Disusun oleh :
SITI NURJANAH
NIM : N520184417
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI
DI RUANG MELATI 2 RSUD dr LOEKMONO HADI KUDUS
2. Batasan Lansia
Usia yang dijadikan patokan untuk usia lansia berbeda-beda, umumnya
berkisar antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah
sebagai berikut :
1. Menurut WHO (World Health Organization)
a) Usia pertengahan (Midle Age)kelompok usia 45 – 59 tahun.
b) Usia lanjut (Ederly)antara 60 – 74 tahun.
c) Usia lanjut tua (Old) antara 75 – 90 tahun.
d) Usia sangat tua (Very Old) diatas 90 tahun.
2. Menurut Ahli
Menurut Hurlock:
a) Early old age (usia 60-70 tahun)
b) Advanced old age (usia > 70 tahun)
Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoromasa lanjut usia (geriatric age) tiga
batasan umur, yaitu :
a) young old (70-75 tahun),
b) old (75-80 tahun),
c) very old( > 80 tahun) (Efendi, 2009).
Menurut Burnsie :
a) young old (usia 60-69 tahun)
b) middle age old (usia 70-79 tahun)
c) Old-old (usia 80-89 tahun)
d) Very old-old (usia > 90 tahun)
Di Indonesia batasan usia lanjut adalah 60 tahun ke atas, terdapat dalam UU
No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Menurut UU tersebut lanjut
usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun
wanita.
3. Karakteristik Lansia
Klasifikasi lansia dibagi menjadi lima yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi,
lansia potensial, lansia potensial (Darmajo, 2009).
a) Pralansia (prasenelis) adalah seseorang yang berusia antara 45−59 tahun.
b) Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c) Lansia Resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dan
bermasalah dengan kesehatan seperti menderita rematik, demensia,
mengalami kelemahan dan lain-lain.
d) Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e) Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain
4. Tipologi Lansia
Tipe lansia dibagi menjadi lima tipe yaitu tipe arif bijaksana, tipe mandiri, tipe tidak
puas, tipe pasrah dan tipe bingung (Nugroho, 2008).
a) Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan
diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah,
rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi
panutan.
b) Tipe mandiri, yaitu menganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c) Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik
dan banyak menuntut.
d) Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan
agama dan melakukan pekerjaan apa saja.
e) Tipe bingung, yaitu mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif dan acuh tak
acuh.
Nugroho (2008) mengelompokkan usia lanjut dalam beberapa tipe yang tergantung
pada karakter, pengalaman hidup, lingkungannya serta kondisi fisik, sosial, mental
dan ekonominya, yaitu :
a) Tipe optimis : lanjut usia santai dan periang, penyesuaian cukup baik,
mereka memandang masa lanjut usia dalam bentuk bebas dari tanggung
jawab.
b) Tipe konstruktif : lanjut usia ini mempunyai integritas baik, dapat
menikmati hidup, mempunyai toleransi yang tinggi, humoristik, fleksibel,
dan tahu diri.
c) Tipe ketergantungan : lanjut usia ini masih dapat diterima di tengah
masyarakat, tetapi selalu pasif, tidak berambisi, masih tahu diri, tidak
mempunyai inisiatif dan bila bertindak yang tidak praktis.
d) Tipe defensif : lanjut usia biasanya sebelumnya mempunyai riwayat
pekerjaan atau jabatan yang tidak stabil, bersifat selalu menolak bantuan,
emosi sering tidak terkontrol, memegang teguh kebiasaan, bersifat
kompulsif aktif, anehnya mereka takut menghadapi “menjadi tua” .
e) Tipe militan dan serius : lanjut usia yang tidak mudah menyerah, serius,
senang berjuang, bisa menjadi panutan.
f) Tipe pemarah dan frustasi : lanjut usia yang pemarah, tidak sabar, mudah
tersinggung, selalu menyalahkan orang lain, menunjukkan penyesuaian
yang buruk.
g) Tipe bermusuhan : lanjut usia yang selalu menganggap orang lain yang
menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh, bersifat agresif, dan curiga.
h) Tipe putus asa, membenci dan menyalahkan diri sendiri : lanjut usia ini
bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai ambisi,
mengalami penurunan sosio-ekonomi, tidak dapat menyesuaikan diri.
5. Mitos Lansia
Menurut Padila (2013), mitos seputar lansia :
1. Mitos Kedamaian dan Ketenangan
Anggapan bahwa lansia dapat santai menikmati hidup, hasil kerja dan jerih
payahnya di masa muda. Kenyataannya sering ditemui lansia yang stress
karena kemiskinan atau menderita penyakit.
2. Mitos Konservatisme dan Kemunduran
Pandangan bahwa lanjut usia pada umumnya kolot, bersikap
mempertahankan kebiasaan, tradisi dan keadaan yang berlaku, menolak
inovasi dan berorientasi pada masa lalu.
3. Mitos Berpenyakitan
Lanjut usia dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai oleh
berbagai penderitaan akibat bermacam penyakit yang menyertai proses
menua. (Lanjut usia merupakan masa berpenyakitan dan kemunduran).
4. Mitos Senilitas
Lanjut usia dipandang sebagai masa pikun yang disebabkan oleh kerusakan
bagian otak. Banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan daya
ingat.
5. Mitos Tidak Jatuh Cinta
Lanjut usiatidak lagi jatuh cinta dan gairah kepada lawan jenis tidak ada.
6. Mitos Aseksualitas
Ada pandangan bahwa pada lanjut usia, hubungan seks itu menurun, minat,
dorongan, gairah, kebutuhan, dan daya seks berkurang.
6. Teori Penuaan
Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
serta memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 2014). Seiring dengan
proses menua tersebut, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau
yang biasa disebut sebagai penyakit degeneratif.
1. Teori-Teori Biologi
a. Teori Genetik dan Mutasi (Somatic Mutatic Theory)
Menurut Padila (2013) menua telah terprogram secara generic untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan
biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul/DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi
dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel).
b. Reaksi dari kekebalan sendiri (Auto Immune Theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut
sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh ialah
tambahan kelenjar timus yang ada pada usia dewasa berinvolusi dan
semenjak itu terjadilah kelainan autoimun (menurut Goldteris dan
Brocklehurst, 2011).
c. Teori Stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan
tubuh.Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh
lelah terpakai.
d. Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di dalam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan
organik seperti karbohidrat dan proton.Radikal ini menyebabkan sel-sel
tidak dapat regenerasi.
e. Teori Rantai Silang
Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang
kuat, khususnya jaringan kolagen, ikatan ini menyebabkan kurangnya
elastis, kekacauan, dan hilangnya fungsi.
Penilaian SPMSQ
(1) Kesalahan 0-2 fungsi intelektual utuh
(2) Kesalahan 3-4 fungsi intelektual ringan
(3) Kesalahan 5-7 fungsi intelektual sedang
(4) Kesalahan 8-10 fungsi intelektual berat
Bisa dimaklumi bila lebih dari satu kesalahan bila subjek hanya
berpendidikan sekolah dasar.
Bisa dimaklumi bila kurang dari satu kesalahan bila subjek mempunyai
pendidikan di atas sekolah menengah atas
Bisa dimaklumi bila lebih dari satu kesalahan untuk subjek kulit hitam
dengan menggunakan kriteria pendidikan yang sama
B. HIPERTENSI
1. Pengertian
Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik
lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih
besar 95 mmHg (Kodim Nasrin, 2003).
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi atau istilah kedokteran menjelaskan
hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan pada mekanisme pengaturan
tekanan darah (Mansjoer,2000)
Hipertensi adalah keadaan menetap tekanan sistolik melebih dari 140 mmHg
atau tekanan diastolic lebih tinggi dari 90 mmHg. Diagnostic ini dapat dipastikan
dengan mengukur rata-rata tekanan darah pada 2 waktu yang terpisah (FKUI, 2001)
2. Etiologi
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan
perubahan pada :
a. Elastisitas dinding aorta menurun
b. Katup jantung menebal dan menjadi kaku
c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volumenya.
d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah
Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk
oksigenasi dan meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-
data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan
terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1) Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita
hipertensi
2) Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
Jenis kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
3) Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr )
Kegemukan atau makan berlebihan
Stress
Merokok
Minum alcohol
Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah :
1) Ginjal ; Glomerulonefritis, Pielonefritis, Nekrosis tubular akut dan Tumor.
2) Vascular ; Aterosklerosis, Hiperplasia, Trombosis, Aneurisma, Emboli
kolestrol, dan Vaskulitis.
3) Kelainan endokrin ; DM, Hipertiroidisme, Hipotiroidismed
4) Saraf ; Stroke, Ensepaliti.
5) Obat – obatan ; Kontrasepsi oral, Kortikosteroid
3. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla
spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi
epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan
steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah.
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan
pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler.
Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi untuk pertimbangan
gerontology.
Perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer
bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya,
aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah
yang dipompa oleh jantung ( volume sekuncup ), mengakibatkan penurunan curang
jantung dan peningkatan tahanan perifer ( Brunner & Suddarth, 2002 ). Pada usia
lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan
kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer.
5. Manisfestasi Klinis
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
a. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan
tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal
ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri
tidak terukur.
b. Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi
nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim
yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.
Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita
hipertensi yaitu :
a. Mengeluh sakit kepala, pusing
b. Lemas, kelelahan
c. Sesak nafas
d. Gelisah
e. Mual
f. Muntah
g. Epistaksis
h. Kesadaran menurun
6. Klasifikasi
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 )
a. Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan /
atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg
b. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg
dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
Secara klinis derajat hipertensi dapat dikelompokkan sesuai dengan
rekomendasi dari “The Sixth Report of The Join National Committee, Prevention,
Detection and Treatment of High Blood Pressure “ (JNC – VI, 1997) sebagai berikut :
No Kategori Sistolik(mmHg) Diastolik(mmHg)
1. Optimal <120 <80
2. Normal 120 – 129 80 – 84
3. High Normal 130 – 139 85 – 89
4. Hipertensi
Grade 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Grade 2 (sedang) 160 – 179 100 – 109
Grade 3 (berat) 180 – 209 100 – 119
Grade 4 (sangat berat) >210 >120
7. Pemeriksaan Penunjang
1) Hemoglobin / hematocrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan ( viskositas ) dan
dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
2) BUN: memberikan informasi tentang perfusi ginjal
3) Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi ) dapat diakibatkan
oleh peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi)
4) Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
5) Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan
plak ateromatosa (efek kardiovaskuler)
6) Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi
7) Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
8) Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
9) Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
10) IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu
ginjal / ureter
11) Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung
12) CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopat
13) EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,
peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
8. Penatalaksanaan
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat
komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan
tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
a. Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai
tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :
1. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
Penurunan berat badan
Penurunan asupan etanol
Menghentikan merokok
2. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk
penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging,
bersepeda, berenang dan lain-lain
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau
72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan.
Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan
Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
3. Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada
subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh
subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan
somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis
seperti kecemasan dan ketegangan.
Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk
mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita
untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
4. Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien
tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat
mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
b. Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi
juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat
bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup
penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli
Hipertensi ( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION
AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988 ) menyimpulkan
bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE
dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan
penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
- Dosis obat pertama dinaikkan
- Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
- Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker,
Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh
- Obat ke-2 diganti
- Ditambah obat ke-3 jenis lain
Step 4 : Alternatif pemberian obatnya
- Ditambah obat ke-3 dan ke-4
- Re-evaluasi dan konsultasi
c. Follow Up untuk mempertahankan terapi
Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan
komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan (
perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam interaksi pasien dengan petugas kesehatan
adalah sebagai berikut :
1. Setiap kali penderita periksa, penderita diberitahu hasil pengukuran
tekanan darahnya
2. Bicarakan dengan penderita tujuan yang hendak dicapai mengenai tekanan
darahnya
3. Diskusikan dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat sembuh, namun
bisa dikendalikan untuk dapat menurunkan morbiditas dan mortilitas
4. Yakinkan penderita bahwa penderita tidak dapat mengatakan tingginya
tekanan darah atas dasar apa yang dirasakannya, tekanan darah hanya dapat
diketahui dengan mengukur memakai alat tensimeter
5. Penderita tidak boleh menghentikan obat tanpa didiskusikan lebih dahulu
6. Sedapat mungkin tindakan terapi dimasukkan dalam cara hidup penderita
7. Ikutsertakan keluarga penderita dalam proses terapi
8. Pada penderita tertentu mungkin menguntungkan bila penderita atau
keluarga dapat mengukur tekanan darahnya di rumah
9. Buatlah sesederhana mungkin pemakaian obat anti hipertensi misal 1 x
sehari atau 2 x sehari
10. Diskusikan dengan penderita tentang obat-obat anti hipertensi, efek
samping dan masalah-masalah yang mungkin terjadi
11. Yakinkan penderita kemungkinan perlunya memodifikasi dosis atau
mengganti obat untuk mencapai efek samping minimal dan efektifitas
maksimal
12. Usahakan biaya terapi seminimal mungkin
13. Untuk penderita yang kurang patuh, usahakan kunjungan lebih sering
14. Hubungi segera penderita, bila tidak datang pada waktu yang ditentukan.
Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan maka sangat diperlukan
sekali pengetahuan dan sikap pasien tentang pemahaman dan pelaksanaan pengobatan
hipertensi.
Intervensi :
1) Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat
2) Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
3) Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas
4) Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler
5) Catat edema umum
6) Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas, batasi jumlah
pengunjung.
7) Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat tidur/kursi
8) Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
9) Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher, meninggikan
kepala tempat tidur.
10) Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan
11) Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah
12) Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi
13) Untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi
Diagnosa Keperawatan 2 :
Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral.
Tujuan :
Nyeri atau sakit kepala hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
1) Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala
2) Pasien tampak nyaman
3) TTV dalam batas normal
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
2) Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
3) Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan
4) Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
5) Beri tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala seperti
kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, posisi nyaman, tehnik
relaksasi, bimbingan imajinasi dan distraksi
6) Hilangkan / minimalkan vasokonstriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala
misalnya mengejan saat BAB, batuk panjang, membungkuk
7) Pemberian obat sesuai indikasi : analgesik, antiansietas (lorazepam, ativan,
diazepam, valium )
Diagnosa Keperawatan 3 :
Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan
adanya tahanan pembuluh darah
Tujuan :
Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan : serebral, ginjal, jantung setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria Hasil :
1) Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti ditunjukkan
dengan : TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala,
pusing, nilai-nilai laboratorium dalam batas normal, haluaran urin 30 ml/
menit
2) Tanda-tanda vital stabil
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring
2) Tinggikan kepala tempat tidur
3) Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan
pemantau tekanan arteri jika tersedia
4) Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan
5) Amati adanya hipotensi mendadak
6) Ukur masukan dan pengeluaran
7) Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program
8) Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai program
Diagnosa Keperawatan 4 :
Intoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output
Tujuan :
Tidak terjadi intoleransi aktifitas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x
24 jam
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan energi untuk melakukan aktifitas sehari – hari
2) Menunjukkan penurunan gejala – gejala intoleransi aktifitas
Intervensi :
1) Berikan dorongan untuk aktifitas / perawatan diri bertahap jika dapat
ditoleransi.
2) Berikan bantuan sesuai kebutuhan
3) Instruksikan pasien tentang penghematan energy
4) Kaji respon pasien terhadap aktifitas
5) Monitor adanya diaforesis, pusing
6) Observasi TTV tiap 4 jam
7) Berikan jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan waktu
8) istirahat yang tidak terganggu, berikan waktu istirahat sepanjang siang atau
sore
Diagnosa Keperawatan 5 :
Gangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan pola tidur setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x
24 jam
Kriteria hasil :
1) Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat 6 – 8 jam per hari
2) Tampak dapat istirahat dengan cukup
3) TTV dalam batas normal
Intervensi :
1) Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman
2) Beri kesempatan klien untuk istirahat / tidur
3) Evaluasi tingkat stress
4) Monitor keluhan nyeri kepala
5) Lengkapi jadwal tidur secara teratur
6) Berikan makanan kecil sore hari dan / susu hangat
7) Lakukan masase punggung
8) Putarkan musik yang lembut
Diagnosa Keperawatan 6 :
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik.
Tujuan:
Perawatan diri klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24
jam
Kriteria hasil :
1) Mampu melakukan aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan
2) Dapat mendemonstrasikan tehnik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
Intervensi :
1) Kaji kemampuan klien untuk melakukan kebutuhan perawatan diri
2) Beri pasien waktu untuk mengerjakan tugas
3) Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
4) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan klien /
atas keberhasilannya
Diagnosa Keperawatan 7 :
Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi yang
diderita klien
Tujuan:
Kecemasan hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x
24 Jam
Kriteria hasil :
1) Klien mengatakan sudah tidak cemas lagi / cemas berkurang
2) Ekspresi wajah rilek
3) TTV dalam batas normal
Intervensi :
1) Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku misalnya
kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi
dalam rencana pengobatan
2) Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi,
peka rangsang, penurunan toleransi sakit kepala, ketidakmampuan untuk
menyelesaikan masalah
3) Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan
strategi untuk mengatasinya
4) Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan partisipasi
maksimum dalam rencana pengobatan
5) Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas atau tujuan hidup
6) Kaji tingkat kecemasan klien baik secara verbal maupun non verbal
7) Observasi TTV tiap 4 jam
8) Dengarkan dan beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaanya
9) Berikan support mental pada klien
10) Anjurkan pada keluarga untuk memberikan dukungan pada klien
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 2, Jakarta, EGC.
Zul Dahlan. 2000. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.