiba-tiba setelah makan
Do:
1. kurang nafsu makan
2. bising usus berlebih
3. pucat
NOC NIC
a. nutritional status: adequacy of 1. kaji adanya alergi makanan
2. kolaborasi dengan ahli gizi
nutrient
b. nutritional status: food and fluid untuk menentuka jumlah kalori
intake dan nutrisi yang dibutuhkan
c. weight control
klien
setelah dilakukan tindakan 3. yakinkah dietyang dimakan
keperawatan selama 2x24 jam megandung tinggi serat untuk
nutrisi kurang teratasi dengan mencegah konstipasi
4. ajarkan klien bagaimana
indicator:
membuat catatatan makanan
1. albumin serum
2. prealbumin serum harian
3. hematokrit 5. monitor adanya penurunan BB
4. hemoglobin
dan gula darah
5. total iron binding capacity
6. monitor lingkungan selama
6. jumlah limfosit
makan
7. jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
8. monitor turgor kulit
9. monitor kekeringan, rambut

23
kusam, total protein, Hb dan
kadar Hct
10. monitor mual dan muntah
11. monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan kojungtiva
12. monitor intake nutrisi
13. informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat nutrisi
14. kolaborasikan dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan
15. atur posisi semifowler tinggi
selama makan
16. kelola pemberian antiemetic
17. anjurkan banyak minum
18. pertahankan terapi IV line
19. catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik, papila lidah dan
cavitas oral

Dx: kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
Ds:
1. kelelahan
2. meningkatnya komplain fisik
3. secara verbal menyatakan kurang energi
Do:
1. penurunan kemampuan
2. ketidakmampuan mendapatkan energy sesudah tidur
3. kurang energy
4. ketidakmampuan untuk mempertahankan aktivitas
NOC NIC
1. activity tolerance 1. monitor respon kardiorespirasi
2. energy conservation
terhadap aktivitas (takikardi,
3. nutritional status: energy

24
setelah dilakukan tidnakan disritmai, dispnea, diaphoresis,
keperawatan selama 2x24 jam pucat, tekanan hemodinamik dan
kelelahan pasien teratasi dengan jumlah respirasi)
2. monitor dan catat pola dan
kriteria hasil:
jumlah tidur klien
1. kemampuan aktivitas adekuat
3. monitor lokasi ketidaknyamanan
2. mempertahankan nutrisi adekuat
3. keseimbangan aktivitas dan atau nyeri selama bergerak dan
istirahat aktivitas
4. menggunakan tehnik energy 4. monitor intake nutrisi
5. monitor pemberian dan efek
konservasi
5. mempertahankan interaksi sosial samping obat depresi
6. mengidentifikasi faktor fisik dan 6. instruksikan pada klien untuk
psikologis yang menyeabbkan memcatat tanda dan gejala
kelelahan kelelahan
7. mempertahankan kemampuan 7. jelaskan pada klien hubungan
untuk konsentrasi kelelahan dengan proses
penyakit
8. kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
intake makanan tinggi energy
9. dorong klien dan keluarga
mengekspresikan perasaannya
10. catat aktivitas yang dapat
meningkatkan kelelahan
11. anjurkan klien melakukan yang
meningkatkan relaksasi
12. tingkatkan pembatasan bedrest
dan aktivitas
13. batasi stimulasi lingkungan
untuk memfasilitasi relaksasi

Dx: kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi


Do:
1. gangguan pada bagian tubuh
2. kerusakan lapisan kulit

25
3. gagguan permukaan kulit
NOC NIC
1. tissue integrity: skin and 1. anjurkan pasien untuk
mucous membrane menggunakan pakaian yang
2. wound healing: primer dan
longgar
sekunder 2. Hindari kerutan pada tempat
setelah dilakukan tindakan tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
keperawatan selama 2x24 jam
bersih dan kering
kerusakan integritaskulit berkurang
4. Mobilisasi klien (ubah posisi
dengan kriteria hasl:
klien) setiap dua jam sekali
1. intergritas kulit yang baik bisa 5. Monitor kulit akan adanya
dipertahankan (Sensai, kemerahan
6. Oleskan lotion atau minyak pada
elastisitas, temperature, hidrasi,
daerah yang tertekan
pigmentasi)
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
2. tidak ada luka/lesi pada kulit
3. perfusi jaringan baik klien
4. menunjukkan pemahaman 8. Monitor status nutrisi klien
9. Memandikan klien dengan
dalam proses perbaikan kult dan
sabun dan air hangat
mencegah terjadinya cedera
10. Kaji lingkungna dan peralatan
berulang
yang menyebabkan tekanan
5. mampu melindungi kulit dan
11. Observasi luka: lokas, dimensi,
mempertahankan kelembaban
kedalaman luka, karakteristik,
kulit dan perawatan alami
warna cairan, granulasi, jaringan
6. menunjukkan terjadinya proses
nekrotik, tanda infeksi lokal,
penyembuhan luka
formasi traktus
12. Ajarkan pada keluarga tentang
luka dan perawatan luak
13. Kolaborasi ahli gizi pemberian
diet TKT, vitamin, cegah
kontaminasi feses dan urin
14. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril
15. Berikan posisi yang mengurangi

26
tekanan pada luka

Dx: gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada sendi


Ds:
Klien mengatakan nyeri ketika berjalan
Do:
1. penurunan waktu reaksi
2. kesulitan merubah posisi
3. perubahan gerakan (penurunan untuk berjalan, kecepata, kesulitas
memulai langkah pendek)
4. keterbatasan motorik kasar dan halus
5. keterbatasan ROM
6. gerakan disertai napas pendek atau tremor
7. ketidakstabilan posisi selama menggunakan ADL
8. gerakan sangat lambat dan tidak terkoordinasi
NOC NIC
1. joint movement: active Exercise therapy: ambulation
2. mobility level
1. monitor vital sign
3. self care: ADLs
4. transfer performance sebelum/sesudah latian dan
setelah dilakukan tindakan lihat respon pasien saat
keperawatan selama 2x24 jam latihan
2. konsultasikan dengan terapi
gangguan mobilitas fisik teratasi
fisik tentang rencana
dengan kriteria hasil:
ambulasi sesuai dengan
1. klien meningkat dalam
kebutuhan
aktivitas fisik
3. bantu klien untuk
2. mengerti tujuan dari
menggunakan tongkat saat
peningkatan mobilitas
3. memverbalisasikan perasaan berjalan dan cegah terhadap
dalam meningkatkan cedera
4. ajarkan klien atau tenaga
kekuatan dan kemampuan
kesehatan lain tentang tehnik
berpindah
4. memperagakan penggunaan ambulasi
5. kaji kemampuan klien dalam
alat bantu mobilisasi
mobilisasi

27
6. latih klien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara
mandiri sesuai kemampuan
7. damping dan bantu jika klien
memerlukan
8. ajarkan klien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan

Dx: gangguan body image berhubungan dengan penyakit kronis


Ds:
1. depersonalisasi bagian tubuh
2. perasaan negatif tentang tubuh
3. secara verbal menyatakan perubahan gaya hidup
Do:
1. perubahan actual struktur dan fungsi tubuh
2. kehilangan bagian tubuh
3. bagian tubuh tidak berfungsi
NOC NIC
1. body mage Body image enchancement
2. self esteem
1. kaji secara verbal dan nonverbal
setelah dilakukan perawatan 2x24
respon klien terhadap tubuhnya
jam gangguan body image klien 2. monitor frekuensi mengkritik
berkurang dengakriteria hasil: dirinya
3. jelaskan tantang pengobatan,
1. body image positif
2. mampu mengidentifikasi perawatan, kemajuan dan
kekuatan personal prognosis penyakit
3. mendeskripsikan secara 4. dorong klien mengungkapkan
factual perubahan fungsi perasaannya
5. identifikasi arti pengurangan
tubuh
4. mempertahankan interaksi melalui pemakaian alat bantu
6. fasilitasi kontak dengan individu
sosial
lain dalam kelompok kecil

28
2.3 Hipersensitivitas

2.3.1 Definisi

Alergi adalah respon imun yang kuat terhadap alergen (suatu elergen
yang menghasilkan alergi). Alergen bias any tidak berbahaya (mis. Debu
rumah, makanan, kulit dan bulu binatang). Saaat pajanan awal ke alergen,
individu menjadi peka terhadapn\ya, dan pajanan kedua serta pajanan
selanjutnya, jumlah system imun memberikan respon yang proporsinya
berlebihan terhadap ancaman yang diterima. Kadangkala efeknya ringan,
namun mengganggu, seperti pilek dan mata berair akibat hay fever (rhinitis
alergi). Kadang reaksi dapat begitu ekstrem seperti mengganggu system
tubuh secara berlebihan dan menyebabbkan kematian. Mekanisme
pertahanan tubuh, Sinus (rinitis) nasal dan paranasal, Sistem pernapasan
(asma).

Alergi adalah rangsangan berlebihan terhadap reaksi peradangan yang


terjadi sebagai respons terhadap antigen lingkungan spesifik. Suatu antigen
yang enyebabkan alergi disebut alergen. Reaksi alergi dapat diperantarai
antibody atau sel T. Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah contoh alergi
diperantarai antibodi, sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV adalah
alergi diperantarai sel T.

Orang dengan respon alergi hipersensitivitas tipe I membentuk banyak


antibodi IgE yang sensitive terhadap alergen. Apabila antigen dijumpai
oleh antibody tersebut, antibody akan berespons berlebihan sehingga
terjadi degranulasi sel mast yang luas disertai pelepasan histamine dan
berbagai perantara peradangan lainnya (leukotrien, kemokin, dan sitokin).
Reaksi hipersensitivitas tipe IV terjadi setelah transport alergen transdermal
(menembus kulit) yang ditunjukkan oleh sel T yang tersensitisasi alergen

29
tersebut. Manifestasi suatu respon alergi bergantung dimana alergen
ditemukan di dalam makanan, dalam partikel yang terhirup, atau melalui
kulit. Waktu reaksi alergi bermacam-macam bergantung pada apakah
respons tipe I (segera) atau tipe IV (lambat). Reaksi tipe I melibatkan kulit
yang disebut dermatitis atopic sedangkan reaksi tipe IV disebut dermatitis
kontak alergi. Respons kulit terhadap poison ivy adalah contoh dermatitis
kontak alergi.

2.3.2 Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan kami bagi menjadi 2 yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-
fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan
penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini
mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh
kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya
Ikan 15,4 %
Telur 12,7 %
Susu 12,2 %
Kacang 5,3 %
Gandum 4,7 %
Apel 4,7 %
Kentang 2,6 %
Coklat 2,1 %
Babi 1,5 %
Sapi 3,1 %
30
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

2.3.3 Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh
seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena
alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi
makanan yang sama barulah tampak gejala – gejala timbulnya alergi pada
kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi
( Ig E ). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel –
sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan
reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah
yang banyak , kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh
melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkanterjadinya gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru,
alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling
ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila
tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

2.3.4 Manifestasi Klinis

31
1. Pembengkakan local, gatal, dan kemerahan kulit, pada pajanan alergen
ke kulit. Reaksi tipe IV sering ditandai oleh lepuhan dan pengerasan
pada area yang terkena.
2. Diare dank ram abdomen, pada pajanan alergen saluran cerna.
3. Rinitis alergi, yang ditandai oleh mata gatal dan pilek encer, pada
pajanan alergen saluran napas. Terjadi pembengkakan dan kongesti,
dapat timbul kesulitan bernapas akibat konstriksi otot polos bronkiolus
pada jalan napas yang di induksi oleh histamine.

Manifestasi dan mekanisme reaksi hipersensitivitas

Tipe Manifestaasi Mekanisme


I Reaksi hipersensitivitas cepat Biasanya Ig E
II Antibodi terhadap sel Ig G dan Ig M
III Kompleks antibodi-antigen Ig G (terbanyak) atau Ig M
IV Reaksi hipersensitivitas lambat Sel T yang disensitisasi

2.3.5 Mekanisme Hipersensitivitas

Terdapat empat mekanisme hipersensitivitas, yang diklasifikasikan sesuai


dengan bagian system imun yang terlibat.

Tipe I, Hipersensitivitas tipe cepat (Analfilaksis)

Sensitivitas tipe 1 terjadi pada individu yang mengalami penurunan


kadar jenis antibody yang sangat tinggi yang disebut immunoglobulin E
(IgE). Jika terpajan alergi (misal, kacang), antibody mengaktivasi sel mast
dan basofil, yang melepaskan kandungan granularnya. Zat terpenting yang
dilepaskan adalah histamine, yang mengonstriksi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Contoh reaksi tipe 1 meliputi hay fever,
alergi kacang, dan situasi anafilaksisserius yang disertai bronkokonstriksi
yang berlebihan, kegawatan pernapasa, serta syok yang diakibatkan
vasodilatasi berlebihan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan kematian.

32
Pada hipersensitivitas tipe I, secara khas terdapat dua fase :

1. Respons Inisial (cepat) yang terlihat dalam waktu 5 sampai 30 menit


setelah pajanan alergen resolusi dalam waktu 30 menit. Mediator sel
mast yang menginduksi respon inisial cepat meliputi :
a. Amina biogenic (misal, histamin) yang menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas serta dilatasi
vaskuler, dan peningkatan sekresi kelnjar mukosa.
b. Mediator kemotaktik (misal, factor kemotaktik eosinofil dan
neutrofil)
c. Enzim-enzim yang terdapat di dalam matriks granul (misal,
kimase, triptase) yang menghasilkan kinin dan komplemen aktif
lewat kerjanya pada protein prekursornya.
d. Proeoglikan (miasl, heparin).
2. Fase Sekunder (lambat) dengan onset 2 sampai 24 jam sesudah pajanan
alergen awal, keadaan ini dapat berlangsung selama berhari-hari, dan
ditandai dengan infiltrasi sel inflamasi yang intensif dengan disertai
kerusakan jaringan. Fase sekunder lanjut ini digerakkan mediator lipid
dan sitokin yang diproduksi oleh sel mast yang sudah diaktifkan.

Mediator lipid meliputi :

a. Leukotrien B, bersifat sangat kemotaktik terhadap neutrofil,


monosit dan eosinofil.
b. Leukotrien lebih poten 1000 kali lipat

dibandingkan histamine dalam meningkatkan permeabilitas


vaskuler dan menyebabkan kontraksi otot polos bronchial.
Mediator ini juga menimbulkan sekresi kelenjar mukosa yang
nyata.
c. Prostagladin menyebabkan bronkospasme berat, vasodilatasi

dan sekresi mucus.

33
d. Platelet-activating factor menyebabkan agregasi trombosit,
pelepasan histamine, bronkokonstriksi, vasodilatasi, dan
peningkatan permeabilitas vaskuler.

Mediator sitokin merekrut dan mengaktifkan sel inflamasi, meliputi


tumor necrosis factor (TNF)-α, berbagai interleukin (IL1, IL3, IL4, IL5,
IL6), GM-CSF dan kemokin (protein kemoatraktan). TNF-α secara
khusus mengaktifasi banyak inflamasi yang kuat dan bekerja merekrut
serta mengaktifasi banyak sel inflamasi tambahan. Sel inflamasi yang
direkrut juga melepaskan sitokin, dan sel epitel yang diaktifkan oleh
TNF-α mensekresikan kemokin (misal, eotaksin) yang merekrut
eosinofil. Eosinofil dalam respons fase lanjut menyebabkan kerusakan
jaringan dengan melepaskan protein basa yang utama dan protein
kationik eosinofil.

Tipe II, Hipersensitivitas Sitotoksik

Saat antibody bereaksi dengan antigen pada permukaan sel, sel tersebut
ditandai untuk dihancurkan oleh sejumlah mekanisme (mis, fagositosis).
Peristiwa ini merupakan prosedur umum dalam eliminasi, misalnya bakteri,
tetapi jika antibody diarahkan untuk melawan antigen diri sendiri, akibatnya
adalah penghancuran jaringan tubuh sendiri (penyakit autoimun).
Mekanisme tipe II menyebabkan kondisi yang lain (msal, reaksi transfusi).

Tipe III, Hipersensitivitas diperantai kompleks imun

Kompleks antibody-antigen (kompleks imun) biasanya dibersihkan


secara efisien dari darah dengan fagosintosis. Jika tidak, kompleks imun
dapat menumpuk di dalam jaringan (mis, ginjal, kulit, sendi, dan mata),

34
yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi di jaringan tersebut. Kompleks
imun, misalnya yang terkumpul di ginjal akan tersangkut dan menyumbat
glomerulus sehungga mengganggu fungsi ginjal (glomerulonefritis).

Patogenesis reaksi tipe III

1. Bentuk kompleks antigen (endogen atau eksogen) antibody


2. Lokalisasi kompleks dalam pembuluh darah sering di area sendi
3. Aktivasi jarak inflamasi komplemen
4. Kemotaksis untuk sel dan eksudat
5. Inflamasi dengan pembengkakan, panas, dan nyeri pada sendi dan
jaringan
6. Infiltrasi area ini dengan leukosit polimorfonuklear dan jaringan
7. Kerusakan dan destruksi jaringan
8. Inflamasi dan deposisi berlanjut
9. Pembentukan jaringan parut dan deposisi kolagen, dapat menyebabkan
defornitas sendi atau jaringan

Tipe IV, Hipersensitivitas tipe terambat

Tidak seperti hipersensitivitas tipe I-III, hipersensitivitas tipe IV tidak


melibatkan antibody, tetapi merupakan reaksi berlebihan sel T (limfosit T)
terhadap sebuah antigen. Biasanya system ini terkendali dan respons sel T
tepat. Jika tidak, sel T-sitotoksik yang agresif secara aktif akan merusak
jaringan normal. Contoh hipersensitivitas tipe IV adalah dermatitis kontak,
seperti yang disebabkan oleh alergi terhadap lateks. Penolakkan cangkokan
(graft) juga disebabkan oleh sel T.

2.3.6 Klasifikasi keadaan Hipersensitivitas

Tipe Penyebab Sel/Antibod Mekanisme imun Contoh


i terkait Penyakit
Tipe I Protein IgE IgE melekat pada Demam jerami,
Hipersensitivitas asing permukaan sel alergi,
imediat (antigen) mast dan antigen urtikaria, syok

35
(analfilaksis,atopi) spesifik, memicu analfilaktik
pembebasan granul
intrasel dari sel
mast
Tipe II Protein IgG/IgM Antibody bereaksi Transfusi,
Hipersensitivitas asing dengan antigen, hemolisis
sitotoksik (antigen) menggiatkan karena obat,
komplemen eritroblastosis
berakibat sitolisis fetalis, anemia
hemolitik,
purpura
vascular
Tipe III Protein IgG, Kompleks Ag-Ab Artritis
Penyakit asing IgM,IgA mengendap dalam rheumatoid,
kompleks imun (antigen) jaringan, lupus
Antigen menggiatkan eritematosus
endogen komplemen, sistemik,
menimbulkan penyakit serum
reaksi radang
Tipe IV Protein, Limfosit-T Sel T aktif bereaksi Dermatitis
Seluler/ Tertunda sel, atau dengan antigen kontak, reaksi
jaringan spesifik untuk penolakan
asing menginduksi pencangkokan
proses peradangan
melalui kerja sel
langsung atau
melalui antivitas
limfokin

2.2.6 Penyebab Alergi

36
Penyebab alergi tidaklah jelas walaupun tampaknya terdapat
predisposisi genetik. Predisposisi tersebut dapat berupa pengikatan IgE
yang berlebihan, mudahnya sel mast dipicu untuk berdegranulasi, atau
respons sel T helper yang berlebihan. Hasil penelitian terkini
menunjukkan bahwa defisiensi sel T regulator dapat menyebabkan
responsivitas berlebihan dari system imun dfan alergi. Pajanan berlebihan
terhadap alergen-alergen tertentu setiap saat, termasuk selama gestasi,
dapat menyebabkan respons alergi.

2.3.7 Pertimbangan Pediatrik

Bayi dan anak yang terpajan asap rokok memiliki resiko lebih besar
menderita asma dan alergi saluran napas lainnya.

2.3.8 Pemeriksaan Diagnostik

1. Uji kulit membantu diagnosis alergi. Alergi dicurigai yang jumlahnya


sedikit diinjeksikan di bawah kulit. Individu yang alergi terhadap
alergen tersebut akan berespon dengan ditemukannya eritema,
bengkak, dan gatal pada area injeksi.
2. Analisis immunoglobulin serum dapat menunjukkan peningkatan
hitung basofil dan eosinofil.

2.3.9 Penatalaksaan

1. Antihistamin dan obat-obat yang menghambat degranulasi sel mast


dapat mengurangi gejala-gejal alergi
2. Kortikosteroid yang dihirup atau sistematik bekerja sebagai obat anti
peradangan dan dapat mengurangi gejal suatu alergi. Orang yang
mengidap alergi perlu menggunakan obat-obat ini dalam jangka waktu
yang cukup lama sebelum obat menjadi efektif. Kortikosteroid inhalan
hanya berefek di saluran napas dan tidak menimbulkan efek sistemik.
3. Stabilizer sel mast inhalan mengurangi deghranulasi sel mast dan dapat
menurunkan gejala alergi tipe I.

37
4. Terapi desensitisasi, berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat
mensensitisasi pasien) dalam jumlah yang kecil dapat mendorong pasien
tersebut membentuk antibody IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat
bekerja sebagai antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu
pasien tersebut kembali terpajan ke alergen, antibody penghambat dapat
berikatan dengan molekul IgE ganda secara kovalen bersama-sama.
Karena pengikatan IgG tidak menyebabkan degranulasi sel mast yang
berlebihan, maka gejala alergidapat berkurang. Antibody IgG dihasilkan
setiap kali berikatan dengan alergen dan terkadang dapat menghentikan
respon alergi.

2.3.10 Komplikasi

1. Reaksi alergi yang hebat dapat menyebabkan anafilaksis. Hal ini


ditandai oleh penurunan tekanan darah dan penutupan jalan napas.
Gatal, kram, dan diare dapat terjadi. Tanpa intervensi, reaksi yang
sangat hebat dapat menyebabkan syok kardiovaskular, hipoksia dan
kematian.
2. Dermatitis kontak alergi (cont. reaksi terhadap poison ivy) dapat
menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan berlebihan.

2.3.11 Asuhan Keperawatan

Reaksi alergi : menggambarkan individu yang mengalamai atau beresiko


tinggi mengalami hipersensivitas dan pelepasan mediator untuk substansi
khusus (antigen).

Risiko tinggi
1. Riwayat alergi
2. Asma
3. Imunoterapi
4. Individu yang terpajan antigen berisiko tinggi :
a. Gigitan serangga (misal : lebah, semut, laba-laba)

38
b. Gigitan /sengatan binatang (misal : ular, ubur-ubur)
c. Media kontras radiologi terionisasi (misal : yang digunakan
pada arteriografi pielogravi intravena)
d. Tranfusi darah dan produk darah
5. Individu berisiko tinggi terpajan
a. Medikasi berisiko tinggi (misal : aspirin, antibiotik, opiate,
anestesi local, insulin binatang, kimopapain)
b. Makanan berisiko tinggi (misal : kacang ,cokelat , telur,
makanan laut, kerang ,stroberi,susu )
c. Kimia (misal : semir lantai, cat, sabun, parfum,karpet baru)

Tujuan Keperawatan
Perawat akan mengatasi dan meminimalkan komplikasi reaksi alergi.

Intervensi Umum
1. Kaji dengan saksama adanya riwayat respons alergi (misal :ruam ,sulit
bernapas)
Mengidentifikasi klien yang berisiko tinggi memungkinkan
dilakukannya tindak kewaspadaan untuk mencegah anafilaksis.
2. Bila klien memiliki riwayat reaksi alergi, konsultasikan dengan dokter
atau perawat pakar untuk melakukan uji kulit bila diindikasikan
Uji kulit dapat memastikan hipersensivitas.
3. Pantau tanda dan gejala reaksi alergi local
a. Bentol ,kemerahan (karena pelepasan histamin)
b. Gatal
c. Edema nontraumatik (periolar,periorbital)
Manifestasi awal ini dapat menunjukkan dimulainya kontinum reaksi
local hingga reaksi sistemik sampai syok anafilaktik.
4. Saat tanda awal hipersensivitas muncul konsultasikan dengan dokter
atau perawat pakar untuk memberikan intervensi farmakologis , seperti
antihistamin. Antihistamin umumnya digunakan untuk mengatasi
reaksi local ringan dengan menghambat pelepasan histamine.
5. Pantau tanda dan gejala reaksi alergi sistemik dan anafilaksis

39
Berkunang-kunang ,ruam kulit, dan hipotensi ringan (akibat
vasodilatasi akibat histamin).
Rasa ketat pada tenggorok atau palatum , mengi ,serak, dyspnea, dan
sesak pada dada (karena kontraksi otot polos akibat pelepasan
prostaglandin).
Nadi meningkat dan tidak teratur serta penurunan tekanan darah (ka
rena pelepasan leukotriene yang mengontriksi jalan napas dan
pembuluh darah coroner).
Penurunan tingkat kesadaran ,distress pernapasan dan syok (akibat
hipotensi berat, insufisiensi pernapasan dan hipoksia jaringan)
(dalam hitungan menit,reaksi di ata dapat berkembang menjadi
hipotensi berat, penurunan tingkat kesadaran ,dan disstres pernapasan
,dan dapat menyebabkan kematian dengan cepat)
6. Segera mulai protocol kedaruratan untuk mengatasi anafilaksis dan
/atau segera hubungi dokter atau perawat spesialis
7. Mulai jalur IV
Untuk pemberian obat secara cepat
8. Berikan epineprin IV atau melalui endotrakea
Untuk menghasilkan vasokontriksi perifer, yang meningkatkan
tekanan darah ,dan bertindak sebagai agonis betha untuk
meningkatkan relaksasi otot polos bronkus dan untuk meningkatkan
aktivitas jantung inotropic dan kronotropik
9. Berikan oksigen berikan ,buat jalan napas paten bila diindikasikan.
Sediakan suction . tindakan intubasi orofaring mungkin diperlukan
(edema laring mengganggu pernapasan)
10. Berikan medikasi lain, sesuai program, yang dapat mencangkup :
a. Kortikosteroid
Untuk menghambat enzim dan respon SDP untuk mengurangi
bronkokonstriksi
b. Aminofilin
Untuk menghasilkan bronkodilatasi
c. Vasopressin

40
Untuk mengatasi hipotensi berat
d. Difenhidramin
Untuk mencegah reaksi antigen-antibodi lanjut
11. Evaluasi respon klien terhadap terapi secara langsung , kaji :
a. Tanda-tanda vital
b. Tingkat kesadaran
c. Bunyi paru,aliran puncak
d. Fungsi jantung
e. Asupan dan haluaram
f. Nilai AGD
Pememantauan yang cermat penting untuk mendeteksi komplikasi
syok dan mengidentifikasi kebutuhan terhadap intervensi tambahan.
12. Setelah pemulihan, diskusikan bersama keluarga dan klien tentang
tindakan prevenrtif untuk anafilaksis dan perlunya membawa set
anafilaksis, yang berisi epinefrin injeksi dan antihistamin oral untuk
penanggulangan reaksi alergi secara mandiri

2.4 Sindrom Steven Johnson

2.4.1 Definisi

41
Stevens-johnson syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang
mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah
dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensivitas
yang memengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada
kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah
dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang diajukan :

1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang


dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

2.4.2 Etiologi

Sindrom steven Johnson dapat disebabkan oleh karena:

1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes


simplek, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus
epsteinbarr atau sejenisnya.
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole,
valdecoxib, stagliptin, penicillin, barbiturate, sulfonamide, fenitoin,
azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin,, ibuprofen,
ethosuximide, carbamazepin)
3. Keganasan (karsinima dan limfoma), atau
4. Faktor idiopatik (hingga 50%)
Sindrom steven Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung gingseng.
Sindrom steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan
kokain. Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau
reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya
karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang
secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS. Eritem multiformis,
sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide

42
(antibiotic), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative)lamotrigin
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin
dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.

2.4.3 Patofisiologi

Obat-obatan, infeksi
Kelainan hipersensivitas
virus, keganasan

Kelainan hipersensivitas tipe IV Kelainan hipersensivitas tipe III

Limfosit T tersintesisasi Antigen antibody terbentuk


terperangkap dlm jar kapiler

Pengaktifan sel T
Aktivasi S.komplemen

Melepaskan limfokin/ Degranulasi sel mask


sitotoksik

Akumulasi netrofil
Penghancuran sel-sel memfagositosi sel yang
43 rusak
-ketidakseimbangan nutrisi
Respon lokal : eritema, vesikel kurang dari
Gangguan kebutuhan tubuh
gastrointestinal Triase Kondisi kerusakan
gangguan padarusak jaringan
kulit,
Reaksi peradangan Melepasnya sel yang
Port
Risiko
Nyeri
de bula
infeksi
enteree -deficit
Hipertermi perawatan
Kerusakan
Respon dirisistemik
inflamasi
intergritas jaringan Kerusakan
Respon kulit
jaringan
Ansietas
psikologis
dan demam, malaise mukosa dan mata
2.4.4 Manifestasi Klinis

SJS biasanya mulai timbul dengan gejala-gejala seperti infeksi saluran


pernapasan atas yang tidak spesifik, kadang-kadang 1-14 hari. Ada demam,
susah menelan, menggigil, nyeri kepala, rasa lelah, sering kali juga
muntah-muntah, diare. Muncul kelainan kulit, seperti koreng, melepuh,
sampai bernanah, serta sulit makan dan minum. Bahkan juga mengenai
saluran kencing menyebabkan nyeri.

Kelainan kulit bisa dimulai dengan bercak kemerahan tersebar vesikel


dan membesar hingga menimbulkan jaringan parut, terutama pada selaput
lender seperti di hidung, mulut, mata, alat kelamin, dan lain lain. Berat
ringanya manifestasi klinis SJS bervariasi pada tiap individu bsa dari yang
ringan sampai berat menimbulkan gangguan pernapasan dan infeksi berat
sampai mematikan.

44
2.4.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu
dokter dalam menegakkan diagnosa.
b. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel
darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan
tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan
infeksi bakterial berat.
c. Pemeriksaan elektrolit
d. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai
terjadi
e. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD),
dan kolonoskopi dapat dilakukan
2. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
3. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung
ditegakkannya diagnosa.

2.4.6 Penatalaksanaan

Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :

1. Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.


2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

3. Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,


kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan
steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa
penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun
ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan
menyelamatkan nyawa.

45
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3
tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3
kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1
kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

5. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

6. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

7. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

8. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan


alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat
nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari
intravena, diberikan 2 kali/hari.

2.4.7 Komplikasi

Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi pada mata


berupa simblefaron dan ulkus kornea. Komplikasi lain adalah timbulnya
sembab, demam atau hipotermia dan yang terberat adalah sepsis.

Berikut komplikasi yang sering pada steven Johnson syndrome :


1. Bronkopneumonia (80%)
2. Sepsis
3. Kehilangan cairan/darah
4. Gangguan keseimbangan elektrolit
5. Syok
6. Kebutaan gangguan lakrimasi

2.4.8 Asuhan Keperawatan


Diagnosa keperawatan:

46
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)
2. Nyeri berhubungan dengan adanya bula
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan intake nutrisi
4. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan bula yang mudah
pecah
5. Resiko infeksi berhubungan dengan efek samping terpasangnya infus
dan terapi steroid.

No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan


Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
(NANDA)
1. Hipertermia berhubungan Pasien dalam a. Terapi demam:
dengan proses penyakit keadaan Penatalaksanaan
(infeksi) Thermoregulasi pasien yang
setelah dilakukan mengalami
Batasan karakteristik: perawatan selama 24 hiperpireksia
1. Konvulsi jam dengan kriteria akibat faktor
2. Kulit kemerahan
hasil: selain
3. Peningkatan suhu
a) Suhu tubuh lingkungan.
tubuh diatas kisaran
b. Kewaspadaan
dalam
normal
hipertermia
4. Kejang rentang
5. Takikardi maligna:
normal
6. Takipnea
b) Nadi dan RR Pencegahan atau
7. Kulit terasa hangat
dalam penurunan
rentang respon
normal hipermetabolik
c) Tidak ada
terhadap obat-
perubahan
obat
warna kulit
farmakologis
dan tidak ada
yang digunakan
pusing
selama
pembedahan.
c. Regulasi sushu:

47
Mencapai atau
mempertahankan
suhu tubuh
dalam rentang
normal.
d. Pemantauan
tanda vital:
Mengumpulkan
dan menganalisis
data
kardiovaskular,
pernapasan, dan
suhu tubuh untuk
menentukan serta
mencegah
komplikasi.

No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan


Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
(NANDA)
2. Nyeri akut berhubungan Pasien menunjukkan a) Pemberian
dengan adanya bula. berkurangnya tingkat analgesik untuk
nyeri dalam skala 3 menghilangkan
Batasan karakteristik: setelah dilakukan nyeri.
Subjektif: perawatan selama 24 b) Manajemen
Mengungkapkan secara jam dengan kriteria medikasi:

48
verbal atau melaporkan nyeri hasil: memfasilitasi
dengan isyarat. a. Tiingkat penggunaan
Objektif: kenyamanan obat resep atau
Posisi untuk menghindari positif obat bebas
nyeri. terhadap secara aman dan
Perubahan tonus otot. kemudahan efektif.
Respon autonomik fisik dan c) Manajemen
(misalnya, diaforesis; psikologis. nyeri: Ajarkan
perubahan tekanan darah, b. Tindakan penggunaan
pernapasan, atau nadi; individu teknik
dilatasi pupil). dalam nonfarmakologi
Perubahan selera makan. pengendalian s selama
Perilaku distraksi. nyeri. aktivitas yang
Perilaku ekspresif (gelisah, c. Keparahan menimbulkan
merintih, menangis, waspada nyeri dapat nyeri.
berlebihan). diamati atau d) Bantuan
Bukti nyeri yang dapat dilaporkan. analgesia yag
diamati. dikendalikan
Berfokus pada diri sendiri. oleh pasien.
Gangguan tidur. e) Memberikan
sedatif,
memantau
respon pasien,
dan
memberikan
dukungan
fisiologis yang
dibutuhkan
selama prosedur
diagnostik atau

49
terapeutik.

No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan


Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
(NANDA)
3. Ketidakseimbangan Nutrisi pasien terbenuhi Nutrition Management:
nutrisi kurang dari setelah dilakukan 1. Kolaborasi
kebutuhan tubuh perawatan selama 2x24 dengan ahli
berhubungan dengan jam dengan kriteria gzizi untuk
penurunan intake nutrisi hasil: menentukan
a. Adanya jumlah kalori
Batasan karakteristik:
peningkatan dan nutrisi yang
a) Kram abdomen
berat badan dibutuhkan
b) Nyeri abdomen
sesuai dengan pasien.
c) Menghindari
tujuan 2. Anjurkan pasien
makanan
b. Berat badan ideal untuk
d) Berat badan 20%
sesuai dengan meningkatkan
atau lebih
tinggi badan intake Fe,
dibawah berat
c. Mampu protein dan
badan ideal
mengidentifikasi vitamin C
e) Kerapuhan kapiler
kebutuhan nutrisi 3. Makanan
f) Diare
d. Tidak ada tanda- mengandung
g) Kehilangan
tanda malnutrisi serat tinggi
rambut berlebihan
e. Menunjukkan untuk mencegah
h) Bising usus
peningatan konstipasi.
hiperaktif
fungsi Nutrition Monitoring:
i) Kurang makanan
pengecapan dari 1. BB pasien
j) Membran mukosa
menelan dalam batas

50
pucat f. Tidak terjadi normal.
k) Tonus otot penurunan berat 2. Monitor adanya
menurun badan yang penurunan berat
l) Mengeluh berarti. badan.
gangguan sensasi 3. Monitor tipe dan
rasa jumlah aktivitas.
m) Cepat kenyang 4. Monitor turgor
setelah makan kulit.
n) Sariawan rongga 5. Monitor
mulut kekeringan,
o) Kelemahan otot rambut kusam,
pengunyah dan mudah
p) Kelemahan otot patah.
untuk menelan 6. Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb dan
kadar Ht.
7. Monitor kalori
dan intake
nutrisi
8.
No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan
Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
(NANDA)
4. Kerusakan integritas Kerusakan integritas a. Anjurkan pasien
jaringan berhubungan kulit pasien teratasi untuk
dengan bula yang mudah setelah dilakukan menggunakan
pecah perawatan selama 2x24 pakaian yang
Batasan karakteristik:
jam dengan kriteria longgar
a) Gangguan pada
hasil: b. Hindari kerutan
bagian tubuh
b) Kerusakan lapisan 1. Integritas kulit pada tempat

51
kulit (dermis) yang baik bisa tidur
c) Gangguan
dipertahankan c. Jaga kebersihan
permukaan kulit
(sensasi, kulit agar tetap
(epidermis)
elastisitas, bersih dan
temperatur, kering
hidrasi, d. Mobilisasi
pigmentasi) pasien setiap
2. Tidak ada dua jam sekali
luka/lesi pada e. Monitor kulit
kulit akan adanya
3. Perfusi jaringan kemerahan
baik f. Oleskan lotion
4. Menunjukkan atau baby oil
pemahaman pada daerah
dalam proses yang tertekan
perbaikan kulit g. Monitor status
dan mencegah nutrisi pasien
terjadinya cedera h. Memandikan
berulang pasien dengan
5. Mampu sabun dan air
melindungi kulit i. Kaji lingkungan
dan dan peralatan
mempertahankan yang
kelembapan kulit menyebabkan
dan perawatan tekanan
alami j. Observasi luka
6. Menunjukan k. Cegah
terjadinya proses kontaminasi
penyembuhan feses dan urin
luka l. Lakukan tehnik

52
perawatan luka
dengan steril
m. Berikan posisi
yang
mengurangi
tekanan pada
luka.

No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan


Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
(NANDA)
5. Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan 1) Pertahankan
dengan efek samping tindakan keperawatan tehnik aseptif
terpasangnya infus dan selama 24 jam pasien 2) Batasi
terapi steroid tidak mengalami pengunjung bila
Faktor-faktor risiko:
infeksi dengan kriteria perlucuci
a. Prosedur infasif
b. Kerusakan jaringan hasil: tangan setiap
dan peningkatan a. Klien bebas dari sebelum dan
paparan lingkungan tanda dan gejala sesudah
c. Malnutrisi
infeksi tindakan
d. Peningkatan
b. Menunjukan keperawatan
paparan lingkungan
kemampuan 3) Gunakan baju,
patogen
e. Imunosupresi untuk sarung tangan
f. Tidak adekuat
mencegah sebagai alat
pertahanan sekunder
timbulnya pelindung
(penurunan Hb,
infeksi 4) Ganti letak IV
leukopenia,
c. Jumlah leukosit perifer dan
penekanan respon
dalam batas dressing sesuai
inflamasi)
normal dengan
g. Penyakit kronik
h. Imunosupresi d. Menunjukan petunjuk umum
i. Malnutrisi
perilaku hidup 5) Gunakan
j. Pertahanan primer

53
tidak adekuat sehat kateter
(kerusakan kulit, e. Status imun, intermiten
trauma jaringan, gastrointestinal, untuk
gangguan genitourinaria menurunkan
peristaltik) dalam batas infeksi kandung
normal kemih
6) Tigkatkan
intake nutrisi
7) Monitor tanda
dan gejala
infeksi sistemik
dan lokal
8) Monitor adanya
luka
9) Kaji suhu
badan pasien
neutropenia
setiap jam 4
jam

54
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. & JoAnn C. Hacley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku
Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 3.
Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan : Aplikasi dan Praktek Klinis.


Jakarta : ECG

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 revisi. Jakarta: EGC

Curtis, Glade B. MD, FACOG. 1999. Kehamilan Apa yang Anda Hadapi Minggu per
Minggu. Jakarta: Arcan

Kee, Joyce Lefever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi
2. Jakarta: EGC

Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan
Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit volume 2 Edisi 6.
Jakarta: EGC

Richard N. Mitchell, et al. 2008. Pocket Companionto Robbins & Cotran Pathologic

Basic of Disease, ed. Jakarta : EGC.

Rubenstein, David, David Wayne, John Bradley. 2003. Lecture Notes Kedokteran
Klinis Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga

Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatann Medikal Bedah. Jakarta: EGC

55
Sullivan, Amanda, Lucy Kean & Alison Cycer. 2009. Panduan Pemeriksaan
Antenala. Jakarta: EGC

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.

Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Wallace, Daniel J. 2007. The Book Lupus

Yatim, Dr. Faisal DTM&H, MPH. 2006. Penyakit Tulang dan Persendian Arthritis
atau Artharlgia. Jakarta: Pustaka Popular

56

Anda mungkin juga menyukai