Anda di halaman 1dari 20

Kematian yang Diduga Akibat Kekerasan Benda Tumpul

Andreas Anindito Hermawan

102013172
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Skenario

Seorang mayat dikirimkan ke bagian kedokteran forensik FKUI/RSCM oleh sebuah polsek di
Jakarta. Ia adalah tersangka pelaku pemerkosaan terhadap seorang remaja putri yang
kebetulan anak dari seorang pejabat kepolisian. Berita yang dituliskan didalam surat
permintaan visum et repertum adalah bahwa laki-laki ini mati karena gantung diri di dalam
sel tahanan Polsek.

Pemeriksaan yang dilakukan keesokan harinya menemukan bahwa pada wajah mayat tedapat
pembengkakan dan memar pada punggungnya terdapat beberapa memar berbentuk dua garis
sejajar (railway hematom) dan di daerah paha sekitar kemaluannya terdapat beberapa luka
berbentuk bundar berukuran diameter kira-kira satu sentimenter. Di ujung penisnya terdapar
luka bakar yang sesuai dengan jejas listrik. Sementara itu terdapat pula jejas jerat yang
melingkari leher dengan simpul di daerah kiri belakang yang membentuk sudut ke
atas.pemeriksaan bedah jenazah menemukan resapan darah yang kuas di kulit kepala,
perdarahan yang tipis di bawah selaput keras otak, sembab otak besar, tidak terdapat resapan
darah di kulit leher tetapi sedikit resapan darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan
gondok sisi kiri, sedikit busa halus di dalam saluran napas, dan sedikit bintik-bintik
perdarahan di permukaan kedua paru dan jantung. Tidak terdapat patah tulang. Dokter
mengambil beberapa contoh jaringan untuk pemeriksaan laboratorium.

Keluarga korban datang ke dokter dan menanyakan tentang sebab-sebab kematian korban
karena mereka mencurigai adanya tindakan kekerasan selama di tahanan Polsek. Mereka
melihat sendiri adanya memar-memar di tubuh korban.

Pembahasan
1
Prosedur medikolegal
Prosedur medikolegal yaitu tata cara prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang
berkaitan dengan pelayanan kedokteran untuk kepentingan umum. Secara garis besar
prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan
pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran.1
Lingkup prosedur medikolegal antara lain: Pengadaan Visum et Repertum, pemeriksaan
kedokteran terhadap tersangka, pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan
dan pemberian keterangan ahli di dalam persidangan, kaitan Visum et Repertum dengan
rahasia kedokteran, penerbitan surat keterangan kematian dan surat keterangan medik, dan
fitness/kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik.1

Kewajiban dokter untuk membuat keterangan ahli telah diatur dalam pasal 133
KUHAP. Keterangan ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang
pengadilan (pasal 184 KUHAP).

a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli


Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) yang berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli adalah penyidik. Penyidik pembantu juga mempunyai wewenang
tersebut sesuai dengan pasal 11 KUHAP.1
b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli
Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) yang berwenang melakukan pemeriksaan
forensik yang menyangkut tubuh manuasia dan membuat keterangan ahli adalah
dokter ahli kedokteran kehakiman (forensik), dokter dan ahli lainnya. Sedangkan
dalam penjelasan KUHAP tentang pasal tersebut dikatakan bahwa yang dibuat
oleh dokter ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan yang
dibuat oleh selain ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.
Secara garis besar, semua dokter yang telah mempunyai surat penugasan atau
surat izin dokter dapat membuat keterangan ahli. Namun untuk tertib
administrasinya, maka sebaiknya permintaan keterangan ahli ini hanya diajukan
kepada dokter yang bekerja pada suatu instansi kesehatan (puskesmas hingga
rumah sakit) atau instansi khusus untuk itu, terutama yang milik pemerintah.1
c. Prosedur permintaan keterangan ahli
Permintaan keterangan ahli oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis dan hal
ini secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2), terutama untuk
korban mati.
Jenasah harus diperlakukan dengan baik, diberi label identitas dan penyidik wajib
memberitahukan dan menjelaskan kepada keluarga korban mengenai
2
pemeriksaan yang akan dilaksanakan. Mereka yang menghalangi pemeriksaan
jenasah untuk kepentingan peradilan diancam hukuman sesuai dengan pasal 222
KUHP.1
d. Penggunaan keterangan ahli
Penggunaan keterangan ahli atau dalam hal ini visum et repertum adalah hanya
untuk keperluan peradilan. Dengan demikian berkas keterangan ahli ini hanya
boleh diserahkan kepada penyidik (instansi) yang memintanya. Keluarga korban
atau pengacaranya dan pembela tersangka pelaku pidana tidak dapat meminta
keterangan ahli langsung kepada dokter pemeriksa, melainkan harus melalui
aparat peradilan (penyidik, jaksa atau hakim). Berkas keterangan hali ini tidak
dapat digunakan untuk penyelesaian klaim asuransi. Bila diperlukan keterangan,
pihak asuransi dapat meminta kepada dokter keterangan yang khusus untuk hal
tersebut, dengan memperhatikan ketentuan tentang wajib simpan rahasia jabatan.1

Visum et Repertum
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati,
ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah
sumpah untuk kepentingan peradilan.

Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat
dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan
tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.2

Jenis Visum et Repertum :

1. Visum et Repertum Perlukaan atau Keracunan

2. Visum et Repertum Kejahatan Susila

3. Visum et Repertum Jenazah

4. Visum et Repertum Psikiatrik. 2

Tiga jenis visum yang pertama adalah Visum et Repertum mengenai tubuh atau raga
manusia yang berstatus sebagai korban, sedangkan jenis keempat adalah mengenai mental
atau jiwa tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana. Visum et Repertum
perlukaan, kejahatan susila dan keracunan serta Visum et Repertum psikiatri adalah visum

3
untuk manusia yang masih hidup sedangkan Visum et Repertum jenazah adalah untuk korban
yang sudah meninggal. Keempat jenis visum tersebut dapat dibuat oleh dokter yang mampu,
namun sebaiknya untuk Visum et Repertum psikiatri dibuat oleh dokter spesialis psikiatri
yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.2

Visum et Repertum Psikiatrikum perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP
yang berbunyi,” Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit,
tidak dipidana.” Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental
juga terkena pasal ini.2

Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan
bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi
kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat
dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih
baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa
atau rumah sakit umum.2

Fungsi Visum et Repertum

Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam
pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara
pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu
tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan yang karenanya
dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti.

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian
visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum,
sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah
terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum yang dapat menerapkan norma-norma hukum
pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.2

Aspek Hukum

Pasal 133 KUHAP:

4
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.1,2

Penjelasan terhadap pasal 133 KUHP:

(2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman
disebut keterangan.

Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7 (1) butir h dan pasal 11 KUHP.

Yang dimaksud dengan penyidik disini adalah penyidik sesuai dengan dengan pasal 6 (1)
butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik
tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa
manusia.

Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan
dengan kesehatan dan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak
berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang
sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2)
KUHP).

Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan visum et repertum telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah no.27 tahun 1983 yang menyatakan penyidik polri berpangkat
serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu
yang komandannya adalah seorang bintara (Sersan), maka ia adalah penyidik karena
jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi penyidik pembantu adalah bintara serendah-
rendahnya sersan dua. Untuk mengetahui apakah suatu Surat Permintaan pemeriksaan
telah ditanda tangani oleh yang berwenang, maka yang penting adalah bahwa orang yang
menandatangani surat tersebut selaku penyidik.

5
Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter
untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam pasal 179 KUHP
sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
ata ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.1,2

Pemeriksaan Luar

Pada pemeriksaan tubuh mayat sebelah luar, untuk kepentingan forensik, pemeriksaan
harus dilakukan dengan cermat, meliputi segala sesuatu yang terlihat, baik terhadap benda
yang menyertai mayat, pakaian, perhiasan, sepatu dan lain – lain, juga terhadap tubuh mayat
itu sendiri.4

Tanda kematian tidak pasti


1. Pernafasan berhenti; dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi)
2. Terhentinya sirkulasi, dinilai 15 menit ,nadi karotis tidak teraba.
3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin
terjadi spasme agonl sehingga wajah tampak kebiruan.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan
kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda.
Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer. Hal ini
mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan
bokong pada mayat yang terlentang.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian,.
Segmen-segmen tersebut bergerak kearah tepi retina dan kemudian menetap.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekruhan dalam 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan menenteskan air.3,4

Tanda pasti kematian


1. Lebam mayat (livor mortis)
Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempat tempat terbawah akibat
gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna
merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang
tertekan alas keras.
Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel
pembuluh darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin
lama intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam.

6
Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang pada penekanan dan dapat berpindah
posisi jika mayat diubah.
Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila penekanan
tau perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati
klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga
sejumlah darah masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat ditempat terendah
yang baru. Kadang-kadang dijumpai bercak berwarna biru kehitaman akibat pecahnya
pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh tertimbunnya sel-sel
darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu kekakuan
otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.
Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian; memperkiraan
sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracuna CO atau CN,
warna kecoklatan pada keracunan aniline, nitrit, nitrat, sulfonal; mengetahui
perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap;
dan memperkirakan saat kematian.
Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum menetap
dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat akan
terbentuk lebam mayat baru didaerah dada dan perut. Lebam mayat yang menetap
atau masih hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam
sebelum saat pemeriksaan.
2. Kaku mayat
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme
tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang
menghasilkan energi. Energi ini dapat digunakan untuk merubah ADP menjadi ATP.
Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan myosin tetap lentur. Bila cadangan
glikogen dalam otot habis, maka energy tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin
menggumpal dan otot menjadi kaku.
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai
tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh kearah
dalam. Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini kraniocaudal. Setelah mati
klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan
kemudian hilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai
pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam
posisi teregang, maka saat saat kaku mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot.
Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik
sebelum mati, suhu tubuh tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot kecil dan suhu
7
lingkungan tinggi. Kaku mayat dapat digunakan untuk menunjukkan tanda pasti
kematian dan memperkirakan saat kematian.
3. Penurunan suhu tubuh
Penurunan suhu tubuh terjadi karena pemindahan panas dari suatu panas dari
suatu benda ke benda yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan
konveksi. Grafik penurunan suhu tubuh ini hampir berbentuk sigmoid atau seperti
huruf S. Kecepatan penurunan suhu keliling, aliran dan kelembaban udara, bentuk
tubuh, posisi tubuhm pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu diketahui untuk
perhitungan perkiraan saat kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada
suhu keliling yang rendah, lingkungan berangin dengan kelembaban rendah, tubuh
yang kurus, posisi terlentang, tidak berpakain atau berpakaian tipis, dan pada
umumnya orang tua serta anak kecil.
4. Pembusukan
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolysis dan
kerja bakteri. Autolisis adalah perlunakan dann pencairan jaringan yang terjadi dalam
keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel
pascamati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan.
Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera
masuk kejaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk
bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama adalah
Clostridium welchi. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S dan
HCN, serta asam amino dan asam lemak.
Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26,5 derajat
celcius hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup, banyak
bakteri pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis. Media
tempat mayat terdapat juga berperan. Mayat yang terdapat diudara akan lebih cepat
membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau dalam tanah.
Perbandingan kecepatan pembusukan mayat berada dalam tanah : air: udara adalah 1:
2 : 8. Bayi bari lahir umumnya lebih lambat membusk , karena hanya memiliki sedikit
bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat pada bayi akan
menghambat pertumbuhan bakteri.
5. Adiposera atau lilin mayat. Adiposera terbentuknya bahan yang berwarna keputihan,
lunak atau berminyak, berbau tengik yang terjadi didalam jaringan lunak tubuh
pascamati. Adiposera terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk oleh
hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh
pascamati yang tercampur dengan sisa-sisa otot. Faktor-faktor yang mempermudah
8
terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan lemak tubuh yang cukup, sedangkan
yang menghambat adalah air yang mengalir yang menbuang elektrolit. Pembusukan
terhambat oleh adanya adiposera.
6. Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat
sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan
pembusukan. Jaringan berubah menjadi gelap, kering, berwarna gelap, berkeriput dan
tidak membusuk karena kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan yang
kering.3,4

Pemeriksaan Dalam

Pada kematian akibat kekerasan, pemeriksaan terhadap luka harus dapat megungkapkan
berbagai hal tersebut dibawah ini :
1. Penyebab luka
Dengan memperhatikan morfologi luka, kekerasan akibat penyebab luka dapat
ditentukan. Pada kasus tertentu, gambaran luka seringkali dapat member petunjuk
mengenai bentuk benda yang mengenai tubuh, msalnya luka yang disebabkan oleh
benda tumpul berbentuk bulat panjang akan meninggalkan negative imprint oleh
timbulnya marginal haemorrhge. Luka lecet jenis tekan memberikan gambaran
bentuk benda penyebab luka.
2. Arah kekerasan
Pada luka lecet jenis geser dan luka robek, arah kekerasan dapat ditentukan. Hal ini
sangat membantu pihak yang berwajib dalam melakukan rekonstruksi terjadinya
perkara.
3. Cara terjadinya luka
Yang dimaksud dengan terjadinya luka adalah apakah luka ditemukan terjadi sebagai
kecelakaan, pembunuhan atau bunuh diri. Luka-luka akibat kecelakaan biasanya
terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Bagian tubuh yang biasanya terlindung
jarang mendapat luka pada suatu kecelakaan. Daerah terlindung ini misalnya daerah
ketiak, daerah sisi depan leher, daerah lipat siku dan sebagainya. Luka akibat
pembunuhan dapat tersebar pada seluruh bagian tubuh. Pada korban pembunuhan
yang sempat mengadakan perlawanan, dapat ditemukan luka tngkis yang biasanya
terdapat pada daerah ekstensor lengan bawah atau telapak tangan. Pada korban bunuh
diri, luka biasanya menunjukkan sifat luka percobaan yang mengelompok dan
berjalan kurang lebih sejajar.
4. Hubungan antara luka dengan sebab mati

9
Harus dapat dibuktikan bahwa terjadinya kematian semata-mata disebabkan oleh
kekerasan yang menyebabkan luka. Untuk itu pertama-tama harus dibuktikan bahwa
luka yang ditemukan adalah benar-benar luka yang terjadi semasa korban masih
hidup. Untuk ini,tanda intravitalis luka berupa reaksi jaringan terhadap luka terhadap
luka yang perlu diperhatikan. Tanda intravitalis luka dapat bervariasi ditemukan
resapan darah, terdapatnya proses penyembuhan luka, serbukan sel radang,
pemeriksaan histo-ensimatik sampai pemeriksaan kadar histamine bebas dan
serotonin jaringan.3,4

Kematian akibat pembunuhan menggunakan kekerasan


Pembunuhan menggunakan kekerasan dapat dilakukan dengan benda tumpul, benda
tajam maupun senjata api. Kadang-kadang dapat terjadi pembunuhan dengan api, sekalipun
jarang terjadi.
Pada pembunuhan dengan menggunakan kekerasan tumpul, luka dapat terdiri dari
luka memar, luka lecet maupun luka robek. Perhatikan adanya luka tangkis yang terdapat
pada daerah ekstensor lengan bawah. Pada pembunuhan dengan menggunakan kekerasan
tajam, luka harus dilukiskan dengan baik, dengan mmeperhatikan bentuk luka, tepi luka,
sudut luka, keadaan sekitar luka serta lokasi luka. unuhan Dalam peristiwa pembunuhan, cari
pula kemungkinan terdapatnya luka tangkis didaerah ekstensor lengan bawah serta telapak
tangan.
Luka biasanya terdapat beberapa buah yang distribusinya tidak teratur, sekalipun tidak
jarang ditemukan kasus pembunuhan hanya terdiri dari satu luka saja tanpa si korban sempat
melakukan perlawanan apapun. Dengan menentukan arah kekerasan pada luka yang
ditemukan, dapat dilakukan rekonstruksi terjadinya peristiwa.3,4

Sebab Kematian

Untuk dapat menentukan sebab kematian secara pasti mutlak harus dilakukan
pembedahan mayat (autopsy, otopsi), dengan atau tanpa pemeriksaan tambahan seperti
pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan toksikologis, pemeriksaan bakteriologis dan lain
sebaginya tergantung kasus yang dihadapi.4,5

Cara kematian
Berbagai macam kejadian yang menimbulkan penyebab kematian. Bila kematian
terjadi sebagai akibat suatu penyakit semata-mata maka cara kematiannya adalah wajar
(natural death). Bila kematian terjadi sebagai akibat cedera atau luka, atau pada seseorang
yang semlula telah mengidap suatu penyakit. Kematiannya dipercepat oleh adanya cedera
10
atau luka maka kematian demikian adalah kematian tidak wajar (unnatural death). Kematian
tidak wajar ini dapat terjadi sebagai akibat kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan. Kadang
kala pada akhir suatu penyidikan penyidik masih belum dapat menentukan cara kematian dari
yang bersangkutan maka dalam hal ini kematian dinyatakan sebagai kematian dengan cara
yang tidak tertentukan.4,5

Asfiksia

Masa dari saat asfiksia sampai timbul kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar
antara 4 - 5 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka
waktu kematian akan lebih lama dan tanda - tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
Karena asfiksia merupakan mekanisme kematian, maka secara menyeluruh untuk semua
kasus akan ditemukan tanda-tanda umum yang hampir sama.2,3,5

Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu:


1. Fase Dispneu.
Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah dan penimbunan
CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata. Hal ini
membuat amplitude dan frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah
meninggi, dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan.
2. Fase Konvulsi.
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula kejang berupa kejang
klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik.
Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek
ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat kekurangan
O2.
3. Fase Apneu.
Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat. Pernapasan melemah
dan dapat berhenti, kesadaran menurun,dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urine, dan tinja.
4.Fase Akhir.
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah
kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut

11
beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai
terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit.2,3,5

Fase 1 dan 2 berlangsung ± 3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat penghalangan O2. Bila
penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda
asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.2,3,5
 Pemeriksaan Luar


Dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung - ujung jari dan kuku. Pembendungan
sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada
kematian akibat asfiksia. Kematiaan biasanya disebabkan kegagalan kerja jantung
yang disebabkan oleh tekanan mendadak pada leher. Mekanisme yang terjadi mirip
dengan sinkop sinus yaitu misalnya mengenakan pakaian dengan kerah yang ketat
yang dapat menyebabkan bradikardia dan hilangnya kesadaran. Tanda petekie dan
hemoragis dan tanda lain terkadamg tidak diketemukan pada kematian asfiksia karena
proses sirkulasi yang sangat cepat sehingga tidak memberi waktu yang cukup
terjadinya tahapan asfiksia pada umumnya.

Warna lebam mayat (livor mortis) merah - kebiruan gelap akan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin
dalam darah, sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya
fibrinolisin ini sangat berhubungan dengan cepatnya proses kematian.

Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernafasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran nafas bagian atas.
Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa
yang kadang - kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.

Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva
bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2, akibat tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu
hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari
selapis sel akan pecah dan timbul bintik - bintik perdarahan yang dinamakan sebagai
tardeou’s spot.2,3,5


Pemeriksaan Dalam


Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat
paska kematian.
12

Busa halus di dalam saluran pernafasan.

Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap, dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.

Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada belakang jantung
daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars
diafragmatika dan fissura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot
temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.2,3,5

Penggantungan

Penggantungan (hanging) merupakan suatu strangulasi berupa tekanan pada leher


akibat adanya jeratan yang menjadi erat oleh berat badan korban.2,3,5

Ada 4 penyebab kematian pada penggantungan, yaitu :


Asfiksia

Iskemia otak akibat gangguan sirkulasi

Vagal reflex

Kerusakan medulla oblongata atau medulla spinalis
Ada 3 cara kematian pada penggantungan, yaitu :


Bunuh diri (paling sering).

Pembunuhan, termasuk hukuman mati.

Kecelakaan, misalnya bermain dengan tali lasso, tali parasut pada terjun payung, dan
penggunaan tali untuk mendapat kepuasan seks.
Untuk mengetahui lebih jelas cara kematian ini, hal yang perlu diperhatikan, yaitu :


Ada tidaknya alat penumpu korban, misalnya bangku dan sebagainya.

Arah serabut tali penggantung.

Serabut tali penggantung yang arahnya menuju korban dapat memberi petunjuk bagi
kita bahwa korban melakukan bunuh diri. Sebaliknya, bila arah serabut tali menjauhi
korban menjadi bukti korban dibunuh lebih dahulu sebelum digantung.

Distribusi lebam mayat.

Distribusi lebam mayat harus kita perhatikan secara seksama, apakah sesuai dengan
posisi mayat ataukah tidak.

Jenis simpul tali gantungan.

13

Hal ini penting diperhatikan karena dapat kita jadikan sebagai patokan apakah korban
melakukan bunuh diri ataukah korban pembunuhan. Simpul tali, baik simpul hidup
maupun simpul mati, bila melewati lingkar kepala korban dapat menunjukkan korban
melakukan bunuh diri. Apabila simpul tali tidak melewati lingkar kepala korban,
berarti korban dibunuh lebih dahulu sebelum digantung. Simpul hidup harus
dilonggarkan secara maksimal untuk membuktikannya.2,3,5
Tabel 1. Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan

No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan

1 Usia. Gantung diri lebih sering terjadi Tidak mengenal batas usia, karena tindakan
pada remaja dan orang dewasa. Anak- pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan
anak di bawah usia 10 tahun atau orang dari korban dan tidak bergantung pada usia
dewasa di atas usia 50 tahun jarang
melakukan gantung diri

2 Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak
berupa lingkaran terputus (non- terputus, mendatar, dan letaknya di bagian
continuous) dan terletak pada bagian tengah leher, karena usaha pelaku pembunuhan
atas leher untuk membuat simpul tali

3 Simpul tali, biasanya hanya satu simpul Simpul tali biasanya lebih dari satu pada bagian
yang letaknya pada bagian samping depan leher dan simpul tali tersebut terikat kuat
leher

4 Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat


mempunyai riwayat untuk mencoba untuk bunuh diri
bunuh diri dengan cara lain

5 Cedera. Luka-luka pada tubuh korban Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban
yang bisa menyebabkan kematian biasanya mengarah kepada pembunuhan
mendadak tidak ditemukan pada kasus
bunuh diri

6 Racun. Ditemukannya racun dalam Terdapatnya racun berupa asam opium


lambung korban, misalnya arsen, hidrosianat atau kalium sianida tidak sesuai
sublimat korosif dan lain-lain tidak pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini
bertentangan dengan kasus gantung diri. perlu waktu dan kemauan dari korban itu
14
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan

Rasa nyeri yang disebabkan racun sendiri. Dengan demikian maka kasus
tersebut mungkin mendorong korban penggantungan tersebut adalah karena bunuh
untuk melakukan gantung diri diri

7 Tangan tidak dalam keadaan terikat, Tangan yang dalam keadaan terikat
karena sulit untuk gantung diri dalam mengarahkan dugaan pada kasus pembunuhan
keadaan tangan terikat

8 Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan


mayat biasanya ditemukan tergantung tergantung pada tempat yang sulit dicapai oleh
pada tempat yang mudah dicapai oleh korban dan alat yang digunakan untuk
korban atau di sekitarnya ditemukan alat mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
yang digunakan untuk mencapai tempat
tersebut

9 Tempat kejadian. Jika kejadian Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan
berlangsung di dalam kamar, dimana ditemukan terkunci dari luar, maka
pintu, jendela ditemukan dalam keadaan penggantungan adalah kasus pembunuhan
tertutup dan terkunci dari dalam, maka
kasusnya pasti merupakan bunuh diri

10 Tanda-tanda perlawanan, tidak Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada


ditemukan pada kasus gantung diri kecuali jika korban sedang tidur, tidak sadar
atau masih anak-anak.

Penjeratan (Strangulation by Ligature)


Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada leher
korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan karena berat badan
korban. Ada 3 penyebab kematian pada jerat (strangulation by ligature), yaitu : asfiksia,
iskemia, vagal refleks.

Ada 3 cara kematian pada kasus jeratan (strangulation by ligature), yaitu :

 Pembunuhan (paling sering).

15
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian infanticide
dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan hukuman mati
(zaman dahulu).

 Kecelakaan.
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang terjerat oleh tali
pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex menjadi penyebab
kematian pada orang yang bersenda gurau.

 Bunuh diri.
Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali secara
berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan
leher dimasukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.

Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain :

 Arah jerat mendatar / horisontal.


 Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
 Jenis simpul penjerat.
 Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.
 Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang digunakan untuk
menjerat.
Gambaran Postmortem
Pemeriksaan otopsi pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mirip kasus
penggantungan (hanging) kecuali pada :


Distribusi lebam mayat yang berbeda.

Alur jeratan mendatar / horisontal.

Lokasi jeratan lebih rendah.2,3,5

Interpretasi Temuan
Tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi
personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan
identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan
dapat berakibat fatal dalam proses peradilan.

16
Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan
hasil positive (tidak meragukan). Penentuan identitas personal dapat menggunakan metode
identifikasi sidik jari, visual, dokumen, pakaian dan perhiasan, medik, gigi, serologik, dan
secara eksklusi. Akhir – akhir ini dikembangkan pula metode identifikasi DNA.4,5
I. Pemeriksaan Sidik Jari
Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari
ante mortem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan
yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang.
Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang sebaik – baiknya terhadap
jari tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik jari, misalnya melakukan
pembungkusan kedua tangan jenazah dengan kantung plastic.
II. Metode Visual
Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang – orang
yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif
pada jenazah yang belum membusuk sehingga masih mungkin dikenali wajah
dan bentuk tubuhnya oleh lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan
mengingat adanya kemungkinan faktor emosi yang turut berperan untuk
membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut
III. Pemeriksaan dokumen
Dokumen seperti kartu identifikasi (KTP, SIM, Paspor, dll) yang kebetulan
dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali
jenazah tersebut.
IV. Pemeriksaan pakaian dan perhiasan
Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah, mungkin dapat diketahui
merek atau nama pembuat, ukuran, inisial nama pemilik, badge, yang semuanya
dapat membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah
tersebut. Khusus anggota ABRI, masalah identifikasi dipermudah dengan adanya
nama serta NRP yang tertera pada kalung logam yang dipakainya.
V. Identifikasi medik
Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna
mata, cacat / kelainan khusus, tato. Metode ini mempunyai nilai tinggi karena
selain dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara /
modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar-X), sehingga ketepatannya
cukup tinggi. Bahkan pada tengkorak / kerangka pun masih dapat dilakukan
metode identifikasi ini. Melalui metode ini, diperoleh data tentang jenis kelamin,
ras, perkiraan umur dan tinggi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya.
VI. Pemeriksaan gigi

17
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang yang
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X, dan
pencetakan gigi serta rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk,
susunan, tambalan, protesa gigi, dn sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari,
maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian, dapat
dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan dengan data
pembanding ante mortem.
VII. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik bertujuan untuk menentukan golongan darah jenazah.
Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan
dengan memeriksa rambut, kuku, dan tulang.
VIII. Metode Eksklusi
Metode ini digunakan pada kecelakaan missal yang melibatkan sejumlah orang
yang dapat diketahui identitasnya, misalnya penumpang pesawat udara, kapal
laut, dn sebagainya. Bila sebagian besar korban telah dapat dipastikan
identitasnya dengan menggunakan metode – metode identifikasi lain, sedangkan
identitas sisa korban tidak dapat ditentukan dengan metode – metode tersebut
diatas, maka sisa korban diidentifikasi menurut daftar penumpang.4,5

Interpretasi Pemeriksaan Luar Mayat Berdasarkan Skenario 1

Pada Tubuh Korban

• Pada wajah mayat terdapat pembengkakan dan memar diperkirakan karena


kekerasan benda tumpul tetapi tidak diketahui warna luka memar.

• Pada punggung terdapat beberapa memar berbentuk 2 garis sejajar (railway


hematom) diperkirakan karena kekerasan benda tumpul tetapi tidak diketahui warna
luka memar.

• Di daerah paha di sekitar kemaluannya terdapat beberapa luka bakar berbentuk


bundar berukuran diameter kira-kira 1 cm tanda kekerasan berupa: luka bakar yang
diakibatkan karena kontak kulit dengan benda bersuhu tinggi yang diperkirakan dari
rokok.

• Di ujung penisnya terdapat luka bakar yang sesuai dengan jejas listrik ditemukan
tanda kekerasan: berupa luka bakar dengan jejas listrik akibat trauma listrik.

• Terdapat pula jejas jerat yang melingkari leher dengan simpul di daerah kiri belakang
yang membentuk sudut ke atas berdasarkan simpul dari jejas jerat diperkirakan
telah terjadi kasus gantung.

18
• Tidak terdapat resapan darah di kulit leher tetapi sedikit resapan darah di otot leher
sisi kiri diperkirakan akibat kekerasan benda tumpul.

• Patah ujung rawan gondok sisi kiritidak sering terjadi pada kasus gantung
kemungkinan akibat kekerasan benda tumpul.

• Sedikit busa halus di dalam saluran napas diperkirakan korban mati akibat asfiksia.

• Sedikit bintik-bintik perdarahan di permukaan kedua paru dan jantung diperkirakan


korban mati akibat asfiksia.

Pemeriksaan bedah jenazah


Terjadi cedera kepala yang
• Resapan darah yang luas di kulit kepala diakibatkan kekerasan pada
kepala dengan benda tumpul
• Perdarahan yang tipis di bawah selaput keras otak
sehingga mengakibatkan
• Sembab otak besar perdarahan.

Kesimpulan
Pada mayat laki-laki ini ditemukan pembengkakan dan memar pada wajah, beberapa
memar berbentuk dua garis sejajar (railway hematome) pada punggung akibat kekerasan
benda tumpul.
Terdapat sedikit busa halus di dalam saluran nafas dan sedikit bintik-bintik
perdarahan pada permukaan jantung dan paru akibat asfiksia.
Sebab mati orang ini adalah kekerasan benda tumpul yang menyebabkan pendarahan
dan mengalami asfiksia setelah digantung sehingga korban meninggal.

Daftar Pustaka

19
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Hertian S, et all. Prosedur
medikolegal, in : Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta; Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.11-25.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Hertian S, et all, Visum et
repertum, in : Ilmu kedokteran forensik. Jakarta; Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1997. Hal.5-16.
3. Dahlan S. Interpretasi temuan, in : Ilmu kedokteran forensik pedoman bagi dokter dan
penegak hukum. Semarang; Badan penerbit Universitas Diponegoro. 2008. Hal.172-6.
4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Identifikasi personal, in :
Kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid 2.Jakarta;Media aesculapius.2005. Hal.
182-5.
5. Satyo, Alfred C. Sebab kematian, in: Ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta;
PT Binarupa Aksara.1989. Hal.69-82.

20

Anda mungkin juga menyukai