2. Post partum
Masa puerpurium atau postpartum pada hewan adalah periode tertentu setelah
hewan mengalami partus atau melahirkan. Pada periode ini normalnya induk hewan
akan mengalami apa yang disebut dengan involusi uterus, yaitu proses uterus untuk
kembali ke struktur seperti semula. Namun ada kalanya masa puerpurium tidak
berjalan normal karena terjadinya suatu gangguan. Salah satu gangguan tersebut
adalah prolapsus uteri.
Selama kehamilan, kadar estrogen (estradiol,estriol, dan estron) dan
progesteron meningkat akibat dari plasenta yang memproduksi hormon tersebut.
Akibat dari kelahiran plasenta saat persalinan, kadar estrogen dan progesteron
menurun tajam, mencapai kadar sebelum kehamilan pada hari ke 5. Kadar dari beta-
endorfin, human chorionic gonadotropin (HCG), dan kortisol yang meningkat saat
kehamilan dan mencapai kadar maksimal saat menjelang aterm juga mengalami
penurunan saat persalinan. Kadar estrogen yang tinggi selama kehamilan merangsang
produksi dari thyroid hormone-binding globulin, mengikat T3 (triiodothyronine) dan
T4 (thyroxine), sehingga kadar T3 dan T4 bebas menurun. Sebagai konsekuensinya,
thyroid-stimulating hormone (TSH) meningkat untuk mengkompensasi rendahnya
kadar hormon tiroid bebas, sehingga kadar T3 dan T4 bebas tetap normal. Dengan
menurunnya kadar thyroid hormone-binding globulin setelah persalinan, kadar total
T3 dan T4 menurun, sedangkan kadar T3 dan T4 bebas relatif konstan.17,18
Estradiol dan estriol merupakan bentuk aktif dari estrogen yang dibentuk oleh
plasenta, dan meningkat selama kehamilan 100 dan 1000 kali lipat. Akibat sintesis
estradiol berasal dari aktifitas metabolism hati janin, konsentrasi saat kehamilan
sangat tinggi. Berdasarkan percobaan pada hewan, estradiol menguatkan fungsi
neurotransmitter melalui peningkatan sintesis dan mengurangi pemecahan serotonin,
sehingga secara teoritis penurunan kadar estradiol akibat persalinan berperan dalam
menyebabkan depresi pasca persalinan
Sapi dengan abnormalitas postpartum seperti hypocalcemia, distokia dan
RFM lebih beresiko terhadap infeksi uterus dibanding dengan sapi normal.
Manajemen sanitasi, nutrisi, menjaga kepadatan populasi dan pencegahan stress harus
ditingkatkan untuk mencegah kasus infeksi. Kebersihan kandang saat melahirkan,
prosedur aseptis untuk penanganan distokia sangat dibutuhkan. Kontaminasi
lingkungan oleh mikroorganisme patogen menimbulkan infeksi saluran reproduksi
selama 2-3 bulan postpartus. Sapi dengan gejala infeksi saluran reproduksi dipisahkan
ke kandang isolasi. Pemberian ceftiofur sistemik yang berhubungan dengan distokia,
RFM, atau keduanya mengurangi kejadian metritis hingga 70% dibandingkan dengan
sapi yang tanpa dilakukan pemberian antibiotik.
3. Laktasi
Proses produksi, sekresi, dan pengeluaran ASI dinamakan laktasi.Pengaruh Hormonal Mulai
dari bulan ketiga kehamilan, tubuh betina memproduksi hormon yang menstimulasi munculnya ASI
dalamsistem ambing:Progesteron: mempengaruhi pertumbuhan dan ukuran alveoli. Tingkat
progesteron dan estrogen menurun sesaatsetelah melahirkan. Hal ini menstimulasi produksi secara
besar-besaran.Estrogen: menstimulasi sistem saluran ASI untuk membesar. Tingkat estrogen
menurun saat melahirkan dan tetaprendah untuk beberapa bulan selama tetap menyusui. Karena itu,
sebaiknya ibu menyusui menghindari KBhormonal berbasis hormon estrogen, karena dapat
mengurangi jumlah produksi ASI.Follicle stimulating hormone (FSH)Luteinizing hormone
(LH)Prolaktin: berperan dalam membesarnya alveoil dalam kehamilan.Oksitosin: mengencangkan
otot halus dalam rahim pada saat melahirkan dan setelahnya, seperti halnya juga dalamorgasme.
Setelah melahirkan, oksitosin juga mengencangkan otot halus di sekitar alveoli untuk memeras
ASImenuju saluran susu. Oksitosin berperan dalam proses turunnya susu let-down / milk ejection
reflex.Human placental lactogen (HPL): Sejak bulan kedua kehamilan, plasenta mengeluarkan
banyak HPL, yang berperandalam pertumbuhan ambing, puting, dan areola sebelum
melahirkan.Pada bulan kelima dan keenam kehamilan, ambing siap memproduksi ASI. Namun, ASI
bisa juga diproduksi tanpakehamilan (induced lactation).
Faktor yang mempengaruhi produksi susu adalah faktor genetik dan
lingkungan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi susu sapi
yaitu dengan meningkatkan mutu genetik dari sapi perah yang ada di Indonesia.
Proses seleksi memerlukan pencatatan (Recording) terutama catatan produksi susu
yang dicatat setiap hari karena akan menggambarkan produksi susu sebenarnya.
Walaupun kadar serat kasar ransum merupakan faktor penting sebagai karbohidrat
pembentuk asetat yang merupakan metabolit utama pembentuk lemak susu, tetapi
para ahli Ilmu Nutrisi Ruminansia cenderung lebih memperhatikan nisbah antara
asetat (C2) dan propionat (C3). Nisbah C2 : C3 biasa dipergunakan sebagai tolok ukur
efesiensi alokasi penggunaan energi pada ternak ruminansia.
D'Occhio MJ, and Ford JJ. 1989. Differentiation of sexual behavior in cattle, sheep and
swine. Jurnal Animal Science. Jul;67(7):1816-23.
Herdis. pengaruh waktu penampungan semen terhadap gerakan massa spermatozoa dan
tingkah laku kopulasi pejantan domba garut. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia Vol. 14, No. 1, April 2012 Hlm.38-43.
Prasdini, Widya Ayu, Sri Rahayu, Mochammad Sasmito D. 2015. Penentuan Keberhasilan
Involusi Uterus Sapi Perah Friesian Holstein Berdasarkan Kadar Estrogen Setelah
Beberapa Penginjeksian Selenium-Vitamin E. Jurnal Veteriner Vol. 16 No. 3 : 351-
356
Rimbawanto,E.A. dan S.N.O. Suwandyastuti. 2015. Produk Metabolisme Rumen pada Sapi
PerahLaktasi (Rumen metabolism product on lactating dairy cattle). Agripet
Vol15,No. 1.
Sheldon, Martin., Erin J.W, Aleisha N.A.M, Deborah M.N dan Shan H. 2008. Uterine
diseases in cattle after parturition. The Veterinary Journal. No. 176 Vol. 1 Hal:115-
121