PENDAHULUAN
1
10. Bagaimana komplikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
11. Bagaimana asuhan keperawatan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan
Steven Johnson Syndrome?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa sebagai calon perawat yang professional diharapkan mengerti
dan memahami penyakit imunologi SLE, Reaksi Hipersensitivitas dan
Steven Johnson Syndrome serta mampu memberikan asuhan keperawatan
pada klien dengan gangguan sistem imunologis dengan tepat.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui anatomi, definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis,
pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan
keperawatan yang tepat untuk gangguan sistem imunologis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibody, dan fungsi
pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama berhubungan
imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi dan penolakan
jaringan.
Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap
infeksi dari makromolekul asing atau serangan organism, termasuk virus, bakteri,
protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap
protein tubuh molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas dan melawan
sel yang teraberasi menjadi tumor
Letak sistem imun
3
(termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan
tubuh juga terdapat di tempat lain.
2. Thymus
Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/mematangkan T limfosit
yang kemudian bergerak ke jaringan limfatik yang lain, dimana T limfosit
dapat berrespon terhadap benda asing. Thymus mensekresi 2 hormon
thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi perkembangan dan aktivitas T
limfosit.
a. Limfosit T sitotoksik
Limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel. Sel T
sitotoksik memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif bila menjumpai
sel dengan antigen permukaan yang abnormal. Bila telah aktif sel T
sitotoksik menghancurkan sel abnormal.
b. Limfosit T helper
Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun normal. Ketika
distimulasi oleh antigen presenting sel seperti makrofag, T helper melepas
faktor yang menstimulasi proliferasi sel B limfosit.
c. Limfosit B
Tipe sel darah putih atau leukosit penting untuk imunitas yang diperantarai
antibody/humoral. Ketika di stimulasi oleh antigen spesifik limfosit B
akan berubah menjadi sel memori dan sel plasma yang memproduksi
antibody.
d. Sel plasma
Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari limfosit
lain, memiliki reticulum endoplamik kasar dalam jumlah yang banyak,
aktif memproduksi antibody.
3. Getah bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perlanan
limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selangkangan,
dan para-aorta daerah.
4. Nodus limfatikus
Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem limfatik. Nodus
limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan makrofag yang
berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe
4
bergerak melalui sinus, sel fagosit menghilangkan benda asing. Pusat
germinal merupakan produksi limfosit.
5. Tonsil
Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan
nasofaring. Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan
tonsil pharyngeal.
6. Limpa/spleen
Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam darah, merusak
eritrosit dan sebagi penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari 2 tipe
jaringan yaitu pulpa merah dan pulpa putih.
a. Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit.
b. Pulpa putih terdiri dari limfosit dan makrofag.
Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa putih dapat menstimulasi
limfosit.
2.2.1 Definisi
5
terhadap organ tubuhnya sendiri, yang dapat merusak organ tersebut dan
fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,
ginjal, paru-paru serta jantung (Glade, 1999).
2.2.2 Etiologi
6
mempunyai kerabat dekat yang menderita SLE. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antaral ain haptolip MHC
terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan
pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu yaitu Crq, Cir, Cis, C3,
C4, dan C2, serta gen-gen yang mengode reseptor sel T, immunoglobulin,
dan sitokin (Albar, 2003).
2.2.3 Patofisiologi
7
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan.
8
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam
organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah
terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah
autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
2.2.4 Epidemiologi
Bayi-bayi yang lahir dari lupus dapat terkena ruam. Mereka juga
mengalami blok jantung dan defek jantung. Bayi-bayi ini mungkin lahir
premature atau mengalami keterlambatan pertumbuhan intrauterine.
Keluhan dan gejala: gambaran klinik SLE sangat bervariasi antara satu
pasien dengan pasien SLE lainnya. Gejala terjadi dimulai dengan
timbulnya demam akibat adanya satu infeksi. Gejalanya hilang-hilang
timbul selama berbulan-bulan dan bertaun-tahun yang diselingi demam dan
badan lemah.
9
Keluhan penderita SLE yang lainnya adalah sakit kepala, kejang
epilepsy, dan gangguan kejaiwaan ssering merupakan keluhan awal.
10
vasculitis) atauotot jantung megalami fibrosis (fibrosing
myocarditis). Timbul pembengkakan elenjar limfe di seluruh
tubuh terutamapadapenderita anak-anak dan dewasa muda
(umur 20 tahunan). Pembesaran limfe terjadi pada 10%
penderita SLE.
3. Gejala gangguan saraf pusat
Keluhan sakit kepala, perubahan kepribadian, stroke, kejang
epilepsy, psikosis, gangguan organic pada otak
4. Gangguan ginjal
Bisa ringan dan tanpa gejala, sampai gangguan yang progresif
dan mematikan. Gejala yang serign ditemukan pada
pemeriksaan laboratorium air seni, terdapat protein
(proteinuria). Secara patologi terdapat kelainan pada injal,
peradangan glomerulus jinak, sampai yang peradangan
membrane yang luas (diffuse membrane prliferatif
glomerulopritis).
Sindroma menghancurkan darha sendiri pada stadium akut
SLE (Acute lupus homo pagosotik syndrome). Pada keadaan
ini sumsum tulang mengalami proliferasi yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, banyak terlihat sel histosit. Untuk
mengatasi kelainan ini, biasanya penderita berespons baik
terhadap pemberian obat kortkosteroid.
2.2.6.Klasifikasi SLE
11
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus di mulut
5. Arthritis
6. Setositis (pleuritis, perikarditis)
7. Gangguan ginjal
8. Gangguan neurologis (kejang atau psikosis)
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia,
trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
12
titer antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen membantu
mengarahkan pada ruam.
2.2.9 Penatalaksanaan
13
1. Mencegah penurunan progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan
penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan
kecacatan, dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan
2. Gunakan obat-obat antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan
kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid
3. Gunakan kortikosteroid topical untuk manifestasi kutan akut
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan
dosis oral tinggi tradisional
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal, dan sistemik ringan dengan
obat-obat antimalaria
6. Preparat imunosupresif (percobaab) diberikan untuk bentuk SLE yang
serius
2.2.10 Komplikasi
1. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya panimbunan protein di
dalam sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus
(peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal
ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan
ginjal.
2. Sistem Saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikas yang
paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan,
tetapi kelainan bisa terjadi pada bagianmanapun dari otak, korda
spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organic
dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa
terjadi
3. Penggumpalan Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlha trombosit berkurang
dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
14
Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis, endokarditis
maupun mikarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat
dari keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya).
Akibatnya dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak
napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu di tulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika
terkena sinar matahari.
15
mmHg, RR 20x/menit, nadi 90x/menit, suhu 38,5 , Hb 11gr/dl, WBC
15.000/mm3.
a. Pengkajian
1) Identitas klien
Nama : Ny. Y
Usia : 35 tahun
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Status : menikah
2) Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan,
saat beraktivitas klien merasa mudah lelah, klien merasa demam. Pipi
dan leher memerah serta nyeri pada bagian yang memerah.
6) Pemeriksaan fisik
a) TTV
TD : 110/80 mmHg
RR : 20x/menit
S : 38,5
N : 90x/menit
16
B1 (Breath)
RR 20x/menit, napas dalam terlihat seperti menahan nyeri
B2 (Blood)
TD 110/80 mmHg
B3 (Brain)
Gangguan psikologis
B4 (Bladder)
Tidak ada
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
7) Pemeriksaan penunjang
a) Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA),
positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
b) Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE
c) Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
d) Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE
17
e) Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis
pada pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan, dan trombositopeni.
b. Analisis data
18
tidak nafsu makan ↓
Do: Produksi autoimun
TD 110/80 mmHg berlebih
↓
RR 20x/menit
Autoimun menyerang
S 38,5 organ tubuh
↓
N 90x/menit SLE
↓
Adanya stomatitis menyerang hati
di mukosa mulut ↓
kesalahan sintesa zat
yang dibutuhkan tubuh
↓
perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Ds: Genetic, lingkungan, Keletihan
Nyeri pada sendi
hormone, obat tertentu
dan bagian yang ↓
Produksi autoimun
mengalami
berlebih
kemerahan
↓
Klien mengeluhkan
Autoimun menyerang
mudah lelah ketika
organ tubuh
beraktivitas ↓
Do: SLE
Klien terlihat ↓
menyerang darah
menahan nyeri
↓
TD 110/80 mmHg Hb menurun
↓
RR 20x/menit
Suplai oksigen
S 38,5 menurun
↓
N 90x/menit ATP menurun
↓
Keletihan
Ds: Genetic, lingkungan, Gangguan integritas
Nyeri pada sendi
hormone, obat tertentu kulit
dan bagian yang ↓
19
mengalami Produksi autoimun
kemerahan berlebih
Do: ↓
Autoimun menyerang
TD 110/80 mmHg
organ tubuh
RR 20x/menit
↓
S 38,5 SLE
↓
menyerang kulit
N 90x/menit ↓
Kulit kering dan kerusakan integritas
kemerahan kulit
20
S 38,5 SLE
↓
menyerang kulit
N 90x/menit ↓
Klien menunduk kerusakan integritas
saat memasuki kulit
↓
UGD Gangguan citra tubuh
(body image)
c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial
kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kronis pada sendi
4. kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
5. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi
6. gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada sendi
7. gangguan body image berhubungan dengan penyakit kronis
d. Intervensi
21
kronis pasien berkurang dengan 4. Jelaskna pada klien
kriteria hasil: penyebab nyeri
5. Lakukan tehnik
1. Tidak ada gangguan tidur
2. Tidak ada gangguan nonfarmakologis (relaksasi,
konsetrasi masase punggung)
3. Tiadak ada gangguan
hubungan interpersonal
4. Tidak ada ekspresi menahan
nyeri dan ungkapan secara
verbal
5. Tidak ada tegangan otot
22
13. monitor hidrasi seperti turgor
kulit, kelembaban mukosa
23
kusam, total protein, Hb dan
kadar Hct
10. monitor mual dan muntah
11. monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan kojungtiva
12. monitor intake nutrisi
13. informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat nutrisi
14. kolaborasikan dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan
15. atur posisi semifowler tinggi
selama makan
16. kelola pemberian antiemetic
17. anjurkan banyak minum
18. pertahankan terapi IV line
19. catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik, papila lidah dan
cavitas oral
Dx: kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
Ds:
1. kelelahan
2. meningkatnya komplain fisik
3. secara verbal menyatakan kurang energi
Do:
1. penurunan kemampuan
2. ketidakmampuan mendapatkan energy sesudah tidur
3. kurang energy
4. ketidakmampuan untuk mempertahankan aktivitas
NOC NIC
1. activity tolerance 1. monitor respon kardiorespirasi
2. energy conservation
terhadap aktivitas (takikardi,
3. nutritional status: energy
24
setelah dilakukan tidnakan disritmai, dispnea, diaphoresis,
keperawatan selama 2x24 jam pucat, tekanan hemodinamik dan
kelelahan pasien teratasi dengan jumlah respirasi)
2. monitor dan catat pola dan
kriteria hasil:
jumlah tidur klien
1. kemampuan aktivitas adekuat
3. monitor lokasi ketidaknyamanan
2. mempertahankan nutrisi adekuat
3. keseimbangan aktivitas dan atau nyeri selama bergerak dan
istirahat aktivitas
4. menggunakan tehnik energy 4. monitor intake nutrisi
5. monitor pemberian dan efek
konservasi
5. mempertahankan interaksi sosial samping obat depresi
6. mengidentifikasi faktor fisik dan 6. instruksikan pada klien untuk
psikologis yang menyeabbkan memcatat tanda dan gejala
kelelahan kelelahan
7. mempertahankan kemampuan 7. jelaskan pada klien hubungan
untuk konsentrasi kelelahan dengan proses
penyakit
8. kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
intake makanan tinggi energy
9. dorong klien dan keluarga
mengekspresikan perasaannya
10. catat aktivitas yang dapat
meningkatkan kelelahan
11. anjurkan klien melakukan yang
meningkatkan relaksasi
12. tingkatkan pembatasan bedrest
dan aktivitas
13. batasi stimulasi lingkungan
untuk memfasilitasi relaksasi
25
3. gagguan permukaan kulit
NOC NIC
1. tissue integrity: skin and 1. anjurkan pasien untuk
mucous membrane menggunakan pakaian yang
2. wound healing: primer dan
longgar
sekunder 2. Hindari kerutan pada tempat
setelah dilakukan tindakan tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
keperawatan selama 2x24 jam
bersih dan kering
kerusakan integritaskulit berkurang
4. Mobilisasi klien (ubah posisi
dengan kriteria hasl:
klien) setiap dua jam sekali
1. intergritas kulit yang baik bisa 5. Monitor kulit akan adanya
dipertahankan (Sensai, kemerahan
6. Oleskan lotion atau minyak pada
elastisitas, temperature, hidrasi,
daerah yang tertekan
pigmentasi)
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
2. tidak ada luka/lesi pada kulit
3. perfusi jaringan baik klien
4. menunjukkan pemahaman 8. Monitor status nutrisi klien
9. Memandikan klien dengan
dalam proses perbaikan kult dan
sabun dan air hangat
mencegah terjadinya cedera
10. Kaji lingkungna dan peralatan
berulang
yang menyebabkan tekanan
5. mampu melindungi kulit dan
11. Observasi luka: lokas, dimensi,
mempertahankan kelembaban
kedalaman luka, karakteristik,
kulit dan perawatan alami
warna cairan, granulasi, jaringan
6. menunjukkan terjadinya proses
nekrotik, tanda infeksi lokal,
penyembuhan luka
formasi traktus
12. Ajarkan pada keluarga tentang
luka dan perawatan luak
13. Kolaborasi ahli gizi pemberian
diet TKT, vitamin, cegah
kontaminasi feses dan urin
14. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril
15. Berikan posisi yang mengurangi
26
tekanan pada luka
27
6. latih klien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara
mandiri sesuai kemampuan
7. damping dan bantu jika klien
memerlukan
8. ajarkan klien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
28
2.3 Hipersensitivitas
2.3.1 Definisi
Alergi adalah respon imun yang kuat terhadap alergen (suatu elergen
yang menghasilkan alergi). Alergen bias any tidak berbahaya (mis. Debu
rumah, makanan, kulit dan bulu binatang). Saaat pajanan awal ke alergen,
individu menjadi peka terhadapn\ya, dan pajanan kedua serta pajanan
selanjutnya, jumlah system imun memberikan respon yang proporsinya
berlebihan terhadap ancaman yang diterima. Kadangkala efeknya ringan,
namun mengganggu, seperti pilek dan mata berair akibat hay fever (rhinitis
alergi). Kadang reaksi dapat begitu ekstrem seperti mengganggu system
tubuh secara berlebihan dan menyebabbkan kematian. Mekanisme
pertahanan tubuh, Sinus (rinitis) nasal dan paranasal, Sistem pernapasan
(asma).
29
tersebut. Manifestasi suatu respon alergi bergantung dimana alergen
ditemukan di dalam makanan, dalam partikel yang terhirup, atau melalui
kulit. Waktu reaksi alergi bermacam-macam bergantung pada apakah
respons tipe I (segera) atau tipe IV (lambat). Reaksi tipe I melibatkan kulit
yang disebut dermatitis atopic sedangkan reaksi tipe IV disebut dermatitis
kontak alergi. Respons kulit terhadap poison ivy adalah contoh dermatitis
kontak alergi.
2.3.2 Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan kami bagi menjadi 2 yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi :
asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-
fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan
penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini
mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh
kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya
Ikan 15,4 %
Telur 12,7 %
Susu 12,2 %
Kacang 5,3 %
Gandum 4,7 %
Apel 4,7 %
Kentang 2,6 %
Coklat 2,1 %
Babi 1,5 %
Sapi 3,1 %
30
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
2.3.3 Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh
seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena
alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi
makanan yang sama barulah tampak gejala – gejala timbulnya alergi pada
kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi
( Ig E ). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel –
sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan
reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah
yang banyak , kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh
melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkanterjadinya gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru,
alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling
ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila
tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.
31
1. Pembengkakan local, gatal, dan kemerahan kulit, pada pajanan alergen
ke kulit. Reaksi tipe IV sering ditandai oleh lepuhan dan pengerasan
pada area yang terkena.
2. Diare dank ram abdomen, pada pajanan alergen saluran cerna.
3. Rinitis alergi, yang ditandai oleh mata gatal dan pilek encer, pada
pajanan alergen saluran napas. Terjadi pembengkakan dan kongesti,
dapat timbul kesulitan bernapas akibat konstriksi otot polos bronkiolus
pada jalan napas yang di induksi oleh histamine.
32
Pada hipersensitivitas tipe I, secara khas terdapat dua fase :
33
d. Platelet-activating factor menyebabkan agregasi trombosit,
pelepasan histamine, bronkokonstriksi, vasodilatasi, dan
peningkatan permeabilitas vaskuler.
Saat antibody bereaksi dengan antigen pada permukaan sel, sel tersebut
ditandai untuk dihancurkan oleh sejumlah mekanisme (mis, fagositosis).
Peristiwa ini merupakan prosedur umum dalam eliminasi, misalnya bakteri,
tetapi jika antibody diarahkan untuk melawan antigen diri sendiri, akibatnya
adalah penghancuran jaringan tubuh sendiri (penyakit autoimun).
Mekanisme tipe II menyebabkan kondisi yang lain (msal, reaksi transfusi).
34
yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi di jaringan tersebut. Kompleks
imun, misalnya yang terkumpul di ginjal akan tersangkut dan menyumbat
glomerulus sehungga mengganggu fungsi ginjal (glomerulonefritis).
35
(analfilaksis,atopi) spesifik, memicu analfilaktik
pembebasan granul
intrasel dari sel
mast
Tipe II Protein IgG/IgM Antibody bereaksi Transfusi,
Hipersensitivitas asing dengan antigen, hemolisis
sitotoksik (antigen) menggiatkan karena obat,
komplemen eritroblastosis
berakibat sitolisis fetalis, anemia
hemolitik,
purpura
vascular
Tipe III Protein IgG, Kompleks Ag-Ab Artritis
Penyakit asing IgM,IgA mengendap dalam rheumatoid,
kompleks imun (antigen) jaringan, lupus
Antigen menggiatkan eritematosus
endogen komplemen, sistemik,
menimbulkan penyakit serum
reaksi radang
Tipe IV Protein, Limfosit-T Sel T aktif bereaksi Dermatitis
Seluler/ Tertunda sel, atau dengan antigen kontak, reaksi
jaringan spesifik untuk penolakan
asing menginduksi pencangkokan
proses peradangan
melalui kerja sel
langsung atau
melalui antivitas
limfokin
36
Penyebab alergi tidaklah jelas walaupun tampaknya terdapat
predisposisi genetik. Predisposisi tersebut dapat berupa pengikatan IgE
yang berlebihan, mudahnya sel mast dipicu untuk berdegranulasi, atau
respons sel T helper yang berlebihan. Hasil penelitian terkini
menunjukkan bahwa defisiensi sel T regulator dapat menyebabkan
responsivitas berlebihan dari system imun dfan alergi. Pajanan berlebihan
terhadap alergen-alergen tertentu setiap saat, termasuk selama gestasi,
dapat menyebabkan respons alergi.
Bayi dan anak yang terpajan asap rokok memiliki resiko lebih besar
menderita asma dan alergi saluran napas lainnya.
2.3.9 Penatalaksaan
37
4. Terapi desensitisasi, berupa penyuntikan berulang alergen (yang dapat
mensensitisasi pasien) dalam jumlah yang kecil dapat mendorong pasien
tersebut membentuk antibody IgG terhadap alergen. Antibodi ini dapat
bekerja sebagai antibody penghambat (blocking antibodies). Sewaktu
pasien tersebut kembali terpajan ke alergen, antibody penghambat dapat
berikatan dengan molekul IgE ganda secara kovalen bersama-sama.
Karena pengikatan IgG tidak menyebabkan degranulasi sel mast yang
berlebihan, maka gejala alergidapat berkurang. Antibody IgG dihasilkan
setiap kali berikatan dengan alergen dan terkadang dapat menghentikan
respon alergi.
2.3.10 Komplikasi
Risiko tinggi
1. Riwayat alergi
2. Asma
3. Imunoterapi
4. Individu yang terpajan antigen berisiko tinggi :
a. Gigitan serangga (misal : lebah, semut, laba-laba)
38
b. Gigitan /sengatan binatang (misal : ular, ubur-ubur)
c. Media kontras radiologi terionisasi (misal : yang digunakan
pada arteriografi pielogravi intravena)
d. Tranfusi darah dan produk darah
5. Individu berisiko tinggi terpajan
a. Medikasi berisiko tinggi (misal : aspirin, antibiotik, opiate,
anestesi local, insulin binatang, kimopapain)
b. Makanan berisiko tinggi (misal : kacang ,cokelat , telur,
makanan laut, kerang ,stroberi,susu )
c. Kimia (misal : semir lantai, cat, sabun, parfum,karpet baru)
Tujuan Keperawatan
Perawat akan mengatasi dan meminimalkan komplikasi reaksi alergi.
Intervensi Umum
1. Kaji dengan saksama adanya riwayat respons alergi (misal :ruam ,sulit
bernapas)
Mengidentifikasi klien yang berisiko tinggi memungkinkan
dilakukannya tindak kewaspadaan untuk mencegah anafilaksis.
2. Bila klien memiliki riwayat reaksi alergi, konsultasikan dengan dokter
atau perawat pakar untuk melakukan uji kulit bila diindikasikan
Uji kulit dapat memastikan hipersensivitas.
3. Pantau tanda dan gejala reaksi alergi local
a. Bentol ,kemerahan (karena pelepasan histamin)
b. Gatal
c. Edema nontraumatik (periolar,periorbital)
Manifestasi awal ini dapat menunjukkan dimulainya kontinum reaksi
local hingga reaksi sistemik sampai syok anafilaktik.
4. Saat tanda awal hipersensivitas muncul konsultasikan dengan dokter
atau perawat pakar untuk memberikan intervensi farmakologis , seperti
antihistamin. Antihistamin umumnya digunakan untuk mengatasi
reaksi local ringan dengan menghambat pelepasan histamine.
5. Pantau tanda dan gejala reaksi alergi sistemik dan anafilaksis
39
Berkunang-kunang ,ruam kulit, dan hipotensi ringan (akibat
vasodilatasi akibat histamin).
Rasa ketat pada tenggorok atau palatum , mengi ,serak, dyspnea, dan
sesak pada dada (karena kontraksi otot polos akibat pelepasan
prostaglandin).
Nadi meningkat dan tidak teratur serta penurunan tekanan darah (ka
rena pelepasan leukotriene yang mengontriksi jalan napas dan
pembuluh darah coroner).
Penurunan tingkat kesadaran ,distress pernapasan dan syok (akibat
hipotensi berat, insufisiensi pernapasan dan hipoksia jaringan)
(dalam hitungan menit,reaksi di ata dapat berkembang menjadi
hipotensi berat, penurunan tingkat kesadaran ,dan disstres pernapasan
,dan dapat menyebabkan kematian dengan cepat)
6. Segera mulai protocol kedaruratan untuk mengatasi anafilaksis dan
/atau segera hubungi dokter atau perawat spesialis
7. Mulai jalur IV
Untuk pemberian obat secara cepat
8. Berikan epineprin IV atau melalui endotrakea
Untuk menghasilkan vasokontriksi perifer, yang meningkatkan
tekanan darah ,dan bertindak sebagai agonis betha untuk
meningkatkan relaksasi otot polos bronkus dan untuk meningkatkan
aktivitas jantung inotropic dan kronotropik
9. Berikan oksigen berikan ,buat jalan napas paten bila diindikasikan.
Sediakan suction . tindakan intubasi orofaring mungkin diperlukan
(edema laring mengganggu pernapasan)
10. Berikan medikasi lain, sesuai program, yang dapat mencangkup :
a. Kortikosteroid
Untuk menghambat enzim dan respon SDP untuk mengurangi
bronkokonstriksi
b. Aminofilin
Untuk menghasilkan bronkodilatasi
c. Vasopressin
40
Untuk mengatasi hipotensi berat
d. Difenhidramin
Untuk mencegah reaksi antigen-antibodi lanjut
11. Evaluasi respon klien terhadap terapi secara langsung , kaji :
a. Tanda-tanda vital
b. Tingkat kesadaran
c. Bunyi paru,aliran puncak
d. Fungsi jantung
e. Asupan dan haluaram
f. Nilai AGD
Pememantauan yang cermat penting untuk mendeteksi komplikasi
syok dan mengidentifikasi kebutuhan terhadap intervensi tambahan.
12. Setelah pemulihan, diskusikan bersama keluarga dan klien tentang
tindakan prevenrtif untuk anafilaksis dan perlunya membawa set
anafilaksis, yang berisi epinefrin injeksi dan antihistamin oral untuk
penanggulangan reaksi alergi secara mandiri
2.4.1 Definisi
41
Stevens-johnson syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang
mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah
dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensivitas
yang memengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada
kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah
dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan. Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang diajukan :
2.4.2 Etiologi
42
(antibiotic), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative)lamotrigin
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin
dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.
2.4.3 Patofisiologi
Obat-obatan, infeksi
Kelainan hipersensivitas
virus, keganasan
Pengaktifan sel T
Aktivasi S.komplemen
Akumulasi netrofil
Penghancuran sel-sel memfagositosi sel yang
43 rusak
-ketidakseimbangan nutrisi
Respon lokal : eritema, vesikel kurang dari
Gangguan kebutuhan tubuh
gastrointestinal Triase Kondisi kerusakan
gangguan padarusak jaringan
kulit,
Reaksi peradangan Melepasnya sel yang
Port
Risiko
Nyeri
de bula
infeksi
enteree -deficit
Hipertermi perawatan
Kerusakan
Respon dirisistemik
inflamasi
intergritas jaringan Kerusakan
Respon kulit
jaringan
Ansietas
psikologis
dan demam, malaise mukosa dan mata
2.4.4 Manifestasi Klinis
44
2.4.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu
dokter dalam menegakkan diagnosa.
b. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel
darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan
tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan
infeksi bakterial berat.
c. Pemeriksaan elektrolit
d. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai
terjadi
e. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD),
dan kolonoskopi dapat dilakukan
2. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
3. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung
ditegakkannya diagnosa.
2.4.6 Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :
45
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin
hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3
tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3
kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia
anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1
kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
2.4.7 Komplikasi
46
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)
2. Nyeri berhubungan dengan adanya bula
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan intake nutrisi
4. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan bula yang mudah
pecah
5. Resiko infeksi berhubungan dengan efek samping terpasangnya infus
dan terapi steroid.
47
Mencapai atau
mempertahankan
suhu tubuh
dalam rentang
normal.
d. Pemantauan
tanda vital:
Mengumpulkan
dan menganalisis
data
kardiovaskular,
pernapasan, dan
suhu tubuh untuk
menentukan serta
mencegah
komplikasi.
48
verbal atau melaporkan nyeri hasil: memfasilitasi
dengan isyarat. a. Tiingkat penggunaan
Objektif: kenyamanan obat resep atau
Posisi untuk menghindari positif obat bebas
nyeri. terhadap secara aman dan
Perubahan tonus otot. kemudahan efektif.
Respon autonomik fisik dan c) Manajemen
(misalnya, diaforesis; psikologis. nyeri: Ajarkan
perubahan tekanan darah, b. Tindakan penggunaan
pernapasan, atau nadi; individu teknik
dilatasi pupil). dalam nonfarmakologi
Perubahan selera makan. pengendalian s selama
Perilaku distraksi. nyeri. aktivitas yang
Perilaku ekspresif (gelisah, c. Keparahan menimbulkan
merintih, menangis, waspada nyeri dapat nyeri.
berlebihan). diamati atau d) Bantuan
Bukti nyeri yang dapat dilaporkan. analgesia yag
diamati. dikendalikan
Berfokus pada diri sendiri. oleh pasien.
Gangguan tidur. e) Memberikan
sedatif,
memantau
respon pasien,
dan
memberikan
dukungan
fisiologis yang
dibutuhkan
selama prosedur
diagnostik atau
49
terapeutik.
50
pucat f. Tidak terjadi normal.
k) Tonus otot penurunan berat 2. Monitor adanya
menurun badan yang penurunan berat
l) Mengeluh berarti. badan.
gangguan sensasi 3. Monitor tipe dan
rasa jumlah aktivitas.
m) Cepat kenyang 4. Monitor turgor
setelah makan kulit.
n) Sariawan rongga 5. Monitor
mulut kekeringan,
o) Kelemahan otot rambut kusam,
pengunyah dan mudah
p) Kelemahan otot patah.
untuk menelan 6. Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb dan
kadar Ht.
7. Monitor kalori
dan intake
nutrisi
8.
No. Diagnosa Keperawatan Tindakan Keperawatan
Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
(NANDA)
4. Kerusakan integritas Kerusakan integritas a. Anjurkan pasien
jaringan berhubungan kulit pasien teratasi untuk
dengan bula yang mudah setelah dilakukan menggunakan
pecah perawatan selama 2x24 pakaian yang
Batasan karakteristik:
jam dengan kriteria longgar
a) Gangguan pada
hasil: b. Hindari kerutan
bagian tubuh
b) Kerusakan lapisan 1. Integritas kulit pada tempat
51
kulit (dermis) yang baik bisa tidur
c) Gangguan
dipertahankan c. Jaga kebersihan
permukaan kulit
(sensasi, kulit agar tetap
(epidermis)
elastisitas, bersih dan
temperatur, kering
hidrasi, d. Mobilisasi
pigmentasi) pasien setiap
2. Tidak ada dua jam sekali
luka/lesi pada e. Monitor kulit
kulit akan adanya
3. Perfusi jaringan kemerahan
baik f. Oleskan lotion
4. Menunjukkan atau baby oil
pemahaman pada daerah
dalam proses yang tertekan
perbaikan kulit g. Monitor status
dan mencegah nutrisi pasien
terjadinya cedera h. Memandikan
berulang pasien dengan
5. Mampu sabun dan air
melindungi kulit i. Kaji lingkungan
dan dan peralatan
mempertahankan yang
kelembapan kulit menyebabkan
dan perawatan tekanan
alami j. Observasi luka
6. Menunjukan k. Cegah
terjadinya proses kontaminasi
penyembuhan feses dan urin
luka l. Lakukan tehnik
52
perawatan luka
dengan steril
m. Berikan posisi
yang
mengurangi
tekanan pada
luka.
53
tidak adekuat sehat kateter
(kerusakan kulit, e. Status imun, intermiten
trauma jaringan, gastrointestinal, untuk
gangguan genitourinaria menurunkan
peristaltik) dalam batas infeksi kandung
normal kemih
6) Tigkatkan
intake nutrisi
7) Monitor tanda
dan gejala
infeksi sistemik
dan lokal
8) Monitor adanya
luka
9) Kaji suhu
badan pasien
neutropenia
setiap jam 4
jam
54
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C. & JoAnn C. Hacley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku
Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 3.
Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 revisi. Jakarta: EGC
Curtis, Glade B. MD, FACOG. 1999. Kehamilan Apa yang Anda Hadapi Minggu per
Minggu. Jakarta: Arcan
Kee, Joyce Lefever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik Edisi
2. Jakarta: EGC
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan
Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit volume 2 Edisi 6.
Jakarta: EGC
Richard N. Mitchell, et al. 2008. Pocket Companionto Robbins & Cotran Pathologic
Rubenstein, David, David Wayne, John Bradley. 2003. Lecture Notes Kedokteran
Klinis Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatann Medikal Bedah. Jakarta: EGC
55
Sullivan, Amanda, Lucy Kean & Alison Cycer. 2009. Panduan Pemeriksaan
Antenala. Jakarta: EGC
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Yatim, Dr. Faisal DTM&H, MPH. 2006. Penyakit Tulang dan Persendian Arthritis
atau Artharlgia. Jakarta: Pustaka Popular
56