Thesa Siswanto
Rasio C/N yang dikandung oleh kompos UPS Cipayung masih di bawah nilai yang ditetapkan SNI 19-
7030-2004. Faktor yang mempengaruhi rasio C/N kompos UPS Cipayung salah satunya adalah komposisi
feedstock pengomposan. Selama ini, proses pengomposan dilakukan hanya dengan mengandalkan
feedstock sampah organik UPS Cipayung yang memiliki kadar karbon rendah. Hal ini menyebabkan
rendahnya rasio C/N pada kompos yang diproduksi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan berunsur karbon tinggi
untuk meningkatkan rasio C/N pada kompos di UPS Cipayung. Bahan yang berunsur karbon tinggi bisa
ditambahkan ke dalam feedstock pengomposan untuk membantu meningkatkan rasio C/N. Bahan yang
mudah dicari dan digunakan antara lain daun kering dan sabut kelapa. Oleh karena itu, bahan tersebut
dapat ditambahkan ke dalam feedstock sampah organik UPS Cipayung agar rasio C/N meningkat. Variasi
komposisi dalam penelitian ini adalah campuran sampah organik dan daun kering (tumpukan 2), sampah
organik dan sabut kelapa (tumpukan 3), serta sampah organik tanpa campuran sebagai
kontrol(tumpukan 1).
Setelah proses pengomposan selama 90 hari, kompos yang memiliki rasio C/N paling baik sesuai dengan
SNI 19-7030-2004 adalah kompos dengan campuran feedstock sabut kelapa dan sampah organik dengan
rasio 13,44.
Kata kunci : Rasio C/N, Pengomposan, Sampah organik, Sabut kelapa, UPS Cipayung
The C/N ratio in compost produced by UPS Cipayung is having a quality that did not meet with SNI 19-
7030-2004 standard. Based on several study, feedstock composition affects duration of compost produced.
In UPS Cipayung, composting process was carried only by using feedstock from household waste that
contained low carbon and high nitrogen compound. This is one of the reason why compost is having low
carbon.
The high carbon materials can be added into the feedstock composting to help increasing the C/N ratio.
Materials that accessible and usable include dried leaves and coconut coir. Therefore, that material can
may be added to organic waste feedstock in UPS Cipayung in order for increasing C/N ratio. Variations
in composition of this research is a mixture of organic waste and dry leaves (stacks 2), organic waste and
coconut coir (stacks 3), and organic waste only as control (stacks 1).
Keywords: C/N Ratio, Composting, organic waste, coconut coir, UPS Cipayung
1. Pendahuluan
Timbulan sampah yang terdapat di Kota Depok merupakan jumlah sampah yang berasal dari daerah
perumahan, daerah komersial (pasar, pertokoan, dan pusat perdagangan), daerah industri, perkantoran, sarana
umum, jalan, taman, dan lain-lain. Kota Depok dengan jumlah penduduk 1.143.403 jiwa, menghasilkan 3.716,06
m3 timbulan sampah total (Pemerintah Kota Depok, 2011). Jumlah ini cukup besar, sehingga Dinas Persampahan
Kota Depok perlu bekerja keras dalam menangani masalah pengelolaan sampah.
Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan, meliputi pengurangan dan
penanganan sampah (Kementrian Lingkungan Hidup, 2007). Salah satu pengelolaan sampah yang dapat
dilakukan adalah dengan membuat kompos. Kompos adalah salah satu usaha pemanfaatan sampah yang bernilai
jual. Pengomposan merupakan salah satu alternatif pengelolahan limbah padat organik yang dapat diterapkan di
Indonesia, mengingat bahan baku kompos berupa bahan organik tersedia berlimpah dan teknologi tepat guna
untuk proses pengomposan pun telah cukup dikuasai.
Namun, kualitas pupuk kompos yang dihasilkan biasanya kurang baik. Umumnya, masalah yang dihadapi
pada pengomposan adalah tidak sesuainya rasio C/N yang didapat dengan Standar Nasional Indonesia (SNI No.
19-7030-2004 : Rasio C/N 10:20-1). Hal ini menyebabkan kualitas kompos kurang baik dan penggunaan pupuk
kimia meningkat. Pemakaian pupuk kimia ini cenderung lebih mahal dan ditakutkan akan mengontaminasi
tanaman dengan zat-zat berbahaya.
Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting karena dibutuhkan sebuah cara agar kualitas pupuk kompos
yang dihasilkan bisa meningkat, terutama dalam peningkatan rasio C/N, sehingga pemanfaatan pemakaian pupuk
kompos akan lebih maksimal lagi.
Pengomposan yang dilakukan oleh Unit Pengolahan Sampah (UPS) Cipayung memiliki hasil kompos
dengan kualitas yang kurang baik, khususnya pada perolehan rasio C/N. Tidak sesuainya rasio C/N pada hasil
pengomposan dapat dipengaruhi oleh faktor proses pengomposan dan bahan baku kompos. Proses pengomposan
sendiri harus sesuai dengan metode yang telah ditentukan agar hasil dari kompos akan lebih maksimal. Bahan
baku dari pengomposan ini adalah sampah organik yang terdiri dari limbah rumah tangga dan limbah taman.
Sampah organik biasanya mengandung unsur nitrogen yang sangat tinggi, sedangkan dalam pengomposan
diperlukan juga kadar karbon yang cukup besar. Hal ini akan berpengaruh besar pada rasio C/N kompos yang
dihasilkan.
Penelitian ini akan menggunakan feedstock dari UPS Cipayung, Kota Depok. Komposisi sampah yang
datang ke UPS ini sebagian besar berasal dari pemukiman (sampah rumah tangga). Pengomposan pada penelitian
Merujuk pada perumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
a) Mengetahui pengaruh penambahan bahan campuran yang mengandung unsur karbon pada feedstock
terhadap rasio C/N hasil pengomposan.
b) Mengetahui bahan campuran yang lebih baik antara daun kering dan sabut kelapa dalam meningkatkan
rasio C/N.
c) Memberikan rekomendasi komposisi feedstock yang tepat antara daun kering dengan bahan organik dan
sabut kelapa dengan bahan organik untuk meningkatkan rasio C/N.
2. Studi Kepustakaan
2.1 Teori
Sampah merupakan sesuatu berasal dari limbah yang timbul dari aktivitas makhluk hidup dalam bentuk
padat dan dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak diinginkan (Tchobanoglous, Thiesen, dan Vigil, 1993).
Menurut Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah adalah sisa dari kegiatan
sehari-hari dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah merupakan sisa bahan yang mengalami
perlakuan, baik yang telah diambil bagian utamanya atau pengelolaan karena sudah tidak bermanfaat. Sumber
sampah dari setiap daerah bisa berbeda-beda. Sumber sampah bisa bermacam-macam, diantaranya adalah
domestik, perkantoran, jalanan, indrusti, rumah sakit, puing pembangunan, tempat umum, perdagangan,
penjernihan air bersih, dan lainnya. Dengan mengetahui sumber-sumber sampah yang ada, pemilahan sampah
dapat lebih mudah dilakukan, mana yang dapat digunakan sebagai bahan pengomposan. Beberapa sumber
Sampah akan terus dihasilkan selama kehidupan masih ada sehingga aktivitas pembuangan sampah ini
merupakan aktivitas yang terus berlanjut. Oleh karena itu diperlukan sistem pengelolaan sampah yang baik.
Sementara itu, penanganan sampah perkotaan mengalami kesulitan dalam hal pengumpulan sampah dan upaya
mendapatkan tempat atau lahan yang benar-benar aman (Soeryani et al, 1997). Pengelolaan sampah merupakan
kegiatan yang memiliki tujuan utama untuk mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan dan mengubahnya
menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomis (United Nation, 2006). Sampah dapat dikurangi dengan cara
diolah menjadi material yang bisa dianggap bukan sampah. Pengolahan sampah bisa dilakukan dengan cara
mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis. Selain itu, pengolahan juga dapat dilakukan
dengan mengubah sampah menjadi material yang tidak berbahaya bagi lingkungan sehingga keberadaannya di
lingkungan tidak akan mengganggu. Pengolahan sampah yang utama terdiri dari tiga macam cara yaitu
pengurangan volume sampah (reduce), pemanfaatan kembali sampah (reuse), atau pengolahan sampah menjadi
material yang bernilai (recycle) (Park, 1997).
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat
dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroorganisme dalam kondisi lingkungan yang
hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Crawford, 2003). Kompos yang digunakan sebagai pupuk disebut
pula pupuk organik karena berasal dari bahan-bahan organik. Pupuk organik ini terbuat dari hasil pembusukan
atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tanaman, hewan atau limbah organik lainnya. Kompos
merupakan salah satu bahan organik yang mengalami degradasi atau penguraian sehingga berubah bentuk dan
sudah tidak dikenal bentuk aslinya, berwarna kehitam-hitaman dan tidak berbau.
Kompos berguna untuk memperbaiki struktur tanah, zat makanan yang diperlukan tumbuhan akan tersedia.
Mikroorganisme yang ada dalam kompos akan membantu penyerapan zat makanan yang dibutuhkan tanaman.
Tanah akan menjadi lebih subur. Tanaman yang dipupuk dengan kompos akan tumbuh lebih baik. Pengomposan
adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroorganisme-
mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur
dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat
campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator
pengomposan. Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses
pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pengaktifan dan tahap pematangan.
Proses pengomposan dibedakan berdasarkan ketersediaan oksigen bebas. Mekanisme pengomposan terbagi
menjadi dua cara, yaitu pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Pada proses pengomposan secara aerobik
ini, oksigen sangat mutlak diperlukan. Transformasi aerobik pada proses pengomposan dapat digambarkan
dalam persamaan reaksi sebagai berikut:
Sampel dari penelitian ini adalah bagian feedstock, terdiri dari tiga tumpukan, yang akan digunakan dalam
pengukuran parameter proses pengomposan. Jumlah sampel total yang digunakan adalah 7596 gr. Pengambilan
sampel dilakukan dari setiap tumpukan. Untuk bagian sampel yang diambil harus dapat mempresentasikan
keseluruhan tumpukan, maka dari itu pengambilan sampel dilakukan setelah dilakukan pengadukan. Selain itu,
titik pengambilan sampel harus menyebar dibeberapa bagian tumpukan. Wadah untuk menyimpan sampel pada
saat akan dibawa ke laboratorium adalah menggunakan plastik yang tertutup, hal ini agar menghindari hilangnya
unsur-unsur dalam sampel ataupun pengaruh dari luar.
+ ( )
=
+ ( )
Dimana,
X = perbandingan atau rasio jumlah banyaknya bahan 2 dalam bahan 1.
Pembuatan variasi komposisi ditentukan berdasarkan rasio C/N yang akan dicapai, di mana sampah organik
dicampur dengan bahan yang banyak mengandung unsur karbon, pada feedstock. Variasi pencampuran
feedstock dilakukan dengan perhitungan komposisinya berdasarkan kadar karbon, nitrogen, dan kadar airnya
dengan tujuan didapatkannya rasio C/N feedstock dalam range sebesar 20-40:1. Penelitian kali ini menggunakan
daun kering dan sabut kelapa sebagai bahan campurannya karena kedua bahan ini memiliki kadar unsur karbon
yang sangat tinggi. Kadar karbon di dalam bahan ini akan membantu menaikan rasio C/N pada feedstock yang
dinilai masih terlalu rendah. Jumlah awal dari feedstock dan bahan pencampur (daun kering dan sabut kelapa)
dibuat sama sebesar 5 kg. Hal ini dilakukan agar didapat rasio yang tepat antara kebutuhan sampah organik dan
bahan pencampur sehingga rasio C/N dapat ditentukan. Rasio C/N yang dicari adalah sebesar 30, mengambil
titik tengah dari range 20-40. Setelah diketahui rasio C/N yang didapat sesuai dengan perkiraan, maka komposisi
pertama feedstock ditentukan sebesar 5:1 dan komposisi kedua feedstock ditentukan sebesar 5:0,5.
Feedstock berupa sampah organik diambil dari UPS Cipayung secara acak dengan besar berdasarkan
kebutuhan total jumlah tiga sampel yang dibutuhkan. Bahan campuran yang digunakan pada penelitian kali ini
berupa daun kering dan sabut kelapa. Daun kering diambil dari lingkungan Universitas Indonesia dan sabut
kelapa diambil dari Pasar Bogor. Pengisian box composter oleh sampel dilakukan dengan memasukan feedstock
sesuai komposisi yang telah dihitung selama beberapa kali sampai box composter penuh. Jumlah total feedstock
setiap tumpukan dihitung dengan menjumlah seluruh bahan yang telah masuk ke dalam box composter.
Penelitian ini menggunakan metode pengomposan aerobik-open windrow dengan box composter berukuran
1m x 1m x 1m. Ukuran ini ditentukan dari volume tumpukan kompos yang biasa dilakukan pada pengomposan
dengan metode open windrow. Box composter terbuat dari besi ringan sebagai rangka dan jaring kawat sebagai
dinding agar oksigen dapat bebas masuk dari segala sisi, sehingga proses yang berjalan tetap aerobik. Pada
proses pengomposan ini dilakukan pengukuran parameter berat, temperatur, serta kadar air content.
Pada saat proses pengomposan berlangsung terdapat beberapa parameter yang harus diukur dan dikontrol
agar pengomposan bisa berhasil. Parameter tersebut antara lain temperatur, kadar air, densitas, distribusi partikel,
water holding capacity, pH, dan rasio C/N. Pengukuran yang dilakukan pun memiliki metode masing-masing,
metode pengukuran parameter kompos antara lain pengukuran temperatur, pembalikan tumpukan, pengukuran
kadar air, dan pengukuran rasio C/N.
Percobaan pengomposan dilakukan selama dua bulan masa efektif dan satu bulan masa pematangan.
Pengomposan dimulai dengan pengumpulan feedstock yang berupa sampah organik, sabut kelapa, dan daun
kering. Rasio komposisi sampah organik dengan daun kering tumpukan dua adalah 5kg:1kg, sedangkan rasio
komposisi sampah organik dengan sabut kelapa tumpukan tiga adalah 5kg:1/2kg. Sampah organik yang
digunakan berasal dari UPS Cipayung sesuai dengan tujuan dan judul penelitian ini, sedangkan sabut kelapa
yang digunakan berasal dari Pasar Bogor dan daun kering yang digunakan berasal dari sekitar kampus
Universitas Indonesia. Kendala yang didapat selama tahap ini antara lain pada saat pemilahan sampah di UPS
Cipayung karena sampah yang terkumpul belum terpisah antara sampah organik dengan anorganik. Setelah
dilakukan pengumpulan feedstock, selanjutnya feedstock dicacah dengan mesin pencacah. Pencacahan ini
dilakukan agar ukuran partikel feedstock sesuai dengan karakteristik pengomposan yang baik. Pencacahan
dilakukan sewaktu dengan penimbangan sampah organik dengan bahan campuran yang akan ditambahkan. Agar
pencampuran lebih merata, pencacahan dilakukan setelah sampah organik dan bahan campuran dicampur dengan
komposisi yang telah ditentukan.
Setelah feedstock dicacah dan terkumpul, pengisian kotak dilakukan dengan referensi dari perhitungan yang
telah dilakukan diawal. Pengisisan kotak harus dilakukan dalam satu waktu secara bersamaan agar hari dimulai
percobaan sama setiap tumpukannya. Saat pengisian kotak tumpukan yang memiliki feedstock campuran harus
diaduk secara merata. Pengisisan setiap kotak tumpukan sebaiknya dibuat berlebih agar mengantisipasi
berkurangnya volume pada proses berlangsung. Setelah semua kotak tumpukan dinyatakan siap, diambil 100 gr
sampel dari setiap kotak untuk digunakan pada pengukuran parameter hari ke-0.
Pengadukan dilakukan seminggu sekali secara bersamaan. Setiap dilakukannya pengadukan, harus dinilai
apakah feedstok kekurangan air atau tidak. Apabila feedstock terlalu kering, maka bisa dilakukan penyemprotan
air sebelum dilakukannya pengadukan. Hal ini dilakukan agar kelembapan tumpukan tetap terjaga pada kondisi
optimum tumpukan (Ryak, 1992), kisaran 40-60%. Pengadukan dilakukan menggunakan garu besi agar
mempermudah pencampuran. Kendala yang dialami pada proses pengadukan antara lain karena tumpukan yang
terlalu besar dan berada dalam kotak besi, sehingga mempersulit untuk pengadukan pada bagian bawah
tumpukan. Pengukuran beberapa parameter, seperti temperatur, kadar karbon, kadar nitrogen, kadar air, pH, pun
dilakukan secara berkala. Setiap dilakukannya pengukuran parameter tersebut, sampel yang diambil harus dapat
mewakili satu tumpukan. Oleh karena itu, pengambilan sampel harus dilakukan setelah pengadukan dan sampel
yang diambil berasal dari permukaan dan bagian tengah tumpukan.
4.1 Temperatur
Data temperatur yang didapat akan memperjelas setiap fase dalam proses pengomposan. Proses
pengomposan berlangsung dalam empat fase yaitu fase adaptasi, fase aktif, fase pendinginan, dan fase
pematangan. Setiap fase nya menunjukkan keadaan temperatur yang berbeda. Temperatur pada hari pertama
pengomposan didapat untuk ketiga tumpukan memiliki temperatur rata-rata sebesar 33oC. Proses pengomposan
dimulai dengan temperatur yang sama dari ketiga tumpukan. Temperatur awal tersebut membuktikan bahwa
proses pengomposan dimulai dengan proses mesofilik yang memiliki temperatur berkisar antara 25o-45oC. Pada
minggu awal pengomposan terjadi fase adaptasi yang akan berlangsung selama satu minggu.
Temperatur tengah
80
60
40
20
0
0 2 4 6 8 10 12 14 t
Tumpukan 1 Waktu Pengukuran (minggu)
Tumpukan 2
Tumpukan 3
Perubahan Temperatur Pada Tengah Tumpukan
Sumber : Hasil Olahan (2012)
Dari grafik di atas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang mencolok pada kenaikan temperatur di
bagian permukaan kompos dan bagian tengah kompos. Perbedaan yang terlihat bahwa temperatur bagian tengah
kompos selalu lebih tinggi dari bagian permukaan kompos. Hal ini menunjukkan bahwa penumpukan kompos
dapat membuat tumpukan tetap mempertahankan panas tidak keluar.
Kenaikan temperatur yang konstan terjadi pada dua minggu pertama. Ketiga tumpukan mencapai
temperatur maksimal secara bersamaan di minggu kedua. Yang membedakan hanya nilai temperatur yang
dicapai, dimana tumpukan 1 mencapai temperatur 75,5oC, tumpukan 2 mencapai temperatur 67,5oC, dan
tumpukan 3 mencapai temperatur 74oC. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kotak tumpukan ini memiliki nilai
pencapaian temperatur yang berbeda-beda yang disebabkan perbedaan komposisi. Pada saat tumpukan
memasuki temperatur di atas 45oC, proses memasuki fase aktif dimana bakteri yang bekerja adalah bakteri
thermofilik. Actvive phase ditandai dengan peningkatan temperatur yang tinggi dan signifikan sesuai dengan
pernyataan Tchobanoglous et al. pada tahun 1993. Panas yang dihasilkan kompos ini berasal dari aktivitas
mikroba, semakin banyak kadar oksigen yang digunakan oleh mikroba maka semakin banyak panas yang
dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak oksigen berbanding lurus dengan cepatnya proses
dekomposisi.Temperatur yang tinggi diperlukan tumpukan untuk membunuh bakteri dan tanaman patogen yang
dapat mengganggu proses jalannya pengomposan. Temperatur yang efektif untuk menghancurkan bakteri dan
tanaman patogen dalam pengomposan adalah 55°C sesuai dengan pernyataan Jenkins pada tahun 1996, maka
dapat dilihat ketiga tumpukan sudah melewati temperatur tersebut.
5
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Tumpukan 1
Tumpukan 2 Waktu Pengukuran (hari)
Tumpukan 3
Perubahan pH Terhadap Waktu Pengomposan
Sumber : Hasil Olahan (2012)
100
%
80
Kadar air
60
40
20
0 t
0 20 40 60 80 100
Tumpukan 1
Tumpukan 2 Waktu Pengukuran (hari)
Tumpukan 3
Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Pengomposan
Sumber : Hasil Olahan (2012)
Tingkat kelembaban feedstock pada minggu pertama memiliki perbedaan pada setiap kotak tumpukan.
Terlihat bahwa tumpukan 2 dan 3 memiliki tingkat kelembaban yang tinggi. Hal ini diduga dipengaruhi oleh
penyimpanan sampel di dalam lemari pendingin sebelum analisa di laboratorium dilakukan, sehingga
mempengaruhi kelembaban yang dimiliki feedstock. Perubahan tingkat kadar air terjadi karena pengembunan
dalam sampel selama berada di lemari pendingin. Hal ini terjadi sampai pada pengukuran kedua di hari ke-15.
Pada hari pertama pengomposan tumpukan 1 memiliki kelembaban sebesar 53,18%, tumpukan 2 memiliki
kelembaban sebesar 70,34%, dan tumpukan 3 memiliki kelembaban sebesar 78,45%. Pada hari ke-15
pengomposan tumpukan 1 memiliki kelembaban sebesar 68,63%, tumpukan 2 memiliki kelembaban sebesar
66,07%, dan tumpukan 3 memiliki kelembaban sebesar 70,76%. Hal ini menunjukkan kelembaban kedua
tumpukan melebih batas kondisi optimum pengomposan menurut Schultz (1961) sebesar 40-60%. Saat kompos
matang, nilai kadar air untuk tumpukan 1 sebesar 41,93%, tumpukan 2 sebesar 48,26%, dan tumpukan 3 sebesar
47,1%. Nilai tersebut telah sesuai dengan SNI 19-7030-2004, dimana kadar air maksimum kompos matang
adalah sebesar 50%.
25,00
20,00
Rasio C/N
15,00
10,00
5,00
0,00
0 20 40 60 80 100
30,00
25,00
20,00
Rasio C/N
15,00
10,00
5,00
0,00
0 20 40 60 80 100
Waktu Pengukuran (hari)
Tumpukan 2
45,00
40,00
35,00
30,00
Rasio C/N
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
0 20 40 60 80 100
Waktu Pengukuran (hari)
Tumpukan 3
Penurunan rasio C/N terbesar dialami oleh tumpukan 3 karena rasio C/N feedstock tumpukan ini sangat
tinggi. Terjadinya penurunan nilai Rasio C/N dalam proses pengomposan merupakan salah satu penyebab utama
kadar C/N kompos selalu bernilai rendah. Nilai Rasio C/N kompos matang yang diharapkan sesuai dengan SNI
19-7030-2004 adalah sebesar 10-20. Oleh karena itu, nilai Rasio C/N kompos matang sangat dipengaruhi oleh
nilai Rasio C/N awal atau feedstock.
1,4
m3
1,2
1
Volume
0,8
0,6
0,4
0,2
0
0 30 60 90
Kotak Tumpukan 1 1,1 0,8 0,65 0,45
Kotak Tumpukan 2 1,2 0,8 0,65 0,5
Kotak Tumpukan 3 1,2 0,85 0,7 0,6
Dari grafik di atas, dapat terlihat perubahan volume tumpukan dari hari pertama hingga tumpukan
dinyatakan matang. Ketiga kotak tumpukan memiliki penyusutan volume yang hampir sama dimana lebih dari
setengah tumpukan hilang karena ukuran partikelnya menyusut.
Kompos yang sudah matang memiliki beberapa indikator yang dapat dilihat, antara lain bau, warna, dan
partikel.
Bau pada ketiga tumpukan sudah menyerupai bau tanah. Untuk komposisi yang menyusun tumpukan tidak
terlalu mempengaruhi bau kompos. Bau bahan campuran yang tidak terlalu kuat membuat bau ketiga tumpukan
sama. Untuk warna kompos yang baik berdasarkan SNI 19-7030-2004 adalah dengan warna hitam. Namun,
terjadi perbedaan warna pada tumpukan 1 yang terlihat sedikit lebih muda daripada dua tumpukan lainnya. Hal
ini disebabkan oleh rendahnya kadar air tumpukan 1 sehingga terlihat lebih kering. Untuk tumpukan 2 dan 3
memiliki warna yang lebih gelap.
100
%
80
% tertahan
60
40
20
0
1 0,50 0,375 4 8 10 16 20 Pan
Tumpukan 1 0 9,9125 15,731 32,836 57,089 63,795 80,930 93,875 100
Tumpukan 2 0 15,624 22,515 43,378 69,943 77,200 91,133 94,261 100
Tumpukan 3 0 19,192 28,232 43,567 67,147 74,166 92,253 97,028 100
Nilai water holding capacity dari ketiga kompos tersebut semuanya telah melewati batas minimum nilai
water holding capacity berdasarkan SNI 19-7030-2004. Menurut SNI tersebut, kompos matang minimal harus
memiliki nilai water holding capacity sebesar 58%. Nilai WHC ketiga sampel ini telah memenuhi kriteria
kompos pada SNI.
Daftar Pustaka:
Anon. 2005. The Namakkal Experience, Development Alternatives, New Delhi: Solid Waste Management, Vol.
15, No. 6.
Badrus dan Endro. 2007. Studi Pengaruh Pencampuran Sampah Domestik, Sekam Padi, dan Ampas Tebu
Terhadap Kematangan Kompos. Jurnal Presipitasi, Vol. 2.
Carbon-Nitrogen Relationships di akses pada tanggal 27 Maret 2012 pukul 17:30 dari Whatcom.
http://whatcom.wsu.edu/ag/compost/fundamentals/needs_carbon_nitrogen.htm
Charles, Roy. 1996. Pengaruh Variasi C/N Rasio Sampah Terhadap Kualitas Kompos dan Lama Proses
Pengomposan di BSD. Thesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Chau, K. W. 1995. The validity of the triangular distribution assumption in Monte Carlo simulation of
construction costs: empirical evidence, Hong Kong: Construction Management and Economics.
Chester, M., D. Stupples, and M. Lees. 2010. A Comparison Of The Physical And Chemical Composition Of Uk
Waste Streams Based On Hypothetical Compound Structure, United Kingdom: ATCO Power Generation
Ltd, City University.
Cinergex. 1998. Energy Production Comparisons di akses pada tanggal 9 Mei 2012 pukul 18:50 dari Cinergex.
http://cinergex.net/comparisons.htm.
Civeira, Gabriela. 2010. Influence of Municipal Solid Waste Compost on Soil Properties and Plant
Reestablishment in Peri-Urban Environments. Chilean Journal of Agricultural Research, Vol. 70, No. 3, Hal.
446-453.
Dickson, N., T. Richard, and R. Kozlowski. 1991. Composting to Reduce the Waste Stream: A Guide to Small
Scale Food and Yard Waste Composting, New York: Cornell University, 152 Riley-Robb Hall, Ithaca.
Epstein, Eliot. 1997. The Science of Composting. Lancaster, Basel: Technomic Publishing co.Inc.
Grover, P.D dan Mishra S.K. 1996. BiomassBriquetting-Technology and Practices, Bangkok: Food and
Agricultural Organization of the United Nation, RWEDP Field Document No. 46.
Haug, R. T. 1993. The Practical Handbook of Compost Engineering. Lewis Publishers, Boca Raton.
Hoornweg, Daniel. 1999. Solid Waste Management in Asia. What A Waste, Working Paper Series, Urban
Development No. 1, Hal. 5.
Larney, F.J., Yanke, L.J. Miller, J.J. and McAllister, T.A. 2003. Fate Of Coliform Bacteria In Composted Beef
Lens, P. 2004. Resource Recovery and Reuse in Organic Solid Waste Management, United Kingdom: Gray
Publishing, Tunbridge Wells.
Lens, P. And Hamelers, B. 2004. Resource Recovery and Reuse in Organic Solid Waste Management, United
Kingdom: IWA Publishing, Tunbridge Wells.
Li, G., Zhang, F., 2000. Solid Wastes Composting and Organic Fertilizer Production, Beijing: Chemical
Engineering Press.
Michel, B., Henning, T., Jagger, C., and Kreibig, U. 1999. Carbon, Vol. 37, Hal. 391.
Mukono. 2006. Prinsip dasar Kesehatan Lingkungan, Surabaya: Airlangga University Press, No.1, Hal. 155-15.
Nitrogen–N di akses pada tanggal 8 Januari 2012 pukul 23:15 dari Lenntech.
http://www.lenntech.com/
No time to waste-Commission for a Sustainable London 2012 di akses pada tanggal 7 Januari 2012 pukul 14:30
dari CSLondon.
www.cslondon.org/ .
Odor Management Cornell Waste Management Institute diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 19:10 dari
cornell.
http://compost.css.cornell.edu/odors/odor.html
Organic Camp-Pembuatan Kompos diakses pada tanggal 7 Desember 2011 pukul 22:15 dari Kandaga15.
http://kandaga15.multiply.com/journal/item/10/PEMBUATAN_KOMPOS
Pengelolaan Sampah di Indonesia di akses pada tanggal 13 November 2011 pukul 21:15 dari MENLH.
http://www.menlh.go.id/
Profil Kota Depok diakses pada tanggal 18 Oktober pukul 12:25 dari Depok.
http://www.depok.go.id/
Richard, G. F., et al. 1989. Appropriate for Water Supply and Sanitation, Transportation. Water and
Telecomunication Department of The World Bank.
Setyowati, Erva. 2008. Uji Mikrobiologis Kompos Organik dari Sampah Organik dengan Penambahan Limbah
Sulistyorini, Lilis. 2005. Pengelolaan Sam pah dengan Cara Menjadikannya Kompos. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, Vol. 2, No. 1, Juli 2005, Hal. 77 – 84.
Schultz, K. L. 1962. Contiunous Thermophilic Composting. Application Microbiology. Vol.10, Hal. 108-122.
SNI 19-7030-2004.
Steinberger, Degani, and G. Bamess. 1995. Decomposition of root fitter and related microbial population
dynamics of a Negev desert shrub, Zygophyllum dumosum. J. Arid Environmental Vol.31, Hal. 383–399.
Stewart, Keith. 2006. It's A Long Road to A Tomato. New York: Marlowe and Company, Hal. 155, ISBN 978-1-
56924-330-5.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Jakarta: Alfabeta.
Sundberg, C. dan Jönsson, H.. 2008. Higher pH and Faster Decomposition in Biowaste Composting by
Increased Aeration. Waste Management, Vol. 28, hal. 518-526.
Target Program 3R 2014 di akses pada tanggal 17 November 2011 pukul 20:06 dari Cipta Karya.
http://ciptakarya.pu.go.id/v2/?act=vin&nid=453.
Tchobanoglous, G., H. Theisen, and S. A. Vigil. 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering
Principles and Management Issues. New York: Mc Graw Hill, Hal. 12.4-12.6.
Tchobanoglous, G., H. Theisen, and S. A. Vigil. 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering
Principles and Management Issues. New York: Mc Graw Hill, Hal. 12.9-12.10.
Tchobanoglous, G., H. Theisen, and S. A. Vigil. 1993. Integrated Solid Waste Management Engineering
Principles and Management Issues. New York: Mc Graw Hill, Hal. 12.18-12.19.
Tobing, Esther. 2009. Studi Tentang Kandungan Nitrogen, Karbon (C) Organik, dan C/N dari Kompos
Tumbuhan Kembang Bulan (Tithonia Diversifolia), Medan: Skripsi. Fakultas MIPA Universitas Sumatra
Utara.
Vining, M. A. 2002. Bench-Scale Compost Reactors System And The Self Heating Capabilities, Texas: The
Department of Civil and Environmental Engineering Texas A&M University.