Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

MUTU LAYANAN KEBIDANAN DAN KEBIJAKAN KESEHATAN


“ANALISIS KASUS BIDAN YANG MELANGGAR MUTU PELAYANAN KEBIDANAN”

DISUSUN OLEH :
CYNTIA MAISYA
TILFANY
164110351
III A

Dosen Pembimbing : ERAVIANTI, S.SiT, M.KM

PRODI DIII KEBIDANAN PADANG

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Puji Syukur kehadirat Allah SWT saya dapat menyelesaikan makalah
tentang “Analisis Kasus Kebidanan yang Tidak Sesuai Dengan Mutu Pelayanan Kebidanan” ini
dengan baik.

Saya mengucapkan terimakasih banyak kepada para pembimbing dan semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini atas semua bantuan, bimbingan, dan kemudahan
yang telah diberikan kepada saya dalam menyelesaikan makalah. Penulisan makalah adalah
merupakan salah satu tugas Mata Kuliah “Mutu Layanan Kebidanan dan Kebijakan Kesehatan”

Meskipun saya telah berusaha dengan segenap kemampuan, namun saya menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah yang selanjutnya. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing yang telah
membimbing saya untuk membuat makalah ini

Padang, November 2018

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bidan merupakan bentuk profesi yang erat kaitannya dengan etika karena lingkup
kegiatan bidan sangat berhubungan erat dengan masyarakat. Karena itu, selain mempunyai
pengetahuan dan keterampilan, agar dapat diterima di masyarakat bidan juga harus
memiliki etika yang baik sebagai pedoman bersikap/ bertindak dalam memberikan suatu
pelayanan khususnya pelayanan kebidanan. Agar mempunyai etika yang baik dalam
pendidikannya bidan dididik etika dalam mata kuliah Etika profesi namun semuanya mata
kuliah tidak ada artinya jika peserta didik tidak mempraktekannya dalam kehidupannya di
masyarakat.
Pada masyarakat daerah, bidan yang di percaya adalah bidan yang beretika. Hal ini
tentu akan sangat menguntungkan baik bidan yang mempunyai etika yang baik karena akan
mudah mendapatkan relasi dengan masyarakat sehingga masyarakat juga akan percaya pada
bidan.
Etika dalam pelayanan kebidanan merupakan isu utama diberbagai tempat, dimana
sering terjadi karena kurang pemahaman para praktisi pelayanan kebidanan terhadap etika.
Pelayanan kebidanan adalah proses yang menyeluruh sehingga membutuhkan bidan yang
mampu menyatu dengan ibu dan keluarganya. Bidan harus berpartisipasi dalam memberikan
pelayanan kepada ibu sejak konseling pra konsepsi, skrening antenatal, pelayanan
intrapartum, perawatan intensif pada neonatal, dan postpartum serta mempersiapkan ibu
untuk pilihannya meliputi persalinan di rumah, kelahiran seksio sesaria, dan sebagainya.
Bidan sebagai pemberi pelayanan harus menjamin pelayanan yang profesional dan
akuntibilitas serta aspek legal dalam pelayanan kebidanan. Bidan sebagai praktisi pelayanan
harus menjaga perkembangan praktik berdasarkan evidence based ( Fakta yang ada)
sehingga berbagai dimensi etik dan bagaimna kedekatan tentang etika merupakan hal yang
penting untuk digali dan dipahami.
Dari uraian diatas, makalah ini akan membahas tentang “Etika Profesi Bidan” dalam
masyarakat agar pembacanya dapat termotivasi dan terpacu untuk menjadi bidan yang
beretika, profesional dan berdedikasi tinggi di kalangan masyarakat yang dapat dipelajari
dalam kode etik bidan dan etik profesi.
A. Rumusan Masalah

1. Kasus seperti apa yang dilakukan bidan sehingga melanggar kode etik bidan?
2. Apa Analisa dari pelanggaran kasus tersebut?
3. Apa Alur Sanksi Bidan yang diberikan kepada bidan yang melakukan pelanggaran?
B. Tujuan
1) Untuk mengetahui Kasus seperti apa yang terjadi terhadap pelanggaran kode etik bidan
2) Untuk melakukan Analisa kasusu yang terjadi
3) Untukmengetahui Alur Sanksi Bidan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Arti Mutu Pelayanan Kesehatan Dan Mutu Pelayanan Kebidanan

1. Konsep Dasar Mutu Pelayanan Kebidanan

Mutu pelayanan kebidanan menunjukkan pada tingkat kesempurnaan pelayanan


dalam menimbulkan rasa puas pada klien. Pelayanan kebidanan bermutu adalah
pelayanan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan yang sesuai dengan
tingkat kepuasan rata-rata penduduk dan diselenggarakan sesuai dengan kode etik dan
standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan. Kode etik dan standar pelayanan profesi,
pada dasarnya merupakan kesepakatan di antara kalangan profesi sehingga wajib
digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan setiap kegiatan profesi.

Mutu pelayanan kebidanan adalah tingkat kesempurnaan dan standar yang telah
ditetapkan dalam memberikan pelayanan kebidanan untuk mengurangi tingkat kematian.
Untuk menurunkan AKI perlu peningkatkan standar dalam menjaga mutu pelayanan
kebidanan. Ujung tombak penurunan AKI tersebut adalah tenaga kesehatan, dalam hal ini
adalah bidan.

a. Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan Dan Kebidanan

1) Dimensi Kompetensi Teknis

Dimensi kompetensi teknis menyangkut keterampilan, kemampuan,


penampilan atau kinerja pemberi layanan kesehatan. Dimensi ini berhubungan
dengan bagaimana pemberi layanan kesehatan mengikuti standar layanan
kesehatan yang telah disepakati, yang meliputi ketepatan, kepatuhan, kebenaran
dan konsistensi. Tidak dipenuhinya dimensi kompetensi teknis dapat
mengakibatkan berbagai hal, mulai dari penyimpangan kecil terhadap standar
layanan kesehatan, sampai pada kesalahan fatal yang dapat menurunkan mutu
layanan kesehatan dan membahayakan jiwa pasien.

2) Dimensi Keterjangkauan (Akses)


Dimensi keterjangkauan menyangkut geografis, sosial, ekonomi, organisasi
dan bahasa. Akses geografis diukur dengan jarak, lamanya perjalanan, biaya
perjalanan, jenis transportasi, dan/atau hambatan fisik lain yang dapat menghalangi
seseorang memperoleh layanan kesehatan. Akses sosial atau budaya berhubungan
dengan dapat diterima atau tidaknya layanan kesehatan itu secara sosial atau nilai
budaya, kepercayaan dan perilaku. Akses ekonomi berkaitan dengan kemampuan
membayar biaya layanan kesehatan. Akses organisasi ialah sejauh mana layanan
kesehatan itu diatur hingga dapat memberikan kemudahan/kenyamanan kepada
pasien atau konsumen. Akses bahasa, artinya pasien harus dilayani dengan
menggunakan bahasa atau dialek yang dapat dipahami oleh pasien.

3) Dimensi Efektivitas

Layanan kesehatan harus efektif, artinya harus mampu mengobati atau


mengurangi keluhan yang ada, mencegah terjadinya penyakit dan
berkembang/meluasnya penyakit yang ada. Efektifitas layanan kesehatan ini
bergantung pada bagaimana standar layanan kesehatan itu digunakan dengan tepat,
konsisten dan sesuai dengan situasi setempat. Umumnya standar layanan kesehatan
disusun pada tingkat organisasi yang lebih tinggi, sementara pada tingkat pelaksana,
standar layanan kesehatan itu harus dibahas agar dapat digunakan sesuai dengan
kondisi. Dimensi efektivitas berhubungan erat dengan dimensi kompetensi teknis
terutama dalam pemilihan alternatif dalam menghadapi relative risk dan ketrampilan
dalam mengikuti prosedur yang terdapat dalam standar layanan kesehatan.

4) Dimensi Efisiensi

Sumber daya kesehatan sangat terbatas. Oleh karena itu dimensi efisiensi
kesehatan sangat penting dalam layanan kesehatan. Layanan kesehatan yang efisien
dapat melayani lebih banyak pasien dan masyarakat. Layanan kesehatan yang tidak
efisien umumnya berbiaya mahal, kurang nyaman bagi pasien, memerlukan waktu
lama dan menimbulkan resiko yang lebih besar pada pasien. Dengan melakukan
analisis efisiensi dan efektivitas kita dapat memilih intervensi yang paling efisien.

5) Dimensi Kesinambungan
Dimensi kesinambungan layanan kesehatan artinya pasien harus dapat
dilayani sesuai dengan kebutuhannya, termasuk rujukan jika diperlukan tanpa
mengulangi prosedur diagnosis dan terapi yang tidak perlu. Pasien harus selalu
mempunyai akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkannya. Karena riwayat
penyakit pasien terdokumentasi dengan lengkap, akurat dan terkini, layanan
kesehatan rujukan yang diperlukan pasien dapat terlaksana dengan tepat, waktu dan
tempatnya.

6) Dimensi Keamanan

Dimensi keamanan maksudnya layanan kesehatan harus aman, baik bagi


pasien, pemberi layanan maupun masyarakat sekitarnya. Layanan kesehatan yang
bermutu harus aman dari risiko cidera, infeksi, efek samping, aatau bahaya lain. Oleh
karena itu harus disusun suatu prosedur yang akan menjamin keamanan kedua belah
pihak.

7) Dimensi Kenyamanan

Dimensi kenyamanan tidak berpengaruh langsung dengan efektivitas layanan


kesehatan, tetapi mempengaruhi kepuasan pasien/konsumen sehingga mendorong
pasien untuk datang berobat kembali ke tempat tersebut. Kenyamanan dan
kenikmatan dapat menimbulkan kepercayaan pasien terhadap organisasi layanan
kesehatan.

8) Dimensi Informasi

Layanan kesehatan yang bermutu harus mampu memberikan informasi yang


jelas tentang apa. Siapa, kapan, dimana dan bagaimana layanan kesehatan itu akan
atau telah dilaksanakan. Dimensi informasi ini sangat penting pada tingkat puskesmas
dan rumah sakit.

9) Dimensi Ketepatan Waktu


Agar berhasil, layanan kesehatan harus dilakukan dalam waktu dan cara yang
tepat, oleh pemberi layanan yang tepat, menggunakan peralatan dan obat yang tepat,
serta biaya yang tepat (efisien).

10) Dimensi Hubungan Antarmanusia

Hubungan antarmanusia adalah hubungan antara pemberi layanan kesehatan


(provider) dengan pasien atau masyarakat (konsumen), antar sesama pemberi layanan
kesehatan, antar atasan-bawahan, dinas kesehatan, rumah sakit, puskesmas,
pemerintah daerah, LSM, masyarakat dan lain-lain. Hubungan antarmanusia yang
baik akan menimbulkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara saling menghargai,
menjaga rahasia, saling menghormati, responsif, memberi perhatian, dan lain-lain.

2. Program Menjaga Mutu Konkuren

Yang dimaksud dengan Program menjaga mutu konkuren adalah yang diselenggarakan
bersamaan dengan pelayanan kesehatan. Pada bentuk ini perhatian utama lebih ditujukan
pada standar proses, yakni memantau dan menilai tindakan medis, keperawatan dan non
medis yang dilakukan. Program menjaga mutu konkuren adalah program menjaga mutu yang
dilaksanakan bersamaan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pada bentuk ini,
perhatian utama lebih ditujukan pada unsur proses, yakni menilai tindakan medis dan
nonmedis yang dilakukan. Apabila kedua tindakan tersebut tidak sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan, maka berarti pelayanan kesehatan yang diselenggarakan kurang bermutu.

Program menjaga mutu konkuren dinilai paling baik, namun paling sulit dilaksanakan.
Penyebab utamanya adalah karena adanya factor tentang rasa serta ‘bias’ pada waktu
pengamatan. Seseorang akan cenderung lebih berhati-hati, apabila mengetahui sedang
diamati. Kecuali apabila pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan oleh satu tim (team
work), atau apabila telah terbentuk kelompok kesejawatan (per group).

Mutu pelayanan kesehatan sebenarnya menunjuk pada penampilan (performance) dari


pelayanan kesehatan yang dikenal dengan Keluaran (output) yaitu hasil akhir kegiatan dari
tindakan dokter dan tenaga profesi lainnya terhadap pasien, dalam arti perubahan derajat
kesehatan dan kepuasan baik positif maupun sebaliknya. Sedangkan baik atau tidaknya
keluaran tersebut sangat dipengaruhi oleh proses (process), masukan (input) dan lingkungan
(environment). Maka jelaslah bahwa baik atau tidaknya mutu pelayanan kesehatan sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur tersebut, dan untuk menjamin baiknya mutu pelayanan
kesehatan ketiga unsur harus diupayakan sedemikian rupa agar sesuai dengan standar dan
atau kebutuhan.

a. Tujuan

Tujuan program menjaga mutu mencakup dua hal yang bersifat pokok, yang jika
disederhanakan dapat diuraikan sebagai berikut:

b. Tujuan antara.

Tujuan antara yang ingin dicapai oleh program menjaga mutu ialah diketahuinya
mutu pelayanan. Jika dikaitkan dengan kegiatan program menjaga mutu, tujuan ini dapat
dicapai apabila masalah serta prioritas masalah mutu berhasil ditetapkan.

c. Tujuan akhir.

Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh program menjaga mutu ialah makin
meningkatnya mutu pelayanan. Jika dikaitkan dengan kegiatan program menjaga mutu,
tujuan ini dapat dicapai apabila masalah dan penyebab masalah mutu berhasil diatasi.

3. Contoh Kasus

“ Seorang Bidan menolong persalinan pada Ny. W, G3 P2 A0, cara persalinan


terakhir spontan, umur anak usia terakhir 2 tahun, HPHT (Hari Pertama Haid terakhir) lupa,
tidak pernah dirujuk selama kehamilan. Saat ditolong umur kehamilan 24 minggu, diagnosa
sewaktu datang letak kepala, lahir spontan tidak ada kelainan, komplikasi persalinan
ketuban pecah dini,lama persalinan 4 jam, dalam kala 1 lama persalinan 30 menit, tempat
persalinan di rumah Bidan, keadaan ibu sampai pulang hidup. Tanggal lahir bayi 08-03-
2010, berat lahir 700 gr, jenis kelamin bayi perem-puan, asfiksia berat, kematian bayi akibat
dari premature.”

4. Pembahasan Kasus
Bidan pada kasus di atas tidak memberikan informasi tentang keadaan pasiennya
serta bidan tidak merujuk pasien yang bukan wewenangnya atau kompetensinya.
Kesimpulan sementara, Bidan tersebut melanggar kode etik, wewenang bidan dan
peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1464/MENKES/ PER/X/2010,
tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan Indonesia.

a. Menurut Hukum

Pada pasal 18 ayat (1) dalam praktik/kerja, bidan berkewajiban untuk


menghormati hak pasien, memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan
pelayanan yang dibutuhkan, merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat
ditangani dengan tepat waktu, meminta persetujuan tindakan yang akan segera dilakukan,
menyimpan rahasia pasien yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainya secara sistematis,
mematuhi standar; dan melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik
kebidanan termasuk pelaporan kelahiran dan kematian.

Secara spesifik pemerintah mengatur hak atas pelayanan dan perlindungan


kesehatan bagi ibu dan anak di dalam Pasal 126 dan Pasal 131 UU No.36 tahun 2009
tentang Kesehatan. Adapun dalam desain pelaksanaannya, hak tersebut diarahkan melalui
kebijakan strategi dan aktivitas untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Anak (AKA).

Berdasarkan Pasal 13 ayat (1), selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, bidan yang menjalankan program Pemerintah
berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi: butir melaksanakan deteksi dini,
merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Sek-sual (IMS) termasuk
pemberian kondom dan penyakit lainnya.

Pada kasus ini, bidan melanggar KepMenkes No. 1464/MenKes/per/X/2010.


Bidan melanggar wewenangnya dimana menolong persalinan dengan kondisi janin
premature, sedangkan dalam peraturan KepMenKes ataupun wewenang bidan diatas su-
dah jelas bahwasannya bidan hanya menolong kehamilan, persalinan fisiologis dan
mendeteksi dini komplikasi persalinan serta dilanjutkan rujukan. Setelah melakukan
diagnosa kebidanan bahwa usia kehamilan masih tergolong premature bidan tersebut
tidak melakukan rujukan hal ini selain diatur dalam KepMenKes diatas dan wewenang
bidan dijelaskan juga pada UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 41 dan Pasal 42. Ketiga,
bertentangan dengan kesusilaan. Keem-pat, bertentangan dengan keharusan yang diin-
dahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda milik orang lain.
Unsur ketiga dan empat ini tidak terpenuhi dalam kasus diatas. Jadi kesimpulan
sementara pada kasus di atas, bidan tersebut memenuhi unsur pertama dan kedua.

b. Menurut Kode Etik Bidan

Bidan memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang


kesehatan. Bidan sebagai tenaga kesehatan memilki tiga hal tanggung jawab di dalam
upaya pelayanan kesehatan meliputi: tanggung jawab etis yang landasannya adalah kode
etik, yang pada dasarnya memuat bahwa kewajiban umum, kewajiban terhadap penderita,
kewajiban terhadap sejawat dan terhadap diri sendiri. Tanggung jawab profesi yang
didasarkan pendidikan, pengalaman, derajat resiko perawatan, peralatan perawatan dan
fasilitas perawatan. Tanggung jawab hukum, yang didasarkan pada hu-kum perdata,
hukum administrasi, dan hukum pidana .

Pada kasus diatas, Bidan telah melanggar Kode Etik bidan yang ke 2 yaitu
Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir), pada butir 1 dan butir 2, dimana:

1) Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga


dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan
kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.

2) Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam


mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk keputusan mengadakan konsultasi
dan atau rujukan.

Bidan tidak melaksanakan tugasnya sesuai Kode Etik Bidan. Bidan dalam
memberikan pelayanan bukan sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya, yakni
Bidan hanya melakukan pertolongan persalinan yang normal. Kasus diatas juga, Bidan
tidak cermat dalam mengambil keputusan. Yaitu, keputusan mengadakan konsultasi atau
melakukan rujukan.

Kemudian, kasus diatas juga melanggar Kode Etik Bidan yang ke 7 yaitu
Kewajiban Bidan terhadap Pemerintah, Bangsa dan Tanah Air (2 butir). Padda butir 1,
dimana : Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan-
ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan
kesehatan keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan Kode Etik Bidan diatas, Bidan dalam melaksanakan tugasnya wajib
mengikuti ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam
pelayanan KIA/KB. Pada kasus diatas Bidan mengesampingkan ketentuan-ketentuan
pemerintah, sehingga Bidan tersebut nekat melakukan pertolongan persalinan yang bukan
wewenangnya, yang mengakibatkan bayi tersebut meninggal dunia.

Dalam menjalankan kewenangan yang diberikan bidan harus; melaksanakan tugas


kewenangannya sesuai dengan standar profesi, memiliki ketrampilan dan kemampuan
untuk tindakan yang dilakukannya, mematuhi dan melaksanakan protap yang berlaku
diwilayahnya, bertanggung jawab atas pelayanan yang diberikan dan berupaya secara
optimal dalam mengutamakan keselamatan ibu calon bayi atau janin.

Tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian sama dengan melakukan malpraktik.


Malpraktik yang dilakuakan oleh tenaga kesehatan, dapat berupa malpraktik medik yaitu
yang dilaksanakan ketika ia menjalankan profesinya dibidang medik dalam hal ini dapat
berupa perbuatan yang dapat disengaja seperti pada mis condact tertentu, tindakan
kelalaian atau ketidak kompetenan diluar kompetennya yang tidak beralasan yang berupa
luka atau menderita kerugian pada pihak yang ditangani.

Telah ditentukan secara jelas bahwasannya tugas atau wewenang bidan sudah
diatur oleh pemerintah sebagai berikut: pemberian kewenangan lebih luas kepada bidan
dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal
kepada setiap ibu hamil/bersalin, nifas dan bayi baru lahir (0 – 28 hari) agar penanganan
dini atau pertolongan pertama sebelum rujukan dapat dilakukan secara cepat dan tepat
waktu.
Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bidan dalam memberikan


pelayanan kepada pasien tetapi dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum karena pelayanan bidan tersebut memenuhi dua unsur yaitu unsur
bertentangan dengan hak subjektif orang lain dan bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri, tidak memberikan informasi secara lengkap dan memberikan
pelayanan yang melebihi wewenangnya yaitu menolong persalinan dengan keadaan janin
premature. Dalam hal ini bidan bertentangan dengan PerMenKes No 1464 tahun2010
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, Undang-undang Rumah Sakit No. 44 Ta-
hun 2009 dan Kode Etik serta wewenang bidan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada
tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri
setiap pasien. Makin sempurna kepuasan tersebut, makin baik pula mutu pelayanan
kesehatan. Sekalipun pengertian mutu yang terkait dengan kepusan ini telah diterima
secara luas, namun penerapannya tidaklah semudah yang diperkirakan. Masalah pokok
yang ditemukan ialah karena kepuasan tersebut bersifat subyektif. Tiap orang, tergantung
dari latar belakang yang dimiliki, dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang berbeda
untuk satu mutu pelayanan kesehatan yang sama. Di samping itu, sering pula ditemukan
pelayanan kesehatan yang sekalipun dinilai telah memuaskan pasien, namun ketika
ditinjau dari kode etik serta standar pelayanan profesi, kinerjanya tetap tidak terpenuhi.

Anda mungkin juga menyukai