Anda di halaman 1dari 12

Hal-Hal yang Harus Diinvestigasi dalam Kaitan dengan Scanline

Scanline merupakan salah satu metode dalam discontinuity survey. Dalam discontinuity survey,
karakter rock mass di suatu tempat penting untuk diketahui secara mendalam. Termasuk dalam hal
ini adalah discontinuities karena discontinuities/diskontinuitas merupakan komponen dari rock
masss dan mempengaruhi segala jenis pekerjaan rekayasa. Diskontinuitas adalah bidang lemah pada
suatu rock mass dengan nilai tensile strength/kuat tarik sangat kecil bahkan tidak memiliki nilai
kuat tarik (Bell,2007).

Terdapat dua tipe diskontinuitas yang dapat dibedakan, antara lain integral discontinuities, yakni
diskontinuitas yang belum memiliki bukaan sebagai akibat dari gaya luar atau pelapukan.
Diskontinuitas tipe pertama ini memiliki nilai tensile strength yang kecil. Bidang perlapisan, bidang
foliasi dan kekar yang tersementasi kuat termasuk dalam integral discontinuities. Diskontinuitas
tipe kedua adalah mechanical discontinuites, yakni diskontinuitas yang memiliki bukaan sebagai
akibat respon terhadap gaya dari luar atau pelapukan. Diskontinuitas tipe ini tidak memiliki tensile
strenght tapi menghasilkan shear strength. Bidang perlapisan, bidang foliasi, schistiosity, kekar,
fractures, shears dan sesar termasuk mechanical discontinuities. (Price, 2007).

Terdapat sejumlah parameter diskontinuitas yang penting dalam discontinuity survey. Parameter
tersebut antara lain adalah rougness dari diskonitunitas, apperture/bukaan dan infill/isian dari
diskontinuitas, persistence/kemenerusan dari diskontinuitas, orientasi diskontinuitas dan spacing/
jarak antar diskontinuitas. Parameter-parameter tersebut tergambarkan di bawah ini:

Gambar 1 Paramater-parameter utama dalam discontinuity survey (Hudson, 1989; dalam


Hudson dah Harrison, 1997)
Namun, sebelum parameter-parameter diskontinuitas tersebut dicari, area tempat discontinuity
survey terlebih dahulu sudah terpetakan secara geologi untuk mengetahui perseberan litologi dan
untuk mendelineasi struktur utama (Bell, 2007). Diskontinuitas yang nanti ditemukan pada saat
survei juga harus ditentukan termasuk jenis apa diskontinuitas tersebut, apakah kekar, rekahan, sesar,
bidang perlapisan, foliasi, dan sebagainya. Hal ini penting karena diskontinuitas yang berbeda tentu
memiliki parameter penilaian yang berbeda. Parameter penilaian yang berbeda dapat dilihat pada
discontinuity data sheet (Gambar 2).

Untuk memudahkan pekerjaan discontinuity survey, terdapat discontinuity survey data sheet yang
berisi parameter-parameter diskontinuitas yang harus dicari dan dideskripsi. Keterangan mengenai
parameter seperti kondisi air di diskontinuitas juga terdapat dalam discontiunity servey data sheet
untuk memudahkan dalam pendeskripsian.

Gambar 2. Discontinuity Survey Data Sheet (Bell, 2007)


Detail dari parameter diskontinuitas yang harus dicari dan dideskripsi adalah sebagai berikut:
1. Roughness dari diskontinuitas
Terdapat dua istilah dalam menggambarkan kekasaran dari bidang diskontinuitas, yakni rougness
waviness. Keduanya merupakan istilah dalam pendeskripsian kekasaran, namun berbeda dalam
dimensi amplitudo dan efeknya terhadap shear strength dari diskontinuitas (Bell, 2007). Waviness
adalah kekasaran orde pertama (first-order asperity) yang memiliki penampakan bergelombang
(undulation) dan tidak mudah tergerus ketika pergeseran diskontinuitas terjadi. Sementara itu,
roughness adalah kekasaran orde kedua (second-order asperity) yakni berkuruan lebih kecil dan
tergerus ketika pergerakan diskontinuitas. Waviness memiliki amplitudo >1 cm, sementara rougness
memiliki amplitudo <1 cm. Waviness memodifikasi sudut dip semu (apparent dip) tapi tidak
merubah sudut geser dari diskontinuitas. Sementara itu, peningkatan roughness pada diskontinuitas
dapat meningkatkan sudut geser pada bidang diskontinuitas. Dibawah ini merupakan penampakan
dari waviness dan roughness

Gambar 3. Penampakan waviness (kiri) dan rougness (kanan) (Price, 2007)

Kekasaran juga merupakan salah satu parameter diskontinuitas dalam klasifikasi rock mass rating
dari Q (Rock Tunneling Quality Index). Parameter tersebut disimbolkan JRC yakni Joint Rougness
Coefficient. Ilustrasi profil JRC beserta nilai parameter dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 4: Profil JRC (Hudson dan
Harrison, 1997)

2. Aperture dari diskontinuitas


Bukaan (aperture) dari diskontinuitas dapat diisi oleh material hasil pelapukan yang berasal secara
in situ maupun tertransport dari tempat lain (Price, 2007). Bukaan yang diisi oleh material ini tentu
mempengaruhi shear strength dari diskontinuitas. Apabila material pengisi adalah material seperti
clay, maka shear strength diskontinuitas pada bidang permukaan tersebut lebih kecil dibanding
diskontinuitas pada permukaan batuan yang masih belum ada bukaan. Namun, apabila material
isian bukaan tersebut berupa kuarsa atau kalsit akibat mineralisasi, maka shear strenght pada bidang
diskontinuitas tersebut dideskripsikan sebagai “healed” yang artinya shear strength pada bidang
diskontinuitas lebih tinggi dibandingkan terhadap diskontinuitas di wall in contact (Price, 2007).
Pendeskripsian apperture berdasarkan dimensinya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Pendeskripisan aperture pada bidang diskontinuitas (Bell, 2007)


3. Filling dari diskontinuitas
Seringkali isian dari sebuah bukaan diskontinuitas berupa air yang mengalir melalui rekahan-
rekahan. Kemunculan air tersebut dipengaruhi oleh permukaan air tanah, tekanan air dan jalur
rekahan yang ada. Biasanya masalah kemunculan air ini dapat mempengaruhi kestabilan pekerjaan
rekayasa sehingga perlu dideskripsikan kondisi kemunculan airnya sedetail mungkin. Contoh
pendeskripsian kondisi isian adalah sebagai berikut

Gambar 5: Pendeskripsian filling (isian) diskontinuitas (Barton, 1978; dalam Bell, 2007)

4.Persistence dari diskontinuitas


Persistence (kemenerusan) adalah dimensi panjang dari suatu bidang diskontinuitas. Pengukuran
kemenerusan ini biasanya dilakukan dalam 1 dimensi, tetapi tidak memungkinkan pengukuran
kemenerusan dari core. Shear strength pada bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kemenerusan
(Price, 2007). Dampak dari keberadaan kemenerusan terhadap shear strength dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
Gambar 6: Persistence (kemenerusan) pada suatu singkapan
batuan (Price, 2007)

Pada gambar 6a, terdapat kemenerusan diskontinuitas cukup panjang yang memiliki arah relatif
sejajar dengan strike sandstone. Sementara itu, pada gambar 6b, diskontinuitasnya memiliki
kemenerusan yang relatif lebih pendek dibandingkan panjang dari kemenerusan pada gambar 6a,
relatif sejajar dengan arah strike sandstone. Hal ini tentunya memiliki pengaruh terhadap shear
strength bidang diskontinuitas. Ilustrasi gambar 6 tersebut merupakan gambaran perbedaan shear
strength diskontinuitas yang timbul akibat perbedaan panjang dari kemenerusan yang ada.

5. Orientasi dari diskontinuitas


Orientasi dari setiap diskontinuitas biasa dinyatakan dalam strike dan dip. Namun, dalam pekerjaan
rekayasa, seringkali pengukuran orientasi dari bidang diskontinuitas dinyatakan dalam dip direction
dan dip. Semakin detail luas wilayah discontinuity survey, maka data pengukuran orientasi harus
semakin detail pula, termasuk diskontinuitas yang berada di tempat yang sulit dijangkau (Price,
2007). Konsep discontinuity sets memiliki kaitan erat dengan orientasi. Apabila frekuensi
diskontinuitas diketahui bersamaan dengan orientasi dari diskontinuitas pada suatu massa batuan,
maka volume distribusi blok massa batuan secara 3D dan asosiasinya yakni distribusi 2D dari blok
massa batuan pada segala bidang (Hudson dan Harrison, 1997).

6. Spacing dari diskontinuitas


Spacing (spasi) dalam discontinuity survey adalah jarak antar discontinuity set yang memotong garis
scanline. Seperti yang terlihat pada gambar 1, nilai jarak spasi yang perlu diukur adalah jarak tegak
lurus dari diskontinuitas yang ada terhadap garis scanline. Angka spasi yang didapatkan pada
bidang perlapisan memiliki deskripsi diskontinuitas secara mekanika sebagai berikut:

Tabel 2. Nilai spacing terhadap deskripsi mekanika diskontinuitas


(BS EN ISO 14689; dalam Price, 2007)

Tentunya pendeskripsian diskontinuitas selain bidang perlapisan tidak dapat mengikuti tabel di atas.
Oleh karena itu, pendeskripsian diskontinuitas lainnya dibuat terpisah. Namun, nilai ukuran
spacingnya sama, hanya terdapat perbedaan di pendeskripsiannya. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 3. Pendeskripsian bidang perlapisan dan dikontinuitas lainnya
(Anon, 1977; dalam Bell, 2007)

Nilai spasi yang didapatkan memiliki signifkansi pada masalah kestabilan lereng, kestabilan
terowongan, kegiatan ekskavasi, daya dukung suatu fondasi, dan aliran air tanah.

7. Block Size yang ada di permukaan bidang diskontinuitas


Block size adalah bagian dari rock mass yang dibatasi oleh discontinuity sets seperti yang terlihat
pada Gambar 1. Block size mengindikasikan perilaku dari rock mass, karena block size dan
interblock shear strength menentukan sifat mekanik dari rock masss apabila terkena stress (Bell,
2007). Block size merupakan salah satu parameter utama pada discontinuity survey yang
berhubungan dengan parameter spacing. Hubungan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Hubungan block size dengan spacing dan Jv


(Anon, 1977; dalam Bell, 2007)
Pendeskripsian block size di lapangan dapat mengikuti ketentuan di bawah ini:

Pendeskripsian sesuai ketentuan di atas akan memudahkan dalam penyampaian bentuk serta ukuran
dari block massa batuan (Barton, 1978; dalam Bell, 2007).

8. Weathering dari diskontinuitas


Weathering (pelapukan) memiliki peran penting terhadap shear strength bidang diskontinuitas.
Secara umum, semakin intensif proses pelapukan, semakin kecil nilai shear strength bidang
diskontinuitas. Proses pelapukan itu sendiri merupakan proses gradual yang dimulai dari bagian luar
massa batuan, dimulai pada bidang diskontinuitas yang ada. Hal ini terlihat dari beberapa skema
yang menunjukkan proses pelapukan dengan grade terendah diindikasikan dengan pelapukan pada
bidang diskontinuitas. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada skema di bawah ini:

Tabel 5. Derajat dan observasi weathering pada batuan (Price, 2007)


Paramater-parameter diskontinuitas yang sudah dijelaskan pada bagian atas, dari roughness sampai
ke pelapukan, merupakan hal yang penting diamati karena parameter-parameter tersebut akan
diperhitungkan mula pada klasifikasi massa batuan, misalnya klasifikasi RMR.
Gambar 7 Klasifikasi RMR (Bieniawski, 1989; dalam Hoek, 2006)

Jadi, tujuan mengamati, mengukur dan mendeskripsikan parameter-parameter diskontinuitas pada


kegiatan scanline tidak hanya untuk mengisi discontinuity survey data sheet (Gambar 2), tetapi juga
untuk mengetahui nilai parameter tersebut dalam pengklasifikasian massa batuan.
Daftar Pustaka
Bell, F. G. 2007. Engineering Geology: Second Edition. UK: Elsevier.
Hoek, E. 2006. Practical Rock Engineering. Kanada: North Vancouver.
Hudson, J. A. Dan Harrison, J. P. 1997. Rock Mechanics. UK: Pergamon.
Price, D. G. 2007. Engineering Geology. UK: Springer.

Anda mungkin juga menyukai