Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Anaphylaxis berasal dari bahasa Yunani yang berarti Ana adalah jauh dari
dan phylaxis adalah perlindungan. Jadi menurut bahasa, Anaphylaxis berarti
menghilangkan perlindungan. Definisi dari anafilaksis sendiri adalah reaksi alergi
umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi,
kutan dan gastro intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului
dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi. 1

Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao meninggal mendadak tidak


lama setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan fenomena
yang sama, mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut, setelah
beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yangs ama anjing itu mendadak mati.
Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika seseorang sensitif
terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut,
akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaksis yang
dapat berujung pada syok anafikaktik. 2

Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sistemik dan termasuk


reaksi Hipersensivitas Tipe I pada manusia dan mamalia pada umumnya yang
berpotensial fatal dan menimbulkan reaksi pada multiorgan yang disebabkan oleh
dilepasnya mediator-mediator inflamasi dari mast cells dan basofil. Reaksi ini harus
dibedakan dengan reaksi anafilaktoid. Gejala, terapi, dan risiko kematiannya sama
tetapi degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari
IgE. 3

Di Amerika Serikat, kematian akibat reaksi anafilaksis sistemik kira-kira


1500-2000 kematian per tahun. Kasus nonfatal lebih sering muncul, yakni sekitar
0,2 % dari populasi setiap tahunnya. Prevalensi kunjungan ke bagian
kegawatdaruratan kira-kira 2 per 10.000 penduduk sampai 5 per 10.000 penduduk.

1
Neugut et al memperkirakan bahwa 1-15 % dari populasi Amerika Serikat
berada dalam risiko mendapatkan reaksi anafilaktik atau reaksi anafilaktoid. Lebih
lanjut, mereka memperkirakan rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah
0,0004%, 0,7-10% untuk penisilin, 0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,5-5%
untuk gigitan serangga. 3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
II.1 Definisi

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan

phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya

melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari

pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).2

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai


oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif
masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis
dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi
yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps
pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.2

II.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan antigen
yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah putih
kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang bersirkulasi pada
peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan antigen-
antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin dan
menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan. 4

Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis


adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting,
kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-

3
lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis. 2

Table 1 : Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid 6

Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis


antara lain: 3

 Atopi
Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien
anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan
bahwa atopi merupakan faktor risiko untukreaksi anfilaksis terhadap
makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis
idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex.
Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan
serangga.
 Cara dan waktu pemberian
Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral
lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada
biasanya tidak berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang

4
yang memang alergi setelahmenelan makanan. Selain itu, semakin lama
interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi
anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme
dan penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
 Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian
karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
 Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang
berakibat fatal.

II.3 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam

hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Reaksi hipersensitivitas tipe I

diklasifikasikan menjadi reaksi atopi dan non-atopi. Kelainan atopi biasanya

menyerang kulit atau traktus respiratorius contohnya pada rhinitis alergi, dermatitis

atopi, dan asma alergi. Kelainan hipersensitivitas non-atopi contohnya urtikaria,

angioedema, dan anafilaksis. Ketika reaksi yang terjadi ringan, maka hanya akan

menyerang kulit (urtikaria) atau jaringan subkutan (angioedema), namun ketika

reaksi yang terjadi berat maka akan berakibat menyeluruh (generalisata) dan

bersifat life-threatening medical emergency (anafilaksis).6

Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.

Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai

diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan

fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen

yang sama sampai timbulnya gejala.2,3,5

5
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan

ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut

kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang

menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma

memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor

permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.2,5

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang

sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan

memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain

histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang

di sebut dengan istilah preformed mediators.2,5

Gambar 1 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari

membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang

terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.

6
Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai

efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik

pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,

meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi

mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan

Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.

Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor

kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang

dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.2,5

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan

terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini

menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang

diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan

perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi

pada keaadan syok yang membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat terjadi

sebagai akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi

miokard. Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50 %

volume vaskuler ke ruang extravaskuler dalam 10 menit. 3

Gambar 2 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

7
II.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe

dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam

setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam

setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah

terpapar dengan alergen.7

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi

kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga

dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan

keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok.

Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-

bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah

pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah

8
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.

Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan

gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang

sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang

telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema

laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada

abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi.

Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang

irreversible.7,8

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi

pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,

gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan

sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa

takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada

tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.2,5

Tabel 2 : Manifestasi Klinik Reaksi Anafilaksis

Organ Systems Signs and Symptoms

Cardiovascular Hypotension, tachycardia, arrhytmias

Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea,

pulmonary edema, laryngeal edema,

hypoxia

Dermatogical Urticaria, facial edema, pruritus

9
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang

berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di

bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat

eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan

diaphoresis.5

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,

penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan

penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab

kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran

napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. 5

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai

terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem

kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda

iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya

edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi

ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)

akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal

akut. 5,7

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel

sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada

sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot

polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. 5,6,7

10
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,

gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.

Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi

kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.

Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob

sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi

keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.5,7

II.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menentukan

diagnosis pada reaksi anafilaktik karena reaksi anafilaksis umumnya didiagnosis

secara klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada sindrom

yang berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya, maka pemeriksaan

penunjang ini menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal

atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai

normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan

RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked

Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal.2,3,5

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen

penyebab yaitu denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point

titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan

gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,

rontgen thorak, dan lain-lain.2,5

11
II.6 Diagnosis

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ

atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan

diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah

membuat suatu kriteria.7

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit

hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya

(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,

pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise

(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,

hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan

disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).7

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak

setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga

beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik

kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-

uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,

wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang

berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal

yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).7

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada

alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).

Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau

12
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan

darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%

dari tekanan darah awal.7

Gambar 3 : Mekanisme Penegakan Diagnosis

Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut 9:

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresfi yang cepat dari gejala

- Pasien terlihat baik atau tidak baik

13
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi

lebih lambat dari onset

- Onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan

lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan lebih

cepat onsetnya dari trigger ingesti oral.

- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”

2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems

Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem :

- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak

(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa

tenggorokan tertutup.

- Suara Hoarse

- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang

mengalami obstruksi.

Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas

- Wheezing

- Pasien menjadi lelah

- Kebingungan karena hipoksia

- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign

- Respiratory arrest

Circulation Problems:

14
- Tanda syok, pucat, berkeringat.

- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)

- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),

kolaps.

- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran

- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah

walaupun individu dengan normal arteri kononer.

- Cardiac arrest

3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa

Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi

anafilaksis.

- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.

- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau

keduanya

- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.

- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna

pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti

sengatan.

- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan

lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan

tenggorokan.

II. 7 Diagnosis Banding

15
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis

yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan

dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena

anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai akibat

pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-

masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada

sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok

anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik,

reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale,

dan rhinitis alergika.2,3

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien

tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi

anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.

Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak

terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark miokard akut, gejala yang

menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering

diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.

Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.2,3

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau

sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan

darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran

napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.

Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,

16
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara.

Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.2,3

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri

kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome,

dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa

menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr

bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan

pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.2,3

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk

berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor

pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada

pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin,

buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan

karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.2,3

II. 8 Penatalaksanaan

Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik

peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan

adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga

menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.

17
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena,

dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.2,5,10

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation

dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup

dasar.

o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar

tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi

kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan

napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala,

tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan

napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi

endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada

tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke

hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat

mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita

yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-

obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.

o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis

atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.2,5,10

Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk

mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan

18
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan

aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin

dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan

cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi

serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat

menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan

kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan

berakhir dalam waktu pendek.5,9,10

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun

sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada

penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah

pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler

lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan

1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis

diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi

menunjukkan perbaikan.5,9,10

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan

tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama

anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan

absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin

diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari

pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit

dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis

19
10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan

injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Individu yang mempunyai resiko

tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu

dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu

diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin

tersebut.9,10

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat

yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.

Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan

peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan

mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan

bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit,

antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat

antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau

ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam

waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin

harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat

diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit),

diulang tiap 6 jam selama 48 jam.9,10

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,

kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya

digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek

episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena

20
baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125

mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya

tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan

dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.9,10

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena

4-7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam,

atau aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl

0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah

bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2

yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan

melalui nebulisasi.9,10

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan

vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250

ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60

mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan

sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau

levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan

2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrose 5%.
9,10

Terapi Cairan.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena

untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular

sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan

21
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.

Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan

mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada

dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari

perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat

diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan

bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan

perkiraan kehilangan volume plasma.10

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan

pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume

intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma

berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 10

Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik

dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa

dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin

sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh

dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih

tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat

dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-

turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.

Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,

kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan

22
komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan

otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan

angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal

ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari

2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.10

Gambar 4 : Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis

23
Pencegahan

24
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok

anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis

riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi

dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan

orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko

lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.10

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa

tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat

tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis.

Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai

kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya

reaksi 60%, bila tes kulit positif.10

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila

pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena

dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi

yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.

Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada

penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal

yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi

reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi

alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.10

II. 9 Prognosis

25
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan,

reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut

dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu

perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk

mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi

anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu

umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,

asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti

β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen

sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

BAB III

26
KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai

oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah

jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang

dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa

golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-

obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan

risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi,

dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam reaksi

hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada

vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala

prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang

dapat terjadi pada satu atau lebih organ target.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu

seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok

anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan

reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari

kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin

dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita

bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila

perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam

27
penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan.

Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,

reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Anonym. Anafilaksis (Reaksi Alergi Akut). 2009. Available at:
http://medicastore.com/penyakit/150/Anafilaksis_reaksi_alergi_ak
ut.html . Accessed on October 18, 2013.
2. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam
Anesthesiology. 2008; Chapter 88, hal 1948-1963.
3. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview .
Accessed on October 18, 2013.
4. Balentine, JR. Severe Allergic Reaction (Anaphylactic Shock).
2008. Available at:
http://www.emedicinehealth.com/severe_allergic_reaction_anaphy
lactic_shock/page2_em.htm . Accessed on October 18, 2013.
5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol
316. Hal 1442-1445.
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and
Critical Care Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan &
Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5th edition. United States:
McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.
7. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret
and Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006.

8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis.


Allergy Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.
9. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and
Treatment. In: Bochner BS. August 8, 2013. Available at:
http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis-rapid-recognition-
and-treatment . Accessed on October 19, 2013.

29
10. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and
Management. 2006. Available at:
https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxis-
diagnosis-and-management . Accessed on October 19, 2013.

30

Anda mungkin juga menyukai